28. Di Sekolah


"Here," Carl menyerahkan gelas kertas itu padaku. "Coffee."

"Terima kasih, Carl."

Carl membimbingku untuk masuk ke sedan milik kedutaan Inggris di halaman depan rumahku. Limusinku ada di parkiran. Sebetulnya sopir kami (Andre) bersedia mengantarku ke sekolah, tetapi hari ini Carl memutuskan untuk menjemputku.

Mobil melaju pergi menuju ke sekolah.

"Kamu tahu kan kalau kamu sebetulnya nggak perlu ke sekolah hari ini, Jen?"

Pak Prasetyo sama sekali tidak keberatan soal itu, begitu juga Bu Olena. Mereka malah menyarankanku untuk bolos dan beristirahat. Hari ini Bu Olena dan Ryuichi Sahara digantikan oleh Pak Yu-Tsin dan Bu Nanda untuk menjaga Lucien di rumahku. Pak Prasetyo belum selesai dengan tugasnya. Beliau berhenti sebentar tadi pagi, dan aku menawarkan salah satu kamar tamu untuk beristirahat. Aku juga menawarkan mobilku jika Kepala Sekolah ingin pulang.

"Betul, Carl. It's just..." Kupeluk tas sekolahku dan bersandar di jok kursi yang lembut. "It's been a while. Aku merasa udah lama banget nggak ke sekolah. Aku perlu jeda dari... semua ini."

Carl mengambil tanganku dan menepuk-nepuknya. "Aku tahu."

Sisa perjalanan menuju ke sekolah itu berlangsung dalam keheningan. Carl memberiku waktu untuk menikmati kopiku dan beristirahat, meski sebetulnya aku tidak begitu mengantuk. Tapi aku menghargainya. Carl jenis cowok yang memilih menunjukkan perhatiannya di "latar belakang"; aku sudah mempelajarinya saat semester lalu.

Di gerbang sekolah tampak antrean mobil anak-anak yang bergerak masuk. Melihat barisan mobil itu, aku jadi kalut. Semoga Ryu-san ada di sekolah. Tara, Reo dan Meredith pasti akan menanyaiku soal Lucien, dan membayangkan akan menjelaskan soal itu pada mereka sudah bikin aku kelelahan.

Apel pagi berjalan lancar seperti biasa. Bu Olena menggantikan Kepala Sekolah memimpin apel. Guru Matematika itu hanya bilang Pak Prasetyo sedang tidak enak badan, dan anak-anak bisa maklum mengingat kondisi Kepala Sekolah yang memang sudah sakit-sakitan. Beberapa anak di barisan kelas sepuluh bertanya-tanya soal keabsenan Pak Yu-Tsin dan Bu Nanda. Bu Olena memberi alasan bahwa kedua guru itu sedang dapat tugas dinas ke luar sekolah. Tak ada yang membahas pesta ulang tahunku kemarin, karena ingatan mereka telah dimodifikasi. Hanya keempat sahabatku bersama para guru yang tahu apa yang terjadi kemarin.

Pelajaran pertama hari ini adalah Kimia. Kami berlima sengaja naik lift paling terakhir dan berlama-lama di koridor supaya aku punya waktu untuk menjelaskan apa yang terjadi di rumahku pada Tara, Meredith dan Reo. Mereka terus merongrongku sepanjang apel pagi dan nggak mau menunggu sampai di lab (padahal kalau minta tolong Ryu-san bakal lebih ringkas! Kata Reo, Nii-san nya tetap mengajar hari ini).

"Bu Olena serius, Jen?" tanya Meredith setelah aku selesai bercerita. Aku lega karena dia sudah nggak lemot lagi. "Toni mau... dibunuh?"

"Aku rasa memang nggak ada cara lain," kata Reo adil. Dia memainkan rambut di belakang kepala Meredith dan aku jadi bertambah lega melihatnya normal.

"Tapi itu kan pembunuhan!" Meredith mendebat pacarnya.

"Toni udah bikin banyak nyawa melayang, Meredith," kata Carl.

"Lo benar, Carl. Ta-tapi..." Meredith tergagap-gagap resah. "Kalau kita membunuh Toni, bukannya kita sama jahatnya dengan dia?"

Aku juga tidak setuju. Seharusnya ada cara lain untuk mengatasi Toni. Tapi apa?

"Tadi kamu bilang Bu Olena berencana minta tolong Dewan Pengendali untuk menyekap Toni di ruang antardimensi kan, Jen?" tanya Carl.

"Oh, please!" Meredith mengerang. "Dewan Pengendali itu nggak bisa dipercaya! Semuanya jadi kacau gara-gara mereka!"

"Gue yakin saat ini Toni udah sadar bahwa realitas alternatif ciptaannya udah hancur," seloroh Tara tiba-tiba. Dia memijat-mijat keningnya, seperti orang banyak pikiran. "Dia bisa muncul kapan aja."

"Kapan Lucien sadar, Jen?" tanya Reo yang ikutan cemas.

"Aku nggak tahu, Reo. Pak Prasetyo masih bekerja."

"Kalau Lucien berhasil memihak kita," sahut Meredith. "Setidaknya dia bisa membujuk Toni supaya nggak menyerang lagi."

Aku bergumam setuju. Aku nggak bisa mengharapkan kekuatanku saat ini. Lucien yang harus melembutkan hati Toni.

Kami akhirnya sampai di kelas. Ryu-san menyambut kami di lab dengan ceria. Dia tampak kecapekan dan kurang tidur. Ada dua kantong mata besar yang bergelayut di wajahnya. Pengendalian pikirannya banyak membantu kami—tanpa Ryu-san, kami harus selalu saling meng-update, dan bisa saja terjadi miscom.  Aku betul-betul kagum karena Ryu-san masih bertahan sampai sekarang dan belum jatuh pingsan karena kelelahan. Pasti dia pengendali level lima seperti Anne-Marie.

Kelasnya berlangsung lancar meski aku kesulitan fokus. Ryu-san tidak menyinggung soal Lucien, tapi dia juga tidak memarahiku karena pekerjaanku kacau.

Selanjutnya kami kembali ke kelas untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Sri meminta kami membuat karangan deskriptif, yang menurut pemahamanku mirip seperti cerita. Aku hanya mengetik satu halaman kisah fantasi tentang perjalanan waktu yang terinspirasi dari dimensi alternatif (di depan sana kulihat Meredith mengetik sembilan halaman), dan mengumpulkannya tepat ketika bel jam istirahat berbunyi.

Dua pelajaran setelah istirahat adalah Biologi dan kelas Pengendalian. Namun karena kedua gurunya nggak ada, kami hanya dibiarkan mengerjakan tugas dan berlatih sendiri. Si kembar menganggap ini sebagai kesempatan emas untuk bikin kekacauan di rumah kaca: mereka menukar label semua tanaman—tindakan sangat tidak bijaksana yang dipastikan bakal bikin mereka dilabrak habis-habisan oleh Bu Nanda saat beliau kembali ke sekolah.

Kemudian kami naik ke lantai tujuh untuk kelas Pengendalian. Aku mendapat kesan anak-anak menganggap kelas ini nggak lagi penting karena kami sudah lulus Ujian (dengan hasil yang bagus-bagus pula). Beberapa anak mencoba berlatih, sisanya duduk bergerombol dan mulai bergosip. Samar-samar aku mendengar mereka membicarakan Toni. Selain keempat sahabatku, anak-anak yang lain nggak tahu aku sudah kehilangan kekuatanku. Aku hanya duduk di sudut ruangan dan berpura-pura menonton Carl menggonta-ganti wujud buah-buahan yang ditumbuhkan Meredith menjadi benda-benda lain, padahal pikiranku melayang-layang ke hal lain.

Akhirnya semua kelas hari itu pun berakhir. Kami melanjutkan dengan kegiatan klub.

Satu-satunya klub yang kuikuti adalah renang, dan aku sedang tidak bersemangat untuk menceburkan diri di air. Aku beralasan sedang tidak enak badan pada si kembar, dan naik ke loteng untuk menenangkan diri. Carl berjanji akan mengantarkanku pulang, jadi aku hanya akan menunggunya sampai selesai di sini.

Hari sudah sore. Langit sudah berubah warna menjadi keemasan. Sinar matahari yang seperti jus jeruk itu menyinari kubah obsevatorium, membuatnya kelihatan seperti kapal perang alien. Aku jadi teringat pada peristiwa penyelamatan Carl ketika dia disekap The Queens di obsevatorium. Waktu itu Meredith dan Iswara Hamid membantuku. Meredith memakai sulur tanamannya untuk membawa kami masuk, dan bola-bola cahaya Iswara yang seperti kunang-kunang raksasa menyinari bagian dalam obsevatorium yang gelap.

Angin berembus. Terasa dingin dan menggigit, padahal sekarang di tengah-tengah musim panas. Kurapatkan blazer-ku. Winona Salim pasti nggak pernah merasa kedinginan. Dia bisa mengendalikan temperatur.

Mengingat kejadian-kejadian itu membuatku nelangsa. Apa aku akan selamanya jadi non-pengendali?

Pikiran itu menyelinap begitu saja ke kepalaku. Bukannya aku terlalu berbangga diri menjadi Pengendali Utama. Sebelumnya aku bukan pengendali, dan kekuatan itu sebetulnya tidak berpengaruh apa-apa padaku, selain menambah tanggung jawabku saja.

Tapi tetap saja...

Teman-temanku adalah pengendali, dan mereka akan terus seperti itu. Tara malah sudah bisa membuka portal sekarang. Mereka nggak akan menjauhiku karena ini, kan? Semoga saja tidak. Begitu juga Carl. Aku senang sekali ketika dia mendapatkan kekuatannya. Sekarang, aku merasa malu karena hanya menjadi pacar yang "tidak bisa apa-apa". Maksudku... aku nggak mau membebani Carl dan para sahabatku dengan menjadi si anak bawang yang harus selalu ditolong. Apalagi kami harus bersiap-siap menghadapi Toni. Seharusnya mereka mengandalkanku.

Tiba-tiba ponsel di saku blazerku berdering. Ada panggilan telepon, dari nomor yang tidak kuketahui. Tapi sepertinya ini telepon kantor.

"Halo?"

"Jen?" Suara Bu Olena terdengar dari seberang. "Kamu di mana?"

"Saya di lantai dua puluh dua, Bu. Lagi ehm... ikut klub."

"Saya baru dapat telepon dari Bu Nanda," kata Bu Olena. "Kepala Sekolah sudah nyaris selesai, tetapi tiba-tiba Lucien melawan. Dia menyerang Bu Nanda dan Pak Yu-Tsin, lalu melarikan diri!"


...


"Keadaan darurat. Semua kegiatan klub harus dihentikan sekarang juga! Setiap anak diminta untuk segera pulang ke rumah! Ini bukan latihan kebakaran!"

Peringatan sang operator dan suara sirene meraung di seluruh kompleks sekolah. Anak-anak berhamburan di koridor sambil berteriak-teriak panik. Kejadian seperti ini biasanya cuma terjadi saat latihan kebakaran. Aku sampai kesulitan mencapai kolam renang.

Sosok jangkung Reo sedang berdiri di depan pintu klub sambil celingak-celinguk kebingungan. Di dekatnya ada Carl, rambutnya yang pirang terlihat mencolok. Meredith dan Tara menghambur dari dua ujung yang berlawanan, dan bertabrakan di tengah-tengah koridor dengan Azka, Wynona dan Emma yang baru keluar dari ruang klub mereka masing-masing.

"Ada apa ini?" Carl bertanya padaku. "Kok tiba-tiba ada sirene ini?"

"Lucien kabur!" Aku setengah berteriak untuk mengatasi hiruk-pikuk di koridor. "Bu Olena baru telepon aku. Lucien melarikan diri!"

"Tapi memangnya dia bakal ke sini?" Reo balas berteriak. "Kemungkinan besar Lucien bakal mencari Toni, kan?"

"Dan Toni akan mencari Jen," sahut Meredith. "Bu Olena benar. Kita harus pergi!"

Koridor itu jadi macet karena banyaknya anak-anak yang tumpah ruah di sana. Sebagian besar cukup bijak untuk tidak memakai lift dan memilih tangga darurat, tapi akibatnya tangga itu jadi luar biasa padat karena anak-anak di lantai yang lain juga mengambil jalan itu. Apalagi kami ada di lantai dua puluh dua!

"Gue... capek..." Tara terengah-engah ketika kami baru sampai di lantai sebelas. "Gue buka portal aja, ya."

"Lo memangnya bisa bawa orang-orang sebanyak ini?" tegur Meredith. "Lo kan baru sekali belajar buka portal, Ra! Kalau lo belum mahir, bisa-bisa yang lewat portal kena splitting—tubuh mereka bakal terpotong-potong dan—"

"Gue tahu!" potong Tara galak. "Gue yakin gue bisa, Dith. Kembaran gue yang satu lagi—maksud gue Tara kedua—bukan, itu diri gue di dimensi lain... nah, dia mampu, kan? Padahal dia cuma ilusi. Sementara gue Tara yang asli—"

"Oke, oke! Gue percaya!" Meredith menyela terburu-buru. "Buka portalnya sekarang!"

Tara mengangguk. Dia berdiri tegak dan memusatkan tatapannya pada pintu darurat di lantai sebelas. Kemudian dia mengusap pintu itu.

WUUUZ!

Portal dimensi yang seperti pusaran galaksi muncul.

"Oke," kata Tara sambil tersenyum bangga. "Siapa yang mau duluan?"

Kami berempat saling pandang. Reo menggeleng dengan pelan sekali.

"Really guys? Lo semua nggak ada yang percaya sama gue?"

Tiba-tiba Ryuichi Sahara menyeruak dari belakang kami dan melompat ke dalam portal itu. Kami syok luar biasa sampai tidak sanggup bereaksi. Lab Kimia memang berada di lantai sebelas. Ke mana portal ini membawa Ryu-san?

Tangan Ryu-san yang mengangkat jempol mencuat dari portal itu. Kami berempat otomatis menjerit ketakutan.

Ryu-san kena splitting!

Mata Reo langsung berkaca-kaca, dia nyaris menangis tetapi langsung terhenti karena mendengar suara kakaknya dari dalam portal. "Tara, portalnya bekerja dengan baik!"

FIUUUUUH!

"Semuanya!" Carl berteriak dan menunjuk portal itu. "Lewat sini!"

Sekelompok anak kelas sepuluh yang sudah sangat ketakutan menyerbu masuk duluan. Tidak ada teriakan kesakitan karena splitting, jadi bisa dipastikan portal itu memang aman. Reo dan Meredith selanjutnya menyusul.

"Jen, kamu pergi duluan," kata Carl sambil mendorongku. "Kita ketemu di bawah!"

"Kamu sama Tara gimana?"

"Aku bakal mengurus anak-anak yang lain. Aku ketua OSIS, ingat?"

Kucium pipi Carl dan kupeluk Tara sebelum melangkah ke dalam portal. Rasanya seperti menaiki perosotan yang amat licin. Aku tidak pernah menyukai sensasi melintasi portal. Perutku masih bergejolak ketika akhirnya kakiku berpijak di lantai beton lagi.

Portal itu ternyata tembus ke plaza depan sekolah. Ryu-san, Reo dan Meredith sudah menungguku. Anak-anak yang sudah turun dengan tangga darurat maupun yang baru tiba dengan portal berbondong-bondong menuju ke lapangan parkir di samping gedung. Tampak antrean mobil di gerbang utama.

"Gerbangnya kok masih dikunci?" tanya Meredith.

"Jen!" Bu Olena tergopoh-gopoh keluar dari lobi bersama para guru lainnya. Dia sudah mencopot sepatu kerjanya dan berlari sambil bertelanjang kaki. "Ada apa ini? Kenapa semua tiba-tiba pada pulang?"

"Lho? Bukannya ibu tadi menelepon saya?"

"Menelepon kamu?" Bu Olena memucat. "Saya nggak menelepon kamu."

"Bukannya Ibu yang menyalakan sirene darurat?" tanya Reo.

"Sirene apa? Kenapa kalian pada berteriak?"

Mustahil Bu Olena nggak mendengar suaranya sendiri dan sirene yang sedang digemakan di seluruh gedung ini. Kami saja nyaris tuli mendengarnya.

Tiba-tiba Ryu-san menyentuh bahuku dan Bu Olena. Dia menyambungkan pikiran kami. Wajah Bu Olena yang awalnya mengerut bingung berubah paham.

"Jadi Ibu sama sekali nggak menelepon saya?" Aku bisa membaca pikiran Bu Olena. "Dan Ibu juga nggak menyalakan sirenenya? Ibu sama para guru yang lain nggak bisa mendengar sirene ini, ya?"

Bu Olena dan para guru menggeleng panik. Tara dan Carl baru saja keluar dari portal. Bu Olena langsung menarik Tara.

"Tara, kamu bisa membuat portal ke rumah Jen?"

"Bisa, Bu. Tapi... buat apa?"

Bu Olena mengertakan gigi dengan geram. "Kita sudah ditipu!"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top