Part 15
Tears like Today
###
Part 15
###
Terakhir kalinya ia berada di tempat ini, ia tak mampu bernafas. Saat itu Senja berjuang melawan maut karena terpeleset di kamar mandi dan melahirkan Aidan. Tapi sekarang, ia seperti kehilangan separuh jiwanya saat pintu ruang operasi tertutup memisahkan dirinya dengan saudaranya yang sudah tak sadarkan diri.
Semoga hanya pintu itu yang akan memisahkan mereka. Karena jika tidak, mungkin ia juga tak akan punya alasan lagi hidup di dunia ini.
Ia memang begitu mencintai Senja, tapi ia masih bisa bertahan hidup dengan mencintai wanita itu dan melihat kebahagian wanita itu dengan Adam meskipun tak bisa memiliki Senja. Tapi jika ia kehilangan Adam. Ia benar-benar akan kehilangan hidupnya.
Kakinya terasa sangat pegal berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Tapi ia tak memedulikannya. Bahkan dengan kemejanya yang penuh dengan darah Adam sewaktu menarik pria itu yang tengah terjepit di dalam mobil. Ada begitu banyak luka di wajah, tangan, kaki dan entah di mana lagi di sekujur tubuh Adam. Begitu banyak darah di mana-mana. Darah yang sama yang mengalir di tubuhnya. Di nadinya. Tapi bukan berasal dari tubuhnya.
Adam masih bernafas meskipun dengan kesusahan. Mengucapkan kata-kata yang tidak ia pedulikan karena begitu khawatir akan keadaan pria itu yang menggenaskan. Bahkan Adam masih sempat menghapus air mata yang tak disadarinya muncul jika Adam tak mengulurkan jemarinya untuk mengusap wajahnya dan mengejek dirinya yang cengeng.
Terserah Adam akan mengejek atau menghinanya asalkan saudaranya baik-baik saja. Ia tak akan menimpalinya.
Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasakan ketakutan. Ketakutan akan kehilangan.
Tidak.
Ini tidak boleh terjadi.
Sejak kecil Adamlah yang selalu melindunginya. Memastikan dirinya baik-baik saja dan bahagia. Memberikan apapun yang diinginkannya. Menangis untuk kesedihannya dan tertawa untuk kebahagiaannya. Nyawa pun, pria itu akan memberikannya untuknya jika dia meminta hal itu pada Adam. Begitu juga sebaliknya. Ia juga akan memberikan nyawanya untuk Adam. Dengan sukarela maupun paksaan Adam.
Diaz memohon dalam hati. Pertama kalinya ia memohon. Ia akan memberikan apa pun asalkan Adam kembali. Menangkup kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Mencoba menghentikan gemetar tubuhnya yang semakin tak terkendali.
'Kumohon, kembalilah.' ratapnya dalam permohonannya yang penuh kepiluan.
'Kumohon kembalilah. Aku akan lakukan apa pun asal kau kembali. Kau ingin aku menceraikan Kinan dan menikahi Nina, bukan?'
'Aku berjanji akan melakukan itu untukmu. Tapi kau harus kembali.'
Suara langkah kaki yang berderap memecah keheningan yang menyesakkan itu membuat Diaz menoleh. Begitu matanya menangkap sosok wanita yang berjalan terseok-seok mendekatinya dengan penampilan yang berantakan. Kemarahan seakan langsung tersulut seperti api yang disiram oleh bensin. Ia tahu, bahwa semua kesialan ini diakibatkan oleh wanita itu. Istri di atas kertasnya. Kinan.
Air mata yang menghiasi pipi merah merona itu semuanya adalah palsu. Langsung saja matanya membara penuh bara api. Menyipit menyiratkan kebenciannya. Dan dengan rahang yang mengeras, langsung saja ia melangkah besar-besar untuk mendekati wanita itu. Menyambar lengan Kinan dan mendorongnya dengan kasar hingga membentur dinding lorong rumah sakit. Pekikan kesakitan wanita itu tak ia pedulikan. Bahkan rintihan lemah yang keluar melewati bibirnya karena cengkeraman tangan Diaz di lehernya.
"Berani-beraninya kau!" desisnya tajam.
Tangan Kinan sama sekali tak bergerak untuk menahan Diaz mencekiknya. Ia pasrah atas apa yang akan di lakukan Diaz padanya.
"Apa yang kau lakukan padanya?" desisan Adam kali ini lebih tajam. Cengkeramannya pun semakin mengeras. Sengaja ingin membuat wanita itu tersiksa sebelum benar-benar kehabisan nafas.
"Dii... aa..." Kinan berusaha bersuara di antara sisa-sisa udara yang ada di paru-parunya. Kemarahan Diaz benar-benar sudah tak terkendali. Ia tahu nyawanya terancam. Tapi bukan itu yang di khawatirkannya. Hidupnya sudah tak ada artinya jika Adam pergi dari dunia ini. Biarlah ia mengikuti pria itu meninggalkan dunia ini bersamanya.
Tapi sepertinya, Tuhan bahkan tak membiarkan dirinya mengikuti cintanya itu. Karena tiba-tiba saja udara memenuhi paru-parunya. Begitu mendadak hingga ia terbatuk-batuk dan tangannya memegang lehernya yang masih sangat jelas terasa cekikan suami palsunya di sana.
"Diaz!! Apa kau sudah gila?" teriakan Nina yang berdiri di hadapannya membuatnya tersadar akan kehadiran wanita itu dan Senja di sekeliling mereka. "Kendalikan dirimu. Kau hampir saja membunuhnya!"
"Aku akan memastikanmu membayar dengan nyawamu jika sampai terjadi sesuatu pada Adam." desis Diaz.
Kinan menyeringai, "Lakukanlah. Aku akan menerimanya dengan sukarela. Tak ada gunanya lagi aku hidup jika sampai Adam..."
"Tutup mulutmu!" teriak Diaz sambil mendorong tubuhnya mendekat lagi ke arah Kinan berniat membungkam mulut berbisa itu. Selamanya kalau perlu. Tapi sekali lagi Nina menghadangnya di antara mereka. "Kau sama sekali tak pantas menyebut namanya dengan mulut kotormu itu."
"Ini rumah sakit. Hentikan perdebatan kalian. Sebentar lagi om dan tante juga datang. Kalian pikir apa yang akan mereka pikirkan jika melihat putra dan menantunya tampak saling membunuh..."
"Kau pikir aku peduli?" decih Diaz pada Nina sambil membuang mukanya ke samping menunjukkan ketidak peduliannya. Sekarang hanya Adam yang perlu ia khawatirkan. Ia tidak peduli lagi jika mama dan papanya tahu pernikahan macam apa yang di jalaninya dengan Kinan selama ini.
"Apa kau pikir aku juga peduli?" balas Kinan tak kalah sinisnya.
Jawaban Kinan membuat Diaz sekali lagi menunjukkan perhatiannya pada wanita itu. Ia bahkan tak akan heran jika sebentar lagi mulut wanita itu berlumur dengan darah karena tinjunya. Tapi tubuhnya di dorong mundur oleh orang lain.
Nina mendesah kasar melihat kedua suami istri yang saling melemparkan kebenciannya. Pertengkaran itu tak akan berhenti dengan sorot yang di pancarkan mata Diaz dan Kinan. Dan sebelum Diaz benar-benar melemparkan tinjunya pada istrinya, ia memilih mendorong Diaz menuju kursi tunggu di pojokan dinding. Lebih baik keduanya saling di jauhkan.
"Apa... Apa yang terjadi pada suamiku?" suara isak tangis Senja menyadarkan Diaz akan kehadiran wanita itu. Dadanya yang terasa sulit bernafas semakin sesak ketika wajahnya mendongak dan menemukan air mata memenuhi wajah Senja. Setiap tetes yang mengalir dari sudut mata wanita itu menyakitinya dengan cara yang sama saat ini. Ia bahkan tak mampu membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Senja. Hingga wanita itu melangkah menghampirinya, memegang kedua bahunya dan mengguncangnya meminta jawaban.
"Katakan Diaz. Apa yang terjadi pada Adam? Bagaimana keadaannya sekarang?" tangisan Senja semakin menjadi karena Diaz hanya bergeming dan malah memilih menundukkan wajahnya menghindari menatap wajahnya.
"Katakan padaku dia baik-baik saja." ratapnya lagi. Kebungkaman Diaz cukup sebagai jawaban bahwa harapannya sia-sia belaka. Apalagi dengan banyaknya darah yang hampir memenuhi seluruh permukaan depan kemeja biru muda Diaz, sudah pasti itu darah Adam. Darah itu sangat banyak. Seharusnya tidak boleh ada darah sebanyak itu. Belum pernah ia melihat darah sebanyak itu seumur hidupnya.
"Tenanglah, Senja." Nina merangkul pundak Senja dan memeluk wanita itu. Membiarkan wanita itu menangis di bahunya sambil mengusap punggung Senja untuk menenangkannya.
Hanya suara isak tangis kepiluan yang mengiringi keheningan di lorong rumah sakit yang putih dan sepi itu. Hingga kesunyian itu terpecahkan oleh ruang operasi yang bergeser terbuka dengan tiga sosok berseragam hijau penuh darah di bagian dadanya sambil membuka masker.
Senja melepaskan pelukan Nina dan bergegas mendekati dokter terdepan yang akan menginformasikan keadaan Adam. Tubuhnya langsung lemah dan tak bertenaga begitu rentetan kalimat yang tak bisa di terima hatinya memaksa masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya menolak. Tapi semua kata-kata kejam itu menyerbunya tanpa ampun tak memedulikan rintihan air matanya yang memohon bahwa kenyataan itu hanyalah mimpi buruk saja. Yang akan selesai begitu ia membuka matanya.
Ini hanyalah mimpi buruk yang di alaminya ketika ia tidur siang.
Hanya itu satu-satunya tumpuan harapan yang dapat di raihnya. Tapi bahkan Tuhan tak mengabulkan keinginannya.
"Senja!"
Itulah kata terakhir yang bisa di dengarnya ketika semua rasa sakit dan kehilangan di raih dari tubuhnya. Membawanya ke dalam kegelapan yang begitu menenangkannya.
***
Sejak kecil ia selalu hidup penuh limpahan kasih sayang kedua orang tuanya.
Sejak kecil, ia sudah hidup dengan penuh limpahan kasih sayang kedua orang tuanya. Kehidupan keluarganya begitu bahagia dan penuh cinta sekalipun kehidupan ekonomi mereka serba sederhana.
Selama ini kehidupan selalu berjalan dengan sangat lancar. Bertemu dengan Adam, jatuh cinta pada pria itu, menikah, melahirkan Aidan dalam rumah tangga mereka. Semua adegan kebahagiaan itu berurutan berputar di kepalanya.
Ia selalu punya mimpi dan kemudian mewujudkannya. Setelah impiannya terwujud, ia akan punya mimpi yang baru lagi dan berusaha mewujudkannya. Tapi sekarang?
Impiannya untuk membesarkan Aidan bersama pria yang di cintainya tiba-tiba saja di renggut paksa darinya dalam hitungan detik. Dan dia bahkan tak punya waktu sedetik pun untuk menolaknya.
Ia tak bisa lagi mengantarkan Aidan masuk ke sekolah pertamanya bersama Adam. Tak bisa lagi menyaksikan Aidan tumbuh besar bersama Adam seperti yang di berikan kedua orang tuanya untuknya. Tak bisa lagi memberikan kasih sayang yang utuh untuk Aidan. Bayangan masa depan yang seperti itu terasa begitu memilukan dan menyedihkan. Menelannya hidup-hidup.
Seumur hidupnya ia sudah terbiasa melihat cinta yang begitu besar di antara kedua orang tuanya. Hingga orang tuanya mulai beranjak tua, cinta itu bahkan tak luntur sedikit pun sejak terakhir kalinya ia mengunjungi kedua orang tuanya seminggu yang lalu.
Ia ingin hidup seperti kedua orang tuanya. Bertemu, jatuh cinta, menikah, mempunyai anak, menyaksikan anaknya menikah, dan melahirkan cucu mereka. Masa tuanya di temani oleh cucu-cucu yang berlarian di taman belakang dan memanggilnya kakek dan nenek dengan senyum mungilnya.
Semua harapan itu lenyap begitu saja.
Apalagi yang harus di lakukannya sekarang? Ia tak punya tenaga untuk mengangkat berat tubuhnya sendiri. Air mata yang membasahi wajahnya seolah tak ada habisnya sekali pun puluhan kali ia mengusap pipinya. Ia bahkan sudah terlalu lelah untuk menyekanya hingga membiarkannya saja terjatuh.
Tok... Tok... Tok...
"Aku sedang berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Setelah itu menelfon Diaz untuk menjemputku dan dalam beberapa menit kau pasti sudah melihatku."
"Yaa..."
"Apa kau mengantuk?"
"Sedikit."
"Kalau begitu tidurlah. Aku akan memelukmu setelah sampai di rumah. Apa kau ingin kubawakan coklat?"
"Tidak perlu, Adam. Sebaiknya kau bawakan dirimu saja kemari."
"Baiklah. Aku mencintaimu. Sampai jumpa."
"Aku juga."
Percakapan terakhirnya dengan Adam masih begitu jelas terngiang di telinganya. Itu baru beberapa jam yang lalu. 12 jam yang lalu. Dan sekarang, Adam sudah tiada. Pergi meninggalkannya sendirian dalam kegelapan.
Kenapa Adam mengingkari janjinya? Belum pernah suaminya itu mengingkari janjinya.
"Senja?" sentuhan lembut di bahunya tak juga membuatnya menoleh untuk melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Tapi ia tahu itu suara ibunya. Tubuhnya masih berbaring di tempat tidur. Meringkuk miring sambil memeluk fotonya dengan Adam di dada.
"Sebentar lagi acara pemakaman akan di mulai. Apa kau tidak ingin melihat Adam untuk terakhir kalinya?"
Pertanyaan itu membuat tangisnya semakin banjir. Pelukan di dadanya semakin erat.
... Untuk terakhir kalinya?
Farah meraih jemari tangan Senja dan meremasnya menyalurkan kekuatan untuk putrinya. "Ibu tahu ini berat untukmu, tapi kau akan lebih menyesal lagi jika kau tidak turun."
Senja masih membungkam. Gumpalan di tenggorokannya terasa semakin membesar dan menyakitkannya. Ia membayangkan wajah Adam. Rambut dan mata hitamnya. Juga pundaknya yang bidang dan terbungkus jas kerjanya.
"Adam tidak akan bisa pergi dengan tenang jika kau terus-terusan meratapi dirinya. Jangan buat dia tersiksa karena meninggalkanmu seperti ini."
Ibunya benar, Adam tidak akan bisa pergi dengan tenang dan tersiksa jika ia terus-terusan menangis seperti ini. Adam akan sedih jika ia menangis karena pria itu. Tangisannya lebih menyakiti pria itu daripada kesakitannya sendiri.
"Berikan kekuatan dan ketegaranmu untuk salam perpisahan kalian. Hanya itu yang terbaik yang bisa kau berikan untuk pria yang kau cintai, Senja."
Ya, ibunya sekali lagi benar. Ia harus memberikan yang terbaik yang ia bisa berikan untuk Adam. Kekuatan, ketegaran dan cintanya.
Ia harus kuat untuk Adam.
Ia harus tegar untuk Adam.
Ia harus kuat dan tegar untuk Aidan. Hanya itu satu-satunya hal yang dipercayakan Adam untuknya.
Dengan bantuan ibunya, ia bangkit dari atas tempat tidur. Mengikuti acara pemakaman Adam.
***
Penggemar Diaz Kinan langsung banjir komentar nich...
Tapi, di sinilah kisah ini di mulai. Dan sejak draft cerita ini di buat, Kinan memang bukan pemeran utamanya. Di covernya juga ga ada nama Kinan, bukan?
Monday, 12 March 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top