17. Api Dari Langit


Aku bertumpu ke tanah dan mencoba menstabilkan diri. Kaki-kaki yang mondar-mandir di sekitarku menghalangi pandanganku. Bangau kertas itu tergeletak beberapa senti dari ujung jariku dan aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menggapainya.

Tiba-tiba benda itu berpijar.

DHUAAAAAR!

Ada ledakan cahaya yang disertai dorongan dahsyat. Tubuhku terangkat beberapa senti dari tanah dan terempas, rasanya sakit bukan main. Sekilas kuperhatikan orang-orang di sekelilingku juga merasakan serangan itu; mereka terpental ke semua penjuru seperti pin-pin yang ditabrak bola boling. Mataku separuh buta, telingaku berdenging, dadaku sesak seolah ditimpa setumpuk batu bata, seluruh tulang dan persendianku ngilu. Wajahku terluka tapi aku tidak tahu di mana, darah yang kental dan hangat mengucur dan membasahi bibirku, terasa asin dan hangat.

"Ryu-san!" Aku berteriak sekeras-kerasnya, tapi tak dapat mendengar suaraku sendiri. Asap mengepul seperti kabut di daerah pemakaman, begitu mencekam, begitu mencekik leher. "RYU-SAN!"

Tubuh-tubuh bergelimpangan, beberapa yang masih sadar hanya bisa melolong panik, bingung akan apa yang baru saja terjadi. Ryu-san tergeletak tak sadarkan diri beberapa meter dariku tempatku mendarat, tubuhnya terlentang dan kepalanya berdarah. Aku merangkak untuk mendekatinya, tetapi ada sesuatu yang lain yang menarik perhatianku. Samar-samar dari balik asap pekat, aku melihat si anak kecil. Hanya dia satu-satunya yang berdiri tegak, wajahnya yang menggemaskan tampak polos dan tidak berdosa.

Tatapan kami bertemu. Anak itu menyeringai dan melambaikan tangannya.

Kumantapkan pijakanku, lalu kudorong diriku untuk bangkit. Tanah seperti berubah menjadi air laut, bergoyang-goyang tidak stabil. Sebuah lubang berdiameter tiga meter menganga di titik bangau kertas itu meledak, seperti mulut raksasa lapar.

Anak kecil itu tertawa, dia berbalik dan mulai melompat-lompat pergi.

"Tu-tunggu!" Kukejar dia, suaraku serak dan pecah. "Toni! Kamu mau ke mana?"

Kakiku tersandung tubuh-tubuh yang pingsan, dan aku nyaris terjerembab lagi. Anak itu bergerak gesit seperti bayangan sambil bersenandung riang, sama sekali tidak terhalang oleh tubuh-tubuh di tanah. Kemarahanku bangkit. Tega betul dia! Begitu banyak orang yang terluka dan dia sama sekali tidak merasa bersalah! Meskipun urat-urat di wajahku berdenyut-denyut dan tengkorakku nyeri tak terperi seperti dipukul palu, aku tetap bergerak maju. Kali ini, aku tidak akan melepaskannya!

"TONI!"

Aku membelalakkan mata lebar-lebar, berusaha untuk tidak kehilangan sang pengendali realitas. Sosoknya tampak berubah perlahan-lahan; seakan ada kekuatan magis yang menariknya, tubuhnya mengulur dan pakaiannya juga berubah, semakin lama semakin besar, hingga dia bertambah tinggi. Dalam beberapa detik saja, anak kecil tadi telah menjelma menjadi gadis anggun dengan rambut panjang bergelombang; sosok Antoinette Darmawangsa yang kukenal.

Aku tidak tahu sudah berada di mana sekarang. Kami sudah cukup jauh dari area kerumuman. Langkah-langkah Toni melambat. Dia menaiki sederet tangga di plaza depan yang mengarah ke pintu utama Monas, masih dengan langkah-langkah ringan tanpa beban, lalu mendadak berhenti.

"Halo, Jen..."

Aku mengenali suaranya. Itu betul-betul dia—Antoinette Darmawangsa yang secantik boneka , dalam balutan gaun merah lebar bermotif bunga. Aku bisa merasakan chi bergelora di dalam diri gadis ini, seperti nyala api.

"Kenapa..." Tenggorokanku kering seperti baru menelan pasir. "Kenapa kamu melakukan semua ini, Toni?"

"Nice to meet you too," balas Toni dengan suaranya yang merdu. Dia sama sekali tidak kelihatan takut atau cemas. "You look... awful, Jen. Hidung kamu patah, apa kamu nggak merasakannya?"

"Cukup main-mainnya!" Hidungku sudah mati rasa. "Jawab aku!"

Toni melotot. Sesaat tampaknya dia akan meledak murka karena reaksiku, tetapi gadis itu cepat-cepat menguasai diri. "Well..." Dia menjentikkan jari-jarinya yang lentik. "Ini idenya Luc."

Lucien muncul dari belakangku, begitu tiba-tiba sampai aku berjengit. Dia menoleh padaku sekilas, sorot matanya kosong, lalu mendekati kakaknya. Toni menjulurkan tangannya dan Lucien menyambutnya. Dengan sapuan lembut, Toni merengkuh kepala Lucien. Cowok itu menyandarkan kepalanya di pundak Toni.

Ini sungguh-sungguh gila!

"Apa yang mereka lakuin ke kamu, Luc?" bisik Toni dengan suara bergetar, tangannya membelai-belai kepala Lucien seperti ibu yang menenangkan anaknya. "Kamu... berubah."

Lucien diam saja, tatapannya masih tidak terpaku padaku atau Toni. Kenapa dia diam saja? Melihat reaksi cowok itu, kemarahanku berlipat ganda. Lucien telah berkhianat! Dia menjebak kami semua!

Toni melepaskan pelukannya dan memegangi wajah Lucien, seperti ingin mengeceknya. Dia merapikan rambut cowok itu dan membelai telinganya. Lucien memejamkan matanya dan menyandarkan dahinya ke dahi Toni.

"Chi kamu..." bisik Toni lirih, matanya juga terpejam. "Hilang. Siapa yang melakukan ini?"

Lucien mengerling ke gelang antipengendalian yang dipasangkan satgas Dewan di pergelangan tangannya. Toni melempar tatapan benci pada gelang itu.

"Lucien!" Sekonyong-konyong aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu apakah cowok itu sedang dihipnotis, tetapi aku harus berusaha. Kalau sampai gelang itu terlepas, Lucien akan mendapatkan kekuatannya kembali. Aku akan sangat kewalahan menghadapi mereka berdua sekaligus. "Kamu udah bebas. Kamu nggak perlu lagi jadi budak—"

"Dasar tolol!" bentak Toni dengan berang. Dia melepaskan Lucien dan mendorongnya ke belakang, seperti ingin melindunginya. "Masa kamu belum sadar juga, Jen? Ternyata kamu memang lemot. Lucien ingin melakukan semua ini!"

"Nggak, itu bohong!" Aku teringat obrolanku dengan Lucien di markas Dewan Pengendali, bagaimana cowok itu menangis dan memohon padaku untuk menyelamatkan Toni. "Lucien tahu kalau selama ini dia diperalat kamu, Toni!"

"Diperalat?" Toni mengernyit dan mengelus dada, tampangnya pura-pura tersakiti. "Aku menyelamatkan Lucien, Jen. Bukan aku penjahatnya!"

"Semua orang yang terluka di sana..." Jariku gemetar saat menunjuk ke arah area ledakan. "Belum lagi para korban 'bencana alam' yang kamu timbulkan itu... kapan kamu sadar, Toni? Kenapa kamu harus melakukan semua ini?"

Toni mengangkat jarinya. Seketika suaraku hilang.

Sial! Dia mengendalikanku! Gerakannya begitu mulus sampai-sampai aku tidak menyadarinya!

"Jadi kaya raya bukan berarti otomatis jadi pintar," Toni mendesah, pura-pura berlagak prihatin. "Luc, coba jelaskan ke Jen, karena sepertinya dia belum mengerti..."

Dari belakang pundak Toni, Lucien mengangkat kepalanya dan menatapku. "Aku yang memanggil Toni."

Toni menjentik. Suaraku terlepas lagi. "Gimana caranya, Luc?"

"Kamu pikir aku akan membiarkan Lucien semudah itu ditangkap, hah?" Toni menggertak. Dia menarik tangan Lucien dan mengelusnya. Gelang anti pengendalian yang dipakai Lucien langsung lenyap. "Kunjungan di pesta ulang tahun itu... semuanya adalah rencana aku, Jen."

Bulu kudukku meremang. Apa katanya? Semua ini sudah terencana?

"Kalian berpikir bisa memakai Lucien sebagai umpan untuk menjebakku," Toni terkekeh-kekeh, kelihatannya geli sekali. "Orang-orang tolol. Lucien bukan umpan untuk menjebak aku. Dia harus ditangkap sama Dewan Pengendali, supaya kalian berpikir kalian sudah 'menang.' Tapi aku sengaja melakukan itu, Jen. Lucien adalah umpan... untuk menjebak kamu."

Sekujur tubuhku langsung mati rasa mendengar itu.

Toni mengamat-amatiku. Dia mengernyit, sebelum tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, rupanya kamu nggak sadar sama sekali ya, Jen?"

Betulkah begitu?

Aku kehilangan kata-kata. Aku percaya setiap kata yang diucapkan Lucien. Aku mempercayainya. Aku yakin selama ini cowok itu bertindak semena-mena karena pengaruh Toni. Lucien kelihatan begitu jujur saat bercerita... aku yakin dia tidak berbohong.

Toni menggenggam kedua tangan Lucien. Aliran chi yang kuat mengalir dari tubuhnya ke cowok itu, memenuhinya. Mata Lucien berkilat-kilat. Dia mengangguk pada Toni lalu membungkuk dalam-dalam, seperti berterima kasih.

Kekuatan pengendalian pasirnya sudah kembali.

"Lucien, tolong..." Aku tidak tahu harus melakukan apa selain memohon. Toni jelas mustahil dibujuk, tetapi aku tahu Lucien masih bisa. "Jangan pakai kekuatan kamu untuk menghancurkan. Sudah terlalu banyak korban. Ledakan yang tadi itu—"

"Jadi kalau kamu pikir karena akulah para non-pengendali itu jadi korban, begitu?" potong Toni galak sambil menunjuk ke area ledakan di kejauhan. "Kamu keliru. Itu salah kamu! Kamulah yang begitu naif sehingga gampang ditipu, Jen!"

"Berhenti memutar balik keadaan, Toni!" Teriakan itu membuat darah mengucur lagi dari hidungku yang patah. Kesakitan itu menggelenyar di setiap selku, seperti racun mematikan. "Aku membantu Dewan Pengendali hari ini, untuk menangkap kamu, Toni!"

"Wah, wah..." Toni menggeleng-geleng. "Tapi faktanya bukan begitu kan, Jen? Apa kamu selalu senaif ini? Apa ya istilahnya? Stars are blind?" Toni tertawa geli sekali sampai terbungkuk-bungkuk. Lalu dia maju selangkah, tangannya terangkat. "Kamu yang terpojok sekarang. Kamu yang akan mati. Itu pun karena kesalahan kamu sendiri."

Mati? Jantungku berdentam-dentam. Bukan begini rencananya!

"Segala kekayaan yang kamu punya..." Toni maju selangkah lagi, jari-jarinya melengkung seperti cakar yang sudah tak sabar untuk mencekikku. "Kenapa bisa, Jen? Kenapa kamu bisa memiliki segalanya? Itu sungguh nggak adil. Apa kamu tahu ada jutaan anak-anak lain yang buat makan aja nggak bisa? Kami begitu tidak berdaya. Tidak ada seorang pun yang peduli. Dan ketika kami minta tolong, kami malah diperlakukan seperti binatang..."

"Toni, dengar. Aku tahu kamu kecewa. Aku mengintip masa lalu kamu—"

"Jennifer Darmawan, si kaya yang yang sombong, naif dan tidak tahu sopan!" Toni menekuk jari-jarinya dengan dramatis, dan sekonyong-konyong ada besi kasat mata yang menjepit leherku. "Jennifer yang punya pelayan pribadi, punya pesawat pribadi, punya saldo rekening infinity, diantar ke mana-mana dengan limusin, dan merasa seenaknya bisa mengintip masa lalu seseorang dan menghakiminya..." Ada bunyi berkeretak mengerikan dari leherku, dan aku tahu itu tulangku. "Apa kamu tahu rasanya tidak punya apa-apa, Jen?"

Leherku sakit sekali, seperti mau patah dibelah dua. Tanganku refleks bergerak ke arah leher, berusaha melepaskan apa pun itu yang sedang mencekiknya, tetapi tidak menemukan apa-apa. Konsentrasiku buyar, aku tidak bisa fokus untuk mengambil alih chi Toni karena aliran udaraku terhambat. Aku membuka mulut dan megap-megap, berusaha menarik udara. Aku... tidak bisa... sakit sekali...

"Toni—"

"You know nothing, do you?" Jari-jari Toni melengkung semakin dalam, dan pandanganku mulai mengabur. "Biar kutunjukkan apa itu kesakitan yang sebenarnya?"

"Tunggu!"

Lucien baru saja bicara. Dia mendekati Toni dan menyentuh pundaknya. "Kenapa buru-buru sekali, Toni? Kita sudah mendapatkannya."

Toni terhenti. Dia menoleh pada Lucien seperti kebingungan. Tapi tiba-tiba semburat pemahaman muncul di wajahnya.

"Kamu benar." Toni menurunkan tangannya. Udara kaya oksigen kembali mengaliri tubuhku—oooh, rasanya seperti surga. "Aku sudah lama menunggu." Toni mengedik padaku dan berdecak. "Bagaimana kalau kita main-main dulu, Jen? Nggak seru kalau aku langsung menghabisi kamu kayak begini, kan?"

Toni tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. Dia menepukkan tangan, dan SREEET... selusin kaca-kaca tajam muncul dan mengiris lutut, paha dan pergelangan kakiku. Aku langsung ambruk ke tanah karena kesakitan.

"Kok langsung jatuh?" Toni memandangiku sambil pura-pura iba, padahal sorot matanya dipenuhi api kebencian. Pisau-pisau kaca itu melayang di sekeliling kepalanya, seperti lingkaran halo. "Apa cuma segitu aja kekuatan Jennifer Darmawan, sang Pengendali Utama yang termahsyur?"

Aku betul-betul tidak bisa fokus. Pisau-pisau itu menyerang lagi, melesat ke arahku seperti sekumpulan anak panah, lalu membabat pundak, lengan dan pipiku. Bahkan di kegelapan malam ini, aku bisa melihat darahku memercik keluar. Aku mengangkat tangan untuk melindungi diri, tetapi pisau-pisau itu menyambar tanpa henti; mengoyak dan mencabik apa saja bagian tubuhku yang bisa mereka temukan. Kecepatan pergerakan pisau itu sungguh luar biasa, aku bahkan tidak bisa melihat mereka.

"Bangun!" hardik Toni. "Jangan bergelung seperti pengecut begitu!"

Sekujur tubuhku gemetar karena kesakitan. Inikah yang dirasakan ayah tiri Toni di malam dia dihabisi? Apa aku juga akan berakhir seperti itu, dicincang sampai lumat dengan pisau-pisau kaca ini?

"Lawan aku!" Toni berteriak, suaranya kedengaran histeris. Dia menendang perutku sehingga aku muntah, dan menarik daguku dengan kasar. "Katanya kamu mau meringkus aku, Jen?" Darah dari hidung, pipi dan mulutku membaluri jari-jari Toni, tapi dia tidak peduli. Sepenggal pisau kaca melayang di dekat telinganya, ujungnya yang runcing mengarah tepat ke mataku, siap menghunusnya. "Atau kamu udah menyerah? Siapa yang nggak berdaya sekarang, Jen?"

Pisau kaca itu mendekat. Aku menutup mata dan memakai sisa-sisa tenagaku untuk melepaskan diri, tetapi Toni menahanku erat-erat—secara ajaib gadis itu punya kekuatan fisik di luar batas wajar. Gadis itu menarik kelopak mataku, memastikan mataku terbuka lebar saat pisau itu menghujamnya...

BUK!

Ada benda lain yang menumbuk perutku. Aku terlepas dari cengkeraman Toni dan terlempar. Darah dari perutku bercampur dengan butiran pasir.

"Lucien!" Toni terperanjat.

Lucien maju. Dia melakukan sapuan tangan panjang di udara dan kepalan-kepalan tinju raksasa dari pasir bermunculan. BUK! Satu mendarat di punggungku. BUK! Satu lagi di perut. BUK! Yang lainnya menyusul di pelipisku. Aku tidak bisa berpijak, pasir berpusar di bawah kakiku seperti lubang hitam.

"Oh, jadi kamu mau ikutan main juga ya, Luc?" Toni manggut-manggut, puas karena tindakan Lucien. "Ya udah. Kalau begitu, selamat menikmati!"

Lucien membisu. Dia berdiri tepat di hadapanku, dan membiarkan tangan-tangan pasir itu memukuliku, seakan aku ini adalah samsak tinju. Aku sungguh amat kepayahan sekarang. Dunia berputar-putar, wajah Lucien dan Toni mengabur dalam pandanganku selagi aku dihajar tanpa ampun. Ini tiga kali lebih kejam dari apa yang dilakukan Anne-Marie padaku waktu di Casa Poca. Serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk memulihkan diri. Segala latihan keras yang kujalani sepanjang liburan semester terasa tidak ada artinya; keahlian Darmawangsa bersaudara dalam mengendalikan kekuatan mereka berada di level yang berbeda. Bertahun-tahun hidup di jalan dan berjuang untuk bertahan hidup pastilah telah mengasah kekuatan pengendalian mereka berdua. Aku hanya memakai kekuatanku di sekolah dan di saat-saat tertentu saja, sementara Toni dan Lucien menggunakan kekuatan mereka untuk bertahan hidup. Mereka punya pemahaman yang jauh lebih baik dariku soal chi, dan terbukti sanggup menggunakannya untuk apa pun.

Kalau ada penghargaan untuk orang-orang paling bengis, Toni dan Lucien pasti akan memenangkannya.

Aku tahu aku akan mati tak lama lagi.

Kupejamkan mataku dan menyerah. Pusaran pasir itu melipat tubuhku sehingga aku tersungkur di lantai.

"Udah?" tanya Toni. Dia kedengaran agak bosan. "Lemah, ya?"

"Aku cek dulu," kata Lucien.

Serangan-serangan itu berhenti. Aku tetap diam di tanah, terlalu lemah untuk bergerak. Lucien sedang mendekatiku, langkah-langkahnya yang ringan menggema di lantai plaza. Lalu tangannya meraihku dan membalikkan tubuhku. Dia menyapu rambut lengket bercampur darah yang menutupi wajahku, dan menepuk pipiku. Bukan dengan kasar, tetapi anehnya... dengan lembut.

Aku membuka mata.

Lucien menatapku lekat-lekat. Pupilnya yang cokelat keemasan seperti pasir melebar. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku, sehingga aku bisa merasakan napasnya yang memburu, hangat membelaiku.

Tatapannya...

Pandanganku kabur karena darah, tetapi aku melihatnya. Mata Lucien berbeda dengan mata Toni. Di mata cokelat terang itu, tidak ada kebencian atau amarah. Sebaliknya, Lucien malah kelihatan takut dan cemas.

"Nah?" Toni bertanya dari kejauhan. "Bagaimana?"

Lucien mendekat. Kupikir dia akan menciumku, tetapi tiba-tiba cowok itu memejamkan matanya rapat-rapat seperti ingin mengusir air mata. Ketika membukanya kembali, kepala Lucien bergerak turun sedikit—gerakan yang begitu kecil dan hati-hati sehingga tidak akan dilihat Toni, tetapi aku melihatnya.

Apa cowok ini... baru saja mengangguk padaku?

"Masih hidup!" sahut Lucien.

"Oh, baiklah." Toni berdecak geram. "Bawa ke sini, biar kuhabisi!"

Lucien membantuku untuk berdiri. Dia tidak menarikku, tapi nyaris memapahku—apa dia sadar aku amat kesakitan? Pasir meliuk-liuk di belakang tubuhku membentuk semacam tumpuan karena aku betul-betul tidak bisa berdiri. Kenapa Lucien melakukan ini? Bukankah dia ingin menyiksaku juga?

Lucien meraih tanganku dan melipatnya ke belakang pinggangku. Lagi-lagi gerakannya sangat berhati-hati, tidak bengis seperti Toni. Apa yang direncanakan cowok ini?

Lautan pasir di bawahku mendorongku ke arah Toni. Lucien membuka jari-jariku di belakang, dan butir-butir pasir halus terkumpul di atasnya, berkumpul semakin banyak hingga jadi segenggam penuh.

Begitu rupanya. Lucien memang membantuku.

Lidah Toni bergerak-gerak dalam mulutnya. Dia menatapku dari berbagai sisi, seperti pematung yang sedang menilai hasil karyanya.

"You don't look like Jennifer Darmawan anymore," bisik Toni sambil mencibir, terang-terangan menghinaku. "You look ugly."

Lucien menutup jari-jari tanganku, segenggam pasir berada di sana.

"Dan aku benci orang jelek," lanjut Toni. Dia mengangkat telunjuknya dan mengarahkannya ke dahiku. "Selamat tinggal, Jennifer Darmawan!"

WUSSS!

Lucien ikut menggerakkan tanganku ke depan. Pasir dalam genggamanku terlepas, dan buyar tepat di depan wajah Toni. Gadis itu menjerit kaget dan terseok-seok mundur, wajahnya berlapis pasir.

"Cewek brengsek!" maki Toni, matanya kelilipan. "Berani-beraninya—"

Lucien melepaskanku. Pasir isap berpusar tepat di bawah Toni, menjebak kedua kakinya sehingga gadis itu tidak bisa bergerak. Tangan-tangan pasir raksasa seperti yang tadi menghajarku bermunculan, menahan kedua lengan Toni.

"JEN!" Lucien berteriak. "SEKARANG!"

Aku berkonsentrasi penuh. Chi Toni—gadis itu sedang kehilangan kendali karena serangan tiba-tiba ini sehingga konsentrasinya buyar. Chi itu ada di dalam dirinya, seperti kobaran api.

Dapat.

CTAAAAR!

Cahaya yang membutakan jatuh dari langit tepat di belakangku dan menghantam tanah dengan keras, sampai menimbulkan getaran. Aku berbalik dan melihat tubuh Lucien terkapar. Dia diam tidak bergerak, matanya terbuka lebar.

Lorelei, si wanita tikus pengendali listrik yang ditugaskan untuk menjaga Lucien, tergopoh-gopoh mendatangi kami. Telunjuknya terangkat. Pak Prasetyo, Bu Olena, Ryuichi Sahara, Pak Pangestu, serta para satgas Dewan menyusulnya.

"Lucien..." Aku berlutut dan menyentuh tubuh Lucien, karena cowok itu hanya diam saja. Kulitnya panas sekali, seperti terbakar. "Lucien... kamu bisa mendengar aku?"

Lucien tidak bereaksi. Ekspresinya membeku, matanya masih terbelalak menatap langit malam. Kutatap matanya yang indah itu. Warna cokelat terang di pupil matanya meredup perlahan-lahan, hingga akhirnya sirna sepenuhnya.

Brengsek!

Toni menghambur ke arah Lucien. Dia menabrakku dan memeluk tubuh Lucien.

"Luc..." Tangisnya pecah. "Luc, hei... ini aku. Ini Toni... Bangun, Luc..."

"Apa dia sudah mati?" tanya Lorelei, dengan nada menggampangkan seperti mengecek seekor tikus yang baru saja dipukulnya. "Dia kabur setelah ledakan itu. Saya sadar bahwa dia bersekongkol dengan pengendali realitas..."

"Anda membunuhnya," kataku.

"Saya harus melakukan itu," debat Lorelei. "Untuk menyelamatkan kamu!"

"Anda salah paham!" Dewan Pengendali sudah membunuh Anne-Marie. Dan sekarang, mereka juga merenggut nyawa Lucien. Kenapa mereka selalu mengacaukan segalanya? "Lucien membantu saya. Dia butuh pengendalian pasirnya kembali, makanya dia melakukan semua ini. Saya sudah berhasil mengunci chi Toni—"

"AAAAAAARRRRGGGHHH!"

Teriakan pilu Toni mencabik keheningan malam. Kepala Lucien terkulai di pelukannya, gadis itu meraung seperti singa betina yang terluka. Kesedihannya turut menghantamku sehingga aku ikut menangis. Semenit yang lalu Lucien masih hidup. Semenit yang lalu, aku bisa mengakhiri semua ini seandainya Lorelei si busuk ini tidak menyetrum Lucien sampai mati...

"Antoinette..." Pak Prasetyo menggulir kursi rodanya ke arah Toni dengan hati-hati. "Lucien sudah pergi. Kamu harus mengikhlaskannya..."

Bu Olena mendekatiku. "Sebaiknya kita segera pergi, Jen."

"Tapi bagaimana dengan Lucien, Bu? Dan Toni?"

CTAAAARR!

Petir raksasa menyambar kursi roda Pak Prasetyo. Sekilas kulihat tubuh Kepala Sekolah berkelojotan, sebelum terpelanting ke tanah.

Tidak, tidak, tidak! Jangan Pak Prasetyo juga! "Kepala Sekolah!"

Lorelei menatap kedua tangannya sendiri dengan heran. Petir yang tadi bukan hasil ciptaannya. Kami semua terperangah, belum bisa memproses apa yang terjadi. Tapi tubuh Pak Prasetyo sudah tidak bergerak lagi.

"Kalian..." Toni terangkat beberapa senti ke udara, Lucien berada dalam dekapannya. "Mengambil semuanya dariku..."

BLAAAAAAAAR!

Langit malam itu menyala, seperti ada yang menyalakan blitz raksasa. Kilatan-kilatan petir berjatuhan dari langit. CTAR! Satu petir menyambar Lorelei sehingga wanita itu terpental. CTAR! CTAR! CTAR! Ratusan petir menghajar bumi dengan membabi-buta, membunuh siapa saja. Tanah bergetar, lapisan batu dan semen di plaza itu pecah dan meledak karena sambaran-sambaran petir. Deretan pohon di dekat taman berubah menjadi api dan arang. Angin yang kencang sekali muncul, menerbangkan daun-daun, tempat sampah, hingga membalikkan kursi-kursi taman.

Aku merinding menyaksikan semua ini. Kekuatan Toni betul-betul luar biasa. Dewan Pengendali melakukan kesalahan besar. Sekarang gadis itu murka, dan dia akan memakai pengendalian realitasnya untuk membalas dendam...

Bu Olena berusaha menarik jasad Pak Prasetyo tetapi segera menjauh ketika sebuah petir raksasa mendarat hanya beberapa senti dari tempatnya berdiri. Ryu-san menjulurkan tangan padaku, tetapi dia juga nyaris terbunuh tiga sambaran petir berturut-turut. Para satgas berusaha menyerang balik, tetapi mereka rupanya baru menyadari bahwa mereka bukan tandingan sang pengendali realitas. Bola-bola api raksasa berjatuhan dari langit, berpadu dengan hujan petir itu, melumat apa saja. Salah satu bola api seukuran bus menyambar puncak Monas hingga melelehkan gundukan emasnya. Aku beringsut ke satu-satunya perlindungan yang berada di dekatku: kursi roda Pak Prasetyo yang terbalik, dan meringkuk di baliknya. Aku harus berkonsentrasi. Semua orang membutuhkanku. Meski fisikku sudah sangat kepayahan, tetapi aku harus berusaha...

"JEN!"

Itu suara Carl. Di antara lecutan cahaya petir, asap dan kobaran api, aku melihat Carl, Tara, Meredith dan Reo. Mereka berusaha mendekatiku, tetapi ditahan oleh Ryu-san dan para guru.

Jen, Ryu-san berbicara di dalam kepalaku. Tetap di situ. Kita lagi cari cara buat menolong—

CTAAAR!

Petir menyambar kursi roda itu sampai terangkat. Aku menjerit ketakutan, telapak tanganku yang memegangi pinggiran kursi perih karena terbakar.

"Jennifer Darmawan..."

Toni melayang beberapa meter di atasku, seperti malaikat pencabut nyawa.  Aku mendongak menatapnya, sekujur tubuhku gemetar karena ngeri. Matanya menyala.

"Kalau bukan gara-gara kamu..."

"Toni, kamu salah paham!" Suaraku terdengar kecil dan lemah di antara gelegar petir dan hujan meteor ini. "Tolong jangan lakukan ini! Lucien pasti nggak mau kamu melakukan ini!"

"Kamu nggak tahu apa-apa tentang Lucien!"

"Ya, aku tahu!" Aku berteriak, berusaha supaya Toni bisa menyimakku. Aku perlu waktu untuk mengunci chi-nya, tetapi dia tidak mengizinkannya. "Aku tahu bahwa Lucien menyayangi kamu. Dia nggak mau kamu kesepian. Dia minta tolong sama aku untuk melepaskan kamu dari semua kegilaan ini."

Air mata mengucur deras di wajah Toni. Aku belum pernah melihat kepedihan seperti itu pada diri seseorang. Begitu intens sehingga rasanya aku juga akan melebur hanya dengan menatap matanya saja.

"Kalian semua sama saja," isak Toni. "Kalian bilang mau menolong kami... tapi apa yang kalian lakukan?" Dia mendekap jasad Lucien semakin erat, kobaran api dari meteor-meteor itu terpantul di pupil gelap Lucien. "Kalian malah memperalat kami. Kalian menyiksa kami. Kalian membunuh kami..."

"Aku nggak seperti itu, oke?" Perlahan-lahan, aku bangkit berdiri. "Aku mau jadi teman kamu. Carl, Tara, Meredith, Reo... mereka semua juga. Kita semua sayang sama kamu, seperti Lucien yang sayang sama kamu."

Ekspresi Toni mengeras. Dia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. "Pembohong," katanya, tangannya yang bebas menunjukku. "Pembohong pantas mati..."

Sebelum sempat kusadari, seberkas petir terjun dari langit dan jatuh tepat ke atas tubuhku, cahayanya membuatku buta, sengatan listriknya menghajar tubuhku dengan sensasi yang tidak bisa kuungkapkan. Dunia luntur menjadi bayang-bayang, menyisakan kegelapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top