Playing With The Devil 8
"D-D-Dik ...."
Betapa pun besar Eliz mengupayakan usahanya, tapi nama itu tetap saja tak bisa tuntas ia ucapkan. Selalu ada saja yang membuat ia menjadi gagal dalam upayanya. Untuk menciptakan jarak dan waktu yang ia butuhkan. Dalam tuntunan tubuh yang menginginkan ketenangan.
Oh, astaga. Saat ini Eliz dan ketenangan adalah dua kutub berbeda yang tak saling mengenal.
Karena sangat mustahil rasanya Eliz bisa tenang tatkala ada sentuhan bertubi-tubi yang ia terima. Di bibirnya. Dengan teramat lembutnya. Yang dalam deburan begitu keras justru mengguncang dirinya.
Dika layaknya polisi yang tidak memberikan kesempatan bagi buronannya untuk kabur. Tidak memberikan kesempatan untuk Eliz bisa melepaskan diri darinya. Karena ketika bibirnya sudah kembali menjajah bibir Eliz, maka Dika mendapati dirinya yang telah berubah. Dari seorang polisi menjadi seorang pemburu.
Lantaran satu kecupan yang ia dapatkan membuat Dika tak bisa lagi berpikir dengan waras. Ia tak dapat berhenti. Menyadari bahwa satu sentuhan yang ia ambil menuntut dirinya untuk mendapatkan sentuhan selanjutnya.
Dika menahan tekuk Eliz. Menelengkan kepalanya. Membuka bibirnya. Menjulurkan lidahnya. Lau bergerak dalam satu usapan yang membuat Eliz menahan napas di dadanya.
Tubuh Eliz bergetar hingga ke ujung kaki. Jari-jarinya menekuk dalam dorongan yang tak mampu ia tahan. Sensasi aneh nan asing itu membuat ia makin tak mampu berpikir lagi. Alih-alih terdesak dalam jurang tanpa kesadaran.
Basah dan hangat.
Eliz mendapati tubuhnya seperti mati rasa, tapi anehnya jutru mampu dengan jelas merasakan kesan itu. Yang membuat ia makin tak berdaya. Terombang-ambing dalam pusaran yang tak mampu ia jelaskan. Apakah itu?
Tak ada yang bisa menjawabnya. Tak pula ada yang berniat menjawabnya. Karena Eliz pun alih-alih menanyakannya, ia justru melakukan hal yang sebaliknya. Tanpa sadar diam. Di sela-sela erangan yang entah bagaimana bisa lolos dari tenggorokannya.
"Aaargh ...."
Eliz membuka matanya. Yang entah sejak kapan terpejam dalam buaian ciuman yang Dika labuhkan. Ia mengerjap, sekali. Hanya untuk menyadari dalam hitungan yang amat cepat. Betapa memalukannya suara itu. Terkesan erotis. Penuh dengan nada sensual. Tapi, nahasnya tak bisa ia tahan.
Ada desakan dalam dada Eliz yang memberontak. Mendorong tubuhnya memberikan reaksi di luar nalar yang tak pernah ia duga sebelumnya. Bahwa ketika ciuman itu semakin dalam menjajah bibirnya, ia makin terperosok dalam lembah yang memerangkap dirinya.
Eliz tak bisa kabur. Eliz tak bisa melarikan. Lebih dari itu Eliz hanya bisa pasrah. Terbawa aliran yang membuat ia tak melakukan apa-apa tatkala lidah Dika memberikan usapan yang selanjutnya.
Karena ketika sekali usapan ia lakukan, Dika mendapati bagaimana sensasi itu menarik dirinya. Membuat ia ingin melakukan hal yang serupa untuk yang kesekian kalinya. Dan itulah yang ia lakukan.
Lidah hangat cowok itu kembali melakukan penjelajahannya. Meraba kedua belah bibir Eliz dengan pergerakan samar yang membuat tubuhnya terasa memanas. Oh, bagaimana bisa? Sementara di luar sana hujan beserta angin tengah memerangkap bumi, di sini ia justru merasakan yang sebaliknya.
Kelembutan bibir Eliz membuat Dika tak mampu untuk berpikir. Ia tak ingin membuang-buang waktu hanya demi mendapatkan satu jawaban yang tak penting. Lantaran di saat ini, pada waktu ini, di mata Dika tidak ada yang lebih penting lagi selain mendobrak pertahanan tak seberapa yang tersisa dari Eliz.
Dika menekan bibir Eliz. Untuk kemudian dengan menggunakan ujung lidahnya, ia menyelinap di antara bibir yang telah memberikan setitik celahnya. Ia menusuk. Ia masuk. Dan telinganya mampu mendengar. Ada desahan tertahan yang berasal dari cewek itu.
Makin tersulut, Dika tak segan-segan untuk memasuki mulut Eliz dengan sungguh-sungguh. Yang tanpa ada halangan atau pun rintangan, lidah Dika pun menemukan alam yang tak pernah ia jajaki sebelumnya. Penuh dengan rasa hangat, rasa panas, dan rasa manis. Yang berpadu sempurna dalam basah dan pesona tak terelakkan.
Eliz tersentak. Tepat ketika ia merasakan bagaimana lidah Dika memasuki mulutnya dan melakukan kenakalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dika menggodanya. Membelai dirinya. Di dalam sana. Pada lidahnya yang bergetar pasrah tatkala ada tarian sensual yang mengajaknya untuk berputar-putar.
Tidak bisa tidak, Eliz tidak akan mampu untuk bertahan lagi. Hingga pada akhirnya kedua tangan cewek itu bergerak. Perlahan merayap. Pelan-pelan naik. Menyusuri bidang dada Dika. Hanya untuk mendarat di pundaknya. Berpegang di sana. Dalam cengkeraman jari-jari tangannya yang butuh pertahanan.
Agar Eliz tidak terhempas. Agar ia tidak melayang. Agar ia yakin bahwa saat ini ia masih menjejak di bumi. Atau mungkin ... saat ini memang dirinya sudah tak ada lagi di bumi? Alih-alih terbang dalam pelukan maskulin yang membawanya untuk beranjak pergi?
Karena memang itulah yang Dika lakukan beberapa saat kemudian. Ketika ia terlena dalam tarian hangat yang lidahnya lakukan pada Eliz, ia merasa dirinya tak terkendali lagi. Maka ia menarik diri. Memutus sejenak ciumannya. Dan mendapati kehampaan itu membuat dirinya merasa penuh damba. Yang sepertinya turut pula dirasakan oleh Eliz.
Namun, Dika tau bahwa dirinya tak akan cukup hanya sampai di sana. Ini adalah pertaruhan yang setimpal. Menjeda sejenak untuk sesuai yang lebih lagi.
Dika memastikan tubuh Eliz aman di pelukannya. Ia merengkuh cewek itu dengan sigap. Lalu bangkit.
Ada kesiap tertahan Eliz yang terdengar di telinganya. Seiring dengan kedua tangan cewek itu yang lantas segera mengalung di lehernya. Sesuatu yang baru saja ia sadari. Tapi, ia bertanya-tanya di benaknya. Sejak kapan Eliz berpegang padanya?
Sudahlah. Dika tak ingin mencari tau untuk pertanyaan kesekian yang kembali terbersit di benaknya. Alih-alih ia melangkah. Membawa Eliz bersamanya untuk meninggalkan lantai beralaskan karpet itu.
"D-Dika ...."
Eliz yang bersuara dengan gagap melihat pada Dika. Cowok itu tampak berbeda di matanya. Dan dari sorot yang memancar di sana, Eliz mendapati bagaimana tubuhnya yang seketika menegang. Dalam rasa penasaran yang seketika saja datang. Akan dibawa ke manakah dirinya oleh cowok itu?
Tidak bisa tidak. Kemungkinan yang sempat muncul di pikiran Eliz terbukti benar. Karena hanya butuh dua detik lamanya untuk kemudian tubuhnya terbanting ke atas tempat tidur yang empuk. Bersama dengan Dika yang langsung menindih di atas tubuhnya.
"Dik---"
Nama itu putus dari ucapan Eliz. Lantaran setelah sekali pantulan lembut yang mempermainkan mereka sejenak, Dika dengan cepat langsung menyambar kembali bibir cewek itu. Melenyapkan semua kata-kata yang mungkin saja akan Eliz katakan.
Astaga. Sekarang, Eliz sepertinya bisa menebak ke mana semua itu akan menuju.
"Dik--- Ah!"
Desahan Eliz lolos. Tepat ketika ciuman Dika melepaskan bibirnya dan kemudian cowok itu beranjak demi melabuhkan sentuhan yang sama di tempat lain.
Tangan Eliz bergerak tak tentu arah. Di atas seprai yang halus itu, jarinya mencari-cari. Apa pun yang bisa untuk ia pegang. Karena ketika bibir Dika menyusuri pipi dan lantas bermuara ke lehernya, ia makin tak berdaya.
Dika merasa itu adalah candu. Yang ketika ia meneguk cicipan pertama, maka ada cicipan kedua yang mutlak harus ia dapatkan pula. Karena bila tidak, tubuhnya tersiksa. Menjerit kesakitan dalam lara yang tak berkesudahan.
Dika tidak menginginkan hal itu terjadi. Dan itulah yang ia lakukan. Melepaskan bibir Eliz adalah hal yang berat baginya. Tapi, ketika kehalusan pipi cewek itu menyapa indranya, ia tau. Semua yang ada di diri Eliz adalah candu yang serupa. Yang memberikan dampak ketagihan yang sama besarnya.
Terus bergerak. Memberikan jejak-jejak basah nan hangat dari bibirnya yang membuka, Dika perlahan turun. Menabur sentuhan yang serupa di garis jenjang leher cewek itu. Di mana Eliz dengan serta merta mengangkat wajahnya. Memberikan izin tak terucap baginya untuk melanjutkan semua kegilaan yang ia rasakan.
Beraroma wangi dengan halus dan lembut kulit yang memabukkan. Dika merasa pening dalam keinginannya untuk mencumbu leher Eliz. Yang selama ini hanya bisa ia lihat tanpa bisa ia sentuh.
"Aaah ...."
Dika tak mampu menahan diri. Membiarkan bibirnya memberikan satu kecupan dalam di sana. Melumatnya. Beberapa detik. Hingga menarik desahan Eliz untuk kembali melantun. Hingga menarik samar warna merah yang amat menggoda.
Eliz meremas seprai. Dadanya sontak naik dalam pergerakan yang amat sensual tatkala kecupan itu mengisap lehernya. Ia bagai tersedot. Ke dalam kawah gairah yang tak mampu ia elak.
Karena rasanya memang mustahil bagi Eliz untuk bisa menghindar. Tatkala Dika menggoda dirinya bukan hanya melalui bibirnya, cewek itu semakin gelisah. Semakin menggila dalam ketidakwarasan yang membuat ia bergerak tak tentu arah.
Dika menciumnya. Kembali. Dengan bibir yang kemudian berpindah ke tulang selangkanya. Bertepatan dengan kedua tangannya yang memutuskan untuk tidak tinggal diam.
Rabaan itu menyusul kenakalan bibir Dika. Mengusap lengan Eliz yang tidak tertutupi oleh lengan piyamanya. Dalam pergerakan samar antara ingin dan tidak ingin menyentuh. Yang mana itu justru membuat Eliz makin gelisah tak tertahankan.
Oh, astaga.
Eliz merasa dirinya terperangkap oleh rasa panas. Terlebih lagi ketika ia rasakan bagaimana pergerakan jari-jari Dika membuat panas itu semakin menjadi-jadi. Menghantarkan gelombang yang serupa ke seluruh tubuhnya.
Pada akhirnya penjelajahan tangan Dika berakhir pula. Tepat ketika ia menangkup gundukan lembut payudara Eliz. Sejenak, tangannya diam. Mungkin ingin menilai situasi. Tapi, Eliz tidak melakukan apa-apa untuk menolaknya.
"Aaargh!"
Desahan Eliz lolos kembali. Tapi, kali ini bukan karena kecupan yang Dika labuhkan di tulang selangkanya. Alih-alih karena lima jari cowok itu meremas payudaranya.
Kaki Eliz bergerak makin gelisah. Hingga tanpa sadar ia membuka. Membentuk celah yang tak akan disia-siakan oleh Dika. Cowok itu mengambil posisi di sana dengan remasannya yang kembali menyerbu Elzi.
Dika merasa gila! Sensasi payudara Eliz di tangannya membuat ia merasa tak mampu bernapas lagi. Dirinya makin terlecut. Gairahnya berkobar. Dan desakan itu membuat ia nyaris gila.
"Liz ...."
Di atas tulang selangka Eliz, Dika mengerangkan nama cewek itu. Dengan tangannya yang masih menjelajah kelembutan payudaranya. Yang kemudian merasa itu tidak akan cukup baginya.
Tangan Dika kembali bergerak. Kali ini menyasar pada kancing-kancing yang berbaris rapi di piyama cewek itu. Mengeluarkannya satu persatu dari lubangnya. Dan menyingkapnya.
Dika merasa silau. Melihat pemandangan payudara Eliz yang tertutup bra feminin bewarna merah muda itu, membuat ia sontak meneguk ludah. Tapi, ia tak bisa menahan diri. Ia langsung menunduk. Mencium kulit halus itu dengan penuh kelembutan.
Eliz memejamkan matanya. Napasnya memburu. Antara malu dan candu, ia menyadari bahwa ia tidak pernah mengira bahwa Dika akan melakukan hal itu padanya.
Menciumnya. Membawanya ke kasur. Menindihnya. Membuka pakaiannya. Tapi, apa yang bisa Eliz lakukan saat ini? Karena dimulai dari ciuman yang ia lakukan, ia merasa seperti tidak mengenal dirinya lagi.
Eliz seperti melihat dirinya dalam bentuk yang berbeda. Bentuk di mana sentuhan Dika menjadi prioritas utamanya. Hingga ketika ia merasakan bibir Dika menyentuh payudaranya, Eliz tidak mendapati ada pilihan yang lebih bagus lagi untuk ia lakukan. Selain menekan kepala Dika untuk memperdalam ciumannya.
Dika butuh lebih dari itu. Tangannya kemudian bergerak. Membabi buta. Menarik lengan piyama Eliz. Dan cewek itu menggeliat. Seperti paham apa yang diinginkan olehnya.
Hingga pada akhirnya atasan piyama itu melayang ke sembarang arah, Dika pun langsung menyasar pada punggung Eliz. Cewek itu mengangkat tubuhnya sedikit. Memberikan jalan bagi Dika untuk melakukan apa yang ia inginkan. Menyingkirkan pula bra itu dalam hitungan detik yang amat singkat.
Polos.
Pada akhirnya tidak ada lagi yang menutupi payudara yang membusung itu.
Mata Eliz membesar. Seperti ada setitik kesadaran yang menampar dirinya. Membuat panas hadir di pipinya.
I-ini? A-aku---
Namun, semua itu langsung lenyap ketika Eliz mendapati Dika yang langsung menyentuhnya kembali. Cowok itu menunduk. Dengan bibir yang langsung menabur aneka macam ciuman di sekeliling payudara Eliz.
Oh, astaga. Seumur hidup, Eliz tidak pernah berpikir bahwa akan ada cowok yang akan melakukan hal itu padanya. Terutama bila cowok itu adalah Dika. Tapi ....
"Aaah!"
Dika menciumnya dengan begitu ahlinya. Eliz merasa tiap kecupan yang Dika berikan bagai buaian tangan dewa yang amat memabukkan. Membuat ia merasa melayang hingga ke atas langit sana. Walau pada kenyataannya, bukan hanya Eliz yang menjadi satu-satunya pihak yang terbang saat ini. Alih-alih Dika pula merasa begitu.
Memejamkan mata, menikmati kulit payudara Eliz, membuat Dika merasa dadanya amat sesak. Penuh akan beragam perasaan yang tak mampu ia uraikan dengan kata-kata mana pun juga. Semua kosakata yang ada di dalam kamus, itu tak berarti lagi.
Rasanya amat memabukkan. Hingga Dika merasa dirinya tidak terkendali lagi. Tangannya bergerak. Meraba ke mana-mana. Pada perut Eliz. Pada pinggang Eliz. Hingga ... pada payudara Eliz.
Dika meremas payudara itu. Berulang kali. Menikmati sensasi tak terungkapkan yang memenuhi telapak tangannya.
Sungguh! Dalam mimpi terliar pun Dika tidak akan pernah berani memimpikan dirinya melakukan itu pada Eliz. Tapi, yang terjadi saat ini bahkan lebih dari sekadar mimpi belaka.
Ini adalah kenyataan. Sesuatu yang membuat Dika makin tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Ia membuka mulut. Merasa bahwa ciuman tak akan pernah cukup baginya.
"Ah!"
Eliz merasa tersentak. Lantaran tanpa peringatan, Dika telah melahap satu puting payudaranya. Melenyapkan titik sensitif itu ke dalam mulutnya yang hangat dan basah.
Dika menggoda puting Eliz. Di dalam mulutnya, dengan menggunakan lidahnya, ia membelai bagian itu. Mempermainkannya. Hingga ia merasakan bagaimana jari-jari Eliz yang kemudian meremas rambutnya.
"Dik, oh ...."
Eliz pikir dirinya nyaris gila saat ini. Ia mungkin tidak akan mampu bertahan ketika cumbuan yang Dika lakukan padanya semakin menjadi-jadi. Dari remasan tangannya dan sekarang kuluman mulutnya.
Dika pun merasakan hal yang serupa. Mencumbu payudara Eliz benar-benar melapetaka terindah yang pernah ia dapatkan. Ia seperti ingin mati saja dalam aneka sensasi yang menyergap seluruh indranya.
Melepaskan puting Eliz, Dika mendapati napasnya yang terengah-engah. Dalam pencahayaan yang terbatas, samar ia melihat hasil karyanya di sana. Puting Eliz tampak mengkilap, menegang, dan basah. Dan oh! Tentu saja ia harus melakukan hal yang serupa pada puting yang lainnya.
Dika beralih. Melakukan cumbuan yang sama pada puting lainnya. Sementara itu, untuk yang ia tinggalkan, mendapatkan kenakalan jari-jari tangannya. Yang ketika Dika mengisap, menyedot, dan melumat puting Eliz, maka ada tangannya yang tidak tinggal diam.
Dika meremas payudara Eliz. Lalu memutir puting itu. Mencubit-cubitnya. Dan mengusapnya.
"Oh oh oh ...."
Eliz tak lagi peduli ketika ia kembali mengeluarkan desahan itu. Ia tak bisa menahannya. Sama halnya dengan ia yang tak bisa menahan dirinya untuk terus meremas rambut Dika. Sebagai pelampiasan hasrat akan respon untuk sentuhan yang cowok itu berikan padanya.
Tubuh Eliz makin tidak terkendali. Dalam serangan cumbuan yang ia dapatkan, cewek itu merasa tubuhnya bergerak di luar kesadarannya. Ia meracau. Ia makin gelisah. Kedua kakinya pun menendang-nendang tak tentu arah. Yang mana itu bukan untuk mengusir Dika. Tentu saja bukan. Tapi, itu adalah bentuk keputusasaan Eliz yang merasa dirinya benar-benar sudah gila.
"Liz."
Terengah-engah, Dika kemudian melepaskan payudara Eliz. Ia sedikit menarik diri. Bertopang pada kedua tangannya. Menunduk. Melihat pada Eliz yang perlahan membuka mata.
Dika tercekat. Bisa dengan jelas menangkap sorot apa yang terpancar di kornea bening itu. Yang tampak penuh oleh gabut gairah. Yang ia yakini telah memenuhi matanya pula.
Jakun Dika naik turun. Dadanya pun melakukan pergerakan yang sama. Ia menatap Eliz. Beberapa detik. Dan lalu ia sadar bahwa ia tidak akan mundur malam ini.
Dika tidak akan memutar tubuh ketika Eliz yang setengah polos tampak pasrah di bawahnya. Dengan wajah memerah dan napas menderu. Dengan gairah dan keinginan yang ingin segera bersatu.
Memaku tatapan mata Eliz, Dika benar-benar bangkit kali ini. Berlutut dengan tubuh Eliz di antaranya, ia meraih tepian kaus yang ia kenakan. Melepasnya dengan cepat. Dan mengabaikan sekilas keterkejutan di mata cewek itu.
Dika tidak akan membuang waktu. Sedetik pun tidak.
Dengan cepat ia melucuti celananya berikut dengan celana dalamnya. Dan setelahnya ia pun melakukan hal yang sama pada Eliz.
"Dik ...."
Eliz meneguk ludah. Merasa panas di kedua pipinya. Tak mencegah, tapi nyatanya cewek itu sekejap bingung dengan apa yang kemudian telah terjadi di antara mereka. Astaga! Tak lagi ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka berdua.
"Liz," lirih Dika parau. Ia langsung menaungi Eliz. "Please ...."
Suara yang menyiratkan keputusasaan itu meluluhlantakkan sebutir kesadaran yang Eliz pertahankan. Ia merasa tersentuh. Dan lagipula ... ia merasa kekosongan yang membuat ia tanpa sadar mengangkat tangannya.
Jari-jari lentik Eliz mendarat di pipi Dika. Menyentuhnya dengan kelembutan yang membuat cowok itu menggertakkan rahang kuat-kuat. Jantungnya mengancam akan meledak saat itu juga ketika tak mengira bahwa Eliz akan memberikan sentuhan selembut itu padanya.
Eliz tidak mengatakan apa-apa. Tapi, dari sorot yang terpancar dari matanya, Dika tidak akan salah menebak. Eliz tidak menolaknya. Alih-alih sebaliknya. Cewek itu justru menarik wajahnya. Demi menyatukan kembali bibir mereka dalam satu ciuman dalam.
Dika mendarat di atas tubuh polos Eliz. Merasakan tekanan lembut payudara Eliz di dadanya. Bersamaan dengan bibir mereka yang saling membuka untuk mampu mencicip satu sama lain.
"Aaargh ...."
Eliz kembali mengerang. Dika mengisap lidahnya. Kembali menggodanya dalam lumatan dan gigitnya yang membuat Eliz tersulut untuk melakukan hal yang sama. Seiring dengan tangannya yang lantas mendarat di punggung Dika.
Tangan Dika kembali melakukan penjelajahannya. Yang mana sekarang penjelajahan itu menjadi hal yang amat menyenangkan. Berkat tak ada lagi pakaian di antara mereka, semuanya terasa lebih menyenangkan lagi bagi keduanya.
Jari Dika menyusuri lekuk pinggang Eliz yang ramping. Lalu membelai perutnya. Untuk kemudian perlahan turun. Menyusuri pahanya. Mengusapnya berulang kali.
Eliz menggeliat. Membuka kakinya. Dorongan hasrat ketika rasa geli mulai menyeruak di dirinya.
Ada kehangatan yang menyapa samar kulit perut Dika. Kelembaban yang membuat tubuh cowok itu seperti bergetar. Ia menahan napas sejenak. Lalu jarinya kembali bergerak.
"Ah!"
Desahan Eliz menggema di dalam mulut Dika. Tepat ketika ia merasakan ada sentuhan asing yang menyapa kewanitaannya di bawah sana.
Dika menemukan sumbernya. Di mana rasa hangat dan lembab itu berasal. Pada satu lembah yang membuat ia tak bisa menunda-nunda lagi.
Ciuman terputus. Dika menatap Eliz. Memakunya. Dalam beberapa detik yang terasa lama sekali baginya. Hingga pada akhirnya, cowok itu beringsut.
Eliz menahan napas. Mendapati tubuhnya yang sontak menegang. Sesuatu yang mendorong Dika untuk kembali melabuhkan ciumannya.
Sentuhan bibir Dika berhasil membuai Eliz untuk yang kesekian kalinya. Membuat matanya seketika terpejam lagi. Hanyut kembali.
Dika merasakannya. Bagaimana Eliz yang kembali santai tubuhnya. Yang kembali melunak di bawah sentuhan dan cumbuannya. Yang kembali ... membuat ia tak bisa mundur lagi.
Pada akhirnya, ketika Dika yakin Eliz telah siap, ia pun beringsut. Sedikit demi mengambil posisi yang tepat. Untuk mengarahkan kejantanannya yang sudah terasa nyeri dari tadi.
Dika menahan napas. Mencium Eliz dengan dalam. Dan lalu ... ia menusuk.
Melaju menembus kewanitaan Eliz dalam satu hunjaman telak. Satu hal yang sontak membuat Eliz tersentak dengan mata membesar. Kesiap tertahannya menggema dalam ciuman mereka.
Dika menahan diri. Sedikit mengangkat wajahnya. Melihat pada Eliz yang tampak berkaca-kaca di matanya.
"Liz."
Dika disengat oleh rasa bersalah. Hingga nyaris membuat ia tak mampu lagi bicara. Terlebih lagi ketika dilihatnya bagaimana Eliz yang beberapa kali menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya.
"Sorry."
Dika tidak tau apa yang harus ia katakan pada Eliz. Ia tidak akan pernah tau seperti apa rasa sakitnya. Tapi, ia mencoba untuk membantu cewek itu. Ia membelai rambutnya dengan lembut. Lalu mengecup matanya secara bergantian.
"Maaf," pinta Dika. "Aku nggak maksud buat nyakitin kamu."
Lagi, Eliz mendapati bagaimana Dika yang bicara begitu lembut padanya. Sesuatu yang membuat perasaannya menjadi amat tersentuh. Membuat Eliz seperti tidak bisa melakukan apa-apa. Selain menggeleng.
"Ng-nggak apa-apa."
Ada ketulusan yang Dika rasakan dari ucapan Eliz. Hal yang membuat perasaan bersalahnya semakin menjadi-jadi. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Menarik diri pun tidak akan mengubah semua yang telah terjadi. Dan lagipula, bila seandainya Dika memang ingin melakukan itu, rasanya sekarang seperti mustahil. Lantaran bagaimana ia yang merasakan ada yang berbeda di bawah sana.
Dika mengerjap. Samar merasakan ada pergerakan yang terasa membuai kejantanannya.
Butuh waktu beberapa saat bagi Dika untuk memberikan kenyamanan pada Eliz. Ia tidak ingin bertindak egois. Cukup sudah ia melihat sekelebat air mata ketika Eliz kehilangan keperawanannya. Ia tidak ingin menambahnya dengan hal buruk lainnya.
Dika mengecup sisi kepala Eliz. Membelai rambutnya. Mengusap tangannya. Dan melakukan semua yang ia bisa untuk menenangkan cewek itu.
Hingga pada akhirnya, deru napas Eliz berubah. Desahannya kembali terdengar. Dan tubuhnya lagi-lagi menggeliat.
Dika menyambut sinyal tersebut. Tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menarik pinggangnya sedikit. Membawa kejantanannya untuk keluar dari kewanitaan Eliz. Hanya untuk kembali menusuk di detik selanjutnya.
"Ah!"
Bagi Eliz, itu tetap saja adalah sesuatu yang asing. Bahkan ketika Dika telah memberikannya waktu untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan itu, hasilnya tidak terlalu banyak berubah. Ia masih merasa kaget ketika mendapati hunjaman selanjutnya memenuhi kewanitaannya.
Itu ... benar-benar penuh.
Seperti Eliz yang merasa dirinya akan meluap ketika kejantanan Dika memasukinya. Tapi, tatkala Dika keluar dari dalam dirinya, ia merasakan kehampaan. Kekosongan yang membuat ia ingin untuk dimasuki kembali. Berulang kali.
Dan Dika tentu saja melakukan itu dengan senang hati. Keluar masuk berkali-kali dalam pergerakan padu yang amat teratur. Ia seperti tersihir untuk melalui tiap sensasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Ah ... ah ... ah ...."
Eliz jelas benar-benar telah melupakan rasa sakitnya. Karena beberapa saat kemudian, desahan cewek itu mengalun mengisi udara di kamar itu. Tanpa jeda sedikit pun. Layaknya itu adalah musik yang mengiringi tarian sensual mereka untuk terus mendayu.
Bersama-sama, saling memeluk dan merengkuh, dua insan itu bergerak dalam geliat gairah yang begitu indah. Dalam deru napas yang makin menggebu. Di sela-sela basah keringat yang membuat liat tubuh keduanya.
"Oh ... oh ... oh ...."
Eliz memejamkan mata. Merasa pening dalam percintaan pertama yang amat memabukkan dirinya. Ia tak berdaya. Layaknya korban tenggelam yang hanyut dalam gelombang pasang.
"Liz."
Di telinga Eliz, Dika menggeramkan nama cewek itu. Ia mencumbu daun telinganya. Menggigitnya. Dan lalu menjilatnya.
Eliz merasa gemetaran. Ada sensasi aneh yang membuat ia lantas menancapkan kesepuluh kukunya di punggung cowok itu. Ia terdesak. Ia tersudut. Oleh keinginan dan hasrat yang membuat ia menegang.
"Dik, ah ...."
Eliz merengek. Layaknya anak kecil yang kehilangan permennya. Dan memeluk Dika dengan begitu erat.
Dika balas memeluk Eliz dengan sama eratnya. Jelas menyadari bagaimana napas cewek itu yang berubah. Semakin berat dan semakin menderu. Dan tak hanya itu, ia pun bisa merasakan dengan jelas bagaimana tubuh Eliz yang terasa amat tegang di bawahnya.
Dika menahan perut Eliz. Menarik pinggangnya. Lalu mendesak dengan begitu dalam.
"Ah!"
Eliz tersentak. Tapi, ia tidak menolak. Ia masih merengek. Semakin meracau.
Rengkuhan Dika semakin kuat. Semakin mempertahankan Eliz. Demi membawa kejantanannya dapat memasuki Eliz dengan mulus. Demi membuat tubuh Eliz bergetar. Karena beberapa detik selanjutnya, pekikan cewek itu benar-benar diwarnai oleh getaran di seluruh tubuh Eliz.
"Aaah!"
Eliz merasa dirinya tak ubah seperti balon yang pecah. Yang isi di dalamnya berhamburan ke udara. Menjadi berkeping-keping bagian yang tak mampu dikumpulkan lagi.
Itu adalah kenikmatan pertama yang tak akan pernah Eliz lupakan. Sensasi yang membutakan matanya. Hal terindah yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Dan begitu pula yang dirasakan oleh Dika. Yang ketika ia mengetahui Eliz mendapatkan kenikmatannya, maka ego pria di dirinya terbanting hingga ke langit ketujuh.
Dika jumawa. Merasa di atas angin. Merasa bangga. Merasa bahagia. Hingga hal itu memberikan lecutan bagi gairah yang masih memerangkap dirinya.
Kejantanan Dika tidak berhenti menjajah kewanitaan Eliz. Pinggang cowok itu pun tidak berhenti bergerak. Pun tubuhnya pun tidak menjeda sedikit pun percintaan yang masih berlangsung di antara mereka.
Dika menarik pinggang Eliz. Sedikit memperbaiki posisi cewek itu. Dengan satu kakinya yang kemudian ia tarik. Dengan sengaja mendaratkannya di atas tubuhnya.
Menarik napas dalam-dalam, Eliz butuh beberapa detik untuk menenangkan dirinya. Kepalanya seperti kosong. Pandangannya seperti hitam. Tapi, ia dengan pasti tetap bisa merasakan. Bahwa Dika masih membuai mereka berdua. Dengan pergerakan yang sama sekali tidak mengendur, Eliz tau bahwa semuanya belum berakhir.
Semua tidak akan berakhir hingga semua benar-benar berakhir. Itulah yang kurang lebih Eliz tangkap ketika ia mendapati pergerakan Dika yang masih teratur dan padu. Yang kembali menarik dirinya untuk turut menari bersama.
Meliuk dengan penuh sensual, Eliz mengikuti pergerakan maskulin Dika. Yang membawa dirinya kembali mendaki menuju puncak gunung yang tertinggi.
Karena setelah melewati detik demi detik, Dika menyadari bagaimana dunia semakin kabur dalam pandangannya. Mungkin itu karena keringat yang sudah membanjiri wajahnya. Yang terkadang masuk ke matanya dan membuat matanya sedikit terganggu.
Namun, ketika Dika mengerjap sekali, ia justru mendapati pemandangan terindah yang pernah ia lihat. Adalah Eliz yang dengan wajah merona tampak terengah-engah. Dalam desahan yang beberapa kali diselingi oleh lirihannya yang menyebut nama dirinya.
"Dika ...."
Oh, astaga. Dika tidak pernah mengira bahwa akan ada masa di mana Eliz menyebut namanya dengan begitu intim. Dalam nada sensual yang membuat gairahnya semakin memuncak.
Dika tak bisa bertahan lebih lama lagi. Terutama dengan fakta bagaimana kenikmatan Eliz membuat kejantanannya makin dibuai di dalam sana.
Hangat.
Basah.
Kuat.
Semua itu seperti memerangkap kejantanan Dika dalam jeratan yang amat mencekik. Ia nyaris tak mampu bernapas lagi. Ia nyaris tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Selain terus dan terus menikmati kewanitaan Eliz.
Pinggang Dika bergerak tanpa henti. Maju dan mundur berulang kali. Membawa kejantanannya untuk keluar dan masuk berkali-kali.
"Ah ah ah ...."
Eliz memejamkan mata. Memeluk Dika dengan begitu kuat. Membiarkan keringat mereka bercampur menjadi satu. Untuk kemudian menyerbakkan aroma kebahagiaan di mana-mana.
"Argh! Argh! Argh!"
Dika menggeram. Satu tangannya kemudian menahan pundak Eliz. Mempertahankan posisi cewek itu ketika lecutan demi lecutan membuat ia semakin membabi buta.
Waktunya sudah hampir tiba. Dika tau itu.
Maka didahului oleh satu geraman kasar, Dika mempercepat pergerakannya. Ia mendesak. Ia menusuk. Ia menghunjam. Dengan teramat kuat hingga Eliz perlu ditahan agar tidak terlonjak dari tempatnya.
"Argh! Argh! Argh!"
Eliz memeluk Dika dengan amat kuat. Karena keinginan hatinya. Dan karena desakan gairahnya pula. Lantaran di beberapa detik kemudian ia merasakan bagaimana satu hantaman kembali membutakan matanya.
Kewanitaan Eliz terasa menegang di dalam sana. Lantaran kenikmatan yang kembali ia rasakan. Satu keadaan yang membuat Dika jadi hilang akal.
"Argh! Argh! Argh!"
Semua sensasi itu benar-benar membuat Dika tak berdaya. Ingin menikmati percintaan itu lebih lama lagi pun menjadi hal yang mustahil. Semua benar-benar tak terbendung. Hingga Dika pun tak memiliki pilihan lain. Selain memasrahkan diri dalam gairah yang menuntut pelepasan dalam waktu dekat.
Dika menggebu. Bergerak dengan begitu bersemangat. Tanpa jeda sedikit pun. Hingga ia lepas kendali. Ia tak lagi mampu bertahan. Dan pada akhirnya, bersama-sama dengan Eliz, ia pun hancur dalam kenikmatan itu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top