Playing With The Devil 4
Dika itu adalah bencana.
Berdua saja dengan Dika itu adalah kiamat.
Itu adalah ketetapan alam yang menjadi hukum mutlak di dunia Eliz. Dari dulu hingga kini. Hal itu pasti tidak akan berubah.
Gimana ceritanya aku harus ngabisin satu malam ini berdua aja dengan Dika? Ya ampun. Bisa abis aku dikerjain sama cowok itu.
Jangankan sampai hal itu terjadi, bahkan hanya dengan membayangkan kemungkinannya saja sudah membuat Eliz merasa pusing. Tekanan darahnya seperti turun drastis.
Eliz butuh waktu untuk menenangkan diri. Ia harus menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan, dan mengulangi itu beberapa kali. Tapi, nyatanya itu tidak berdampak nyata bagi dirinya. Lantaran suara ketukan yang tak putus-putus terdengar di pintunya.
Ehm ... tidak perlu ditanya dan tidak perlu dijawab. Itu pasti adalah Dika orangnya.
"Liz. Eliz ...."
Setitik ketenangan yang berusaha untuk Eliz bangun, rontok seketika. Hancur lebur tepat ketika suara Dika terdengar.
"Aku laper, Liz."
Ya Tuhan. Eliz mencoba untuk tetap bersabar ketimbang melempar kursi ke kepala Dika. Tapi, bagaimana bisa ia tetap bersabar?
Sungguh, kalau ingin mengikuti kata hatinya, ingin sekali Eliz mengabaikan Dika. Terserah deh cowok itu mau lapar atau apa, ia tidak peduli. Tapi, masalahnya adalah Rahmi.
Eliz meringis seraya mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Walau bagaimanapun juga ia adalah anak yang berbakti pada orang tua. Dan entahlah, itu harus ia syukuri atau sebaliknya. Karena ketika sang ibu memberikan titahnya, ia merasa berat untuk tidak menurutinya.
Aku tuh emang terlahir jadi anak yang berbakti sama orang tua. Ya ampun. Ini pasti kalau aku tewas malam ntar, auto langsung meluncur ke surga aku mah.
Mengatakan itu pada dirinya sendiri, bagi Eliz itu bukanlah hal yang berlebihan. Karena menurutnya adalah adalah hal yang wajar kalau ia mati malam nanti. Ada Dika yang bisa menjadi malaikat mautnya kapan pun.
"Liz! Aku laper!"
Suara Dika terdengar meninggi. Membuat Eliz langsung melihat ke arah pintu dengan sorot teramat kesal. Tapi, ia tak punya pilihan lain.
"Sabar!"
Eliz beranjak. Membuka pintu dan menatap Dika tajam.
"Kalau laper kan bisa delivery aja sih? Kok ribet amat jadi cowok. Ngalahin cewek PMS aja."
Setidaknya ketika Dika mendapati pintu kamar Eliz membuka, ia mengembuskan napas lega. Seperti mendapat pertolangan akan keselamatan hidupnya di waktu yang tepat.
"Aku nggak bisa nunggu lagi, Liz. Aku beneran lapar. Aku nggak mau ngambil risiko nungguin kurir yang bisa aja kejebak macet. Apalagi ini lagi jam-jamnya lalu lintas padat."
Memang. Yang dikatakan oleh Dika ada benarnya. Terkadang menjatuhkan pilihan soal perut pada jasa antar adalah tindakan yang berisiko. Lebih aman menggunakannya ketika perut tidak dalam keadaan keroncongan parah. Dan sayangnya, situasi Dika tidak mendukung untuk kemungkinan buruk kali ini.
"Bawel!"
Dika tampak nelangsa. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Memohon. "Please. Masak dong, Liz. Aku beneran laper nih."
Di depannya ada Dika dan di benaknya ada Rahmi. Dua hal yang benar-benar ampuh untuk membuat dada Eliz bergemuruh. Andaikan ia ada pilihan lain, tentu saja ia tidak akan melakukan ini.
Sabar, Liz, sabar. Cuma semalam kok.
*
Sebenarnya bukan hanya mengingat Rahmi mengapa pada akhirnya Eliz mau juga turun ke dapur. Alih-alih karena orang tua Dika pula. Berat mengakui, tapi walau Dika itu suka menjahilinya, orang tua Dika sebaliknya. Amat sayang pada Eliz.
Ini aku masakin kamu bukan karena kamu, Dik. Ini demi Mama, Papa, Mas Noel, Tante Herni dan juga Om Lukman.
Komplit semua anggota dua keluarga disebut oleh Eliz di dalam hati. Tanpa menyertai nama Dika tentunya. Tapi, sejurus kemudian berubah. Karena Eliz pada akhirnya justru menjeritkan nama itu.
"Dik! Dika! Dikaaa!"
Mungkin towa akan langsung minder mendengar teriakan Eliz yang menggelegar kala itu. Amat menggelegar hingga tak butuh waktu lama Dika datang. Datang dengan berlari dan wajahnya tampak bingung.
"Kenapa?" tanya Dika cepat. "Kamu luka? Atau gas abis?"
Sikap yang berlebihan di mata Eliz. Hingga membuat mata cewek itu berputar dengan malas sekali. Ia menunjuk pada kentang dan wortel di kitchen island menggunakan pisau di tangannya.
"Kupasin ini."
Dika mengerjap sekali. "Hah?"
"Hah?" delik Eliz. "Mau makan nggak? Kalau mau, kupasin ini. Atau ... kamu mau makan sayuran yang nggak dikupas?"
Mata Dika beralih pada kentang dan wortel yang menjadi objek pembicaraan mereka. Wajahnya menyiratkan ketidakyakinan. Ia menggaruk kepalanya sekilas.
"Kamu beneran nggak ikhlas ya buat masakin aku?"
Eliz memasang ekspresi sok polos. Menggeleng sekali sebagai jawaban untuk pertanyaan itu.
"Aku bukannya nggak ikhlas kali, Dik. Kalau aku nggak ikhlas, aku nggak bakalan mau turun ke dapur cuma buat masakin kamu. Mending aku lanjutin aja tidur aku. Tapi ...."
Eliz sedikit memberi jeda pada perkataannya. Memulas senyum penuh arti seraya beranjak menuju ke kulkas. Mengeluarkan sekotak ayam yang telah dibersihkan dan juga bakso. Membawanya ke wastafel. Merendamnya.
"Kan kayak yang kamu tau. Aku itu baru bangun tidur. Nyawa aku belum ngumpul semua. Dan yang pasti badan aku rasanya masih pegal-pegal. Jadi ... ya mau nggak mau kamu bantuin aku dong. Atau kalau nggak, ya udah. Kamu makan sayur yang nggak dikupas aja. Gimana?"
Dika bisa menilai dari ekspresi Eliz. Tau dengan pasti bahwa cewek itu memang sengaja. Masih pegal atau nyawa belum terkumpul, itu adalah alasannya saja.
Karena memang begitulah yang ada di benak Eliz. Ia tidak ingin menderita seorang diri di sini. Ia masak dan itu untuk Dika. Maka ia harus memastikan Dika harus melakukan sesuatu pula. Setidaknya itu bisa membuat Eliz merasa kesenangan tersendiri. Walau sedikit.
"Oke deh. Kalau gitu apa boleh buat. Timbang jari kamu kegores karena nyawa yang belum ngumpul."
Eliz mengulum gelinya. Meninggalkan Dika yang langsung berkutat dengan kentang dan wortel, serta pisau di tangan kanannya. Ia akan mengurus bahan-bahan lain.
Adalah bumbu yang kemudian Eliz persiapkan. Dikarenakan ia masih sedikit merasa letih, cewek itu memutuskan untuk memasak sop ayam saja. Sederhana dan mudah dikerjakan, tapi memiliki rasa yang tidak perlu diragukan lagi.
Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit lamanya bagi Eliz. Hingga sejurus kemudian aneka bumbu dan yang lainnya siap. Terdiri dari bumbu sop yang telah diulek, serta bawang daun dan daun saledri yang telah diiris. Ia sisihkan bumbu itu di dekat meja kompor. Tanpa menyadari bahwa sedari tadi pergerakannya tidak lepas dari intaian mata Dika.
Dika setengah tertegun melihat Eliz yang tampak begitu luwes ketika bersinggungan dengan alat-alat dapur. Terlihat menyatu dan pemandangan itu membuat ia buru-buru menarik napas panjang. Lantas memutuskan untuk melihat wortel di tangannya saja ketimbang melihat Eliz.
Eliz melihat pada ayamnya. Sudah melunak setelah direndam beberapa saat dengan air. Dan ia pun memotong ayam itu dalam ukuran siap masak. Sementara untuk bakso, ia biarkan saja bulat utuh seperti itu.
"Bumbu, bawang daun, daun saledri, ayam, dan bakso, ehm ...."
Sepertinya ada yang tertinggal. Dan Eliz menyadarinya.
"Ah, bener! Sohun!"
Eliz memutuskan untuk tidak masak nasi. Demi agar pekerjaannya tidak bertambah banyak malam itu.
Beranjak ke kabin dapur, Eliz menarik napas dalam ketika menyadari di mana keberadaan sohun yang ia butuhkan. Di rak bagian atas. Di tempat yang tepat. Di tempat yang tidak bersahabat sama sekali dengan tinggi badannya yang terbatas.
Eliz menjinjit. Mengulurkan tangannya. Berusaha untuk menggapai sohun itu. Tapi, luput. Tangannya tidak mampu menggapai.
Namun, Eliz tidak menyerah. Ia kembali mencoba. Dan sayangnya, sohun itu juga melakukan hal yang sama. Tidak menyerah demi menghindari jari-jari Eliz yang mengincar dirinya.
"Kamu mau ngambil ini?"
Eh, tapi mendadak saja sohun itu sudah melayang tepat di depan mata Eliz. Ia berpaling. Melihat pada Dika yang menunduk melihat padanya dalam jarak yang teramat dekat. Yang Eliz yakin tidak lebih dari satu jengkal jarinya.
"Ah!"
Eliz kaget. Mendapati kehadiran wajah Dika yang tiba-tiba membuat ia sontak terlonjak. Jinjitan kakinya goyah. Ia seketika limbung. Siap terjatuh seandainya tidak ada tangan Dika yang langsung terulur. Dengan sigap meraih pinggang cewek itu. Menahannya. Diikuti oleh sedikit tarikan yang membuat Eliz sontak mendarat di tubuh Dika. Nyaris membuatnya melayang karenanya. Mengenyahkan kemungkinan baginya untuk terjengkang ke belakang.
"Dika."
Nama itu tertahan di pangkal tenggorokan Eliz. Dalam bentuk cicitan memalukan yang terdengar amat samar. Berbeda sekali dengan suara yang mendadak pecah di dadanya.
Deg!
Eliz mengerjap. Melihat bagaimana Dika yang lantas menatap lurus padanya dengan mata yang membola. Sesuatu yang entah mengapa membuat Eliz sontak merasa susah bernapas.
Aneh. Seingat Eliz ia tidak memiliki penyakit asma atau pun penyakit lainnya yang berkaitan dengan organ penapasan. Tapi, entah mengapa itu yang sedang ia rasakan saat ini.
Paru-paru Eliz seperti mendadak mogok bekerja. Dan ketika ia paksa, Eliz justru mendapati bagaimana aroma Dika samar-samar terhirup pula. Bersama dengan oksigen yang ia butuhkan. Memenuhi indra penciumannya dan membuat sesaknya semakin parah menjadi-jadi.
Dika mencari-cari di mata Eliz.
"Kamu nggak apa-apa?"
Untuk beberapa saat lamanya, Eliz hanya bisa terbengong melihat wajah Dika di atas wajahnya. Seperti dirinya yang perlu waktu untuk bisa meraba situasi apa yang sedang terjadi kala itu.
"Liz?" tanya Dika lagi. Kali ini ada ekspresi khawatir di wajah tampan itu. "Kamu nggak apa-apa?"
Eliz mengerjap. "E-eh. I-iya."
Mata Dika memejam dramatis. Napas leganya berembus. Membelai wajah Eliz. Membuat cewek itu seketika merasa tubuhnya meremang panas dingin.
Eh, ini aku kenapa? Apa aku mendadak demam? Masuk angin? Malaria?
Membuyarkan beribu tanda tanya di benak Eliz, Dika tersenyum lembut. Ia membantu Eliz untuk bisa berdiri dengan tegak kembali. Dengan kedua tangannya yang memegang lengan atas Eliz, memastikan bahwa cewek itu telah berdiri dengan sempurna.
"Syukurlah," kata Dika lega. "Nggak ada yang keseleo atau apa gitu kan?"
Pertanyaan Dika sontak membuat Eliz refleks memutar kedua pergelangan kakinya secara bergantian, tanpa sadar berpegang pada tangan Dika. Ia terdiam seraya merasakan kakinya sendiri. Lalu menggeleng.
"Kayaknya kaki aku nggak kenapa-napa deh."
Dika menunduk mengamati kala Eliz memutar-mutar pergelangan kakinya. "Untunglah kalau gitu," lirihnya. "Oh iya. Kamu mau ngambil ini kan?"
Pertanyaan Dika membuat Eliz teralih pada sohun di tangan cowok itu. Dan berkat itu Eliz jadi melihat bagaimana kedua tangannya yang berpegang pada Dika. Rasa panas seketika menjalari pipinya.
"Eh iya." Eliz mengambil sohun itu. Langsung menarik diri. "Tadi aku mau ngambil ini. Thanks."
Dika tersenyum kecil. "Kalau ada yang nggak bisa, jangan sungkan minta tolong sama aku."
Eliz buru-buru mengalihkan pandangannya. Entah mengapa. Tapi, mendadak saja ia merasa tidak tenang dengan senyum yang Dika berikan. Seperti memberikan nuansa yang berbeda untuknya.
"Kayak yang sama orang lain aja."
Mengatakan itu dengan ekspresi geli, Dika kemudian beranjak. Kembali ke kitchen island demi melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Pekerjaan yang harus ia jeda sejenak ketika tadi melihat Eliz kesulitan mengambil sohun.
"Iya iya," gerutu Eliz manyun. "Tenang aja. Ntar kalau ada apa-apa, aku bakal minta tolong ke kamu."
Dika tergelak. Mulai mengumpas kembali wortel di tangannya.
"Ya ... walau aku ragu juga sih. Karena bukannya apa. Tapi, seingat aku tadi ada yang rada-rada males bantuin aku ngupas sayur," sindir Eliz terang-terangan. Hanya saja sindiran itu membuat ia ingat akan kentang dan wortelnya. "Eh, gimana kentang dan wortelnya? Udah se---"
Eliz memutar tubuh. Melihat pada pekerjaan Dika. Hanya untuk terkesiap.
"Ya ampun! Dari tadi belum selesai?"
Dika mengerjap dan melihat pada kedua tangannya. Wortel di tangannya baru terkupas sedikit. Dan itu pun tidak ada tanda-tanda akan terkupas total dalam waktu dekat. Dika sontak meneguk ludah. Merutuk di dalam hati.
Argh! Ini pasti gara-gara ngeliatin Eliz dari tadi sih. Jadi lupa kan buat ngupas ini sayuran.
Melupakan sejenak sohun yang seharusnya ia rendam, Eliz mendekati Dika.
"Tuh kan? Gimana bisa aku minta tolong ke kamu kalau ada apa-apa? Sementara aku minta tolong ngupasi wortel dan kentang aja dari tadi nggak selesai-selesai?"
Gelak yang sempat hadir di wajah Dika beberapa saat yang lalu lenyap. Hilang tanpa sisa. Dan sekarang tergantikan oleh sedikit manyun.
"Ya elah, Liz. Namanya juga cowok. Ya wajarlah kalau aku lama untuk masalah ginian."
Eliz tak membalas perkataan Dika, melainkan menyandarkan diri ke meja kompor. Bersedekap dan memandangi Dika yang tengah mengupas wortel. Tampak beberapa kali ia geleng-geleng kepala.
Dika tau bahwa saat ini keadaan berbalik. Bukan dirinya yang melihat Eliz berkutat dengan pekerjaannya. Alih-alih Eliz yang justru tampak seperti mandor tengah memperhatikan kerja anak buahnya. Mau tak mau membuat Dika tak punya pilihan lain. Kecuali berusaha untuk mengupas wortel di tangannya itu dengan cepat.
"Kamu di rumah pasti nggak pernah bantuin Tante masak kan?
Wajah Dika terangkat refleks. "Eh?"
Eliz tampak beranjak. Mengisi satu mangkok plastik dengan air secukupnya. Lalu memberikannya pada Dika. Tepat ketika satu kentang selesai dikupas oleh cowok itu.
"Kalau ngupas kentang, rendam di air. Biar kentangnnya nggak cokelat-cokelat."
Dika melihat pada kentang yang ia sisihkan. Hanya untuk mendapati kebenaran dari perkataan Eliz. Sayuran bewarna kuning muda itu tampak mulai menunjukkan warna kecokelatan.
"Oh ...."
Eliz merendam kentang tersebut. Lalu memutuskan untuk duduk saja. Ia yakin butuh waktu yang tidak sebentar untuk Dika menyelesaikan pekerjaan itu. Kakinya bisa copot kalau memutuskan untuk tetap berdiri selagi menunggu.
"Makanya, Tante itu dibantuin kerjaannya di dapur. Biar pinter dikit jadi cowok. Masa buta banget sama kerjaan dapur," gerutu Eliz. "Ck. Waktu kamu pasti dihabiskan buat jalan-jalan dan keluyuran." Ia geleng-geleng kepala. "Dasar tukang keluyuran."
Dika mencibir. Tanpa mengalihkan matanya dari kentang dan pisau di kedua tangannya, ia membalas perkataan Eliz. Tidak terima akan tuduhan yang diberikan oleh cewek itu.
"Sembarangan aja ngomongi aku tukang keluyuran."
Kedua bola mata Eliz berputar-putar. Masih keukeuh dengan tudingannya. "Lah memang buktinya seperti itu kan? Kerjaan kamu pasti cuma main atau paling jalan sama cewek-cewek. That's why I call you Tukang Keluyuran."
Dika mendengkus. "Sok yang tau kerjaan aku di rumah aja. Seyakin itu ngomong aku tukang keluyuran."
"Kenyataannya."
"Kenyataannya nggak tuh. Aku bukan tukang keluyuran. Ehm ... atau sebenarnya yang suka keluyuran itu kamu?" tanya Dika dengan tatapan menyelidik. Sejenak ia memutuskan untuk menjeda pekerjaannya. Dua kentang telah terkupas. Menyisakan satu buah lagi. "Eh, lupa! Kamu kan nggak punya cowok ya. Jadi nggak mungkin kan keluyuran? Kamu kan bukan tipe cewek yang suka keluyuran sendirian. Hahahahaha."
Perkataan Dika membuat Eliz mengernyitkan dahi. "Tau dari mana aku nggak ada cowok?"
Dika menyeringai. "Ya tau dong. Dari dulu juga aku udah tau. Ehm ... kamu cuma sempat pacaran bentar kan? Sama siapa? Ehm ...."
Eliz tidak akan menjawab pertanyaan Dika yang satu itu. Alih-alih ia justru menunggu dengan jantung yang berdetak tak nyaman. Heran dan bingung, itulah yang sekarang ia rasakan.
"Ah!" seru Dika. "Namanya Jacob bukan ya?"
Keheranan dan kebingungan Eliz tak mampu ditahan lagi. "Kok kamu tau?"
Dika tergelak dan mengambil kentang terakhir. "Ya pasti aku tau dong," jawabnya seraya melirik pada Eliz sebelum benar-benar mengupas. "Kan kalau aku lagi teleponan sama Mas Noel, kami sering ngomongin kamu."
"What?!"
"Nggak usah kaget gitu sih. Lagian kan bukan hal yang aneh juga sih. Apalagi waktu itu Mas Noel bilang ke aku. Yang namanya Jacob itu nggak sebanding dengan Jacob versi Twilight."
Eliz dibuat tak bisa berkata apa-apa. Selain mengeluarkan kesiap tak percayanya. Ia geleng-geleng kepala.
"Mas Noel sampe cerita hal kayak gitu ke kamu? Wah! Aku benar-benar nggak nyangka."
"Santai aja, Liz. Kami akrab, by the way."
"I see. Saking akrabnya bahkan sejarah percintaan aku pun jadi bahan obrolan kalian. Dan itu makin ngebuat aku bertanya-tanya. Sebenarnya darah daging keluarga di rumah ini aku atau kamu sih?"
Tawa Dika sontak meledak. Ia terpaksa menghentikan kembali pekerjaannya. Ia tidak ingin mengambil risiko terluka.
"Kenapa gitu semua orang yang kayak lebih pro ke kamu ketimbang aku?" tanya Eliz setengah kesal setengah jengkel. "Bahkan sampe Mas Noel sekalipun."
Dika membusungkan dada bidangnya. Menepuk sekali di sana. Terkesan bangga.
"Aku anggap itu sebagai bentuk pujian. Makasih."
"Kamu itu emang ahlinya ngambil muka di depan orang-orang. Baik, sopan, dan bla bla bla? Huh! Sebenarnya kamu nggak gitu. Aslinya kamu itu cowok paling menyebalkan."
Tidak bisa tidak, tawa Dika semakin menjadi-jadi. Sementara Eliz? Tentu saja cewek itu sebaliknya. Semakin tampak gusar dalam rasa kesal yang makin menggunung tak terbendung.
"Kamu jangan salah, Liz. Aku itu mau asli atau palsunya ya emang sama aja. Sama baiknya. Hahahahaha. Kok sulit banget sih buat kamu ngakuin hal yang satu itu?"
"Sulit? No! Ini bahkan lebih dari sulit," delik Eliz. "Emangnya kamu nggak bisa mikir gitu? Dengan semua sejarah kejahilan yang udah kamu lakukan ke aku, gimana ceritanya aku bisa nganggap kamu itu baik?"
Dika menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menghentikan tawanya. Ada kentang yang harus segera ia tuntaskan dalam waktu secepatnya.
"Eliz, Eliz. Itu kan cuma main-main sih. Dan lagipula ... kamu ini selalu aja emosi kalau udah berkaitan dengan aku."
"Wajar! Orang semua yang ada di diri kamu emang buat aku emosi terus."
Akhirnya kentang terakhir bersih pula. Dika merendamnya. Seraya bertanya.
"For example?"
Kedua tangan Eliz menekan sisi kitchen island. "Kayak kamu yang nanya status aku ke Mas Noel. Buat apa? Mau ngeledekin aku karena nggak punya pacar?"
"Menurut kamu gitu?"
"Denger ya, Dik," tutur Eliz dengan penuh penekanan. "Aku nggak ada pacar sekarang bukan berarti aku nggak cakep atau apa. Cuma emang belum ada cowok yang pas masuk dengan kriteria aku."
Tangan Dika melambai-lambai. Dalam anggukan-anggukan pemakluman yang membuat Eliz merasa perutnya mual-mual. Ia merasa seperti tengah diledek Dika saat itu.
"Iya iya iya. Aku tau. Kamu pasti selektif banget kayak calon gubernur milih wakilnya buat kampanye," kata Dika geli. "Lagipula ... aku nanyain status kamu ke Mas Noel bukan buat ngeledekin kamu kok."
"Terus buat apa kamu nanyain soal gitu ke Mas Noel?"
Mendapat pertanyaan itu, ekspresi wajah Dika berubah. Matanya mengerjap dalam mimik kaku.
"Ehm ... itu ...."
Mata Eliz menyipit. Sedikit beranjak. Mengikis jarak mereka yang terpisahkan kitchen island, Eliz mendesak.
"Apa?"
Dika mendehem sekali lagi. Tepat setelah ia menarik napas sekali, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan sedikit rona merah yang membias di kedua pipinya.
"Itu karena aku nggak mau aja berurusan dengan cowok kalau semisalnya aku ehm ... kepikiran buat doing something ke kamu."
Deg!
Wajah Eliz seketika membeku. Lalu tangannya terangkat. Dengan jari telunjuk yang tanpa aba-aba langsung menunjuk Dika tepat di hidungnya.
"Kamu mau ngejahilin aku lagi?"
Dika mengerjap-ngerjap. "Eh? Nge-ngejahilin kamu lagi?"
"Denger, Dik," lanjut Eliz. "Kita udah gede sekarang. Aku beneran nggak mau ngabisin tenaga aku buat ngadapin segala macam lelucon kamu yang memuakkan itu. Pokoknya aku bener-bener nggak bakal tinggal diam kalau sekarang kamu macam-macam ke aku."
Dika terbengong. Merasa bodoh dengan tudingan yang diberikan Eliz. "I-itu---"
"Sekali lagi aku bilangin. Kalau kamu jahilin aku lagi sekarang, di saat kita udah bukan anak kecil lagi kayak dulu, aku nggak bakal tinggal diam!" ujar Eliz memperingatkan. "Awas aja!"
Untuk memperjelas peringatannya, Eliz tidak lupa memberikan delikan penutup. Sebelum akhirnya ia mengambil sayuran yang telah Dika kupas. Ia beranjak dari sana. Meninggalkan Dika yang hanya bisa mengembuskan napas panjang.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top