3. Sepupu Yang Tak Pernah Bertemu
Elisa berharap dia punya mata tambahan.
Di depannya tampak sebuah istana yang bertahta di atas hamparan rumput hijau, di tepi danau. Pemandangan yang menakjubkan ini mengingatkannya pada adegan awal film Sound of Music, ketika Julie Andrews berlari-lari sambil menyanyi di tengah hamparan rumput. Tambahkan satu istana megah dan hilangkan si Julie Andrews, maka itulah yang disaksikan Elisa saat ini. Dia juga tiba-tiba merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melompat keluar dari limusin dan bernyanyi di atas lapangan rumput itu.
Istana itu merupakan sebuah gedung lebar setinggi tiga lantai dengan pilar-pilar kokoh di sisi depannya. Berbeda dengan istana-istana di Eropa abad pertengahan yang terkesan kuno dan rapuh, istana ini tampak hidup dan modern. Tembok-tembok luarnya dilapisi marmer putih yang memantulkan cahaya matahari dengan sangat baik sampai berkilau keemasan. Pintu-pintu raksasanya terbuat dari kayu sehingga memberi kesan ramah bagi siapa pun yang menatapnya. Jendela-jendelanya lebar dan tinggi, birai-birainya juga disepuh dengan warna emas.
Pasti bagian dalamnya tak kalah spektakuler, pikir Elisa.
"Selamat datang di Faranvareza, Istana Penguasa Calondria," Alfred mengumumkan dengan khidmat. "Keluarga kerajaan sekaligus penguasa Calondria dari garis keturunan Robert telah tinggal di istana ini sejak akhir abad kedelapan belas."
"Cantik sekali," kata Eugene terpesona.
"Tentu saja," kata Alfred, dadanya membusung. "Anda akan menginap di sini selama di Calondria."
"Kami sudah memesan hotel," tolak Eugene halus. "Tapi kami tak keberatan melihat-lihat sejenak...." dia cepat-cepat menambahkan ketika Alfred membeliak tidak setuju.
"Sebagai seorang Celestin, Anda harus tinggal di Faranvareza," kata Alfred kaku. "Sudah begitu peraturannya sejak Raja Gilbert kesebelas naik tahta di tahun seribu tujuh ratus satu."
Eugene nyengir cemas dan melirik Elisa.
"Santionesse Harris juga akan tinggal di istana," sambung Alfred lancar, jelas-jelas bisa menebak pikiran Eugene. "Dan sebagai tamu kerajaan, Anda akan dipanggil dengan sebutan Santionesse Harris selama di Calondria. Semacam madamoiselle dalam bahasa Camish, bahasa asli Calondria. Saya harap Anda bisa membiasakan diri."
Elisa mengangguk, telinganya panas. Dia baru sampai di Calondria sepuluh menit yang lalu dan sekarang dia adalah tamu kerajaan?
"Baiklah," jawab Eugene pasrah. "Kami akan tinggal di sini."
Alfred nyaris bersorak. "Bagus sekali, Celestin."
"Anda memanggil saya Celestin," kata Eugene. "Apa artinya?"
"Itu sebutan Anda dalam bahasa kami," jawab Alfred sambil membungkuk sedikit. "Berasal dari kata Latin caelastis yang kurang lebih berarti langit atau surga, sebagai tanda penghormatan rakyat Calondria terhadap Anda."
Eugene merona. Dia mengalihkan tatapan ke luar, terlalu malu untuk menatap Elisa yang mendadak ingin terkikik tapi masih mampu menahan diri.
Laju limusin yang mereka tumpangi melambat dan akhirnya berhenti di halaman depan gedung istana. Seorang pengawal datang menghampiri mobil itu. Dia membungkuk dengan penuh hormat dan membuka pintu mobil. Elisa keluar dengan gugup, dia tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya. Di sebelahnya, Eugene kelihatan kaget dan kebingungan.
"Anda berdua sudah ditunggu di Pretory Hall." Alfred berdiri merapat ke salah satu daun pintu yang sudah terbuka, tangannya terentang menujuk ke dalam istana. "Mari ikuti saya."
Mereka bergerak masuk ke dalam gedung dan langsung disambut oleh sebuah aula besar dengan langit-langit yang tinggi. Dinding-dinding aula itu dipenuhi dengan lukisan-lukisan yang bertema heroik. Di salah satu sisi tergantung ukiran seekor burung rajawali raksasa yang cakarnya mengapit setangkai lili putih yang terbuat dari emas. Di bawah lukisan itu, terdapat sebaris kata-kata yang berbunyi: "Alles donne mête le grunde, passe par les Celestines, fur les menzane."
"Lambang negara," kata Alfred bangga. "Tulisan itu adalah motonya. Anda bisa menebak artinya, Celestin?"
Elisa nyeletuk. "Segalanya dari bumi, lewat sang raja, untuk rakyat?"
Alfred tersenyum, kali ini sedikit lebih lembut, hampir kebapakan. "Nyaris benar, Santionesse. Lebih tepatnya 'Segalanya dari negara, lewat para pemimpin, dan untuk rakyat'."
Mereka melewati aula depan dan berjalan terus memasuki koridor panjang dan lebar yang mirip Galeri Utama Museum Louvre. Banyak lukisan-lukisan di sepanjang koridor, beberapa dari lukisan itu menggambarkan panorama menakjubkan yang belum pernah dilihat Elisa. Di sisi seberang ada jendela-jendela yang menampilkan taman bunga yang cantik dan terawat.
"Nah, kita sampai." Alfred mengumumkan. "Selamat datang di Pretory Hall."
Yang disebut Pretory Hall adalah sebuah ruangan oval dengan langit-langit berlukis yang menakjubkan. Lantai ruangan ditutupi karpet merah yang kelihatan mahal, temboknya dilapisi kertas dinding bermotif bunga-bunga emas. Ada sekitar lima puluh lukisan cat minyak terpasang di dinding, semuanya menggambarkan pria dan wanita yang tampak berkuasa. Mereka semua memakai mahkota dan jubah - Elisa menebak mereka adalah para penguasa Calondria di masa lalu. Ada sebuah sekat di situ yang membagi ruangan besar itu menjadi dua bagian.
Alfred mengeluarkan arloji emas dari sakunya. "Kita tepat waktu. Mereka sudah menunggu. Nah, ada yang perlu saya sampaikan soal Quinzes Celestines."
"Quinzes Celestines?" ulang Eugene ragu-ragu.
"Quinz Celestin untuk Raja George dan Quinze Celestine untuk Ratu Janesse. Selanjutnya Anda bisa memakai 'Sir' atau 'Ma'am'," jawab Alfred tak sabar.
"Quinz Celestin dan Quinze Celestine," ulang Eugene. "Kami paham."
"Baik sekali. Nah, apa Anda berdua sudah tahu peraturan lainnya?"
Elisa dan Eugene bertukar pandangan. "Kami baru pertama kali bertemu raja dan sebetulnya hari ini kami tidak berharap bertemu raja," jawab Elisa. "Apa saja, umm, peraturannya?"
Sebutir keringat mengalir turun di pelipis kiri Alfred. "Pertama, Anda berdua harus memberi hormat. Bisa dengan membungkukkan badan atau menekuk lutut. Kedua, tak ada yang boleh bicara sebelum Raja atau Ratu. Jika mereka menyapa Anda, barulah Anda menjawab. Ketiga, Anda tidak diizinkan melakukan kontak fisik dengan Quinzes Celestines kecuali jabat tangan, dan mereka yang akan melakukannya duluan, jadi Anda hanya merespon saja. Anda wajib merespon apa pun yang dilakukan Quinzes Celestines, baik sapaan, pertanyaan, atau jabatan tangan. Anda tidak diperkenankan memutus percakapan terlebih dulu atau menyela kata-kata Quinzes Celestines. Keempat, tak boleh memperlihatkan punggung sedikit pun.."
"Memperlihatkan punggung?" tanya Elisa heran. "Tapi kami berdua tidak memakai busana dengan punggung terbuka."
"Bukan itu maksud saya," kata Alfred sambil mengkertakan gigi. Dari tampangnya Elisa yakin si Perdana Menteri ingin sekali menghajarnya dan Eugene dengan penggaris kayu karena buta peraturan. "Punggung Anda berdua tidak boleh menghadap Quinze Celestines. Anda tidak boleh berbalik di depan mereka."
"Tapi bagaimana kami jika kami mau pamit?" tanya Eugene.
"Anda berjalan mundur. Tidak boleh berbalik. Jika Raja George sudah berbalik duluan, baru Anda bisa berbalik. Membungkuk, tidak bicara, tidak memberi salam, dan tidak memunggungi."
"Membungkuk, tidak bicara, tidak memberi salam, dan tidak memunggungi," ulang Elisa dan Eugene bersamaan, seperti menghafal mantra.
Alfred mengangguk lalu menghampiri bilik itu. Sebelum menghilang di baliknya, dia melirik Eugene dan Elisa sekali lagi, rupanya belum yakin mereka sudah memahami empat peraturan sederhana yang baru saja dijelaskannya.
Dua orang bergerak keluar dari balik bilik.
Yang pertama adalah seorang cowok yang kelihatan seperti turis. Sepertinya dia hanya beberapa tahun lebih tua dari Eugene. Cowok itu memakai celana jins yang tampak agak kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang langsing, dipadu sepatu kets warna hitam belang, tali sepatu kirinya tidak terikat dengan baik. Ada selempang biru menyilang di dadanya, dengan lambang negara yang disulam dari benang emas. Tampangnya termasuk lumayan. Rambutnya berantakan sekali, tetapi entah mengapa tidak membuatnya tampak seperti orang bodoh - Elisa menduga dia sengaja menatanya seperti itu.
"Apa dia..." bisik Eugene takut-takut. "Raja Calondria?"
"Aku tidak yakin," jawab Elisa jujur. Dia belum pernah melihat raja bercelana jins dan memakai kaos.
Si cowok bercelana jins tersenyum dan melambai.
Karena tak yakin kepada siapa cowok itu melambai, Elisa membalasnya dengan menyeringai. Eugene menarik tangannya.
"Kita harus memberi hormat dulu."
"Tapi Alfred bilang, kita harus merespon!"
"Hormat dulu. Itu urutan paling pertama!"
"Oh, baiklah!"
Elisa menekuk lututnya dan merendahkan diri. Dia belum pernah memberi hormat seperti itu, dia hanya meniru bagaimana para bangsawan wanita melakukannya di film-film. Eugene membungkuk dalam-dalam.
"Oho," seru cowok itu takjub. "Rupanya Alfred sudah menjelaskan soal membungkuk, berjalan mundur dan segala peraturan itu. Dan astaga, lihat dirimu! Kau betul-betul mirip Ed-"
"Quinz Celestin," potong Alfred. "Berapa kali saya harus mengingatkan Anda. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Anda wajib berbusana pantas jika hendak menyambut tamu di Pretory Hall!"
Elisa bisa merasakan Eugene merosot nyaris terpeleset di sebelahnya. Dari tampangnya, Eugene tampak syok. Dugaan Elisa tepat.
"Aku tadi sedang latihan dance, Alfred," sahut sang Raja ringan. "Lagipula Eugene adalah sepupuku. Ini tidak—"
"Tetap saja!" bentak Alfred tak mau kalah. "Segala penyambutan yang dilakukan di Pretory Hall sifatnya resmi, Quinz Celestin. Jadi jika Anda memang tak ingin berbusana sopan, seharusnya saya-"
"Sudahlah, Alfred," potong gadis muda yang berdiri di sebelah Raja. Dia mengenakan gaun sutra warna hijau salem yang membuatnya kelihatan seperti peri. Penampilannya rapi dan sopan, amat kontras dengan sang Raja. "George tidak bermaksud lancang. Dia hanya terlalu bersemangat hingga lupa berganti pakaian."
Alfred membungkuk kecil meski wajahnya sudah berubah ungu. "Quinzes Celestines George Alphoso Robert dan Janesse Catherine Robert, Raja dan Ratu Calondria."
"Akhirnya!" Raja George maju, membuka tangannya lebar-lebar seolah sudah menunggu saat ini dan memeluk Eugene dengan hangat. "Halo sepupu!"
Eugene balas memeluk sang raja dengan ragu-ragu. Sepertinya fakta bahwa dia sedang berhadapan dengan sepupu yang selama ini belum pernah dikenalnya, yang juga kebetulan adalah seorang raja berpenampilan mirip turis, belum meresap sepenuhnya dalam otaknya.
"Aku senang sekali bisa bertemu denganmu, Eugene! Ini betul-betul sebuah kejutan! Saudara kembar Edward! Kami sama sekali tidak tahu kalau kau..." George menelan ludah, jelas tak mampu menyembunyikan kekagetannya. "Ada."
"Senang bertemu denganmu," balas Eugene lemah.
George menyalami Elisa. Jabatan tangannya kuat dan menyakinkan. "Anda pastilah Santionesse Harris. Selamat datang di Calondria."
"Terima kasih, Yang Mulia."
Alfred batuk kecil.
George melirik Alfred lalu berbisik. "Kurasa sebaiknya Anda memanggilku dengan sebutan Quinz Celestin disini, Santionesse. Sebetulnya aku lebih senang dipanggil George saja. Kalau tidak Alfred bisa ngamuk."
"Oh, maaf," jawab Elisa. Rasanya dia ingin tenggelam ke dalam lantai pualam saat itu juga. "Saya lupa, Quinz Celestin."
Pasangan George maju dengan anggun, seperti melayang. Gadis itu mengulurkan tangannya yang lentik pada Eugene.
"Senang sekali bertemu denganmu, Eugene!" Sama seperti George, dia merangkul Eugene dengan lembut, membuat cowok itu gemetar seolah demam. "Lady Samantha tidak pernah menyebut-nyebut kalau Edward memiliki saudara kembar. Seandainya kami tahu sejak dulu, kau pasti sudah tinggal di sini bersama kami!"
Eugene merona. "Terima kasih, Quinze Celestine."
"Selamat datang juga, Santionesse Harris," sapa Janesse gemulai.
"Terima kasih, Quinze Celestine."
"Saya rasa Anda pasti terkejut sekali ketika tahu kalau pasangan Anda...."
"Hanya teman," serobot Eugene segera. "Kami berteman."
"Bersahabat," tambah Elisa. "Sejak kecil."
"Mereka bersahabat, Quinze Celestine," sambung Alfred menentramkan, dengan lagak seolah mengonfirmasi bahwa Elisa dan Eugene bukan sejenis spesies makhluk berbahaya. "Celestin sudah meminta agar Santionesse Harris diizinkan ikut menginap di istana."
"Tentu saja," kata Janesse tulus. Dia tersenyum meminta maaf.
Mereka semua terdiam selama satu menit, saling amat-mengamati sekaligus kebingungan harus mengatakan apa. Elisa tahu bahwa ini bukanlah pertemuan keluarga yang diharapkan Eugene. Pasti Eugene tak membayangkan sebelumnya kalau pertemuan itu akan melibatkan limusin, istana dan raja bercelana jins. Tampang sahabatnya itu menyiratkan bahwa dia ingin segera minggat dari situ.
Alfred berdeham lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Janesse memberanikan diri membuka suara. "Apa perjalanan kalian kemari menyenangkan?"
"Ya," jawab Eugene. "Sebetulnya saya tidak betul-betul yakin kalau Calondria ada. Maksud saya, ada di sini, di Selatan Prancis."
"Lady Samantha dan saudara kembarmu tahu persis soal Calondria," Janesse berdecak paham. "Mereka bahkan pernah mencoba-"
"Waktunya minum teh di Tea Hall!" potong Alfred.
"Ide cemerlang, Alfred!" sambut George antusias. "Setelah perjalanan kemari, kurasa Eugene dan Madamoiselle Harris-"
"Oh, panggil Elisa saja, Quinz Celestin."
"Tuh kan!" George menunjuk Elisa dengan gaya penuh kemenangan. "Sudah kubilang Alfred, mereka pasti tidak suka dipanggil dengan gelar. Jadi, apakah boleh mereka memanggilku dan Janesse dengan nama kami saja?"
"Aku sungguh-sungguh tak keberatan," timpal Janesse buru-buru, sepenuhnya mendukung pasangannya.
"Itu melanggar peraturan, Quinze Celestines. Bagaimana jika Commes tahu?"
"Oh, ayolah Alfred!" desak George memelas. "Lagipula Eugene adalah sepupuku. Edward tidak pernah sudi memanggilku dengan sebutan Celestin!"
"Waktu itu Anda masih seorang pangeran dan Ed-" Si perdana menteri menatap Eugene dalam-dalam dan langsung mengubah nada bicaranya. "Maafkan saya, Celestin. Saudara kembar Anda, Edward, adalah seorang pengkhianat busuk yang tidak pantas tinggal di kerajaan ini!"
Sebutan Alfred terhadap Edward membuat Elisa terguncang. Kudeta itu... Diliriknya Eugene dengan cemas. Eugene tersenyum malu.
"Nah, kurasa sudah diputuskan. Kalian bisa memanggil kami dengan George dan Janesse saja!" kata George cepat-cepat, begitu menyadari suasana yang semakin canggung. "Sekarang mari kita ke Tea Hall."
Mereka keluar beriringan dan menyeberang taman kecil di tengah istana hingga tiba di ruangan lain yang lebih luas, mirip seperti ruang makan ukuran ekstra besar. Jika Pretory Hall memiliki nuansa ningrat yang kental, Tea Hall berkesan lebih ramah dan nyaman. Kertas dinding ruangan itu berwarna krem tapi masih dengan motif bunga-bunga emas yang sama. Keempat dinding-dindingnya penuh dengan jendela besar-besar, membiarkan cahaya matahari menerobos masuk dengan leluasa.
Seorang pelayan pria bersetelan necis yang berdiri di dekat pintu menunduk penuh hormat ketika mereka masuk. Dia menujuk sebuah meja bulat di tengah ruangan. Lima orang pelayan pria lainnya sudah siap di belakang setiap kursi.
Di atas meja sudah disiapkan perangkat minum teh, lengkap dengan piring-piring kecil serta pisau dan garpu untuk kue. Para pelayan menggeser kursi-kursi itu hingga posisinya pas di sisi meja.
Elisa menatap susunan itu dengan gusar. Ditariknya siku Eugene dan berbisik, "Aku tidak tahu bagaimana menggunakan alat-alat ini!"
"Aku juga!" balas Eugene. "Bagaimana jika aku salah mengambil pisau?"
"Kurasa George dan Janesse tidak akan memperhatikan."
"Bukan mereka yang kutakutkan, tapi..." Elisa mengedik ke arah si Perdana Menteri. Eugene mengangguk kecil pertanda paham.
Mereka belum sempat mengatur strategi ketika para pelayan menggeser kursi di belakang mereka hingga membentur lutut mereka. Eugene dan Elisa jatuh terduduk di kursi masing-masing. Rupanya sang raja dan ratu sudah duduk dan sepertinya mereka harus ikut duduk. Lalu para pelayan menggelar serbet putih di atas pangkuan masing-masing orang. Poci teh dibawa masuk disusul bernampan-nampan kue yang menurut prediksi Elisa cukup untuk mengenyangkan seisi panti asuhan sepanjang libur Natal.
"Aku harap ini semua tidak terlalu merepotkan," kata George santai. Dia menatap Eugene dan Elisa, menunggu mereka menyentuh hidangan itu. Elisa menendang kaki Eugene dari kolong meja.
"Jadi kita berdua sepupu?" tanya Eugene sambil meringis. Dia balas menendang Elisa, tendangannya menimbulkan bunyi buk kecil dari kolong meja.
"Ya," jawab George yakin. Dia mencomot sebuah kue dengan tangan dan langsung meletakannya kembali setelah dipelototi Alfred. "Ibumu, Lady Samantha L'alcquerine adalah kakak kandung ayahku, Raja Robert."
"Ibuku sama sekali tidak pernah cerita soal Calondria," kata Eugene.
"Kami juga tak tahu soal keberadaanmu," kata Janesse terus terang. "Kami hanya mengenal Edward, saudara kembarmu. Lady Samantha tidak pernah menyebut-nyebut kalau Edward kembar! Bayangkan betapa kagetnya kami ketika menerima informasi dari kantor imigrasi di perbatasan Prancis bahwa ada seorang L'alcquerine lagi yang akan menyeberang!"
Eugene tertawa lemah.
"Dari mana kau tahu tentang Calondria?" tanya George.
Eugene menceritakan tentang pencarian keluarganya dan berita yang ditemukannya di internet. Ketika dia menyinggung soal kejahatan yang dilakukan oleh keluarganya, George mengangguk-angguk tanpa menatapnya.
"Maafkan aku jika terlalu berterus terang seperti ini, Eugene," kata Janesse lembut. "Tapi kami semua tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi padamu. Mengapa Lady Samantha tidak pernah mengajakmu ke Calondria?"
Alfred berdeham. Dia melirik Janesse dengan tatapan memperingati. Tapi sang ratu menatap Eugene lurus-lurus, rasa keingintahuannya tidak dapat ditutupi lagi.
"Kami tinggal bersama-sama di panti asuhan." Elisa mengambil alih. Eugene menunduk menatap tehnya seolah dia ingin menenggelamkan diri di dalamnya. Elisa tahu kalau sahabatnya itu merasa amat canggung. "Eugene kabur dari rumah sewaktu kecil. Sejak saat itu dia terpisah dari keluarganya dan kesulitan menemukan mereka."
Tidak ada seorang pun yang bergerak. Waktu seperti berhenti.
"Aku minta maaf, Eugene." George berdiri dan meletakkan tangannya dengan di bahu Eugene. "Aku tidak tahu kalau kejadiannya seperti itu. Tapi sekarang kau tidak perlu bersedih lagi." Dia tersenyum. "Kau sudah menemukan keluargamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top