LIMA BELAS
"Halmar." Halmar menoleh ketika ada yang menepuk pundaknya. Tidak biasanya ada yang mengenali Halmar di dalam penerbangan kelas utama.
"Alesha? Kamu menguntitku, ya?"
"Kamu pikir aku nggak ada kerjaan? Aku ada undangan di National University."
"Hobi baru mungkin," gumam Halmar sambil duduk dan memasang sabuk pengaman. Keberangkatannya ke Singapura lima hari yang lalu di luar rencana. Seharusnya Lucas, co-founder InkLive, yang pergi ke sana. Tetapi karena temannya itu sedang ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan dan kebetulan Halmar sedang berada di Indonesia—dekat dengan Singapura—maka Halmar menggantikan.
Lima hari yang melelahkan. Lucas sudah telanjur berkomitmen dengan banyak orang dari berbagai organisasi, jadi Halmar harus memenuhi semuanya. Berbicara di panggung pameran peralatan medis terbaru dan tercanggih, lalu menjadi narasumber lagi pada tiga seminar, bertemu dengan peneliti dari tiga universitas dari tiga negara berbeda—Jepang, Korea, dan Taiwan, serta melakukan wawancara dengan berbagai media besar di Asia. Bahkan pada malam pergantian tahun, Halmar harus makan malam dengan calon pembeli bioprinter dan produk InkLive lain, dan ditutup dengan memberikan kuliah umum tadi siang.
"Mau?" Alesha membuka sebungkus biskuit keju dan menawari Halmar.
"Thanks, but no." Halmar menyalakan tablet di tangannya.
"Selama hamil aku jadi senang makan beginian." Seperti biasa, Alesha tidak menyukai senyap. Sepi sedikit, dia akan bicara. "Elmar beli satu toko buat persediaan."
"Kenapa Elmar nggak ikut? Kalau istriku sedang hamil, aku akan mengantarnya ke mana-mana. Mengawasi semua kegiatannya." Agak berlebihan memang. Tetapi mau bagaimana lagi? Halmar akan selalu melindungi wanita yang dia cintai. Apalagi kalau wanita tersebut membawa buah cinta mereka di dalam rahimnya. Kalau tidak memungkinkan bagi Halmar untuk melakukannya sendiri, Halmar akan membelikan tiket tambahan untuk orang yang dia percaya. Dengan begitu istrinya tidak sendirian ke mana-mana dan ada yang membantunya selama jauh dari rumah.
"Aku berdebat dua jam sama Elmar soal itu. Kalau nurutin dia, aku nggak akan pernah keluar kamar. Di atas tempat tidur terus. Ini saatnya kalian, para laki-laki, tahu sebelum istri kalian hamil dan melahirkan, sudah ada miliaran wanita yang lebih dulu menjalaninya.
"Mereka tetap bekerja, bepergian, dan mengerjakan apa yang seharusnya mereka lakukan. Kecuali kondisi kesehatan mengharuskan mereka istirahat total. Nanti kalau kamu punya istri, sikapi kehamilannya dengan wajar saja. Tetap berhati-hati tapi jangan khawatir berlebihan. Atau istrimu nggak akan mau lagi melihat wajahmu."
"Yeah, well, coba lihat HP-mu. Aku yakin Elmar meneleponmu dua puluh kali sehari." Dulu almarhum istri Elmar menjalani kehamilan yang tidak mudah, lalu diduga mengalami postpartum depression sebelum meninggal, kali ini pasti Elmar lebih ketat mengawasi Alesha.
Alesha tertawa hingga bahunya terguncang. "Kakakmu lebih parah daripada itu. Dia menelepon setengah jam sekali. Tapi kubiarin aja, karena itu membuatnya bahagia." Detik berikutnya ekspresi wajah Alesha berubah serius. "Halmar, apa kamu tahu nenek Renae kena serangan jantung?"
Tentu saja Halmar tidak tahu, karena tidak berkomunikasi dengan Renae sama sekali. Setelah mendapatkan ciuman yang menggetarkan seluruh dunianya, Halmar memerlukan waktu untuk menenangkan diri. Atau Halmar akan tergoda untuk mengulang ciuman tersebut setiap kali melihat Renae dan membuat Renae tidak mau lagi bertemu dengannya. Tidak pernah sekali pun sepanjang usianya Halmar bersikap agresif seperti itu. Mencium seorang wanita tanpa lebih dulu mencari tahu apakah wanita tersebut menginginkan hal itu terjadi. Beruntung Renae membalas ciumannya. Kalau tidak, Renae bisa menghitungnya sebagai pelecehan.
Halmar tidak menyesal dan tidak akan meminta maaf atas kejadian tersebut. Tetapi Halmar berharap Renae paham bahwa Halmar mencium Renae sebab Halmar tidak lagi bisa menemukan cara lain untuk mengungkap perasaan dan keinginan Halmar untuk mengarungi hidup bersama Renae. Sebagai kekasih. Suatu hari nanti sebagai istri, jika mereka berjodoh.
Setelah mendarat, Halmar akan menemui Renae dan menjelaskan kenapa Halmar tidak menemuinya beberapa hari ini. Kalau ini bukan waktu yang tepat untuk bicara, Halmar akan di sana, diam dan menemani Renae menjalani masa sulit selama neneknya sakit. Seperti yang pernah dilakukan Renae untuknya dulu. Sepanjang ibu Halmar sakit, meninggal, dan setelahnya, Renae selalu ada untuk Halmar.
"Renae berpisah sama suaminya karena masalah apa?"
"Aku sudah bilang padamu waktu itu, kamu boleh tanya padaku apa saja yang kamu mau tahu tentang Renae. Makanan kesukaannya, film favoritnya. Kecuali masalah di antara dirinya dan Jeff. Kemarin itu aku sudah kelepasan bilang sesuatu padamu, dan jangan harap itu akan terulang lagi." Kalimat terakhir Alesha keluar sebagai gerutuan.
Halmar mengembuskan napas dengan tidak sabar. "Aku hanya ingin tahu seberat apa masalah sebenarnya, yang membuatnya nggak juga mau membuka hati."
***
Halmar mengetuk pintu rumah Renae tiga kali. Di tangan Halmar terdapat satu tote bag besar, penuh berisi barang-barang yang dia beli sebelum menuju ke sini. Menurut Rima dan Sari—yang bersedia menjadi informan setelah Halmar menyogok mereka dengan makan siang gratis selama seminggu—nenek Renae sudah membaik, meski belum pulang ke rumah. Alasan Renae tidak datang ke La Papeterie hari ini adalah karena sakit. Ketika Halmar bertanya kepada mereka Renae sakit apa—supaya Halmar bisa membawa buah tangan yang tepat dan bisa dinikmati oleh Renae—mereka enggan menjawab. Baru setelah Halmar menambah lagi masa makan siang gratis, Sari dan Rima memberi tahu bahwa ada satu hari dalam setiap bulan di mana Renae tidak masuk kerja. Seperti hari ini.
"Halmar....?" Pintu di depan Halmar terbuka
Renae mengenakan celana piama yang sudah tidak jelas warnanya—antara putih dan merah muda—dan kaus putih longgar bertuliskan nama sebuah institut teknologi negeri. Wajah Renae—yang pucat—jelas mengindikasikan Renae sedang tidak sehat. Sinar mata Renae redup, seolah semangat hidup telah menguap dari diri Renae.
"Ada apa? Apa kita janjian hari ini?" tanya Renae dengan suara lemah.
"Aku ingin ketemu kamu. Kangen." Demi Tuhan, mereka sudah pernah berciuman, masa untuk bertemu saja mereka harus janjian jauh-jauh hari?
"Kangen? Kamu nggak berhak kangen aku! Kamu menghilang tanpa kabar setelah menciumku, jadi kamu nggak berhak merindukanku!" Dengan jari telunjuk Renae menusuk dada Halmar berkali-kali. "Kamu punya waktu seminggu untuk menghubungiku, kenapa kamu baru muncul hari ini? Nggak perlu dijawab, karena aku sudah nggak peduli lagi!"
Sesuai permintaan Renae, Halmar tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap Renae penuh simpati. Namun diamnya Halmar justru membuat kepala Renae berasap. Apa Halmar menyamakan Renae dengan Kaisla yang sedang rewel? Yang nanti juga capai dan diam sendiri kalau rajukannya dibiarkan.
Tatapan Renae tertumbuk pada dada Halmar. Dua tabung labu erlenmeyer saling bercakap di permukaan kaus Halmar. Labu sebelah kiri berisi cairan biru dan di sampingnya, labu berisi cairan merah yang sedang menggelegak. Di atas labu berisi cairan biru terdapat tulisan Seriously, I think you are overreacting.
Tulisan yang membuat darah Renae mendidih. "What the eff!? Kamu menyindirku?"
"Huh?" Halmar tidak mengerti.
"Kausmu! Maksudmu aku overreacting?"
"Kaus? Aku random saja ambil dari lemari. How often do you go through this, Re?" Halmar merapikan rambut Renae. Menyelipkan anak-anak rambut—yang mulai memanjang—ke balik telinga. Mungkin tadi rambut Renae diikat ekor kuda, tapi sudah banyak bagian yang lepas dari ikatan.
"This?" Renae mengerutkan kening.
"Painful periods."
"Rima atau Sari yang ember?" tukas Renae dengan kesal. "Awas mereka nanti!"
"Jangan menyalahkan mereka. Aku yang memaksa mereka bicara." Dua orang itu benar-benar pandai bernegosiasi. Nanti kalau sudah lulus kuliah mungkin bisa bekerja di InkLive. Bagian pemasaran.
"Mereka nggak tahu apa-apa. Aku baik-baik saja, Halmar. Pergilah. Aku mau tidur lagi. Aku nggak mau bicara sama kamu." Secara fisik dan emosional, Renae sedang lemah sekali. Sejak pagi dia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Kesabarannya menipis. Amarahnya mudah tersulut. Suasana hatinya selalu berubah dari satu menit ke menit berikutnya. Jangankan orang lain, Renae saja tidak paham dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Ditambah mual, nyeri, dan pusing, membuat Renae semakin tidak ingin melakukan apa-apa selain tidur selama seribu tahun.
Tatapan Halmar semakin melembut. "Kamu nggak baik-baik saja. Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu. Untuk mengurangi sakit yang kamu rasakan."
"Leave. Biarkan aku tidur. Itu akan membantuku. Sangat membantu." Tenaga Renae sudah habis digunakan untuk berjalan dari ruang tengah menuju ke sini. Tidak ada sisa lagi untuk berdebat dengan Halmar.
Laki-laki lain pasti akan menghindari pacarnya yang sedang datang bulan, takut kena semprot atau disuruh beli ini dan itu. Tetapi Halmar berbeda. Sepertinya memang ada yang salah dengan kepala Halmar. Renae menggelengkan kepala. Karena Halmar malah menantang ingin melakukan apa saja untuk Renae. Halmar belum tahu betapa mengerikannya Renae pada hari seperti ini.
"Itu bukan pilihan yang kutawarkan." Halmar menerobos masuk ke rumah dan berjalan menuju kursi. "Apa kamu sudah minum obat? Pain reliever mungkin?"
Mau tidak mau Renae menyusul Halmar. Dulu Jeff—statusnya adalah suami Renae, tidak kurang-kurang—menyingkir jauh-jauh setiap kali Renae kesakitan pada hari pertama datang bulan. Tidak bertanya Renae memerlukan apa dan tidak berusaha mencari tahu apa yang bisa membuat Renae nyaman. Tidak pernah sama sekali.
Renae memeluk pinggangnya sendiri. Mencegah air mata meluncur di pipi setiap kali dia mengingat masa lalunya. Kenapa baru sekarang Renae menyadari bahwa Jeff tidak terlalu perhatian kepadanya? Jawabannya sudah jelas. Karena saat itu Renae tidak punya pembanding. Namun semenjak mengenal Halmar, Renae menilai kehidupan pernikahannya bersama Jeff tidak sebaik yang selalu diyakini Renae.
Sebuah pernikahan akan berjalan lebih baik, sangat baik, jika di dalamnya terdapat Halmar sebagai suami. Lihat satu buktinya sekarang. Di saat Renae sedang ingin dimanjakan pada salah satu hari tersakit dalam hidupnya, Halmar datang membawa perhatian dan kenyamanan. Siapa yang tidak tergoda untuk menerima tawaran itu?
Wanita tidak waras seperti dirinya, tentu saja. Karena jika Renae membiarkan dirinya menikmati perhatian Halmar, belum sampai ganti hari pasti Renae sudah setengah jalan menuju jatuh cinta. Kalau sudah telanjur cinta, akan susah melepaskan Halmar ketika Renae berani memberitahu Halmar mengenai kekurangan utama Renae. Bahwa Renae tidak bersedia hamil dan mengalami patah hati lagi karena kehilangan anak.
***
Huaaa, mau dikasih perhatian juga sama Halmar kayak gitu *malam minggu halu* Terima kasih ya kamu sudah mengikuti cerita Renae sampai di sini. Aku nggak nyangka aku bisa menyelesaikan cerita ini, walaupun sempat terhenti karena suatu alasan. Semua berawal dari The Game of Love pada tahun 2019, di sana aku berpikir tokoh-tokoh pendamping yang muncul kayaknya menarik kalau dibikinkan cerita sendiri. Jadilah ada A Wedding Come True. Setelah itu, aku mikir lagi buat ambil tokoh dari dunia yang sama buat dibikinkan cerita. Hasilnya adalah The Perfect Match dan ... The Promise of Forever ini. Aku bahagia karena tidak berhenti menulis walaupun banyak yang membuatku hilang semangat. Karena dengan menulis cerita, aku belajar banyak, aku menjadi seseorang yang lebih baik, dan aku berharap kamu pun mendapat manfaat juga. Kamu bisa baca buku-buku yang kusebutkan itu di Gramedia Ditigal(Fiction Package Rp 45.000 aja, bisa baca novel sebanyak yang kamu mau.)
Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara. WA 0895603879876)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top