pergi
•
•
•
WAJAH sumringah Harkasa menjemput putrinya tidak meluntur, dia tunggui Mutiara seperti biasa, dan akan membawa anaknya pulang. Menemui Berlian, ibu dari anak-anaknya.
Betapa Harkasa lega, karena Laras akhirnya bersedia bercerai. Entah kesadaran dari mana, tapi Laras tiba-tiba saja bersedia menandatangani surat cerai.
Dia akan segera mengurus segala urusan yang menyangkut nama Laras. Semuanya. Paling penting juga, menikahi Berlian dengan benar. Memberitahukan ibunya mengenai keberadaan Berlian serta anak-anaknya. Harkasa sudah tidak sabar menjalani hari baru bersama Berlian, Mutiara, dan calon anaknya yang akan segera lahir.
Harkasa menyadari putrinya yang belum kunjung keluar juga. Sedangkan sekolah sudah sepi. Harkasa turun dari mobil, menuju ke dalam sekolah. Ada salah satu penjaga di sana, menyapa Harkasa karena memang sudah hapal betul.
"Kok masih di sini, Pak Asa?"
"Biasanya juga, kan di sini, Pak Manto. Mutiara nunggu di mana, ya, Pak?"
"Loh! Tadi, kan sudah dijemput sama Om-nya. Sama mamanya Mutiara juga, Pak Asa. Memang enggak dikabarin?"
Harkasa mendadak pening. Tidak tahu apakah efek lelah atau memang ucapan Pak Manto yang membuatnya pusing.
"O-oh... mungkin tadi saya ditelepon, ya. Hp saya ketinggalan di kantor," ucap Harkasa beralasan.
Berbasa basi sebentar, lalu Harkasa buru-buru melajukan mobilnya menuju rumah. Iya. Rumah yang selalu dia sembunyikan dari banyak pihak. Rumah yang dia gunakan untuk menyimpan rahasianya rapat-rapat. Rumah yang selalu dia tuju untuk mendapatkan ketenangan. Rumah yang berisi anak serta istri yanh begitu dia lindungi.
Harkasa tidak tahu kemungkinan apa yang akan dia dapatkan. Dia hanya memikirkan untuk cepat sampai.
Memarkirkan mobilnya, Harkasa menutup pintunya dengan kasar. Cepat-cepat dia mencari Berlian serta putrinya.
"Li! Berlian! Ara!" serunya. "Ayah pulang, Nak!"
Sepi.
Tidak ada yang menyahuti seruan Harkasa. Bahkan ketika pria itu memeriksa masing-masing kamar, tidak ada orang-orang yang dia cari.
Mencoba memastikan semuanya masih baik-baik saja. Berlian dan Mutiara tidak meninggalkannya, Harkasa mengecek lemari. Pakaian Berlian dan Mutiara masing-masing utuh di sana.
Harkasa menekan pelipisnya. Dia pusing dengan sepi yang mengisi rumah tersebut. Perkataan Pak Manto mengenai om Mutiara berulang kali melayang di kepalanya.
Jawaban yang pasti adalah Berlian bertemu dengan kakaknya begitu pun Mutiara yang bertemu dengan pamannya. Harkasa menenangkan diri. Sepi rumahnya bukan berarti dia ditinggalkan, Berlian dan Mutiara hanya keluar sebentar menemui keluarga mereka.
Harkasa memutuskan ke dapur, menyeduh teh tubruk melati kesukaan Berlian. Teh itu juga yang membuat mual Berlian berkurang.
"Tenang, Asa. Istri dan anakmu cuma lepas kangen. Tenang, Asa. Rileks. Mereka enggak kabur darimu. Iya. Mereka enggak pergi."
Sengaja Harkasa mengucapkannya berulang kali layaknya mantra. Dia berharap akan tersihir dengan ucapannya sendiri. Berharap kegundahannya tidak mengambil alih ketenangannya. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Selama Harkasa menunggu di ruang tamu. Sampai jam sepuluh malam, tidak ada tanda-tanda kepulangan istri dan anaknya.
Sudah cukup. Harkasa tidak bisa menahan lagi. Dia raih kunci mobil, mengendarai ke mana saja yang memungkinkannya mendapatkan Berlian serta putrinya, dan membawa mereka pulang.
"Tolong, Li... jangan macam-macam. Kamu lagi hamil, Sayang. Jangan berpikir dan bertindak macam-macam."
Harkasa terus meracau sendiri. Sampai dirinya tak terasa sudah berada di depan gerbang rumah Ruby.
Kakak Berlian yang sengaja dia hindari supaya pria itu tidak bisa menemukan adiknya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top