1. Rencana

Hawa panas dan suara dentang besi beradu. Ditambah aroma logam yang meleleh. Hari-hari berjalan seperti biasa di bengkel pandai besi. Anak-anak asrama Caesar berkelakar sambil menempa senjata masing-masing, mengikuti instruksi Profesor Fabron, sang pengajar yang berbaju zirah lengkap.

Arsen Diamond menguap bosan. Segalanya terasa begitu monoton setelah tiga tahun mengenyam pendidikan di Akademi Bridge. Menciptakan benda-benda yang sama berulang kali membuatnya merasa jenuh. Pedang ini, busur itu. Bahkan mereka tidak diajarkan untuk menggunakannya. Senjata-senjata yang nantinya justru digunakan oleh anak-anak asrama lain untuk berlatih.

Arsen menginginkan sesuatu yang berbeda. Sebuah gebrakan pada metode pembuatan senjata. Pemikiran revoluisoner tersebut tentu didukung oleh kemampuannya yang mumpuni. Pemuda itu adalah siswa terbaik di angkatannya. Meski begitu, ia selalu merasa kemampuannya dikekang oleh aturan akademi, seolah dia mungkin bisa membuat senjata pemusnah masal. Walau sebenarnya hal itu juga pernah terlintas di pikirannya.

Terlalu radikal. Begitu kata Profesor Fabron ketika menolak proposalnya untuk membuat sebuah mesin penghancur berkekuatan super. Padahal Arsen hanya merancang sebuah bazooka yang menembakkan energi ether sederhana. Setidaknya begitu menurut pemuda itu.

"Siapa yang akan menggunakan senjata mengerikan seperti itu? Sebagian besar pengguna senjata kita adalah klan Spade yang hanya membutuhkan pedang atau tombak. Bahkan para assassin dari asrama Agrine cukup menggunakan katar. Kalau kau bosan membuat benda-benda itu, cobalah membuat mace untuk para penyembuh. Tidak ada yang memakai senjata peledak berbahaya seperti ini," ujar sang Profesor suatu ketika.

"Tapi Prof, M9A1 ini bukan senjata berbahaya. Kekuatan ledakannya ditentukan oleh besaran jumlah energi ether penggunanya. Jadi bisa diatur sesuai kebutuhan," sanggah Arsen bersikeras mengajukan lembar blueprint rancangannya.

Sang Profesor berdecak tak sabar. "Nama aneh apa lagi itu. Sudah cukup, Arsen. Aku tahu kau punya otak yang cemerlang. Tapi gunakalah dengan semestinya. Menggunakan senjata peledak itu merusak esensi sebuah pertarungan sakral."

Arsen sama lelahnya menghadapi Profesor Fabron yang menurutnya kolot itu. Memangnya yang ahli bertarung hanya anggota klan Spade atau klan Club saja? Oke, mereka memang punya kemampuan mumpuni dalam pertarungan langsung. Namun, itu karena mereka memang dilatih untuk berkelahi sejak kecil, seperti kaum bar-bar yang hanya mementingkan kemampuan otot daripada otak.

Akan tetapi dia berbeda. Klan Diamon selalu unggul dalam hal kecerdasan. Karena itu, tidak ada salahnya memanfaatkan bakat mereka merancang senjata untuk melindungi diri sendiri, bukan? Alih-alih memperjualbelikan senjata buatan mereka ke klan lain. Sungguh picik. Meski Arsen juga menyukai uang dan kemewahan, tetapi kalau dia bisa membuat senjata hebat untuk dirinya sendiri, itu lebih baik.

"Arsen, kau tidak menyelesaikan pekerjaanmu?" Seorang gadis berambut pendek menyenggolnya. Arsen tersadar dari lamunannya lantas kembali menatap pedang pendek yang tengah dia tempa.

"Apa yang kau buat itu, kawan? Kail pancing? Kenapa dia bengkok begitu?" tukas pemuda lain yang berdiri di sisi kirinya.

Kakak beradik Ferrum itu baru menghampirinya sambil membawa lelehan besi panas yang berwarna oranye menyala. Keduanya merupakan sahabat Arsen yang sudah dia kenal sejak tingkat pertama di Akademi.

"Diana? Klarios? Kenapa kalian di sini? Bukannya para animagi seharusnya berlatih di Mirror Lake?" ujar Arsen balik bertanya.

Animagi adalah sebutan bagi para siswa yang bukan merupakan keturunan klan utama: Spade, Heart, Club dan Diamond. Mereka adalah anak-anak yang memiliki kemampuan berubah wujud menjadi hewan. Para animagi juga dibagi dalam empat asrama utama yang ada di Akademi Bridge sesuai asal mereka.

"Aku mengambil kelas ini untuk membuat cakar baru. Lihat, tangan kananku mulai berkarat karena selalu berlatih di danau," tukas Diana sembari menunjukkan jari tangan kanannya yang berlapis besi.

"Sudah kubilang kau seharusnya menggunakan logam langit untuk membuat bagian tubuh, kan," sahut Arsen menghela napas.

Diana merengut. "Pertumbuhan tubuhku masih berjalan. Sayang sekali kalau harus menggunakan logam langit, lalu nanti tidak bisa dipakai lagi saat aku dewasa," bantahnya.

"Jangan pelit pada dirimu sendiri, Diana. Kau bertingkah seperti orang miskin," celetuk kakaknya terkekeh.

"Kau sendiri kenapa di sini?" Arsen memotong, menatap Klarios dengan satu alis terangkat.

Pemuda yang ditanya hanya mengangkat bahu ringan. "Ingin ganti suasana saja. Aroma logam leleh membuatku bersemangat," ujarnya riang.

Arsen mendesis kesal. "Harusnya kalian bersyukur karena bisa mendapat kelas latih tarung. Bukannya malah terjebak di bengkel sumpek ini," keluh pemuda itu malas.

"Seolah-olah kau tidak mendapat kelas bertarung saja, Arsen." Diana menimpali.

"Apanya yang bertarung? Yang kami lakukan hanya berlari keliling lapangan, pemanasan, lalu kembali ke bengkel dan bekerja seperti budak belian," rutuk Arsen tak berhenti mengomel.

"Oh, ayolah. Jangan terlalu pesimis. Padahal kau selalu menggunakan bengkel diam-diam saat tengah malam. Aku tahu kau suka pekerjaanmu, Arsen," ujar Klarios meringis.

Arsen memelototinya. "Pelankan suaramu. Bagaimana kalau ada yang dengar," ujar pemuda itu memperingatkan. Beruntung suara denting besi yang dipukul bertalu-talu membuat suaranya teredam, sehingga Profesor Fabron atau anak-anak lain tidak mendengar percakapan mereka.

"Aku tidak bisa membuat senjata yang kuinginkan saat jam pelajaran. Mau bagaimana lagi," imbuh Arsen kemudian.

"Kalau begitu, setelah makan malam kita menyelinap lagi ke sini. Seperti biasa," tukas Diana mengedik pada Arsen dan Klarios.

Dua pemuda itu pun menjawab dengan anggukan. Ketiganya lantas tertawa geli memikirkan kekompakan mereka melanggar peraturan di malam hari.

***

Arsen, Klarios dan Diana duduk bersama di ruang perjamuan untuk makan malam. Menu hari itu adalah sup jagung kental dan Escargot. Para peri rumah tangga bertelinga runcing menyajikan hidangan tersebut dengan troli-troli makanan kepada anak-anak yang baru datang.

Arsen menyernyit menatap makanannya. "Ewh, aku benci siput," ujarnya sembari mendorong Escargotnya kembali ke troli makanan.

Sang peri rumah tangga setinggi empat kaki yang berdiri di samping Arsen menatap pemuda itu dengan mata bulatnya yang besar. Ekspresi para peri itu rata-rata seragam, tetapi kali ini Arsen sekilas melihat ada kilatan kekesalan di wajah peri rumah tangga yang melayaninya.

"Baik, baik, aku akan memakannya," ujar Arsen mengambil kembali piring Escargotnya.

Klarios dan Diana tertawa melihat teman mereka dipelototi oleh sesosok peri kecil dengan celemek kedodoran. Sementara itu Arsen hanya bisa pasrah meletakkan hidangan siputnya di meja makan.

"Kau tidak boleh pilih-pilih makanan agar bisa tumbuh, Arsen," celetuk Diana masih terawa.

"Aku secara khusus tidak mengonsumsi hewan avertebrata. Mereka berlendir dan menjijikkan," sahut Arsen memilih untuk menyendok sup jagungnya saja.

"Kalau begitu biar kumakan punyamu," sahut Klarios mengambil Escargot Arsen. "Padahal gurih begini," imbuhnya senang.

"Ya, ya, makanlah yang banyak, Klarios. Orang bodoh biasanya butuh banyak nutrisi untuk hidup," komentar Arsen skeptis.

Ruang perjamuan itu dipenuhi anak-anak dari empat asrama. Hanya di saat-saat seperti inilah Arsen bisa bertemu dengan siswa dari asrama lain. Asrama Pallas yang berisi para petarung dari klan Spade dan para animagi pendukung mereka duduk di sisi utara ruang perjamuan. Meja mereka dipenuhi panji-panji waru hitam dan warna hijau daun. Asrama Charlemagne tempat para penyembuh dari klan Heart beserta animagi pelindung mereka duduk di lajur selanjutnya. Panji-panji mereka berwarana emas berkilau dengan lambang hati merah.

Arsen dan anak-anak asrama Caesar, tempat bernaung klan Diamond bersama animagi pelindungnya, duduk di lajur ketiga. Panji-panji perak dengan lambang wajik merah menjadi simbol mereka. Terakhir, para penyihir dan assassin dari asrama Agrine, duduk di ujung selatan. Mereka didominasi dengan warna biru dengan panji-panji daun clover hitam. Sangat sedikit dari para penyihir yang datang ke ruang perjamuan. Entah mereka membuat makanan sendiri di hutan berkabut atau bagaimana, Arsen tidak terlalu peduli.

"Jadi senjata apa yang mau kau buat malam ini?" tanya Diana kemudian.

"M9A1," jawab Arsen pendek.

"Lagi? Kau tetap mau membuatnya meski Profesor Fabron bilang itu berbahaya?" Diana nyaris tersedak.

"Itulah kenapa aku melakukannya diam-diam. Kau pikir untuk apa aku menyelinap setiap malam dengan resiko detensi kalau ketahuan?" sahut Arsen serius.

"Tapi bukannya kau bilang ada bahan yang kurang untuk membuat senjata itu?" Klarios bertanya dengan mulut penuh makanan.

"Telan dulu sebelum bicara, Klar," potong Diana mengernyit jijik pada kakaknya.

"Aku mau mengeceknya lagi malam ini. Mungkin saja Profesor Fabros menyembunyikan mineral langka di brangkas ruang kerjanya," jawab Arsen tampak penuh perhitungan.

Kali ini dua temannya benar-benar terkejut. Diana bahkan menumpahkan sedikit supnya saat menyendok, sementara Klarios menyemburkan serpihan Escargot yang sedang dia kunyah, lantas terbatuk-batuk.

"Kau. Sangat. Menjijikkan. Klarios. Ferrum." Arsen mendelik ke arah temannya sambil mengusap tangannya dengan sapu tangan.

"Maaf ... tapi ... kau serius mau melakukannya sejauh itu?" ujar Klarios setelah berhasil menguasai diri dengan minum segelas air.

"Itu adalah kenekatan yang tidak pernah terbayangkan olehku," ujar Diana yang entah bagaimana justru terlihat antusias.

"Kalian berdua ini sinting," tukas Klarios menatap Arsen dan Diana sambil mendesis tak percaya.

"Jangan ikut kalau kau takut," kata Arsen kalem. Pemuda itu lantas bangkit berdiri, bersiap untuk kembali ke bungalow asramanya sebelum berangkat menyelinap. Nafsu makan Arsen sudah sirna gara-gara semburan Escargot dari mulut Klarios tadi.

Diana mengikuti Arsen dan ikut bangun dari tempat duduknya. "Nikmati makan malammu, Kak," ujar gadis itu tersenyum simpul.

"Bergaul dengan orang sinting, membuatku ikut gila," sahut Klarios lantas memutuskan untuk menyudahi makan malamnya.

Dalam perjalanan keluar dari ruang perjamuan, rombongan mereka berpapasan dengan salah satu siswa terkuat di Akademi, Leia Spade, sang Ketua Asrama Pallas yang tersohor. Hubungan Arsen dan Leia jauh dari kata akur karena beragam masalah yang kerap terjadi di antara dua asrama tersebut.

"Berlatih tarung seperti orang barbar lagi, Leia Spade?" sindir Arsen saat melewati gadis itu

"Urus hidupmu sendiri, Arsen," tukas Leia mengabaikannya.

Arsen mendengkus pelan. "Dasar manusia berdarah dingin," gumamnya diikuti tawa Diana dan Klarios. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top