BAB 21

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)

Happy Reading:)

***

Masalahku belum seberapa dibandingkan orang lain. Aku hanya perlu lebih banyak lagi bersyukur. Betapa nikmat yang Allah berikan jauh lebih besar dibanding hanya sekadar kesedihanku.

***

Keesokan harinya, Aini yang sedang menyapu kamar tidur dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Ia segera mengambil dan memakai kerudung berwarna hitam, kemudian menghampiri pintu dan lantas membukanya. Ternyata itu adalah orang tuanya yang sengaja datang bersama kedua adiknya.

Setelah menjawab salam, Aini segera mencium tangan kedua orang tuanya dan dilanjut oleh kedua adik-adiknya.

"Ayo masuk, Mah, Pah, Kahfi, Haris." Aini mempersilakan mereka untuk masuk dan duduk.

"Alhamdulillah. Mamah kayaknya mau nginep di sini ya, Aini. Kemungkinan Haris mau disekolahkan di pesantren Al-Hafidz saja," ucap Tia, Mamahnya Aini.

Aini mengangguk dan kemudian menoleh ke arah adik terakhirnya yang bernama Haris. "Kamu yakin, Dek, mau di sini? Emang di pesantren sebelumnya nggak betah?" tanyanya pada Haris.

Haris menggelengkan kepalanya. "Bukan nggak betah. Haris bosen aja di sana. Mau mencari sesuatu yang baru."

"Ya udah, sih ya, terserah kamu, Dek. Yang penting harus bener-bener belajarnya."

"Yaa, itumah pasti, Kak," ucap Haris yang lantas kembali berfokus pada layar ponselnya.

Aini menghembuskan nafasnya kasar. Dia sangat kenal pada Haris. Haris adalah lelaki yang kalem dan santai. Prestasinya kian menurun semenjak lulus Sekolah Dasar. Social media sudah berhasil menarik perhatiannya. Aini berharap, jika nanti Haris di Pesantren Al-Hafidz, Haris bisa mejadi lebih baik lagi. Sebab peraturan yang ada di pesantren tersebut sangat ketat.

"Kak, kemarin aku juara olimpiade matematika se-provinsi, Alhamdulillah." Kali ini Kahfi yang mulai membuka suara.

Aini beralih menatap Kahfi dengan tatapan penuh kebanggaan. "Wah, Alhamdulillah, Maa Syaa Allah tabarakallah, Kahfi. Keren banget sih, kamu," ucap Aini.

Kahfi tersenyum puas. "Ya iya dong, Kak. Kakak kapan pulang ke rumah sih, lama banget di sininya. Kahfi mau ajak Kakak buat ngadain kegiatan nih, buat anak-anak sekitaran rumah. Pasti seru, Kak," ucap Kahfi yang saat itu berhasil membuat keinginan Aini untuk pulang kembali menggebu.

Aini mengerucutkan bibirnya. "Ihh, ayo banget, Kahfi. Tapi sayangnya Kakak nggak bisa kalau buat sekarang. Semoga liburan semester nanti Kakak bisa pulang, ya."

"Aamiin. Doa paling kenceng deh, Kak, hehe," ucap Kahfi sambil terkekeh.

Aini tersenyum tipis. Melihat Mamah, Papah, dan kedua adiknya membuatnya terharu. Dia begitu senang bisa diterima dengan baik oleh keluarga ini, meskipun darah dan dagingnya sebetulnya bukanlah bagian dari keluarga itu.

Sekarang, semuanya sudah berubah semenjak orang tuanya jujur tentang Aini yang ternyata bukan anak kandung mereka. Sedih dan begitu terluka hatinya saat itu. Namun, Aini tidak ingin membahas terlalu dalam mengenai itu. Sebab Aini tahu, itu hanya akan membuat semuanya termasuk dirinya tidak baik-baik saja.

"Mah, Pah. Sebenarnya orang tua aku siapa dan ada di mana?" Tanya Aini akhirnya.

Tia dan Bayu, suaminya saling bertatapan dan kemudian menoleh ke arah Aini dengan tatapan sayu. Tia segera memeluk Aini dengan erat, ia tak kuasa menahan air matanya.

Aini tidak mengerti. Kalaupun dia harus tahu bahwa kedua orang tuanya sudah tiada, dia hanya ingin tahu dimana pemakamannya agar ia bisa menziarahinya. Dia tidak ingin menjadikan semua ini sebagai kesedihan dan larut di dalamnya. Semua sudah berlalu dan dia sudah dewasa, sudah tidak perlu lagi untuk menyalahkan siapapun dan kenyataan. Meskipun sejujurnya, begitu berat untuk menerima semua.

"Kami adalah orang tua dan keluarga kamu, Aini," ucap Tia tanpa melepas pelukannya terhadap Aini.

Tiba-tiba semuanya terasa begitu menyesak di hati. air mata Aini mengalir di pipinya seketika. Sungguh, dia begitu menyayangi Tia dan Bayu yang selama ini ia kenal sebagai orang tua kandungnya.

"Aini hanya ingin tahu siapa sebetulnya orang tua kandung Aini, Mah, Pah," ucap Aini bergetar sebab menahan tangis.

Tia hanya menangis dan kemudian memeluk Aini dengan erat. "Mamah sama Papah tulus menyayangi kamu sebagaimana anak kandung. Dan kami mohon agar kamu mau maafin kita, Aini."

Aini terdiam, membeku. Tak ada satu katapun yang hendak Aini ucapkan saat itu. Kali ini mereka benar-benar membuatnya bingung.

***

Ketika kedua orang tua dan adik-adiknya melakukan survey Pesantren Al-Hafidz, Aini tidak ingin hanya berdiam diri di dalam rumah. Seperti biasa, dia beraktivitas kembali di panti asuhan. Keadaan panti hari ini jauh lebih kondusif daripada sebelum-sebelumnya.

Di perjalanan menuju panti, Aini bertemu dengan salah satu pengajar pesantren bernama Tiana. Akhir-akhir ini Tiana yang banyak membantu dan menemani Aini dalam acara Milad Yayasan kemarin.

"Assalamu'alaikum, Aini," ucap Tiana sambil melambaikan tangannya dan menghampiri Aini.

"Waalaikumussalam Warrahmatullah, Tiana. Ceria banget kamu keliatannya hari ini," ucap Aini sambil menampilkan senyumannya.

Tiana malah terkekeh. "Ah, kamu bisa aja, Aini. Aku hanya menutupi perasaan yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja, kok. Hehe."

"Aku ngerti, Tiana. Banyak orang-orang kuat dan menampilkan sesuatu yang tidak sebenarnya. Dia terlihat baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak demikian. Dan mungkin kamulah salah satunya orang kuat itu, Tiana," ucap Aini.

Tiana tersenyum tipis. "Masalahku belum seberapa dibandingkan orang lain. Aku hanya perlu lebih banyak lagi bersyukur. Betapa nikmat yang Allah berikan jauh lebih besar disbanding hanya sekadar kesedihanku."

Aini terharu dan kemudian merangkul Tiana. "Ah, kok jadi agak sedih-sedih gini, ya. Semangat terus, Aini. Ayo, semangat, yu!"

Tiana selalu saja seperti itu. Selalu mengalihkan sesuatu yang hampIr membuatnya meneteskan air mata. Aini tahu, betapa sahabat barunya ini melewati kehidupan yang tak mudah untuk dijalani.

"Oh iya, Aini. Tadi aku lihat Ustadz Manaf lagi mengobrol sama Ustadzah Khadijah. Sepertinya penting sekali, ada apa, ya?"

Aini terdiam sejenak. Awalnya ia ingin mengabaikan apa yang Tiana katakan, tapi rasa penasarannya kini mendominasi.

"Apa yang dibicarakan?" Tanya Aini yang mulai penasaran.

Tiana mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "Mana aku tahu, Aini. Kalau aku tahu, udah pasti aku kasih tahu kamu."

Aini berusaha menepis pikirannya yang mulai aneh-aneh. "Ya udah, bukan masalah juga kan, buat kita. Dan memang bukan urusan kita juga."

"Aku tahu, Aini. Tapi seperti ada perdebatan di percakapan mereka. Suara Ustadz Manaf terdengar serius dan sangat menghayati perannya."

Aini mengernyitkan dahinya bingung. "Adegan apa, Ti?"

Tiana memutar bola matanya malas. "Ah, panjang kalau dijelaskan dan kamu pasti tidak akan langsung paham. Intinya, Manaf seperti tengah marah dan berusaha membujuk Khadijah. Ah, pokoknya seru banget, Aini. Sayang, suaranya samar-samar dan tidak terdengar terlalu jelas. Khadijah juga sepertinya menangis."

Aini menggelengkan kepalanya cepat. "Ish, Tiana. Kamu ini apa-apaan, sih. Mungkin kamu salah lihat. Mungkin bukan seperti itu yang kamu lihat dan kamu dengar." Aini tidak percaya.

"Ah, kamu mah nggak seru. Masa nggak percaya sama aku?"

Aini tersenyum tipis. "Nggak perlu meyakinkan aku untuk percaya itu, Tiana. Udah, itu bukan hal yang harus kita bahas. Kamu punya banyak kerjaan, dan aku masih ada tugas di panti. Ayo kita selesaikan segera pekerjaan kita."

Tiana menepuk dahinya reflek. Hampir saja dia lupa, bahwa saat itu dia sedang diamanahkan Ustadz Bilal untuk mengerjakan sesuatu. "Aduh, hampir aja aku lupa. Sampai ketemu lagi, Aini Shalihah, Ahlul Jannah. Assalamu'alaikum."

Tiana segera pergi, berlari. Aini menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.

Namun, tiba-tiba ia ingat akan apa yang Tiana katakan tentang Arkan. memangnya, ada apa dengan Manaf dan Khadijah?

***

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)

#15/05-2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top