BAB 10 - Worried

Halohaa.. update lagi. Mohon maaf cerita yg lain ngaret karena ngejar ini dulu sebelum sibuk yaa seenggaknya 10 part dulu yaa udh di publish 😂

Yg main ig bisa follow ig aku, karena info po novel nadw bisa lewat ig juga.

Ig : indahmuladiatin

Langsung yaa happy reading! Hope you like this chaper 😘😘😍

🍬🍬🍬

Caramel tetap di bengkel karena dia malas untuk pulang. Hari ini semua sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah dan bunda sedang ada pertemuan. Abang kembarnya sedang tanding basket dan Raka tentu saja ada di kantor karena memang abang yang satu itu gila kerja.

"Jadi ini yang namanya Kara?" tanya Defan.

"Mana-mana? Gue mau kenalan dong!" teriak Wisnu.

Caramel terkekeh geli dan mengulurkan tangannya. "Gue Caramel, panggil Kara aja."

Tangan-tangan ini berebut untuk bersalaman dengan Caramel. Hanya satu yang tersenyum tipis melihat tingkah teman-temannya.

"Gue Thomas," ucap cowok yang tadi diam saja. Kulitnya kecokelatan mungkin karena sering ada di bawah sinar matahari. Wajahnya manis dengan lesum pipit saat tersenyum.

"Lo ngapain di dalem lama sama si dia?" tanya Defan.

"Makan donat," jawab Caramel jujur.

Defan mengerutkan keningnya. "Kenapa harus di dalem?"

"Katanya biar nggak ada yang ganggu," jawab Caramel lagi.

Defan tersenyum geli. "Yehh bisa aja lo!" serunya sambil memukul lengan Bara.

"Jangan mau dimodusin Ra!" kekeh Roni.

Caramel tertawa geli mendengar celotehan itu. Dia melepas kacamatanya. "Mana mau dia sama gue? gue sama Thomas aja deh manis banget, ehh sama Defan juga boleh."

"Wahh kalau dia nolak lo sih gue oke aja, mau jadian sekarang juga ayo! mumpum abis gajian bisa lah ngasih traktiran orang-orang," jawab Defan.

Bara hanya mendengus geli. Dia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya. Karena sudah sore jadi mereka hanya perlu menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Para pemilik kendaraan juga sudah pulang.

Selama orang-orang kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Caramel memilih duduk di tumpukan ban di dekat Bara. Dia betah melihat mata Bara yang terlihat serius memperhatikan mesin mobil yang sedang dikerjakannya.

"Berhenti ngeliatin gue," kata Bara tanpa menoleh pada Caramel.

"Eh hehe abis lo keren," kekehnya jujur.

Bara menoleh dengan wajah bingung. Dia berkacak pinggang. "Dimana letak keren dari baju penuh oli sama muka dekil?"

Caramel mengacungkan dua jempolnya. Meski kelihatan tidak rapi,  Bara masih terlihat good looking dan lebih manly sama seperti teman-temannya di bengkel ini. Sepertinya dia tahu kenapa banyak pelanggan perempuan sejak tadi.

"Lo tetep keren," jawabnya.

Setelah lelah bekerja mereka mengajak Caramel bermain kartu uno. Dengan bedak tabur yang sudah disiapkan di tengah, Caramel serius bermain dengan teman-teman barunya.

Bara tidak ikut karena cowok itu sedang mencari makanan untuk semuanya.

"Ehh Bara itu udah punya pacar?" tanya Caramel pada Defan yang duduk di sampingnya.

"Dia? pacar? hehe kayanya tu orang nggak peduli sama pacaran," jawab Defan santai.

Caramel mengerutkan keningnya. Lalu gelang itu untuk siapa kalau bukan untuk pacar Bara. Mungkin Defan yang tidak tahu tentang Bara.

"Woy main terus!" omel cewek dengan cepolan asal dan kaus tanpa lengan itu. "Ehh ada siapa ni?"

Caramel tersenyum pada cewek itu. "Hey, gue Kara."

"Adeknya si Rafan," jawab Defan.

"Wah serius? hey gue Gita temennya Rafan," ucap Gita dengan senyum sumringah.

Gita, inisial G jangan-jangan untuk Gita. Caramel tersenyum masih dengan memikirkan inisial itu. "Iya gue adeknya Bang Rafan."

"Mau ngapain lo?" tanya Roni.

"Hehe biasa Ron, bulanan abis," jawab Gita.

Gita akhirnya ikut bermain dan duduk di samping Caramel. Gita orang yang baik dan ramah. Caramel bahkan nyaman meski baru ngobrol sebentar dengan cewek itu.

"Si Rafan cerita kalau lo itu ceroboh banget," kata Gita.

Caramel hanya cemberut kesal saat semua tertawa mengingat cerita dari abangnya itu. "Huhh kenapa harus cerita kejelekan gue sih," omelnya.

"Nggak apa-apa, gue tetep gemes sama lo Ra," kekeh Defan.

Bara datang beberapa saat setelahnya dengan menenteng dua plastik hitam. Dia langsung memberikan plastik itu pada kerumunan teman-temannya.

"Akhirnya lo dateng! ayo belanja!" ajak Gita.

Bara merangkul bahu Gita dengan santai. "Besok aja, gue capek."

"Enak aja!" omel Gita sambil menyikut tulang rusuk Bara. "Semua abis, lo mau sikat gigi nggak pake odol?"

Caramel menyaksikan keduanya dengan pandangan bingung. Jadi Bara tinggal dengan cewek ini. Dia juga lihat Bara sangat akrab dengan Gita. Dengan Raya saja cowok itu tidak sampai begitu.

Ponselnya bergetar pelan. Caramel langsung bangkit dan keluar dari bengkel untuk menerima telepon. "Iya Bang?" sapanya pada Raka.

"Kamu dimana?"

"Di bengkel tadi abis ngeliat motor Bang Rafan," jawab Caramel.

"Rafan nyuruh kamu ke bengkel?" tanya Raka.

Caramel berdecak pelan. Raka bisa marah kalau sampai tahu. "Enggak Bang tadi Kara yang minta sekalian Kara nyari buku."

Helaan nafas Raka terdengar. "Dimana bengkelnya? biar Abang jemput sekarang."

Caramel tersenyum, ada abang yang selalu bisa dia andalkan. Dia menyebutkan alamat dan langsung mematikan sambungan. Hari sudah mulai gelap. Ternyata dia sudah cukup lama di sini.

"Aww!" teriak Caramel saat kepalanya terkena lemparan batu. "Woy siapa yang ngelempar!" bentaknya. Mata Caramel menelusuri jalanan di sekitar. Tidak ada siapa pun. Hanya ada orang yang sibuk berjualan es campur dan segelintir orang lewat dengan kendaraan masing-masing.

"Sial," keluhnya saat memegang kening yang terkena lemparan.

Caramel masuk kembali ke bengkel dan disambut dengan pandangan kaget orang-orang.

Bara langsung mendekat dan menyentuh kening berdarah Caramel. "Kepala lo kenapa?"

"Nggak tau! kejatohan meteor kali," sungutnya dengan wajah kesal.

Bara langsung mengetuk kepala Caramel. Jawaban macam apa itu. "Duduk!" perintahnya.

Caramel duduk di dekat Gita dengan bersedekap tangan. "Emang di sini orang udah biasa lempar batu sembarangan ya?" tanyanya.

"Lo kena lemparan batu?" tanya Defan kaget.

"Kurang ajar, ada yang mau nyari gara-gara," desis Wisnu.

"Nantangin," lanjut Roni.

Caramel mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. "Apaan sih? siapa yang nantang? gue nggak nantang."

Defan terkekeh geli dan merangkul bahu Caramel. "Bukan lo sayang, yang nantang itu yang ngelempar lo batu."

"Bener, pasti ngajak balap lagi," kata Thomas.

Gita mengibaskan tangannya dengan wajah kesal. "Jangan dengerin Ra! Gue juga nggak ngerti sama mereka."

Bara datang dengan kotak obat. "Minggir!" suruhnya pada Defan.

"Galaknya," cibir Defan.

Bara duduk di samping Caramel dan memeriksa luka itu. Tidak terlalu parah. Hanya perlu dibersihkan dan ditutup kasa. Dia membersihkan luka itu.

"Ehhh pelan-pelan dong!" omel Caramel sambil meringis kesakitan. Bara itu sadis, kalau tidak bisa merawat luka biar dia saja sendiri yang melakukannya.

Bukannya memelankan, Bara justru semakin menekan luka Caramel.

"Huaa!! Baraa lo mau bikin luka gue makin parah!!" teriak Caramel.

"Makanya diem!" omel Bara.

Caramel cemberut kesal dan menutup mulut. Dia membiarkan Bara merawat lukanya.

Yang lain hanya bisa melihat dengan wajah bingung dan senyum yang tertahan. Ini Kenneth, orang yang selalu dikelilingi perempuan tapi seolah menutup mata dan pura-pura tidak mengerti maksud dari para perempuan itu mendekatinya. Dan sekarang, cowok itu sepertinya menyimpan perhatian yang khusus pada cewek dengan rambut panjang dikuncir ekor kuda ini.

"Lo balik sama siapa?" tanya Bara.

"Bang Raka," jawab Caramel ketus.

Bara menutup luka Caramel dengan rapi. "Jangan dateng ke sini lagi."

"Kenapa?" tanya Caramel. "Gue dateng bukan buat lo, di sini ada Defan sama yang lain."

Bara menghela nafas panjang. "Lo mau kena lemparan batu lagi? ini masih batu, kalau besok lo dilempar celurit?"

Caramel terperengah mendengar pertanyaan menyeramkan itu. Creepy sekali Bara ini. "Lo nyumpahin gue?"

"Siapa yang nyumpahin?!" balas Bara dengan sengit.

"Lo!" jawab Caramel. Dia menoleh pada teman-teman Bara. "Ada yang masalah kalau gue di sini?"

Defan berdeham pelan untuk mencairkan suasana. "Gini Ra, di sini itu lingkungannya bahaya. Dia cuma takut lo kenapa-kenapa."

Caramel kembali menoleh pada Bara. Matanya menyipit. "Gara-gara Abang gue lagi?"

Bara berdecak pelan, dia hanya berbalik meninggalkan Caramel. "Ayo Git! gue ganti baju dulu!"

"Ihh dia kenapa sih?" tanya Caramel kesal. Dasar aneh.

Gita tersenyum dan menepuk bahu Caramel. "Sabar! dia cuma mau lo aman."

"Iyaa gue tau, dia ngelindungin gue karena gue adeknya Bang Rafan. Tapi nggak gitu juga kan? gue bukan anak kecil!" keluh Caramel.

"Yakin alesannya dia cuma itu?" tanya Gita dengan alis terangkat.

Caramel memiringkan kepalanya. "Yaa iya lah, nggak ada lagi kan?"

"Hemm gue malah ngerasa alesannya klise banget," jawab Gita dengan wajah berpikir.

Mobil hitam berhenti di depan bengkel. Caramel langsung menoleh, dia mengenali mobil itu. Akhirnya Raka datang. Dia memang sudah ingin pulang. Malas bicara dengan Bara.

Raka turun dari mobil dan langsung menghampiri Caramel. Wajahnya kaget saat melihat kening Caramel ditutup kasa. Dia langsung merangkum wajah adiknya itu. "Kepalamu kenapa?"

Caramel meringis kecil saat Raka memandang orang-orang di belakangnya dengan curiga. "Bukan mereka Bang, tadi Kara kena lemparan batu dari luar."

"Apa?" tanya Raka.

"Ck udah deh Bang, Kara males bahasnya," jawab Caramel. Dia langsung memperkenalkan semua pada Raka. "Mereka temen-temennya Bang Rafan."

Mendengar nama Rafan disebut baru Raka bisa sedikit santai. Dia tahu kalau Rafan tidak akan membiarkan Caramel datang ke tempat orang yang tidak dikenal dengan baik. "Maaf kalau dia merepotkan kalian."

"Ohh enggak Bang, kita seneng Kara dateng," jawab Roni.

"Ayo Git," ajak Bara. Dia masih merapikan jaketnya dan saat mendongak dia baru sadar kalau ada tamu di sini. Keningnya berkerut, ini pria yang malam itu dia lihat datang ke rumah Caramel.

"Ini Bara, dia temen Bang Rafan di sekolah," kata Caramel.

Raka terdiam melihat mata itu. Warna sebiru safir yang tidak asing. Ingatannya langsung kembali saat dia sedang menatap mata wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Mommy Stella yang sudah pergi bertahun-tahun lalu. Iya ini mata milik mommy.

"Ayo Bang kita pulang," ajak Caramel.

Raka berdeham pelan dan menganggukan kepala.

"Ayo Ken keburu malem," ajak Gita.

Raka mengerutkan keningnya. Ken, Kenneth. Apa anak ini adalah Kenneth. Kalau memang benar, apa Rafan tahu dia adalah Kenneth. Tidak mungkin, saat itu Rafan dan Arkan masih satu tahun dan yang dia tahu bunda juga tidak pernah menceritakan tentang Lyza dan Kenneth.

Caramel merentangkan tangannya. "Bang gendong," pintanya.

Raka menghela nafas, dia berbalik dan Caramel langsung naik ke kursi lalu merangkul leher Raka. "Ayo Bang!"

Selama di mobil, Raka masih memikirkan semuanya. "Mata temanmu Bara itu.."

"Dia pake softlens Bang," potong Caramel. "Aneh nggak sih? di kelas yang harus ngeliat papan tulis dia nggak pake."

"Apa warna matanya?" tanya Raka.

"Hitam," jawab Caramel. "Kenapa sih?"

Raka tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Caramel benar, ada yang aneh. Bengkel bukan tempat yang pas untuk menggunakan softlens. Ada banyak debu di sana. Jelas tidak memungkinkan. Sepertinya dia memang harus mencaritahu tentang anak laki-laki itu.

🍬🍬🍬

Caramel duduk di taman dengan Bella sambil menunggu orang tua mereka datang. Hari ini pembagian raport akan dilaksanakan. Ayah akan mengambil raportnya.

"Gue udah siap-siap dong," kata Bella semangat.

"Gue juga, oh iya bawa novel Mbel! biar malemnya kita maraton baca," usul Caramel.

Bella mengacungkan jempolnya. Ide yang bagus untuk menghabiskan waktu malam hari.

Caramel menoleh saat mendengar suara-suara di koridor ujung kelas. Dia hanya mendengus. Pantas saja, ayahanya sudah datang. Seperti pembagian raport sebelumnya. Ayah selalu menjadi pusat perhatian. Tidak, dimana pun itu ayah memang selalu begitu. Bunda bahkan sudah bosan melihatnya.

"Liat, pesona bokap lo nggak ada abisnya Ra," kekeh Bella.

Caramel menghela nafas panjang. "Ayo Mbel," ajaknya.

Mereka menghampiri ayah yang sedang diajak bicara oleh guru yang bahkan tidak Caramel kenal.

"Ayah," panggil Caramel.

Ayah menoleh dan tersenyum. "Ayo ke kelasmu."

Caramel menganggukan kepala dan menarik lengan ayah. "Ayah nanti ambil raport Abang?"

"Mereka sudah mengambilnya sendiri," jawab Ayah.

Di kelas, selama ayah duduk di samping Caramel. Teman-teman juga masih betah menatap ayah dengan pandangan kagum. Untung istri ayah adalah orang seperti bunda yang tidak terlalu peduli. Dan untungnya lagi ayah adalah orang yang lempeng, atau mungkin terlalu lempeng. Sampai tidak peduli sekitar.

Raport Caramel akhirnya sudah ada di tangan ayah. Bukan peringkat tiga besar tapi nilai Caramel sudah cukup bagus dibandingkan semester kemarin. Ayah tersenyum melihat hasil belajar Caramel.

"Bagus, tingkatkan lagi," ucap ayah sambil mengusap kepala Caramel. Itu kata-kata yang selalu ayah ucapkan. Menurut ayah, setiap usaha harus diberikan apresiasi. Termasuk usaha belajar. Apapun hasilnya, ayah tidak pernah sampai marah. Mungkin itu yang ayah dapatkan dari menjadi direktur di perusahaan sampai perusahaan jadi sebesar sekarang ini.

"Kara pulang dengan Ayah?" tanya ayah.

"Emm Ayah duluan aja, nanti biar Kara naik taxi. Hehe mau mampir ke rumah Umbel Yah," jawab Caramel.

Ayah tersenyum dan menepuk pelan kepala Caramel. "Hati-hati, kabari kalau butuh sesuatu," pesan ayah sebelum pergi.

Caramel segera kembali ke kelas dan duduk di kursinya.

"Liburan panjang mau kemana nih?" tanya Deni pada teman-temannya.

"Naik yo!" usul Kevin.

"Boleh tuh!" jawab Rahmat.

Deni berpikir sejenak. "Oke, perlengkapan nyewa aja ya?"

"Nggak usah, Abang gue punya," jawab Bimo.

Caramel dan Bella saling pandang dengan wajah bingung. "Naik apa sih?" tanya Bella.

"Naik gunung dong neng, aduh geulis pisan tapi dodol," jawab Rahmat yang sebenarnya dari suku Jawa.

Bella memukul lengan Rahmat. "Sembarangan lo!"

Yang lain tertawa geli melihat Bella dan Rahmat saling menyerang. "Udeh ah! bercanda mulu!" kata Deni.

"Ehh kapan naik? gue sama Bella ikut dong! tapi jangan besok yaa soalnya mulai besok sampe tiga hari gue sama Bella liburan juga," kata Caramel dengan wajah semangat.

"Lo mau ikut Ra?" tanya Bimo dengan wajah ragu.

"Ra naik gunung tu nggak kaya naik kelas," lanjut Deni.

"Ehh gue nggak setuju tuh! perjuangannya sama-sama susah bro!" bantah Rahmat.

Kevin mencibir pelan. "Makanya belajar Mat!"

"Yeh sama-sama bego juga lo!" omel Rahmat.

"Weitss, jangan sedih! buat apa gue duduk lama sama si Dera? diem-diem gue ketularan pinter man," kekeh Kevin.

Caramel tertawa dan memukul bahu Kevin. Pasti cowok itu diam-diam nyontek setiap ulangan harian. "Untung banget ya lo?"

"Thank you sist Kara," gumam Kevin dengan menangkupka tangan di depan dada.

"Aishh jadinya gimana nih? boleh dong Den," bujuk Bella.

Deni diam sejenak. "Izin sama ortu lo pada dulu deh."

"Yess!" teriak Caramel sambil bertos ria dengan Bella.

Sepertinya liburan ini akan sangat menyenangkan. Ada banyak agenda liburan yang sudah Caramel rencanakan dengan Bella.

Biasanya pada hari pembagian rapot, sekolah akan ramai sampai sore. Anak-anak murid bermain sampai puas sebelum libur panjang. Lapangan basket dan lapangan lainnya dipenuhi dengan anak laki-laki.

"Ehh tu Kak Bara," tunjuk Bella saat mereka duduk di pinggir lapangan.

Caramel menoleh ke lapangan basket yang ditunjuk Bella. Dia melihat Bara sedang bermain dengan teman-teman kelasnya termasuk Rafan.

Setelah obrolan di bengkel waktu itu, dia belum bicara lagi dengan Bara. Malas, dia masih kesal pada cowok itu. "Bodo amat lah."

Bella mencibir pelan. "Ehh eh Ra, lo nyari si Bayu kan?"

"Iya, kenapa?"

"Noh si Bayu lagi jalan, mau ke perpus kali," tunjuk Bella.

Caramel menoleh, dia langsung memberikan ponselnya pada Bella. "Pegangin bentar ya," suruhnya sebelum berlari.

"Bayu!!" teriak Caramel agar cowok itu menghentikan langkahnya.

Bayu menoleh dengan wajah bingung. Dia menunggu Caramel sambil bersandar di tiang dekat tempatnya berdiri.

Caramel tersandung lantai koridor dan nyaris jatuh. Untungnya reflek Bayu cukup baik untuk menangkap Caramel. "Kara! ini kebiasaan kenapa nggak ilang-ilang?" omel Bayu.

Caramel meringis kecil. "Hehe thanks yaa, aduh untung gue nggak jatoh." Bisa malu kalau dia nyungsep di koridor yang ramai orang lewat ini.

"Kenapa harus lari-lari?" tanya Bayu.

"Kan mau ngejar lo," jawab Caramel polos.

"Aku nunggu kamu, nggak perlu lari juga nanti sampe," jawab Bayu.

Caramel tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Thanks yaa."

"Buat?"

"Buat udah sabar ngajarin gue semuanya, thanks banget. Lo emang guru terbaik dari dulu sampe sekarang, terlepas dari masalah kita," kata Caramel dengan senyum tulus.

Bayu tersenyum dan menerima uluran tangan Caramel. "Sama-sama."

"Ehh nilai matematika gue bagus loh," pamer Caramel.

"Berapa?"

"Tujuh lima, keren kan?"

"Bagus apaan?" tanya Bayu. Itu beda lima angka dari KKM.

Caramel memukul lengan Bayu. "Itu udah bagus buat gue!"

Di lapangan Bara dan Rafan melihat semua adegan dari awal. Rafan mengepalkan tangannya. "Tuh anak kenapa masih deket sama si Bayu sih!"

Bara tersenyum sinis dan menepuk bahu Rafan. "Biarin aja, kalau adek lo belom bisa move on lo nggak bisa maksain. Ayo main!"

Permainan yang sempat terhenti kembali berlanjut. Kali ini lebih panas. Karena dua orang sedang menyimpan kesal. Meskipun dengan kekesalan yang berbeda.

"Lo mau kemana?" tanya Caramel.

"Perpus, mau minjem buku," jawab Bayu.

Caramel menganggukan kepala. "Yaudah gue balik ke sana deh, bye!"

Di pinggir lapangan Bella sibuk memainkan ponselnya. "Mbel balik ke rumah lo aja yu!"

"Entar deh nanggung nih game gue," jawab Bella.

Caramel berdecak kesal, dia malas melihat Bara. Akhirnya dengan terpaksa dia duduk di samping Bella dan menonton pertandingan basket. Yaa dia ingin melihat Rafan bukan Bara.

Caramel berdecak kesal. Dia tidak bisa menahan untuk tidak melirik Bara. "Mbel! gue jajan aja deh ke depan!" keluhnya.

Di depan sekolah ada banyak jajanan yang sudah menunggu. Lumayan, kalau perut kenyang pikiran pun tenang. Cukup hanya sepiring somai dan segelas es teh yang memerlukan dana sepuluh ribu rupiah.

Langkah Caramel terhenti saat satu motor menghadangnya. Dahinya mengernyit. "Maaf Om siapa ya?"

"Sialan gue dipanggil Om!" balas laki-laki dengan bekas luka di pipi kanannya. "Lo lupa sama gue?"

Caramel memiringkan kepala. Dia berusaha mengingat siapa orang jelek di depannya ini. "Ck artis bukan, model apalagi, bintang iklan pembasmi hama juga kayanya bukan. Om siapa sih?"

"Om lagi?! gara-gara lo motor gue sama temen-temen gue rusak! lo juga yang bikin wajah gue sama temen-temen gue bonyok! lo tau? gigi gue banyak yang copot gara-gara digebukin dia?!" bentak laki-laki itu.

Caramel melebarkan matanya, dia menoleh ke belakang dan terdiam melihat beberapa orang mengelilinginya. Caramel menelan saliva dan tersenyum canggung.

"Ehh hehe ketemu lagi yaa?" tanya Caramel.

Orang-orang itu menatap Caramel dengan tatapan ingin membunuh. "Udah bos abisin aja!"

"Tenang! nggak level lawan cewek. Gini yaa, kita damai aja. Gantiin semua perawatan motor kita," tawar laki-laki itu.

Caramel berpikir sejenak. Sebenarnya mudah saja untuknya. Hanya tinggal minta pada ayah, pasti ayah akan memberikan uang daripada anaknya berurusan dengan orang-orang ini.

"Gini ya Om, gue kan nggak sengaja. Gimana kalau setengah harga aja?" tanya Caramel.

"Yehh nego! udah bos hajar aja!" teriak laki-laki dengan kepala botak licin.

"Tau bos! kita hampir masuk rumah sakit gara-gara tuh cewek!" balas orang yang satunya lagi.

Caramel mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti obrolan orang-orang aneh di depannya ini.

"Oke, Juki! lawan ni cewek!" perintah bos dari pimpinan itu.

Orang yang dipanggil Juki itu maju. Caramel tersenyum tipis. Orang dengan badan kecil itu yang disuruh maju. Sepertinya orang-orang ini meremehkannya. Caramel melihat sekitar, para penjual dan murid-murid yang ada di dekat tempat jualan sudah menonton dengan wajah tegang.

Satu tinju mengarah pada wajah Caramel tapi dia bisa menghindar dengan mudah. Cepat, Caramel mengunci gerakan lawan. "Jangan nyentuh gue seenaknya ya!" ancamnya sadis.

"Wahh jago juga," kekeh si pemimpin.

Caramel melebarkan mata saat gerombolan semakin banyak. Sial, dia tidak akan bisa melawan semuanya sendiri.

🍬🍬🍬

"Rafan!!" tariak Nita dari pinggir lapangan.

Rafan menoleh dengan wajah bertanya.

"Caramel di keroyok orang di depan!" teriaknya lagi.

Rafan melebarkan mata. "Apa?" desisnya.

Bara yang sedang mendrible bola langsung berhenti. "Shit!" rutuknya sembali melempar bola basket itu. Dia langsung berlari ke luar sekolah dengan Rafan.

Orang-orang di sekitar juga sama kagetnya. Bella bahkan ikut berlari keluar sekolah. Kenapa lagi dengan sahabatnya itu.

Bara dan Rafan terpana melihat Caramel harus menghadapi banyak orang begitu. Meskipun Caramel menguasai bela diri tetap saja itu tidak akan seimbang. Bara dan Rafan langsung masuk ke dalam perkelahian itu.

Bara sempat melihat pipi Caramel lebam. Pasti cewek itu terkena pukulan yang keras tadi. Dia mengepalkan tangannya. Orang-orang ini memang minta dihabisi.

"Sialan lo berani mukulin adek gue!" bentak Rafan sambil menghajar orang-orang itu.

Arkan yang baru datang karena dikabari oleh temannya juga langsung bergabung. Dengan helm di tangannya dia menghajar orang-orang itu. "Berani lo mukulin dia?!" tanyanya.

Bara tahu satu orang yang harus dia hadapi. Dia mencari pemimpin gerombolan itu. "Lo emang nyari gara-gara ya?" desisnya.

"Loh l-lo sekolah di sini?"

Bara tersenyum sinis. "Gue udah bilang jangan ganggu dia, ehh lo malah nyentuh." Dia mencengkram kerah baju pimpinan itu. "Lo nantang?" desisnya.

"Ki-kita cuma minta dia ganti rugi!"

Bara mendengus kesal. "Tapi nggak sampe bikin wajahnya luka!" bentaknya sambil meninju wajah itu. Tidak peduli berapa gigi lagi yang harus rontok. "Ini buat luka-lukanya dia!"

Sampai orang-orang itu babak belur. Perkelahian itu akhirnya terhenti. Tentu saja. Meski mereka menang jumlah tapi mereka sedang menghadipi empat orang yang sedang mengamuk.

Caramel mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah. Seluruh badannya nyeri karena pukulan dan tendangan yang diterima. Sial sekali orang-orang ini.

"Ayo ke dokter!" ajak Arkan sambil menarik lengan Caramel.

Caramel mengaduh kesakitan. Lengan itu tadi terkena pisau. Dia bahkan kaget ada seorang yang membawa senjata tajam. Untungnya dia berhasil menendang pisau itu sampai jatuh entah dimana. Sayangnya tangan kanannya tidak bisa selamat dari goresan pisau tajam itu.

"Obatin di UKS aja deh Bang," jawab Caramel.

Bara menarik lengan kiri Caramel ke UKS sampai orang-orang hanya menatap bingung cowok itu.

"Mereka siapa si Ra?" tanya Arkan.

"Itu Bang, yang motornya gue rusak pas gue nggak sengaja balik dari sendiri dari rumah si umbel," jawab Caramel.

Arkan bersandar di pintu UKS. Menonton Bara yang sibuk merawat luka Caramel. "Ck sialan! ketemu lagi bakal abis tu orang-orang!"

"Kenapa lo ladenin?" tanya Bara sambil membersihkan luka di tangan Caramel.

"Terus gue harus lari?" tanya Caramel dengan sinis.

Bara menghela nafas. Dia menatap kedua mata Caramel yang saat ini terlihat sangat marah. Cewek ini memang benar-benar. Jarinya mengetuk kepala Caramel. "Pikir dulu sebelum bertindak. Lo mau mati konyol?"

Rafan mengangguk setuju. "Abang nggak setuju kalau kamu nekat kaya tadi."

Caramel cemberut kesal. Dia tahu kalau sekarang ini dia yang salah. Terlalu nekat dan bodoh. Tapi lari pun percuma.

"Gue hampir jantungan Ra," keluh Bella.

Pintu UKS di ketuk. Arkan langsung membukanya. "Ngapain lo di sini?" tanya Arkan sinis pada Bayu.

Bayu tidak menanggapi pertanyaan Arkan. Dia langsung menghampiri Caramel. "Ra! wajah kamu?"

"Bonyok?" tanya Caramel.

"Kenapa ada orang-orang begitu di sekolah?" tanya Bayu. Dia langsung melirik Bara yang terlihat tidak peduli. "Apa mereka gerombolannya dia?" tanya Bayu sambil menunjuk Bara.

Caramel menoleh pada Bara. "Bukan, dia juga bantuin gue tadi."

Bara tersenyum sinis. Dia memberikan obat merah itu pada Caramel. "Obatin sendiri, gue mau balik!"

"Ehh kenapa balik?" tanya Caramel sambil menahan lengan Bara.

Bara melepaskan lengan Caramel. "Capek."

Rafan menyikut lengan Arkan. "Suruh si Bayu keluar sana!" bisiknya.

Arkan mengangkat jempolnya. Itu soal gampang. Dia langsung merangkul bahu Bayu. "Bro kayanya kemaren kita ada jadwal tanding basket, latihan yo!"

Rafan menarik lengan Bella. "Bell lo mau siap-siap kan? gue anter ke rumah aja sekarang."

"Ehh tapi Bang.. si Kara gimana?" tanya Bella.

"Ck, gue titip si Kara ya," kata Rafan sambil menepuk bahu Bara.

Caramel mengerutkan keningnya. Dia sedang terluka dan semua abangnya pergi. "Loh kenapa semuanya mau pergi sih?!" protesnya.

Bara berdecak kesal dan kembali duduk di samping Caramel.

"Apa? lo mau pergi juga kan tadi? sono! gue bisa ngobatin sendiri!" ketus Caramel.

Bara mengambil obat merah itu lagi. "Gue nggak tau harus gimana sama lo," gumamnya.

Caramel mengerutkan kening. "Kenapa?"

Mata Bara sekarang menatap serius mata Caramel. "Bisa hargain orang yang khawatir sama lo?"

Caramel mengerjapkan matanya. Dia merinding saat Bara bicara serius dengan pandangan mata elang itu. "Ehh emm gue ngehargain tuh."

"Ohh ya? dimana letak ngehargainnya?" tantang Bara.

Pertanyaan itu membuat Caramel berpikir lama. Bagaimana cara menghargai orang-orang yang khawatir padanya. "Emm ngomong makasih?"

"Nggak cukup," jawab Bara.

Caramel berpikir lagi. "Makasih yang banyak sampe cukup?"

Bara mendengus kesal. Dia mendekatkan wajahnya. "Cukup dengan jaga diri lo sendiri."

Ucapan itu membuat Caramel tersadar. Cowok ini tulus khawatir padanya. Bukan hanya karena Rafan. Senyumnya mengembang. "Lo khawatir sama gue ya?"

Bara mengangkat bahunya. "Gue nggak bilang begitu.

"Tapi gue tau lo khawatir, hehe emang gue nggak liat lo pucet tadi?" tanya Caramel dengan wajah meledek. Tadi dia memang sempat melihat Bara saat menghampirinya di tempat perkelahian.

"Ehh aduh Bara! lo kasar banget sih ngobatinnya!"

"Berisik!" balas Bara.

"Thanks yaa, tapi lo nggak perlu khawatir. Gue bisa jaga diri sendiri. Ayah udah ngajarin itu dari gue kecil," ucap Caramel saat Bara menuntunnya berjalan keluar sekolah.

Bara mendengus kesal. Siapa yang ingin khawatir pada cewek ini. Reaksi tubuhnya tergerak secara alami. Jantungnya bahkan berdetak cepat saat mendengar Caramel dikeroyok tadi. 

"Emm kayanya gue nggak bisa naik motor deh," gumam Caramel.

"Duduk sini bentar," suruh Bara. Dia menjauh untuk menghubungi orang-orang ayahnya. Terpaksa. Dia butuh mobil untuk Caramel.

"Bara, minta nomer hp dong.." pinta Caramel.

"Gue nggak punya hp, ini bukan hp gue," jawab Bara.

"Bohong!!" seru Caramel.

Bara menyerahkan ponsel itu pada Caramel. "Periksa!"

Caramel melihat ponsel kotak itu. Dia membuka akun dan memang bukan milik Bara. Ini milik Defan. Jadi cowok ini tidak punya ponsel. Jaman apa ini sampai ada orang yang tidak punya ponsel.

"Lo nggak bisa beli hp ya? emm gue kasih aja gimana?" tawar Caramel.

Bara merapikan perban tangan Caramel. "Gue bukan pengemis."

Caramel meringis kecil, ucapannya mungkin menyinggung Bara. Dia mengusap leher dan meringis kecil. "Ehh kayanya leher gue luka juga." Dia mengangkat rambutnya.

Bara memeriksa leher Caramel. Benar, leher itu memar kebiruan. Entah terkena pukulan apa tadi.

Sedekat ini Caramel bisa merasakan hangat nafas Bara di lekuk lehernya. Dia merinding, jantungnya berdetak cepat apalagi saat Bara menoleh dan pandangannya bertemu. Wajahnya terasa panas.

"Permisi," ucap seorang.

Bara dan Caramel menoleh pada pria paruh bayu dengan senyum hangat.

"Starla, lo balik sama orang ini. Dia temen gue," suruh Bara.

Caramel tersenyum canggung. Jadi Bara juga berteman dengan bapak-bapak. Ternyata benar kata Rafan. Bara sangat welcome pada siapa pun.

Bara membantu Caramel sampai masuk ke dalam mobil. "Antar dia sampai depan pintu rumahnya!"

Pria itu menundukan kepalanya. "Baik Tuan."

Setelah mobil itu pergi. Bara langsung pergi ke parkiran motor. Ada urusan yang harus dia selesaikan. Orang-orang yang tadi memukuli Caramel harus mendapatkan pelajaran yang lebih.

🍬🍬🍬

"Terima kasih Pak," ucap Caramel.

"Panggil saja Hamdi," jawab pria itu.

"Ehh haha mana bisa? saya panggil Pak Hamdi aja," jawab Caramel.

Pak Hamdi tersenyum dan menganggukan kepala. "Kalau tidak salah Anda adalah putri Tuan Karel Rajendra."

Caramel menganggukan kepalanya. "Bapak kenal Ayah?"

"Siapa yang tidak kenal beliau di dunia bisnis?" tanya pak Hamdi.

Benar juga, ayahnya cukup terkenal di dunia bisnis. Caramel hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. Bara hebat bisa berteman dengan bapak yang sekaku ini.

Tiba di rumah, pak Hamdi membantu Caramel untuk turun dari mobil dan mengantar sampai depan pintu tepat seperti perintah Bara.

"Sekali lagi makasih yaa Pak," ucap Caramel.

"Senang bisa membantu temannya Tuan muda," jawab Hamdi. Pria itu menunduk dan langsung pergi.

Caramel menahan tawanya. Dimana Bara kenal dengan orang seperti itu. Entahlah unik sekali. Dan tadi, siapa itu tuan muda. Siapa tuan mudanya. Apa ada panggilan seperti itu di zaman ini.

🍬🍬🍬

"Ada kabar apa?" tanya pria dengan raut wajah tenang dan datar. Garis wajah yang mirip dengan Bara.

"Sepertinya Tuan muda sedang dekat dengan seorang gadis," lapor Hamdi.

"Benar kah? Gita?" tanya ayah Bara.

"Bukan Tuan, sepertinya Tuan akan kaget saat mendengarnya," jawab Hamdi. "Dia Caramel, putri Tuan Karel dan Nyonya Fian."

Ayah Bara mengerutkan keningnya. "Kara?"

"Yaa beberapa waktu lalu saya juga melihat gadis itu main ke bengkel tempat Tuan Muda bekerja," jawab Hamdi.

Ayab Bara tersenyum, entah apa arti semuanya. "Apa Kara tahu dia Kenneth?"

"Sepertinya tidak, dia memanggil Tuan Muda dengan panggilan Bara. Dan Tuan memanggil Caramel dengan panggilan Starla."

Ayah Bara terdiam. Putranya tidak mengenal Fian. Dia belum sempat memperkenalkan anak itu pada bunda yang sempat merawatnya meski sebentar.

Starla, sudah pasti Bara suka nama itu. Karena nama itu memiliki arti yang sama dengan nama ibunya.

Ayah Bara langsung menghubungi seseorang.

"Yaa halo Gavyn," sapa seorang wanita di seberang.

"Fi, sepertinya kita akan berbesan tanpa kita rencanakan," jawab ayah Bara dengan senyumnya.

"Hah apa maksudmu? siapa yang berbesan?"

"Siapa menurutmu yang cocok? Lyza dengan abangnya atau dua bintang yang sudah lama berpisah?" tanya ayah Bara sebelum menutup sambungan.

"Awasi terus dia," suruh ayah dengan senyum senangnya. Dia yakin, putranya akan bahagia dengan gadis seperti Caramel. Karena dia pun sudah mengenal dengan sangat baik kepribadian ibu dari gadis itu.

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘😍

Ini ayah pas lagi ambil raportnya Kara.. *yg kangen Karel 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top