PART. 3 - REPLACEMENT
Hai, me back!
Hehehe, happy reading. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Menarik napas sambil mengumpat pelan, Ally segera keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju ke perkebunan sambil memeluk tubuhnya dengan perasaan yang campur aduk. Bodoh, batinnya terus-terusan sepanjang perjalanan kembali setelah pertemuannya dengan Ashton.
Dia menyesali dirinya yang membiarkan pria itu menciumnya dengan lancang. Sialnya lagi dia menikmatinya. Kembali Ally mengumpat sambil menendang kerikil kecil untuk melampiaskan kekesalannya.
Ally mengangkat tangan tanpa berhenti atau berbalik saat Bams memanggilnya, tanda bahwa dirinya tidak ingin diganggu dan membutuhkan kesendirian sambil terus berjalan cepat menyusuri jalan panjang perkebunan itu. Yang dia inginkan adalah pergi sejenak dari kekacauan yang terjadi meski itu adalah hal yang mustahil.
Berjalan cepat, bahkan hampir setengah berlari, Ally sepertinya belum mencapai sepertiga dari perkebunan itu tapi memilih untuk berhenti sambil menengadahkan kepala untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menahan diri untuk tidak menangis, tapi akhirnya Ally mulai terisak dengan rasa sakit dalam dada yang semakin nyeri.
Tidak memiliki perlindungan, sendirian, dan merasa tidak aman, Ally hilang arah dan tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa saat ini. Sudah tidak memiliki orang tua, juga tidak ingin memberitahukan neneknya atas apa yang terjadi karena sudah terlalu tua untuk dibebani masalah ini, Ally mencoba menghadapinya. Semampunya. Walau dirinya juga tidak tahu tentang kemampuan dirinya yang bisa dibilang sangat rapuh.
Terlebih lagi saat melihat Ashton tadi. Pria itu terkesan begitu angkuh dengan sorot mata yang dingin dan begitu sinis. Tatapannya yang seolah merendahkan itu membuat Ally tidak nyaman dan cukup takut. Entah apa yang direncanakan pria itu karena dia sangat yakin jika orang itu memiliki kebencian yang begitu besar pada ayahnya.
Mengusap kedua pipinya yang basah meski masih terisak, Ally mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sudah begitu lama dia tidak melihat perkebunan sawit milik ayahnya. Dia hanya bisa melihat sedikit saja dari posisinya berdiri sementara perkebunan itu masih sampai di ujung sana dengan lahan kosong dan banyaknya rumput liar yang mengitari lahan yang bekas terbakar di sana.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," gumam Ally seorang diri.
Dan kekalutannya terbuyar saat merasakan adanya pergerakan di samping perkebunan diantara pohon-pohon sawit yang menjulang. Menoleh dan mendapati satu sosok yang langsung menghilang sebelum dirinya melihat siapa itu. Kakinya spontan berjalan untuk menuju di titik dimana dia melihat sosok itu dan tidak mendapati siapapun.
Keningnya berkerut sambil mengingat bahwa selama dua minggu dirinya berada di kota kelahirannya itu, Ally merasa diawasi. Meski belum mendapati apakah itu benar, tapi perasaan Ally mengatakan jika dirinya dalam pengawasan.
"Ally."
Memekik kaget saat mendengar namanya dipanggil, Ally spontan memutar tubuh dan mendapati Bams berdiri tidak jauh darinya. Menaruh satu tangan di dadanya yang bergemuruh kencang, Ally mengerjap cepat sambil mengawasi Bams yang terlihat bingung di sana.
"Ada apa? Apa kau baik-baik saja?" tanya Bams heran.
Ally memperhatikan Bams selama beberapa saat dan mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu kembali padanya. "Apa kau baru saja tiba di sini? Atau sudah daritadi?"
"Aku menyusulmu dan mendapatimu di sini," jawab Bams yang membuat Ally kembali terdiam dengan isi kepala yang semakin penuh.
"Apa kau sudah selesai? Sudah hampir malam, kau harus kembali ke mansion," ujar Bams kemudian.
Ally hanya mengangguk dan menuruti Bams dengan mengikutinya kembali meski masih tenggelam dalam pikirannya. Perjalanan kembali ke mansion dari perkebunan hanya lima belas menit. Dia berpikir dia akan segera beristirahat dengan kembali ke kamarnya dan tidur. Tapi begitu melihat banyaknya orang asing yang sudah ada dimana-mana di halaman mansion dalam balutan setelan resmi, Ally kembali cemas.
"Apa aku tidak bisa diberi waktu untuk sekedar mendapatkan waktu sendiri tanpa harus adanya kejutan semacam ini, Bams?" tanya Ally dengan suara lemah dan sudah ingin menangis lagi.
"Aku pun tidak tahu ada apa dan siapa mereka," balas Bams serius saat mobil mereka sudah berhenti tepat di depan mansion.
Setidaknya ada lima orang yang berada di sekitaran lobby mansion. Dua orang berdiri di pintu masuk, dua orang lagi berdiri di dekat taman air mancur, dan satu orang yang terlihat lebih berwibawa dari yang lainnya sedang menatap kedatangan Ally dengan sorot matanya yang begitu tajam.
Ally merasa ciut saat melihat sosok berbahaya itu. Berkepala plontos dengan postur tubuh layaknya seorang tukang pukul, memakai earpiece di satu telinganya seolah itu adalah alat komunikasi wajibnya, dan tidak hanya dia tapi yang lainnya juga memakai peralatan yang sama.
"Selamat sore, Ms. Smith. Perkenalkan, namaku Paul, dan aku adalah kepala keamanan di mansion ini. Mulai hari ini, kau dalam pengawasanku dan kupastikan keselamatanmu terjaga," tegas pria yang bernama Paul itu.
Ally langsung menoleh pada Bams dengan tatapan menuntut. "Apa maksudnya?"
"Sebentar," gumam Bams sambil membetulkan letak kacamata dan melangkah untuk mendekati Paul lalu berbincang dalam nada suara rendah di sana.
Satu tangan kembali ditaruh di dada sambil mengingatkan diri untuk tetap tenang, Ally yakin jika dirinya justru semakin merasa tidak tenang dengan kedua telapak tangan yang dingin. Sudah terlalu lelah untuk mendapatkan informasi yang membuatnya tidak menentu.
Bams kembali dan menatap Ally dengan ekspresi tidak terbaca sehingga membuat Ally semakin merasa waswas.
"Ada sedikit informasi yang aku lupa sampaikan padamu, Ally," ucap Bams dengan suara tidak enak hati.
"Oh, please, just don't," ucap Ally dengan suara yang nyaris berbisik.
"Dalam surat wasiat ayahmu, memang sudah memilih Trinity sebagai investor pilihan dan berhak mengambil alih semua asetnya, termasuk mansion ini," ujar Bams yang membuat Ally memekik kaget.
"Bams! Aku belum... Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan karena aku yakin kita masih berdiskusi tentang pilihan sebelum bertemu dengan bajingan itu!" pekik Ally.
"Kita tidak memiliki banyak waktu dan surat wasiat ayahmu yang sudah memberi keputusan tentang itu," balas Bams lugas.
"Itu berarti aku tidak mempunyai pilihan dan hanya perlu mengikuti aturan mainnya dimana aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi," sahut Ally dengan suara gemetar, berusaha menahan diri untuk tidak histeris sekarang.
"Maafkan aku, Ally," ucap Bams sambil menundukkan kepala.
"Ms. Smith, jika ada lagi yang ingin kau sampaikan, kau bisa menyampaikannya langsung pada Mr. Tristan yang sudah menunggumu di ruang tengah," tiba-tiba Paul bersuara dan semakin membuat Ally pusing kepala.
"Dia ada di dalam sana?" ucap Ally getir sambil menatap Bams yang menuntut penjelasan.
Bams hanya mampu menganggukkan kepala meski tidak mengalihkan tatapannya pada Ally.
"How dare you, Bams!" umpat Ally dengan suara tertahan.
Tanpa sanggup melanjutkan pembicaraan itu, Ally segera berjalan masuk dimana Paul mengekorinya tepat di belakang. Merasa diperhatikan dan diawasi, pikiran Ally berusaha mencerna jika apa yang dirasakannya mungkin saja ulah Ashton padanya. Entahlah. Dia belum bisa berpikir jernih karena terlalu banyak yang harus dipikirkannya.
Saat dia mencapai ruang tengah, dia mendapati Ashton sedang berdiri di tengah ruangan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dengan posisi mengarah ke luar jendela. Berbalik untuk melihatnya, Ashton memberikan ekspresi tengilnya yang membuat Ally mendengus pelan.
Pria itu sudah tidak mengenakan jasnya, kemeja putihnya digulung sampai batas siku, dan masih terlihat tampan tapi memuakkan sampai Ally harus membuang muka ke arah lain. Dia mengarahkan tangan pada Paul untuk menyuruhnya pergi dan meninggalkan mereka berdua.
"Sangat menyenangkan bisa melihatmu kembali setelah kuusir dari kantor," ujar Ashton sambil menyeringai sinis.
"Apa kau ingin mengusirku kembali dari rumah keluargaku sendiri?" balas Ally dingin.
"Tentu tidak," sahut Ashton langsung. "Tapi perlu kutegaskan bahwa rumah ini bukan milik keluargamu lagi. Ini sudah jadi milikku, meski sebenarnya masih atas namamu. Semua sudah tertulis di wasiat ayahmu dan aku hanya menjalankannya."
"Omong kosong," cetus Ally sambil menatap Ashton datar.
Ashton tertawa geli. "Terserah apa katamu, tapi kau tidak bisa melakukan apapun saat ini."
"Kalau begitu, aku akan pergi dari sini dan membiarkanmu menguasai semuanya. Jika kau ingin membalas dendam, kuucapkan selamat karena kau berhasil melakukannya atas keluargaku," tukas Ally sambil menyipit tajam dan kemudian segera melangkah hendak menaiki anak tangga untuk menuju ke kamarnya.
Belum mencapai satu anak tangga pun, Ally tersentak saat merasakan tangan besar mengepal erat lengannya dari sisi kiri dan menariknya cepat sehingga tubuhnya terbentur dengan tubuh Ashton yang terasa begitu keras.
"Aku tidak mengizinkan siapapun meninggalkanku saat aku belum selesai," desis Ashton dengan sinis dan tatapan yang begitu menyakitkan.
"Aku tidak peduli," sahut Ally dengan satu alis terangkat dan tidak gentar untuk membalas tatapan Ashton. Pria itu bisa mencium rasa takut dan Ally sama sekali tidak ingin memberikan apa yang diinginkannya.
"Kau tidak mempunyai hak untuk menolak!" tukas Ashton dengan tenang tapi penuh penekanan.
"Sekalipun kau memiliki semua yang ada di sini, tapi kau tidak punya hak untuk mengaturku. Diriku adalah milikku, bukan milikmu," ucap Ally tegas sambil menepis tangan Ashton dari lengannya tapi cengkeraman itu tidak mengendur melainkan mengetat.
"Sayang sekali, kau pun milikku," tukas Ashton tanpa ragu.
"Aku bukan milikmu, Bajingan!" sahut Ally marah. "Lepaskan aku!"
"Kau tidak bisa kemana-mana!" ujar Ashton santai tapi sama sekali tidak melepas cengkeramannya meski Ally masih berusaha untuk melepaskan diri.
"Aku akan pergi dari sini!"
"Tentu saja tidak. Masih banyak yang harus diselesaikan dan kau tidak bisa pergi begitu saja sebab aku tidak akan membiarkanmu pergi seperti waktu itu oleh karena tindakan ayahmu yang begitu pengecut!"
"Kalau begitu, pergi dari sini! Aku tidak ingin melihatmu!" desis Ally geram.
"Apa kau tuli, Sayang?" tanya Ashton dengan ekspresi meringis yang palsu. "Kubilang jika mansion ini sudah menjadi milikku dan itu berarti kau yang menumpang di sini."
"APA?" seru Ally kaget.
"Yes, dan kamar utama yang adalah kamar orangtuamu, kini menjadi kamarku," tambah Ashton yang terkesan sengaja untuk membuat Ally semakin geram.
"Dan kau akan pindah kamar karena kita akan tidur bersama. Aku tidak suka tidur sendiri," kembali Ashton melanjutkan.
"Kau tidak akan mendapatkan hal yang menjijikkan seperti itu," sembur Ally sambil mendorong bahu Ashton tapi pria itu terlalu kuat sehingga usaha apapun yang dilakukannya menjadi sia-sia.
"Kenapa tidak? Semua hutang ayahmu sudah dilunasi olehku. Tanpa satu sen pun yang tertinggal. Dan di saat kau meluapkan emosi di perkebunan itu, aku melakukan pembicaraan kepada divisi teknik dan pelaksana untuk segera melakukan penyugaran lahan agar segera bisa dikerjakan," balas Ashton dingin sambil menangkap dua tangan Ally yang terus berusaha mendorongnya.
"Bukan berarti kau berhak mengatur diriku juga! Kau sudah memiliki semuanya dan aku tidak perlu berada di sini lagi!" desis Ally dingin.
"Tentu, kau tidak perlu berada di sini dan sebaiknya kau beristirahat lebih dulu. Bernardette sudah menyiapkan air hangat untukmu berendam di kamar utama, kau bisa langsung menuju ke sana karena semua barang-barangmu sudah dipindahkan," ucap Ashton sambil melepas Ally dan mengambil jarak untuk bisa menatap ekspresi Ally sambil menyeringai puas.
"A-Apa?"
"Aku yakin kau tidak tuli," sahut Ashton.
"Aku tidak mau!"
"Kau akan aman bersamaku."
"Tidak! Aku tidak mau dan aku lebih memilih pergi dari sini sekarang juga daripada harus berada dalam satu kamar denganmu!"
"Kau tidak punya pilihan."
"Kau gila!"
"Memang! Aku memang gila, apa kau baru tahu itu?"
Tidak mampu membalas karena Ally tiba-tiba sudah terisak sambil menatap Ashton lirih. Jika dalam dua minggu, Ally merasa kosong oleh karena kepergian orangtuanya yang begitu tiba-tiba, kini dalam waktu kurang dari sehari, Ashton sudah menghancurkannya. Entah apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai harus mengalami keadaan yang sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikirannya.
"Jika kau menangis hanya untuk mencari simpati, maaf sekali kalau aku tidak memiliki belas kasihan. Hatiku tidak semurah itu, Sayang," ucap Ashton dengan ekspresi bosan.
Ingin rasanya Ally memaki tapi tidak ada gunanya. Dia menangis karena sudah terlalu marah hingga tidak mampu untuk mengungkapkannya.
"Pada intinya, aku tidak bisa," ucap Ally akhirnya.
"Kau harus bisa karena itu adalah keharusan! Aku yang berkuasa dan yang memberikan ketetapan di mansion ini sekarang. Suka atau tidak, mau atau tidak, kau harus menerimanya," ujar Ashton sarkas.
"Wasiat ayahku tidak mungkin membiarkan putrinya menjadi simpanan bajingan sepertimu setelah berhasil memiliki apa yang jadi kepunyaannya," tukas Ally sambil menatap Ashton dengan penuh kebencian.
"Memang tidak! Jauh dari kata simpanan karena kau terlalu indah untuk disimpan, Sayang. Sebaliknya, aku sudah mempersiapkan semuanya karena Sabtu ini, kita akan bertunangan," celetuk Ashton santai.
Ally mengerjap kaget dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Bertunangan? batinnya mengerang. Untuk bertemu kembali dengan Ashton saja tidak pernah terbersit dalam pikirannya.
"Kau memang gila dan aku tidak bisa mengikuti kegilaan ini," gumam Ally seperti berbicara dengan dirinya sendiri sambil memeluk tubuhnya dengan perasaan kalut.
"Beristirahatlah, Ally. Aku tidak suka melihat wajahmu yang terus berkerut seperti itu. Sedikit senyuman bisa membuat otot-otot wajahmu rileks," ujar Ashton yang terlihat senang di sana.
"Aku benar-benar membencimu," ucap Ally sambil menatap Ashton seperti yang diucapkannya.
"Aku juga," balas Ashton ceria. "Jadi, beristirahatlan dan jangan mengabaikan perintahku."
Tanpa berkata apapun, Ally segera berbalik untuk menaiki anak tangga dalam derap langkah yang cepat. Hal pertama yang dia lakukan adalah menuju kamarnya dan tersentak melihat isi kamarnya yang kosong. Tidak ada ranjang dan meja riasnya. Menuju ke kloset pribadi, lemari-lemari pakaiannya pun kosong. Tidak ada apapun.
Segera keluar dan menyusuri lorong panjang menuju kamar utama yang tadinya adalah kamar orangtuanya, dia mendapati ranjang besar di kamar itu sudah berganti dengan yang baru. Begitu juga dengan dekorasi kamar yang didominasi dengan warna gelap. Meja rias yang ada sudah dipenuhi oleh barang-barang pribadinya, begitu juga dengan lemari yang sudah terisi pakaian-pakaiannya berbarengan dengan koleksi pakaian asing yang diyakininya adalah milik Ashton.
"Ally," panggil Bernardette dari arah belakang dan Ally langsung menoleh pada kepala asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya selama dua dekade itu.
"Apa yang terjadi? Aku baru meninggalkan mansion ini tidak lebih dari lima jam," tanya Ally dengan suara gemetar.
"Saat kau dan Bams pergi, ada banyak orang yang datang memenuhi mansion ini seolah sudah mengetahui tata letaknya. Mereka mengenalkan diri sebagai pihak Trinity yang sudah mengambil alih hak mansion ini jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat mereka memindahkan semua barang-barangmu, menguras isi kamar ini, dan mengganti semuanya dengan yang baru," jawab Bernardette lirih.
Mendengar jawaban Bernardette, Ally tidak mampu berkata apa-apa lagi selain terisak kencang dan membiarkan Bernardette memeluknya. Semua terjadi begitu cepat sampai dia tidak bisa mencerna apapun. Dia merasakan hidupnya sudah bertambah hancur dan semakin berat
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Semoga malam minggunya menyenangkan walau tiba2 hujan.
Cuaca makin nggak menentu, kalian harus jaga badan dan istirahat yang cukup, oke?
I purple you. 💜
13.05.23 (22.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top