16-Starting Fresh

Ada sedikit adegan ena-ena 21+ ya. Skip bagi yang tak ingin berdosa

**************************************

Aku terbangun, menguap, lalu mencari handphone ku. Menatap jam digital di layar handphone. Akan subuh.
Reflek aku merenggangkan otot. Menatap ke ventilasi di atas jendela. Masih agak gelap.

Tama masih tertidur di sampingku. Wajahnya tenang. Tampak nyenyak. Sia-sia aku menyiapkan selimut dan bantal di sofa, toh pria ini malah tidur bersamaku di dalam kamar.

Tidur dalam arti sesungguhnya.

Kami tidak melakukan apapun selain bercengkrama. Tidak ada sentuhan erotis. Tidak ada omongan seputar seks. Hanya sentuhan seperti Tama menyibak rambutku ke belakang telinga sembari bertanya tentang seputar diriku atau jemariku yang menelusuri garis rahangnya sembari bertanya tentang pekerjaannya.

Dia tidak menceritakan apapun.

Hanya menjawab seadanya bahwa dia sedikit melakukan perbuatan berbahaya. Sama halnya ketika kami bertemu di hotel waktu itu.

"Apa... Itu ada kaitannya dengan tidankan kriminal?" Tanyaku hati-hati tadi malam. Tama menerawang, menggeleng.

"Saat ini nggak." Ujarnya.

"Biasanya?"

"Mungkin."

Aku benci jawabannya. Membuatku semakin yakin dia melakukan perbuatan ilegal. Semakin membebani setiap ruas tulangku tentang siapa dia sebenarnya.

Apakah aku sedang bersama seorang pembunuh? Pencuri? Perampok?

Aku terdiam. Bermain dengan pikiranku yang kalut.
Tama lalu mendekatkan wajahnya.

"Jangan khawatir." Tama menelusuri ibu jarinya ke pipiku "aku bukan orang berbahaya saat ini. Tidak untuk orang lain, tidak untuk Ranu."

"Lalu yang benar bagaimana?" Tuntutku.

"Mungkin penolakan Ranu sementara ini yang paling benar. Jangan berhubungan serius denganku untuk saat ini." Ujarnya.

Aku menggigit bibir. Aku memang menolaknya seperti aku menolak Syahdan, tapi alasannya lebih karena keterbatasan informasi tentangnya.

Aku ingin punya kekasih seperti Tama jujur saja, tapi jika aku memutuskan berhubungan secara serius maka aku juga harus 'menjalin' hubungan dengan latar belakangnya. Tidak hanya ikatan fisik.

Aku pun mengatakan demikian kepadanya.

Tama tidak memberi informasi apapun tentang dirinya. Dia hanya bilang belum saatnya.

"Setidaknya aku tahu Ranu menolakku bukan karena Ranu membenciku atau alasan yang sama dengan mantan Ranu."

"Kalau kamu merasa seperti itu saat aku tolak, gimana kalau aku jatuh cinta sungguhan sama kamu suatu hari?" Tantangku "aku yang paling menderita di sini. Apalagi kamu nggak mau pergi dariku, tapi kamu menolak memberitahu---"

"Aku nggak nolak." Potongnya. Pembicaraan kami mulai serius "aku menunggu saat yang tepat."

"Kenapa nggak sekarang saja saat yang tepat itu? Biar clear. Biar jelas. Biar aku bisa putuskan akan tetap menerimamu atau menjauh. Tidak peduli seberapa besar perasaan kita berdua satu dengan yang lain."

Dia menatapku putus asa.

"Aku menyukai Ranu. Aku menyukai Ranu seperti remaja yang baru kenal cinta. Tapi aku bukan remaja lagi. Ada hal-hal yang menuntutku."

"Kalau begitu kenapa hal-hal yang menuntut itu tidak kita bagi bersama layaknya pasangan?"

"Ranu... Ini berbahaya bagi Ranu jika sampai Ranu terlibat.."

"Tuh, kan!" Aku mengerang, bangkit "aku tahu kamu pasti terlibat hal-hal yang mengancam nyawa! Aku cuma berharap bukan kamu yang mengancam nyawa orang lain!"

Tama memandangku dengan tatapan yang seperti tersakiti.

"Aku sudah bilang kalau aku bukan orang yang berbahaya. Bagi Ranu maupun orang lain saat ini."

Aku menyesal.

"Aku tahu itu." Aku mendesah lelah "aku yakin pria yang mengkhawatirkanku sepanjang waktu, bahkan ketika berhubungan badan pun, adalah orang baik."

Aku mendekat lagi ke arah Tama. Menyentuh dadanya yang naik turun. Dia merengkuhku lembut.

"Aku yang menolak Tama, tapi entah kenapa justru aku yang merasa putus asa. Justru aku yang terkesan menuntut." Gumamku.

"Maaf," ujar Tama "aku sangat menyukai Ranu. Sangat. Aku hanya ingin menjalin hubungan dengan Ranu, memiliki Ranu. Tanpa perlu Ranu menuntut latar belakangku saat ini."

"Tama," aku mendesah lelah "kalau kamu seperti ini, malah mirip anak kecil. Kita sama-sama orang dewasa. Aku lumayan open minded. Coba bilang sama aku, Tam."

Tama akhirnya membuang nafas. Lalu tersenyum pelan.

"Oke, beri aku waktu satu bulan. Jika semua selesai, aku akan bilang semuanya. Semuanya tanpa ada yang ditutupi."
Tama lalu menarikku mendekat "jika aku sudah menceritakan semua, katakan Ranu, kalau kamu mau jadi milikku."

"Idih." Aku memukul dadanya pelan "mana bisa yang seperti itu?"

"Bisa. Karena aku nggak mau kalau bukan Ranu." Ujarnya sembari tersenyum lemah.

"Aduh gombal. Kamu lumayan buaya darat, ya?" Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu "ah, cewek yang berciuman denganmu di tempat karaoke itu siapa? Pacar?"

Tama kehilangan senyumnya sedikit.
Lalu dia mendesah pelan. Menatapku.

"Katakan saja, aku melakukannya karena pekerjaan?"

Mataku melebar "gigol--"

"Bukan!" Dia memotong segera "tunggu satu bulan. Aku akan ceritakan semua sama Ranu."

Apa-apaan sih? Aku kesal, sungguh. Ingin rasanya aku memakinya. Aku merasa dipermainkan.

Tapi aku sudah katakan kan, sebenarnya pria ini memikat?

"Lalu," aku memikirkan pertanyaan lain "umurmu berapa?"

"Kenapa?" Tanyanya.

"Apa aku harus nunggu sebulan lagi?" Serangku jengkel. Balik bertanya. Tama tertawa. Renyah.

"Aku lebih muda dua tahun dari Ranu." Jawabnya akhirnya. Tanpa sungkan. Aku menarik diri dan memandangnya.

"Jadi," aku bicara lamat-lamat ke arah matanya "aku beneran tidur sama daun muda?"

"Hei," Tama menarikku lagi "apa salahnya sih pria lebih muda menjalin hubungan dengan wanita yang lebih berumur? Aku tidak keberatan."

Aku menatapnya serius "karena wanita mengalami menopause. Lebih cepat dari pria."

Tama mengerang "astaga, Ranu. Aku nggak berpikir menjalin hubungan dengan Ranu bakalan diisi sama seks melulu."

Tama menghela nafas "aku ingin menjelajah, dan itu harus bersama pasanganku. Aku ingin mencoba semua makanan dan bertemu banyak orang, juga dengan pasanganku."

Aku mengerjap. Lalu menggigit bibir.

"Jangan dipikirin. Ranu bahkan masih menolakku. Nanti saja kalau kita sudah menjadi pasangan sesungguhnya, kita akan menjalani semuanya berdua."

Aku tergelak pelan "ya ampun, kayak ngajak nikah."

"Loh, memangnya kita akan pacaran lama-lama? Aku akan menikahi Ranu juga kan?"

"Hei!" Wajahku mungkin seperti udang yang dimasak; panas dan memerah.

"Jelas kita akan menikah." Tama mengulang.

"Sudah, hentikan gombalnya!" Aku bangkit, lalu menuju meja untuk minum. Menenangkan pikiran dan detak jantung yang bertalu-talu.

Sialan. Aku dibuat tidak karuan sama bocah dua tahun lebih muda. Apa-apaan ini?

"Ranu," Tama mengikutiku, memeluk dari belakang. Aku tidak berontak. Tidak menolak sentuhan intimnya "aku serius. Tapi sungguh, hanya satu bulan saja sampai semua selesai. Aku akan menanyakan lagi kepada Ranu."

Tama mengecup puncak bahuku "kuharap bukan penolakan dari Ranu nantinya."

Aku berbalik. Menyelaraskan pandangan kepada bocah tinggi di hadapanku.
Susah payah aku menelan ludah menahan pesonanya.

"Tama," panggilku "apa... Apa sampai satu bulan itu, kita akan terus berhubungan? Berkomunikasi?"

Tama mengangguk "aku akan sering berkunjung. Melepas rindu. Atau kita keluar bersama sejenak sambil makan. Terserah Ranu."

"Oh. Baiklah." Aku menggigit bibir "lalu... Soal seks?"

Aku menanyakannya. Oh ya ampun, tante nakal ini menanyakannya secara gamblang. Pasti aku akan ditertawakan.

Tapi Tama tidak tertawa. Ada senyum kecil merekah.

"Ranu ingin?" Tanyanya "kita bisa melakukannya kalau Ranu ingin. Tidak ada paksaan."

Lalu dia menambahkan "aku akan pakai pengaman kalau Ranu khawatir, walau sebenarnya aku ingin membuahi Ranu."

"Cukup, cukup." Aku menghentikannya bicara. Aku merasa merinding "aku lebih suka Tama main aman."

"Jadi Ranu benar-benar ingin melibatkan seks?"

Agh! Aku nggak tahu, nggak tahu. Sungguh pria ini bisa membuatku kelimpungan dan malu sendiri.

Lalu selanjutnya dengan berbagai candaan, adu argumen, saling lempar godaan, kami mengakhiri malam panjang dengan ciuman dalam hingga kami tertidur.

Ah. Aku sungguh merasa konyol dengan keputusan malam kemarin. Bisa-bisanya aku ingin bersama laki-laki yang kutolak dan penuh rahasia hitam.

Tidak ada hubungan serius. Terkesan main-main. Bahkan dengan nekat menawarkan hubungan lain yang berbahaya; sex friend.

Aku memasak nasi goreng udang untuk kami sarapan dengan pikiran berkecamuk. Tapi setelah melihat hasil masakanku dan untuk siapa aku memasaknya, tiba-tiba muncul semacam adrenaline bahwa aku tidak peduli.

Tama adalah petualangan. Ia petualangan hidupku selanjutnya.

Setelah urusan sarapan selesai, aku mandi. Bersiap untuk ke kantor.

Aku segera ke kamar setelah selesai mandi. Berbalut handuk yang tampak ogah-ogahan kupakai. Kulilit ala kadarnya. Aku terbiasa sedikit ekshibionis ketika di apartment ku sendiri. Ada perasaan bebas ketika mempertontonkan tubuhku tanpa dilihat orang lain. Hanya aku yang menikmati.

Walau kali ini aku memakai celana dalam karena sedang bulanan.

Aku baru tersadar ketika mengambil baju, bahwa ada Tama di kamar. Aku segera menoleh, berharap pria itu masih tidur.

Namun Tama sudah terduduk di ranjang. Bersandar di kepala tempat tidur sembari tersenyum usil.

"Pemandangan bagus." Ujarnya, nakal.
Aku berusaha menutup tubuhku, tapi Tama malah menyeletuk mencegah.

"Nggak usah. Aku kan sudah lihat berkali-kali sebelum ini." Ujarnya usil.

"Jangan cabul, ah!" Aku mengalihkan pandangan malu "sana sarapan!"

Tama menyunggingkan senyum jahilnya lagi "sarapan pakai Ranu?"

"Hei!" Aku memang menawarkan hubungan dalam bentuk lain yang lebih 'kotor', tapi aku masih belum terbiasa diperlakukan seperti ini.

Aku ingin tidak mengacuhkannya, tapi sia-sia. Karena aku ingin membalas Tama. Lalu tatapanku tidak sengaja melihat miliknya yang tampak tidak sungkan berdiri.

"Mau layanan pagi hari?" Tantangku, pura-pura sok biasa saja padahal hatiku juga tidak karuan. Tujuanku adalah ingin membuatnya kelabakan.

Tama menyerngit bingung. Lihat , Tama yang biasanya seperti tahu segalanya itu menunjukan wajah bingung.

"Apa?"

"Milikmu," aku menunjuk dengan dagu "dia bangun."

Tama melihatnya, lalu mengerang. Antara kesal dan malu. Dia berusaha menutupi. Tapi aku malah tertawa keras. Aku berhasil membalas perbuatannya.

"Hentikan," ujar Tama kesal. Tapi aku tidak berhenti tertawa.

"Sudah cukup, Ranu." Dia malu sendiri. Aku berusaha mengerem tawaku.

"Iya, iya maaf." Aku menghampirinya "kamu sih, usil duluan."

"Ranu objek menyenangkan untuk dibuat kesal." Gumamnya , terbesit senyumnya yang jenaka.

Aku jadi ingin membalasanya lagi.

Kenapa aku justru ingin lebih?
Oh, persetan.

Dengan gerakan menggoda aku beringsut ke arahnya seperti jalang.

"Aku juga sudah berkali-kali menikmatinya."

"Apa?"

"Sekali lagi," aku berujar lirih "Dek Tama mau layanan pagi hari?"

Tama memandangku sendu. Aku ingin mengejeknya dengan maksud bercanda. Mengatainya dengan sebutan lebih muda untuk membuatnya kesal.

"Aku biasanya akan marah jika dianggap seperti anak-anak." Gumam Tama pelan, "tapi entah kenapa kalimat barusan malah sangat menggoda."

Aku mengerjapkan mata.

"Lalu?" Aku terus memancingnya.

"Lakukan," dia bersandar rileks "lakukan apapun yang Mbak Ranu mau."

Dengan naluri dan birahi, aku semakin beringsut ke arahnya. Menempelkan bibirku ke arah bibirnya.

Kami saling melumat.
Jemari kami menyentuh leher masing-masing. Aku duduk di pangkuannya. Merasakan kejantanannya mengeras.

Tangan Tama membebaskan tubuhku dari lilitan handuk yang bahkan tidak terlilit sebagaimana mestinya.

Membuatku setengah telanjang.
Jemarinya lalu berpindah, meremas payudaraku. Membuatku hilang akal.

Otakku sudah dipenuhi kabut hasrat.

Jadi, seperti hilang akal sehat, aku memainkan sendiri payudaraku di hadapan Tama. Memperlihatkan wajahku yang mendamba yang terangsang dengan permainan jemariku sendiri dan remasan jemari Tama.

Aku tahu Tama menyukainya.
Terlihat dari tatapan matanya yang mulai menggelap dan permainan jemarinya di payudaraku yang semakin menggila.

Deru desahku semakin tidak karuan.

"Ah, Tama.." Namanya lolos dalam lolonganku. Membuatnya ikut mendesah semakin kuat.

Dia mengerang, tidak tahan. Melepas celananya sendiri.

Dia merancap di hadapanku.
Memuaskan miliknya dengan tangannya.

Aku tidak pernah melihat pria bermasturbasi se seksi ini. Tatapannya tajam melihat ke arahku. Deru nafasnya memburu namun teratur. Tangannya bekerja memuaskan diri.

Apa ini rasa puas pemain film porno jika ada yang mernacap ketika melihat mereka?

Ini benar-benar mesum, tapi aku menyukai imaji Tama yang menginginkanku seperti itu.

Aku ingin membantunya.

Jadi jemariku menyambut miliknya.

"Ranu---" dia mendesah "Ranu sedang datang bulan, kan?"

Aku mengangguk.

"Lalu apa yang---"

"Ada banyak cara, Tama." Aku memotong.

Aku menunduk. Menikmati miliknya dengan ujung lidah. Merasakan bau khas miliknya.

Aku mendengar ia sedikit mendesis.

Lalu aku memasukan semuanya. Hingga ujung tenggorokan. Memainkan miliknya di dalam mulut sembari memberi permainan di testikel. Menahan desakan air mata dan muntah karena kerongkongan penuh.

Deru nafasnya semakin keras. Ia membelai rambutku. Mengumpulkannya dan tiba-tiba mencengkram kuat ketika aku menghisap miliknya.

"Ranu... Oh, iya... Ranu...Agh, agh.."

Aku suka mendengar racauannya.

Jadi aku semakin intens mempermainkan dan memanjakan miliknya. Hanya karena aku menyukai reaksi dan suara seksinya.

Ketika aku melepaskan miliknya, Tama segera menarik daguku, mengangkatnya agar mendekat. Lalu memagut bibirku lapar.

Aku memberikan beban tubuhku dengan mencengkram bahu Tama. Membalas pagutannya. Merasakan lagi sensasi nafsu, haru, dan perasaan membuncah semacam rindu.

Apa perasaanku kepada pria ini sudah meningkat?

Aku tidak tahu.

Tama membimbingku berbaring. Posisi kami saling berbaring berhadapan, menyamping. Berciuman sejenak, hingga kemudian Tama berpindah ke atasku.

Tatapan kami bertemu. Mendalami imaji birahi kami.

Lalu kepalanya menyeruak ke dadaku.

Memainkan mulutnya di sana. Menyusu seperti kelaparan. Sembari tangannya kembali merancap.

Kini ganti aku yang meracau dan melolong. Sungguh, permainan dan hisapannya bisa membuatku tidak waras.

Apakah dia pernah melakukannya dengan orang lain?
Kupikir sudah pasti. Dia ahli membuatku merasa nikmat dan nyaman bahkan saat pertama kali kami melakukannya.

Ada cemburu membayangkannya memasuki tubuh lain.

Tapi, Ah. Sialan. Lidahnya membuatku mengeluarkan desahan tak putus-putus. Aku merasa gila. Aku mencengkram sprei. Merasakan luapan dan ledakan.

Astaga... Aku orgasme.
Hanya dengan permainan mulutnya di dadaku.

Aku mengatur nafasku, masih mendesah. Membiarkan Tama menyelesaikan apapun.

Aku mendengar erangan Tama disela kulumannya di dadaku, lalu suara tangannya yang semakin cepat di bawah sana. Dia akan sampai.

"Tama..." Aku memanggilnya dengan suara desahan "boleh keluarkan dimanapun."

Aku memberikan ijin yang cukup kontroversial. Suara tangan Tama semakin keras. Ia melepaskan kuluman di puncak payudaraku, lalu segera memagut bibirku dengan penuh ketergesaan.

Aku merasakan cairan hangat di dada dan perutku.

Ia memutuskan menuntaskannya disitu.

"Hah... Hah..."

Aku mendengar desahannya yang memburu. Dahi kami bersentuhan. Aku membelai pipinya. Dia mengelus rambutku.

"Sebulan Ranu..." Gumamnya "sebulan lagi... Kumohon bersabarlah..."

Aku tersenyum lemah.

"Aku tunggu."

Padahal harusnya ku tahu bahwa berjanji ketika sedang dilingkupi nafsu, kebanyakan tidak akan tertepati.

********************************

((Bagian ini dibaca berdasarkan sudut pandang orang ketiga))

Tama berkendara pulang ke markas, berpisah dengan Ranu yang berangkat ke kantor.

Mereka berjanji akan bertemu lagi dua hari selanjutnya saat akhir pekan. Di apartment Ranu.

Mungkin Tama akan memutuskan menginap. Mungkin saja ia dan Ranu akan menghabiskan seharian saling menjelajah tubuh masing-masing.

Tama merasa tegang sendiri.

Namun Tama segera menghentikan mobilnya di jalan utama menuju markas kelompoknya ketika di hadang dua buah mobil dan beberapa orang.

Tama memandang tajam.
Mau apa lagi?

Tama akhirnya keluar dengan kesal. Melihat salah satu diantara mereka yang paling pendek berdiri bersandar di mobil.
Mengetahui Tama keluar dari mobil, ia segera berdiri tegak.

"Lo mau apa?" Tanya Tama kepada Ernest. Ketua kelompok preman bagian tengah. Rival kelompoknya walau sebenarnya kelompoknya hampir tidak pernah berkonflik dengan kelompok Ernest.

Kecuali Tama tentunya. Dendam Tama tidak sebatas perang antar preman.

"Gue mau minta salinan laporan lo pas lo jadi agennya polisi dan Danny." Ujar Ernest tenang.

"Ngapain? Itu buat Bang Danny, bukan lo " Tanya Tama. Menolak.

"Gue butuh, Ar."

"Gue bilang jangan panggil gue pakai itu!" Bentak Tama, lalu ia melihat anak buah Ernest menjadi waspada.

"Kenapa? Lo takut bos lo kenapa-kenapa?" Tantang Tama "gue nggak bakal ngapa-ngapain orang yang masih dibutuhin orang banyak. Bahkan mungkin gue yang dibunuh bos lo."

"Ar!" Ernest meninggikan suaranya. Membuat anak buahnya beringsut. Ernest adalah tipikal ketua yang tidak pernah membentak. Kalau dia meninggikan intonasinya, ini berbahaya.

Tapi Tama tetap statis.

"Jadiin dua, Nest." Ujar Tama mendesis marah "jadiin dua orang bernama Ar, yang mati karena lo."

Tama lalu mendekat ke arah Ernest "dan gue nggak akan ngasih salinan laporan apapun tanpa perintah Komandan Restu ataupun Bang Danny--itu pun kalau dia bisa lo temuin."

Tama menarik diri. Lalu segera masuk ke mobilnya. Ia mengklakson berkali-kali dan nyaring.

Ernest menghela nafas. Ia lalu menyuruh anak buahnya memindahkan kendaraan dan membiarkan mobil Tama lewat.

Ia sendiri akhirnya naik ke mobilnya.

Opi, tangan kanan Ernest mulai menyetir. Meninggalkan kawasan markas preman selatan.

"Si Arghya itu," Opi mulai bersuara "apa nggak keterlaluan sama lo, Nyo? Kurang ajar, kan?"

Ernest diam. Tatapannya dingin ke depan.

"Apa perlu kita kasih pelajaran, Nyo?"

Ernest sering dipanggil 'Sinyo'---sebutan untuk pria muda Belanda sebenarnya, tapi lebih populer untuk tuan muda peranakan saat ini-- oleh anak buahnya. Itu karena dia memang peranakan.

Terlahir dengan nama resmi dalam akte Ernest Arli Sutanto. Namun memiliki nama lahir Li Xin Yan.

Ernest sudah lama tidak lagi memakai nama Ernest Arli. Dia merasa tidak perlu, toh sekarang pekerjaannya justru sering melanggar hukum.

Dan lagi, ia tidak mau menambahkan kata 'Ar' dalam namanya.

Cukup Ernest Li. Atau sebutan apapun ia tidak peduli.

"Nggak perlu. Terlalu sia-sia cuma buat urusan ginian." Jawab Ernest sembari menghela nafas.

Ya. Tidak perlu.
Ernest tidak mau dihantui rasa bersalah karena 'membunuh' Ar lainnya lagi.

Eksistensinya yang bernama Arli dan Arshan, sahabatnya, itu saja cukup.
******************************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top