BAGIAN 47 - THALASSOPHOBIA (1)
AYANA POV
"Pak Jefri kemana sih? Tadi nyuruh siap-siap. Sekarang malah dia yang ngilang," gerutuku seraya masih menulusuri koridor hotel mencari keberadaan Pak Jefri.
Habis sarapan main ngilang aja! Nggak bilang-bilang dulu.
Derap langkah kakiku berjalan menuju taman hotel, kali aja dia ada disana. Bisa-bisanya main pergi aja setelah sarapan. Kalau mau jalan-jalan keliling hotel ajakin dong! Jangan main pergi sendirian aja.
Mataku mulai menelisik beberapa sudut taman. Taman yang dipenuhi tanaman Bunga Asoka Merah dan tanaman Kamboja Kuning yang memberi kesan elok desain taman hotel ini. Tapi nihil, Pak Jefri tidak ada disini.
Beberapa menit aku menyusuri taman samping kolam ikan, tapi mataku masih belum menemukan keberadaan Pak Jefri. Mau menghubunginya juga percuma. Ponselnya ditinggal di kamar.
Kemana sih Pak Jefri? Pagi-pagi udah ninggalin aja.
Mulutku berkali-kali menggerutu sembari mataku masih menelisik sudut taman. Kakiku melangkah kecil, menapaki beberapa bebatuan kecil yang ada di taman sembari mengabsen sudut taman untuk mencari Pak Jefri, "Itu dia, dicari kemana-mana nggak taunya disana," gumamku saat mataku menangkap sosok laki-laki berbadan tegap berdiri di samping Pohon Kamboja Kuning sembari menggendong bayi--Tunggu sebentar, itu bayi siapa yang digendong?
Aku sedikit berlari kecil dan mempercepat langkahku menyusul Pak Jefri yang sedang menggendong bayi laki-laki yang kira-kira berusia enam bulan, sepertinya. Karena aku tidak tau pasti usia perkembangan bayi. Jadi aku asal menebaknya saja. Dan seperti yang tertangkap di dalam pandanganku saat ini, Pak Jefri kalau gendong bayi seperti itu, aura kebapakannya keluar.
Damage-nya bukan main. Ah, tidak-tidak, Otakku mikir apa sih?
"Pak Jefri!" panggilku kencang ke arahnya yang tengah berdiri tegap membelakangiku. Ia spontan menoleh ke belakang. Dahinya sedikit berkerut saat menatapku. Dan beberapa detik kemudian, bibirnya mengulum senyum simpul.
"Itu anak siapa? Pak Jefri pagi-pagi udah nyulik anak orang aja," ujarku.
Ia terkekeh pelan, tangan kirinya sedikit mengusap-usap pucuk kepalaku, dan kemudian meninggalkan kecupan singkat di keningku. Bius Pak Jefri seolah-olah membungkamku. Aku yang tadinya ingin memaki, nyatanya tidak jadi karena perlakuan manis dari Pak Jefri.
Aku membiarkan perlakuan manis yang akhir-akhir ini kerap ditunjukkan Pak Jefri. Mencoba untuk mencintai sosok yang sudah menjadi suamiku sembilan bulan yang lalu, usai KKN. Meskipun belum genap satu tahun, belajar mencintainya nggak ada yang salah kan? Barangkali, mungkin dia juga sudah bisa membuka hati untukku, dan perlahan menutup masa lalunya. Aku ingin belajar mencintainya, layaknya seorang istri pada umumnya yang mencintai suaminya. Meskipun terkadang, sisi menyebalkannya tetap ada setiap hari.
"Anak saya," jawabnya enteng sembari menghujani ciuman kecil di pipi bayi laki-laki itu.
Anak saya? Dahiku berkerut saat mendengar ucapan dari Pak Jefri barusan. Anak saya? Maksudnya? Pak Jefri udah pernah nikah sebelumnya? Atau-aku mikir apa lagi sih? Spontan aku menepis pikiran-pikiran buruk yang tanpa izin melintas di otakku.
Ia tampak terkekeh geli melihat raut wajahku yang sempat berubah beberapa saat, "Bukan. Ini cucunya Tante Arini. Wajah kamu percaya aja, padahal kamu saya bohongi," serunya.
Titisan Badak emang kebiasaan, bikin jantungan.
Aku sedikit bernapas lega. Pak Jefri tidak melakukan hal-hal aneh yang sempat terlintas di kepalaku, "Ganteng kan mirip saya?" serunya lagi dengan tingkat kepercayaan diri yang sudah melebihi batas.
"Gantengan juga dia dari pada Bapak. Nggak usah kepedean," cibirku mendelik ke arahnya.
Ia hanya menyunggingkan senyum simpulnya ke arahku dan tak menanggapi cibiranku tadi, "Kamu mau gendong?" tanyanya menawariku untuk menggendong bayi laki-laki itu.
"Mau," sahutku cepat, dengan antusias aku menyetujuinya karena memang sejak lama aku ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong bayi.
"Hati-hati gendongnya," pesannya saat aku meraih pelan bayi itu dalam gendongan Pak Jefri. Dengan sedikit kaku, Aku menggantikan posisinya menggendong bayi laki-laki itu. Raut wajah Pak Jefri sedikit khawatir karena memang aku baru pertama kali menggendong bayi yang berusia sekecil ini.
"Aaaa .... Lucu banget. Namanya siapa Pak?" ucapku gemas. Tanganku sedikit menimang-nimang bayi itu dan menempelkan kepalanya di dadaku. Bayi itu tampak tenang. Diam saja, biasanya bayi seusianya pasti menangis ketika digendong orang asing. Tapi tidak dengan dia. Beberapa detik kemudian, kepala kecilnya sedikit mendongak, bola matanya menatapku intens. Mungkin aku disangka ibunya. Padahal bukan.
"Namanya Alka," seru Pak Jefri memberitahuku. Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku tanda mengerti. Tanganku mengusap pelan tangan mungil itu, dan tak lama kemudian menghujaninya ciuman kecil di pipinya, "Hallo Alka?" panggilku seolah-olah mengajaknya berbicara.
"Jarinya kecil-kecil. Lucu banget," ucapku gemas lagi dan cepat-cepat aku menghujani ciuman lagi di punggung tangan mungil itu.
Pak Jefri hanya terkekeh pelan melihatku tak henti-hentinya mengecup-kecup beberapa bagian tubuh dari bayi mungil itu, "Lucu ya Pak? Pengen bawa pulang ke rumah." ucapku melirik sekilas ke arah Pak Jefri.
"Bawa aja," sahutnya singkat.
Aku menatap Pak Jefri dengan tatapan penuh tanda tanya, "Emangnya boleh?"
"Boleh. Cuma kalo ada apa-apa sama bayinya kamu tinggal dipenjarain sama ibunya," jawabnya enteng.
Mendengar jawaban Pak Jefri yang bikin naik darah, tanganku langsung mencubit pinggangnya keras, biar tau rasa, "Ngeselin!" ucapku mendelik ke arahnya.
"Baby Alka, kalau kamu udah besar jangan kayak Pak Jefri. Nanti istri kamu banyak nggak betahnya," ujarku pada bayi yang kugendong saat ini, seolah-olah mengajaknya bicara.
"Justru kalau Alka besarnya mirip saya. Banyak yang naksir. Salah satunya orang yang gendong Alka sekarang,"
Tanganku cepat-cepat berusaha menutup telinga mungil Alka, "Nggak usah didengerin ya Alka, anggap aja telinga kita kesumpel kakinya kambing," cibirku.
Ia terkekeh geli lagi mendengar ucapanku yang tidak masuk akal. Mana ada sih telinga kesumpel kaki kambing? Ada-ada aja Ayana. Salahkan Pak Jefri, dia yang mulai duluan ngajak ribut, "Pipinya Alka gembul," ucapnya gemas seraya mencubit pelan pipi bayi laki-laki yang aku gendong.
"Saya boleh cium?" tanyanya ke arahku.
Aku mengangguk dan sedikit mengarahkan Alka yang aku gendong ke arah Pak Jefri agar Pak Jefri lebih mudah menciumnya, "Boleh, ini!"
Cup!
Spontan aku sedikit terperanjat saat Pak Jefri tiba-tiba mengecup dahiku. Bukan mengecup Alka. Bisa-bisanya pagi-pagi seperti ini udah modus, "Kok saya yang dicium sih Pak?" gerutuku sebal saat Pak Jefri tanpa izin menciumku.
"Kan saya nggak bilang mau cium bayinya," Ia terkekeh geli melihatku menggerutu.
"Ya tapi kan saya kira mau cium Alka, bukan saya." ucapku sebal mencubit pinggangnya yang tertutup kaos hitam polos.
"Akkkhhhh!" erangnya saat aku tak henti-hentinya mencubit pinggangnya keras seraya masih dengan posisi menggendong Baby Alka.
"Jangan ikut-ikutan modus kayak dia ya Alka? Kamu kalo gede pokoknya harus jadi yang baik-baik. Jangan suka ngardusin cewek-"
"Jefri? Ayana?" ucapanku terhenti saat seseorang memanggilku, sontak aku dan Pak Jefri menoleh bersamaan. Ternyata Tante Arini yang memanggil. Ia berjalan ke arahku, "Kapalnya udah nunggu, kalian siap-siap ya?" tambahnya lagi memberitahu bahwa kapal menuju Gili Trawangan sudah dipersiapkan.
"Iya Tante," jawabku bersamaan dengan Pak Jefri.
Tante Arini mengambil Alka perlahan dari gendonganku dan mengisyaratkanku untuk bersiap-siap, "Tante ke dalam dulu ya bawa Alka?" pamitnya.
"Udah cocok kalian. Kenapa ditunda-tunda. Tante Arini doain semoga segera dapat momongan ya? Biar bisa main bertiga, berempat, atau kalo bisa bersebelas biar rame," ucapnya lagi sebelum benar-benar beranjak pergi.
Aku dan dan Pak Jefri bergeming. Saling beradu pandang satu sama lain saat Tante Arini mengucapkan kalimat tadi. Tapi tak lama kemudian saling mengalihkan pandangan ke sembarang arah, "Ya udah, Tante bawa Alka masuk ya? Ibunya udah nyariin," pamit Tante Arini, aku dan Pak Jefri hanya mengangguk dan memperhatikan punggung Tante Arini yang semakin jauh.
"Ayo siap-siap ke pelabuhan," Pak Jefri mengisyaratkanku untuk beranjak, namun tanganku dengan cepat menahan tangannya, saat ia berniat untuk beranjak, "Pak," panggilku lirih seraya menunduk dalam. Tak menatap Pak Jefri. Jujur, aku tidak ingin pergi kesana. Aku ingin pulang aja.
Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku, menarikku ke dalam rengkuhannya. Dan kemudian menempelkan kepalaku di dada bidangnya. Seolah-olah ia memberikan ketenangan. Padahal ia sama sekali tidak paham kalau aku punya pengalaman buruk dengan laut. Yang ia tahu, aku hanya takut naik kapal. Padahal alasannya bukan itu, "Nggak papa, saya di samping kamu terus," serunya.
Kalaupun aku cerita semuanya sekarang, juga akan merusak semuanya. Aku nggak mau disisi lain egois hanya karena masalah pribadiku, semuanya ikut rusak. Umi, Abi, Tante Arini yang memberikan semua fasilitas ini. Dan Pak Jefri sendiri. Mereka akan kecewa kalau aku menolaknya.
Aku harap dengan Pak Jefri ada di sampingku saat ini, semua kejadian buruk yang melintas di otakku perlahan akan memudar. Bukannya aku membenci laut, tapi kejadian itu yang membuatku tidak menyukai laut.
"Ayana," panggilnya saat beberapa menit aku bergeming, sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
"Ngelamun apa?" tanyanya seraya kedua tangannya mengusap-usap punggung tanganku. Aku masih betah menunduk, tak menatapnya yang sedari tadi mencari jawaban tentang pertanyaannya, "Nggak papa," jawabku sembari menggeleng pelan.
Pak Jefri menarik tanganku pelan untuk ikut beranjak. Dia sedikit mempercepat langkahnya menuju lobby utama hotel. Untung saja taman dan lobby tidak begitu jauh, "Barang-barangnya sudah siap semua Jef?" tanya Tante Arini yang tiba-tiba ada di sampingku. Ternyata Tante Arini dan anaknya disini juga.
"Handphone saya ketinggalan di laci kamar," jawab Pak Jefri.
"Biar nanti asisten suruhan saya yang beresin barang-barangnya. Kamu sama Ayana langsung masuk mobil aja,"
"Iya, makasih banyak Tante," jawab Pak Jefri.
Aku dan Pak Jefri mencium punggung tangan Tante Arini secara bergantian dan berpamitan dengan keluarga Tante Arini yang ada disana. Tak membutuhkan waktu yang lama, usai berpamitan Pak Jefri menarikku pelan, berjalan ke arah taksi, dan masuk ke dalam taksi. Barang-barang sudah disiapkan asisten Tante Arini. Dan bahkan ponsel Pak Jefri yang tertinggal, sudah ia genggam di tangannya, yang didapat dari asisten Tante Arini beberapa menit yang lalu.
Aku duduk di samping Pak Jefri sedangkan di jok depan di duduki oleh sopir taksi. Mataku menatap pemandangan dari jendela taksi, berkutat dengan pikiranku sendiri. Takut, kejadian itu tiba-tiba terulang, "Perjalanan hotel ke pelabuhan nggak jauh, tenang aja," ucapan Pak Jefri membuyarkan lamunanku.
"Kamu mikirin apa, hm?" tanyanya lagi seraya menarik tubuhku menghadapnya. Tangannya perlahan menarikku dalam pelukannya, "Pak Jefri, saya takut!" ucapku lirih tak melanjutkan kalimat yang menggantung dalam hati.
Saya beneran takut. Tapi saya nggak bisa ngecewain banyak orang-orang baik saat ini.
"Nggak ada apa-apa. Anggap saja apapun yang kamu takutkan semoga tidak akan pernah terjadi-" ucapnya lagi sembari menepuk-nepuk punggung tanganku, dan memberi ketenangan disana, "Naik kapalnya Tante Arini enak. Nggak kerasa, tiba-tiba sampai tujuan," tambahnya.
"Pak Jefri," panggilku lirih masih dalam posisi ia memelukku.
"Hm?"
"Pelukannya udahan, malu dilihat Pak Sopir. Pelukan nggak tau tempat," bisikku pelan.
Ia terkekeh geli seraya tangannya perlahan mengurai pelukan. Dan beberapa detik kemudian mengusap-usap pucuk kepalaku lembut, "Sopirnya paham kalau kamu istri saya. Jadi nggak ada salahnya saya peluk kamu," jawabnya terang-terangan. Shit! Mataku melihat dari kaca spion tengah mobil kalau sopir taksinya mengulum senyum mendengar ucapan Pak Jefri.
Memerlukan waktu sepuluh menit untuk sampai di pelabuhan, "Sudah sampai pelabuhan, Pak, Bu," ucap sopir itu yang tengah memarkirkan mobilnya di tempat parkir.
"Ayo turun," ujar Pak Jefri mengisyaratkanku untuk turun dari taksi. Kakiku perlahan turun dari taksi. Aku spontan meneguk salivaku pelan, mendengar suara ombak dan pasir yang bergesekan satu sama lain, menimbulkan desiran. Yang membuatku takut lagi.
"Pak Jefri sama istrinya langsung masuk aja ya? Biar barangnya saya urus sama teman saya," ucap sopir taksi yang disewa Tante Arini.
"Makasih ya Pak?"
"Iya,"
Sopir taksi tersebut mulai memindahkan barang-barang yang akan dibawa ke Gili Trawangan, sedangkan aku dan Pak Jefri masuk ke pelabuhan dipandu oleh salah satu asisten Tante Arini yang sudah menunggu sejak tadi disini, ia yang mengurus tiket masuk pelabuhan.
Banyak banget asistennya Tante Arini. Aku sampai bingung. Orangnya beda-beda.
Sedari tadi aku berdecak kagum, dari kemarin sampai saat ini. Fasilitas yang diberikan Tante Arini nggak main-main. Aku merasa bersalah kalau mengecewakannya dan menolak ini semua.
Kamu bisa Ayana! Tidak ada apa-apa. Tidak ada. Nggak papa, nggak ada apa-apa.
Tak henti-hentinya aku bergumam pelan, menyemangati diriku sendiri kalau saat ini aku tidak boleh egois.
Pengalaman buruk dan phobia ini akan sembuh saat ini juga. Ucapku terus-menerus dalam hati.
"Langsung masuk kapal Pak, semuanya sudah saya urus," ucap salah satu asisten Tante Arini yang memang bertugas memandu tour dan mengurus tiket masuk.
Pak Jefri mengangguk, dan tak lama kemudian tangannya menarikku untuk berjalan mendekati kapal. Mataku tak berani melihat beberapa ombak yang berkerjar-kejaran disana. Dekat sekali denganku. Sampai-sampai tanganku mencengkram lengan Pak Jefri sedikit keras, takut jika Pak Jefri tiba-tiba meninggalkanku, "Kapalnya ada disana," serunya sembari menunjuk salah satu kapal pribadi yang ada di pinggir dermaga.
Kepalaku sedikit mendongak, menatap kapal itu, "Private yacht?" ucapku memastikan bahwa itu fasilitas dari Tante Arini lagi.
"Iya, mulai dari hotel, semua tiket tour, sampai naik private yacht adalah hadiah dari suami Tante Arini," jawabnya.
"Kenapa mereka sebaik itu?"
"Saya tidak tau. Tapi saya berutung Umi selalu mendapatkan sahabat-sahabat baik seperti mereka. Meskipun usia Umi dan sahabat-sahabatnya terbilang tidak muda lagi. Tapi pertemanannya, tidak mengenal umur yang terus-menerus berkurang,"
Kakiku terhenti di jarak beberapa meter dari kapal. Fasilitas ini sudah lebih dari cukup. Kenapa mereka masih terus-menerus baik?
"Ngelamun apa? Ayo masuk!" suara Pak Jefri memudarkan lamunanku lagi. Mataku meliriknya sekilas, dan tangannya perlahan menarikku berjalan masuk ke dalam kapal.
Kali pertamanya aku naik private yacht. Desain interiornya, sama seperti rumah mewah pada umumnya. Mungkin aku bisa menyembuhkan phobiaku mulai dari sini. Belajar berdamai dengan laut. Tak membenci laut. Dan membuang pikiran buruk tentang kejadian itu.
Pak Jefri mengisyaratkanku untuk duduk di salah satu sofa panjang yang terletak di sisi pojok kapal. Aku memilih duduk tidak dekat dengan jendela, duduk di samping Pak Jefri.
"Ini makanan dan minumannya. Mari di makan!" ujar salah satu pelayan kapal yang meletakkan dua jus alpukat dan strawberry pancake di meja dekat denganku.
"Makasih," jawab Pak Jefri. Usai meletakkan makanan, Pelayan kapal tersebut kembali ke tempatnya lagi.
"Kapalnya nggak serem. Nggak usah takut, saya di samping kamu. Bentar lagi kapalnya berangkat, kamu tetep di samping saya," ucapnya ke arahku yang masih menunduk.
"Mau strawberry pancake?" tanyanya lagi saat aku tak menanggapi ucapannya.
Aku menggeleng pelan, "Nggak,"
Tangan kanannya mengambil satu sendok pancake dan mengarahkannya ke mulutku, "Aaa .... Buka mulutnya dikit,"
"Nggak mau, nggak pengen makan," ucapku sedikit menyingkirkan sendok yang ada di tangan Pak Jefri.
Ia menghela napas panjang. Sendok yang berisi pancake ia letakkan kembali di dekat piring. Jari telunjuknya kemudian mencolek buttercream pancake dan mengusapkannya ke ujung hidungku, "Pak Jefri!" pekikku.
"Mau lagi?" tanyanya enteng seraya terkekeh.
"Jangan diajak becanda! Saya lagi nggak mood becanda," ucapku menatap tajam ke arahnya.
Ia menghela napas panjang lagi, Tangannya menarik tubuhku untuk mendekat, dan tak menyisakan jarak antara tubuhku dengan tubuhnya. Perlahan, tangannya menarikku lagi dalam rengkuhannya, "Nggak ada apa-apa, Ayana. Naik private yatch, kayak di rumah sendiri. Nggak kerasa, nanti juga sampai sendiri," ucapnya pelan menepuk-nepuk punggungku.
Kapal yang aku tumpangi perlahan berlayar, sedikit demi sedikit. Pelan, tidak terlalu terburu-buru. Aku lantas sedikit mengatur napasku. Sekiranya Pak Jefri masih di sampingku saat ini. Aku tidak sendiri. Aku bisa berdamai dengan laut.
Dan sedikit demi sedikit, aku menghela napas lega. Tidak terlalu memikirkan masalah itu. Tanganku sedikit meraba-raba ujung hidungku. Sial! Pak Jefri bisa-bisanya mengotori hidungku dengan buttercream. Karena tak terima dengan ulahnya. Aku sengaja mencolek buttercream pancake dengan ujung telunjukku dan mengusapnya ke hidung, pipi, dan terakhir dahinya.
"Ayana! Kamu berani macam-macam sama saya," pekiknya berniat menarik ujung telingaku, tapi dengan cepat aku menepisnya dan sedikit menghindar.
"Ya curang lah, Bapak main seenaknya coret-coret muka saya. Sekarang gantian, biar adil."
Ia mulai beranjak dari duduknya dan dengan cepat mengunci tanganku agar tidak bisa lolos darinya, "Awas kamu!"
"Pak udah, muka saya hancur Bapak coret-coret." perintahku pada Pak Jefri yang terus-menerus mencoret wajahku dengan buttercream pancake. Pancake bukannya dimakan malah dibuat coret-coret begini.
Pak Jefri hanya terkekeh geli dan tak menghentikan aktifitasnya, sampai-sampai aku terpaksa harus mendorong keras tubuhnya agar menjauh dariku,
Bugh!
Ia sedikit tersungkur di lantai kapal. Beneran, aku nggak sengaja-tapi bodo amat deh! Aku sengaja tak menolongnya biar tau rasa. Mataku tiba-tiba menangkap dompet hitam miliknya yang terjatuh di sampingnya. Aku lantas mengambilnya cepat sebelum tangan Pak Jefri yang mendahului, "Kembaliin dompet saya!" serunya.
"Pinjem bentar mau lihat foto KTP. Foto KTP biasanya jelek terus seumur hidup lagi, kayak punya saya." ucapku seadanya sembari membuka satu per satu kartu yang ada di dompet dan membacanya pelan.
Ganteng juga Pak Jefri di foto KTP.
"Baru sadar kalo kamu jelek?" cibirnya ke arahku seraya mulai beranjak mengambil duduk di sampingku lagi, usai jatuh tersungkur di lantai.
Aku melebarkan mataku menatapnya, "Ya nggak gitu, enak aja. Foto KTP aja yang jelek. Foto lainnya cantik,"
Ia mengulum senyum miring mendengar ucapanku, "Kenapa dilihatin terus foto saya? Ganteng?"
Cenayang apa gimana sih otaknya?
Aku tak menanggapi ucapan yang menimbulkan tingkat kepercayaan dirinya bertambah, "Pak Foto SIM-nya kok jamet banget?" cibirku balik.
Ia tak menanggapiku, dan saat ini malah fokus memainkan ponselnya. Bodo amat deh, aku bisa sepuasnya membuka-buka dompetnya. Kali aja nyelip uang ratusan ribu.
"Ini foto apalagi?" gumamku yang masih melanjutkan membuka-buka dompet milik Pak Jefri.
Aku berdecak heran, melihat beberapa pas foto yang memperlihatkan Pak Jefri mulai dari masih sekolah dasar sampai kuliah ada semua disini, "Bapak ngumpulin foto 3x4 dari jaman SD sampai kuliah? Gila Pak, saya aja nggak pernah ngumpulin begini."
Aku memasukkan lagi foto-foto tadi yang telah aku jelajahi dan memasukkan kartu SIM serta beberapa kartu yang sempat aku ambil. Tanganku beralih di bagian saku dompet kecil dekat dengan tempat kartu, "Foto polaroid 2R?" gumamku mengambil foto itu. Tanganku perlahan membalikkan foto polaroid itu untuk melihatnya.
Ini foto Pak Jefri sama siapa?
Karena sibuk dengan ponselnya, Ia tak menyadari kalau aku memegang foto yang ada di saku dompetnya, "Pak, ini foto Pak Jefri sama siapa?" tanyaku pelan.
Pak Jefri tampak terkejut saat aku memegang polaroid itu, "Ayana kembalikan dompet saya!" ucapnya meraih dompet yang ada di tanganku.
Aku sedikit menghindar saat polaroid itu ingin ia rebut, "Jawab pertanyaan saya dulu. Ini foto siapa?"
Ia masih mengunci mulutnya. Matanya yang menatapku tak ada gunanya juga. Aku tidak butuh jawaban dari matanya, "Saya yakin itu Amira. Iya kan Pak?" tambahku menimpali.
"Ayana," panggilnya lirih.
Aku menghela napas panjang, berusaha untuk menetralkan suasana disini, namun tidak bisa. Amira lagi ya? Sebenarnya sosok Amira yang kayak gimana sih? Sampai-sampai foto Amira masih ia disimpan.
Tanpa aku sadari ternyata buliran bening yang ada di kelopak mataku menetes, cepat-cepat aku mengusapnya kasar, "Ayana, kembalikan foto itu," ucapnya pelan sembari menatapku sayu.
"Segitu besarnya ya Pak, Bapak masih mencintainya. Sampai saya tidak ada ruang sama sekali untuk singgah di hati Bapak,"
Bersambung....
Malang, 5 September 2020
Anggap aja ini double up ya? Wkwkwk Karena panjang dan jarang update akhir-akhir ini. Kasih tau mana yang typo ini 3000 lebih kata yang harusnya 2 part malah aku jadiin satu part.
See you next chapter. Semoga suka!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top