8. Table Talk
nas's notes: hiii guys! sebelum weekend berakhir, akhirnya aku bisa update part 8. PLEASE JANGAN SCROLL DULU, AKU MAU MINTA TOLONG HUHU. jadi, kalau sebelumnya kalian udah pernah baca, tapi lupa vote part sebelumnya, kalian bisa vote dulu untuk beberapa part yang belum dan balik lagi. karena aku notis angkanya jomplang dan ada yang sebelumnya belum vote, tapi part sesudahnya udah vote. kalau kalian suka baca offline juga silahkan, tapi nyalain dulu yaa paket datanya.
kalau kalian ingin kirim pesan atau pertanyaan anonim di tellonym, tentu saja bisa lewat link di bio atau wall wp. kalian juga bisa interaksi di twitter kayak kasih review atau reaksi tiap partnya rilis dengan tekan link eksternal. cari uname aku gemeinschweft juga bisa, kok, dan kontennya juga ada di pinned tweet aku.
boleh juga diklik tagar aurinkari-nya untuk mencari konten seputar giandra dan nicholas ini :D
semoga ceritaku ada yang baca dan juga aku bisa menyelesaikan cerita ini secara cepat, tunas, dan baik. Aaaminn Ya Allah.
Terima kasih sudah berkunjung dan happy reading yaa! <333
Jakarta, Indonesia
April 2026
Raka Purnomo:
Hi Akbar.
Apa saya bisa mendapatkan nomor sepupumu?
Akbar Pradana:
Giandra kah?
Raka Purnomo:
Ya.
Akbar Pradana:
Tentu.
0821XXXXXXXX.
Raka Purnomo:
Apakah rumahnya masih di Permata Hijau dan masih bekerja di Forest Green?
Akbar Pradana:
Ya, Pak.
Raka Purnomo:
Terima kasih Akbar.
Minggu ini kamu pergi main golf?
Akbar Pradana:
No worries!
Akan aku kabari, Pak.
Raka Purnomo:
Siap Akbar!
Raka mengakhiri pesannya dengan pengusaha Akbar Pradana dan melihat keberadaan sekretarisnya yang sudah ia nantikan. Sekretaris tersebut adalah seorang wanita berusia akhir dua puluhan dan selalu berpenampilan rapi. Tak lupa, ia menggunakan make up yang didominasi warna pink.
"Apa kamu sudah membawakan buku-bukunya Giandra Euphrasia?"
Seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris dari Raka Purnomo itu pun langsung menaruh beberapa novel tebal dengan sampul hard cover dan menjejerkannya agar dapat terlihat secara keseluruhan. "Saya berikan cetakan asli Amerika Serikat punya saya—pertama ada A Grain of Salt, karya debutnya, setelah itu ada Somebody, The Favourite, dan The Portfolio."
"Kenapa kamu tidak memberikan saya terjemahan Bahasa Indonesianya?" Raka memprotes saat membuka salah satu buku yang berjudul A Grain of Salt.
Saya membeli semua buku ini dengan gaji saya selama mengekori Bapak dan saya berekspektasi kalau Bapak dapat membacanya dalam Bahasa Inggris—Bapak, 'kan, lulusan National University of Singapore dan Yale University. Wanita muda itu membatin sembari melihat Raka membuka halaman depan buku tersebut. "Saya hanya memiliki cetakan Bahasa Inggris. Kalau Bapak mau baca cetakan Bahasa Indonesianya, saya belikan. Bapak mau e-book atau cetak fisik?"
Menghiraukan tawaran dari sekretarisnya, Raka pun mencari bagian yang di luar isi novelnya yakni bagian Acknowledgments. Saat Raka berhasil menemukannya, ia langsung membacanya dan mengenali salah satu nama.
Acknowledgments
Thank you and kudos to my editor, Nicholas Wiradikarta.
"Jadi Nicholas Wiradikarta ini editornya?" Raka membiarkan halaman tersebut terbuka dan menaruhnya di atas mejanya.
"Ya. Nicholas sudah menjadi penyunting Giandra sejak buku pertamanya."
Raka pun menganggukan kepalanya dengan perlahan. "Sebenarnya Nicholas ini sudah ada pacar atau belum, ya?"
"Kenapa Bapak bertanya soal statusnya Nicholas?" Sekretaris itu membalikkan pertanyaan dan menatapnya bingung.
"Abaikan saja," ucap lelaki berusia tiga puluhan itu dan ia terpikir sebuah cara untuk menarik perhatiannya Giandra, "tolong kamu baca lagi buku-bukunya Giandra dan buat ulasan singkat, ya. Saya tunggu sampai hari Kamis—sebelum saya menemui Menlu Singapura di Jumat malam."
"Baik, Pak." Sekretaris itu langsung mengambil semua buku miliknya dan berjalan mendekati pintu untuk keluar dari ruangan, namun Raka memanggilnya lagi, "tolong cari nomor teleponnya Nicholas Wiradikarta, ya. Kemarin saya bertemu di pernikahan adiknya Alya Jusuf, namun tidak sempat meminta nomor teleponnya."
Sekretaris itu hanya menghela nafasnya. "Ya, Pak."
ANEH BANGET. ENGGAK SALAH, NIH, PAK RAKA MEMINTA AKU UNTUK MENULIS REVIEW BUKU-BUKU YANG BAHKAN DIA ENGGAK TERTARIK UNTUK MEMBACANYA?!?! Sekretaris itu membatin dan membuka ponselnya. Ia ingat bahwa ada seniornya di Fakultas Hukum yang saat ini bekerja di Kemlu dan mungkin bisa membantunya.
.
.
.
"Kak Nicky, aku mau nikah, deh."
Hampir saja Nicholas tersedak saat mendengar ucapan Giandra barusan. Saat ini mereka makan malam di salah satu restoran sushi yang berada di pusat perbelanjaan mewah dekat rumah. Tidak ada perayaan atau hari spesial, hanya saja mereka ingin makan bersama karena Giandra ingin sekali makan sushi.
"Siapa yang mau nikah sama toddler kayak kamu?" tanya Nicholas sembari menaikkan alisnya. Tangannya langsung mengambil teh dingin dengan gementar. Sudah pasti Giandra sedang asal bicara, lagipula memangnya dia mau nikah sama aku? Nicholas membatin dengan perasaan cemas.
Memangnya kamu tidak mau nikah sama aku, Kak? Giandra membatin dan kembali menyantap makan malamnya. "Belum tahu. Aku baru saja menghubungi penjahit untuk menjahit kebaya pengantinku."
"Sudah kuduga kamu akan melakukannya lebih dahulu." Nicholas membalas dan tersenyum sembari memandangi perempuan yang duduk di depannya. "Saat aku di London bulan lalu, aku sudah membeli cincin untuk melamar serta jas untuk pernikahanku nanti."
"Kok Kak Nicky sudah bikin persiapan sendiri? Memangnya kakak sudah ada calonnya?" Giandra protes dengan nada jengkelnya.
"Belum ada. Siapa tahu aku udah lamaran sebelum aku ulang tahun."
"Enggak boleh," ucap Giandra dengan nada paraunya, "aku juga mau ketemu calonku sebelum aku ulang tahun. Nanti aku mau minta Sura buat jodohin aku sama orang Jerman."
"Terus crush kamu gimana?" Nicholas bertanya. Lelaki itu selalu ingat bahwa Giandra punya crush, namun adiknya, Sura, juga menceritakan kalau crush-nya ini tidak jelas dari segala aspek.
Bahkan Nicholas juga tahu dari Giandra kalau anak itu menolak lamaran seorang Adipati Jawa dan pengacara kondang yang langsung mengobrol untuk mengutarakan keinginan mereka untuk melamar Giandra. Meskipun yang ia dengar dari orang, kalau Giandra menolak mereka sebelum kedua lelaki itu berkomunikasi dengan para kakek neneknya. Toh juga sekarang Adipati Jawa itu sudah memiliki rumor terbaru yakni sedang menjalin hubungan dengan anak pejabat.
"Dia ke laut aja. Selalu saja dia tidak peka. Padahal komunikasi ada terus ketemu juga rutin," balas Giandra sembari mengambil potongan sushi terakhir.
Saat mereka menyelesaikan transaksi di restoran tersebut, Nicholas mengatakan bahwa ia ingin memutar dan Giandra pun tak keberatan. Mereka berdua berjalan mengelilingi mall tersebut dan berbicara banyak hal.
Secara tidak terduga, mereka melihat keramaian. Bukan sebuah antrian yang mengular keluar toko, namun orang-orang mengitari seseorang. Saat petugas keamanan memberikan jalan agar orang tersebut keluar dari kerumunan, seorang wanita langsung menghentikan langkahnya setelah ia mengenali wajah wanita yang berjalan melewatinya.
"Giandra?"
"Oh, hai Bu Kanista."
Mereka berpapasan dengan Kanista Moestadja, Ibu Negara sekaligus istri kedua dari Andhika Pradana. Giandra hanya menggelengkan kepalanya dan benar-benar tidak menduga bahwa ia melihat Ibu Negara pergi ke pusat perbelanjaan (yang diketahui publik, beliau hanya ingin berkumpul sama teman-temannya di kediaman pribadi Pak Andhika).
Sejauh yang Giandra ketahui juga, Ibu Negara ini baru saja kembali dari jadwal berobatnya di luar kota. Entah obat jenis apa yang membuat beliau ini jauh lebih terkontrol (menurut Giandra. Biasanya, sih, tidak begitu).
"Kamu kurusan," ucapnya sembari melihat tubuh Giandra dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan yang menurutnya terlalu polos, "sudah kuduga kamu memang tidak ada niatan untuk menikah sampai menolak pria yang melamarmu itu. Pantas saja kau selalu terlihat polosan dan sekarang jauh lebih jelek. Benar-benar memalukan keluargamu sendiri, ya?"
Giandra yang mendengarnya pun hanya menghela nafas. Terdengar seperti orang yang tahu segalanya tentang dirinya dan keluarganya. Nicholas yang melihat situasi antara Giandra dan Ibu Negara ini terasa canggung dan tidak nyaman. Ia berinisiatif untuk langsung merangkul bahu Giandra lalu menariknya untuk menjauhi wanita tersebut.
"Better you watch your mouth, Mam. That's not wise for you to complain about other people. In public."
Kanista hanya menaikkan dahinya saat mendengar Nicholas mengatakan sesuatu padanya. Giandra menoleh pada Nicholas yang mengingatkan Ibu Negara.
"Apa yang baru saja kamu katakan, Nak?"
"Seharusnya Ibu dapat mengerti ucapanku—Seperti branding-mu, Ibu, 'kan, berpendidikan tinggi, bahkan dulu Ibu pernah bersekolah di Oxford. Benar, 'kan?" sindir Nicholas dengan halus dan kembali memandang Giandra untuk pergi bersamanya. "Shall we go, My Dear?"
TBC
Published on July 21st, 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top