Part 12
Tears like Today
###
Part 12
###
"Kenapa aku harus makan dengan perutku yang sama sekali tidak lapar hanya karena mamamu menyuruhmu turun untuk makan malam bersama?" gerutu Kinan pada Diaz yang berjalan satu langkah di depannya menyeberangi ruang tengah menuju ruang makan.
"Karena aku tak mau membuat mamaku kecewa hanya karena dirimu yang sama sekali tidak penting, Kinan. Kau tidak ingin bercerai dariku, bukan? Jadi ini adalah resiko yang harus kau tanggung."
Kinan memutar bola matanya jengah. Apa pun, pria itu akan melakukannya untuk mertuanya. Kenapa dia tidak bisa bersikap seperti itu pada ibu kandungnya sendiri? Dan sekarang ia malah harus repot-repot membuat ibu kandung orang lain senang. "Apa tidak cukup dengan aku yang tidur di sofa?"
"Itu permintaanmu sendiri."
"Terserah kau sajalah." Kinan berdecak kesal. Masih sedikit bersyukur karena sofa di kamar Kinan hampir sama empuknya seperti ranjang.
"Atau kau ingin Adam benar-benar mengusirmu dari rumah ini?"
"Aku akan memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi." desis Kinan dingin diikuti wajahnya yang berubah menajam. Tentu saja ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya ia juga berusaha mengambil hati mertuanya. "Lagipula, tumben sekali mamamu naik ke atas menyuruh kita turun untuk makan malam bersama. Bahkan kita belum sempat berganti pakaian atau membersihkan diri sehabis perjalanan ke luar kota."
"Hentikan gerutuanmu, Kinan. Atau mama akan..." kalimat Diaz terhenti. Begitu juga langkah kakinya. Hingga membuat Kinan menabrak punggungnya karena berhenti mendadak tanpa peringatan.
"Bisakah kau berhati-hati ka..." Kinan juga ikut menghentikan kalimatnya begitu matanya menangkap pemandangan yang terjemblak di depan mereka.
Semua anggota keluarga ini sudah menduduki kursi yang mengelilingi meja makan. Seperti biasa Papa mertuanya duduk di kepala meja dan mama mertuanya duduk di sampingnya. Di seberang meja duduk Senja dan Adam. Tapi yang membuat ruang makan mereka menjadi tak biasa adalah sosok asing yang duduk di sisi kiri mama mertuanya. Ia tahu wanita itu. Dan ia tahu itulah alasan Diaz menghentikan langkahnya secara mendadak. Ia juga cukup terkejut dengan kedatangan wanita itu di sini.
"Apa itu temanmu yang bernama Nani-Nani itu?" bisik Kinan pelan.
Diaz melemparkan tatapan tajamnya pada Kinan. Yang hanya dibalas dengan decakan oleh wanita itu. Kemudian mengikuti langkah Diaz menuju meja makan.
"Diaz, Kinan, kalian sudah turun. Cepat duduk." Rea menyambut kedatangan Diaz dan Kinan dengan wajah cerianya. Menunjuk kursi di samping Nina.
Diaz hanya membalas dengan menyunggingkan senyum tipisnya dan segera mendekati kursi yang juga kebetulan berada paling dekat dengan jangkauannya.
Tapi Kinan segera menduduki kursi di samping Nina ketika Diaz menarik punggung kursi tersebut. Ia tahu pria itu tidak menarik kursi untuknya, tapi ia tidak mau Diaz duduk di samping Nina. Wajah licik di balik kelembutan dan kepolosannya, ia tak pernah mempercayai semua itu.
Rea mengulum senyum dengan kemesraan yang di tunjukkan Diaz dan Kinan. Menyenggol lengan Darius agar suaminya itu ikut mengalihkan perhatiannya dari piringnya dan ikut memperhatikan Diaz dan istrinya. Baru kali ini putranya itu bersikap penuh perhatian pada wanita. Selain dengan Nina tentu saja. Sepertinya ada baiknya mereka lebih sering pergi berdua.
Diaz memilih menarik kursi satunya di samping Kinan ketika tanpa permisi istri palsunya itu mengambil tempatnya. Membiarkan Kinan memainkan perannya sebagai istri dan dirinya sebagai suami. Dan melihat senyum di wajah dan mata mamanya yang begitu cerah, tentu saja ia sama sekali tidak keberatan. Sejenak matanya menangkap pandangan dingin Adam dan memilih tak mempedulikannya.
Dengan adanya Nina di rumah ini, kakaknya itu benar-benar berusaha mewujudkan ancamannya.
"Apa kau teman Diaz yang bernama Nani itu?" Kinan bertanya sambil menoleh ke samping. Ekspresi wajah maupun nada dalam suaranya sama sekali tak bersahabat.
"Nina." jawab Nina membetulkan namanya. Berbeda dengan Kinan, Nina tampak begitu sabar dan lembut. "Dan kau tentu istrinya Diaz, bukan?"
"Ya." Kinan mengangguk. "Diaz sering bercerita tentangmu. Juga Adam." sesaat ia melirik ke arah Adam yang duduk tepat di seberang meja. Memberikan isyarat pada pria itu bahwa dia menerima tantangan pria itu. Dan pertandingan telah di mulai.
Nina hanya tersenyum dengan penuturan Kinan. Ia tak begitu mengenal istri Diaz. Tapi dia tahu kebusukan apa yang di simpan wanita itu. "Diaz dan Adam juga banyak bercerita tentangmu."
Kinan mengangkat bahunya tak peduli. Ia tahu bukan hal baik yang di ceritakan Adam pada Nina.
"Kalian bisa saling berkenalan nanti. Waktu kalian masih panjang, Nina akan tinggal di rumah ini untuk sementara." Adam menyela pembicaraan Kinan dan Nina. Matanya tampak tegas saat bertatapan dengan Diaz dan Kinan secara bergantian.
"Baguslah." Kinan menyahut, ada seringai di antara senyumnya saat membalas tatapan Adam. "Dan sepertinya kita akan akrab, benar, kan?" ia berganti menoleh ke arah Nina lagi. "Teman baik Diaz tentu saja akan menjadi teman baikku juga."
"Mama senang sekali kalau kalian berdua bisa berteman baik. Dua putra, tiga putri dan satu cucu yang tampan. Rasanya tidak ada lagi yang mama inginkan kalau semua anggota keluarga ini begitu lengkap dan bahagia." Rea mengusap bahu Nina yang duduk di sampingnya. Tak lupa dengan senyum penuh kebahagiaan.
***
Adam mendongakkan kepalanya dari dokumen yang terhampar di meja saat suara pintu ruang kerjanya di buka tanpa permisi. Yang sudah tentu bukan istrinya, karena Senja masih punya sopan santun jauh daripada wanita satu ini.
Kinan melengkungkan senyumnya dengan sambutan dingin Adam. Tadi ia melihat Senja sedang sibuk menidurkan anak mereka, jadi ini kesempatannya bicara empat mata dengan cintanya.
"Ternyata kau benar-benar serius ingin mengusirku dari rumah ini." gumam Kinan setelah mengambil tempat duduk di sofa. Dengan keangkuhan khasnya yang tak pernah ditinggalkannya.
Adam menyeringai tipis akan kepercayaan diri Kinan yang baginya tampak memuakkan. "Apa kau tak menyangka bahwa ancamanku bukanlah ancaman kosong?"
"Sedikit." Kinan mengangkat tangan kanannya dan menggabungkan ibu jari dengan jari telunjuknya. "Aku hanya tak menyangka ternyata seorang Adam mampu berbuat licik sejauh ini."
"Menghadapi wanita licik sepertimu terkadang memang dibutuhkan cara yang licik, Kinan."
Sekali lagi Kinan tersenyum dengan jawaban Adam, "Tapi bagiku kau tetap Adam si polos dan baik hati yang kukenal. Juga tampan."
Adam mendengus. Ia memang harus punya persediaan sabar seluas lautan untuk menghadapi sikap Kinan yang semakin hari semakin menjijikkan tersebut. "Kau begitu percaya diri dan seakan mengenal diriku dengan baik."
"Kau tahu aku bisa menilai orang hanya dengan melihat wajahnya, bukan?"
"Dan sepertinya kau tak selihai itu. Karena tak lama lagi kita akan melihat hasilnya bersama-sama. Saat aku berhasil mengusirmu dari rumah ini. Aku akan membuktikan padamu bahwa aku tidak sepolos dan sebaik hati itu. Terutama padamu." Adam menekan bibirnya saat mengucapkan kata terakhirnya.
Kinan mengedikkan bahunya tak peduli dengan amarah yang mulai memengaruhi Adam. "Tidak perlu menunggu hal yang tak mungkin terjadi, Adam."
Wajah Adam mengeras akan kata-kata Kinan yang menghinanya. Tangannya mengepal di atas pahanya yang untungnya tertutup meja kerjanya. Ia tak akan membiarkan wanita ular itu tahu bahwa kata-katanya mempengaruhinya. Wanita itu boleh percaya diri setinggi langit, tapi ia akan mengerahkan seluruh usahanya untuk mengusir wanita itu dari rumah ini dan kehidupan Diaz.
"Apa kau tahu, Adam. Dengan kau membawa wanita itu ke rumah ini, itu sudah menunjukkan padaku bahwa kau adalah Adamku. Yang begitu polos dan baik hati."
"Sekaligus mudah dibodohi." tambahnya setelah beberapa saat keduanya saling memandang cukup lama. Satunya dengan tatapan penuh kebencian, satunya dengan tatapan penuh pemujaan.
"Jangan menghinaku, Kinan." geram Adam dengan wajah yang mengeras dan merah padam.
Senyum Kinan semakin melebar. Dia beranjak dari duduknya dan melangkah mendekat ke depan meja kerja Adam dengan senyum kemenangannya. Membungkukkan punggungnya dan berbisik pelan di wajah Adam. "Wanita yang kau bawa itu, ia bahkan lebih licik dan busuk daripada diriku jika kau sedikit lebih pintar."
"Jaga kata-katamu!" gertak Adam. Tubuhnya berdiri tegak menjulang di hadapan Kinan dengan mata yang siap membunuh. Kinan tersentak walaupun hanya sesaat dan menegakkan punggungnya seakan tak terpengaruh dengan gertakan Adam. "Nina sangat jauh lebih baik di banding dirimu. Bahkan kalian berdua tak pantas di bandingkan."
"Dengan wajah polos dan malaikatnya mungkin iya." Kinan terdiam sesaat, "Tapi setidaknya aku tidak pernah berpura-pura baik di hadapan siapa pun."
***
Diaz menghentikan langkahnya sesaat melihat Nina yang berdiri bersandar di depan pintu kamarnya. Wanita itu tampak menunggunya, terbukti dengan senyum yang langsung muncul di wajah cantiknya begitu melihat kedatangan dirinya di ujung tangga. Tapi ia memilih tak membalas senyum itu dan melanjutkan langkahnya dengan sikap datar yang terpaksa harus di ambilnya. Lagipula ia sudah kehilangan sahabatnya, tak perlu lagi bersikap hangat pada wanita itu.
"Kenapa kau bersikap dingin padaku, Diaz?" Nina memegang pergelangan tangan Diaz yang berniat memutar handle pintu. Bersikap seolah tidak ada dirinya di situ. "Apa kau keberatan aku tinggal di sini?"
Diaz mengibaskan tangan Nina dan menoleh menatap wanita itu masih dengan pandangan dinginnnya. Sempat membuat wanita itu terlonjak dan menelan ludahnya. Belum pernah Diaz bersikap sekasar ini pada dirinya, tapi ia segera menguasai dirinya dan bersikap biasa. "Mama yang mengijinkanmu tinggal di sini, kenapa aku harus keberatan untuk keinginan wanita yang sangat kusayangi?"
"Kau tahu alasanku tinggal di sini."
"Kalau begitu kau tahu alasanku bersikap dingin padamu." nada suara Diaz terdengar menajam dan tatapannya yang menusuk tepat di manik Nina. "Karena kau pernah menjadi sahabatku dan sangat mengenal diriku."
Nina terhenyak dengan kata 'pernah' yang di tekan Diaz. Menandakan bahwa ia bukan lagi sahabat pria itu. Dan tak punya akses sejauh itu lagi untuk berdekatan dengan Diaz. Ia menyayangkan hal itu, tapi juga tak sepenuhnya menyesal. "Dengan kau bersikap seperti ini padaku, itu tak akan membuatku berhenti."
"Kalau begitu kita akan lihat seberapa jauh kau bisa bertahan dengan semua ini." Diaz memutar handle pintu dan mendorongnya terbuka sebelum beranjak masuk ke dalam kamarnya. Menyandarkan punggungnya di pintu sambil mengusap wajahnya kasar. Hubungannya dengan Nina sudah berubah 180 derajat. Dirinya sudah berubah, begitu juga dengan Nina. Ia tak bisa menerima wanita itu dengan semua cinta yang ditawarkannya.
Senja, Senja dan Senja. Tidak bisakah nama itu pergi dari hatinya saat hatinya sudah begitu kosong akan kebahagiaan. Bahkan kekosongannya juga masih dipenuhi oleh nama itu.
Sampai kapankah ia juga akan bertahan dengan semua ini?
***
Dua tahun kemudian
Entah sudah keberapa puluh kali ia menengok jam tangannya dengan nafas gusarnya. Sejak tiga puluh menit yang lalu ia berdiri dan duduk secara bergantian di kursi tunggu lobi hotel hanya untuk menunggu wanita sialan itu. Mereka sudah tak punya waktu lebih banyak lagi untuk segera naik taxi menuju bandara. Atau mereka akan tertinggal pesawat dan terpaksa harus naik penerbangan selanjutnya. Yang berarti ia akan terlambat sampai di rumah. Itu tidak boleh terjadi. Dan tidak akan pernah terjadi di hari penting seperti hari ini.
Ia bisa saja pergi meninggalkan wanita itu. Tapi jawaban apa yang akan diberikannya jika wanita kesayangannya menanyakan keberadaan wanita sialan itu.
Sialan... Ia mengumpat sekali lagi. Benar-benar akan naik ke atas dan mendobrak setiap pintu untuk mencari wanita itu di antara ratusan kamar hotel ini. Tapi tentu ia tak sebodoh itu, bukankah ia hanya perlu ke resepsionis yang ada di ujung lobi untuk menanyakan di kamar berapa nama yang ia sebutkan. Sehingga ia hanya perlu mendobrak satu pintu yang tepat. Dan ia benar-benar akan melakukan hal itu jika di tengah perjalanan menuju meja resepsionis ia tak menoleh ke arah pintu lift yang bergeser membuka dengan bunyi ting yang cukup keras.
Sosok yang ditunggunya melangkah keluar sambil menarik koper di tangan kirinya. Sedangkan tangan kirinya sibuk membenahi rambutnya yang sedikit kusut sehabis bangun tidur. Wajahnya yang masih bersih dari make up dan kacamata yang digunakan untuk menutupi bengkak di mata, menandakan bahwa wanita itu mungkin baru bangun sepuluh menit yang lalu. Ia tahu wanita itu kembali tidur saat ia menelfon untuk membangunkannya. Seharusnya ia memastikan sendiri bahwa wanita benar-benar sudah bangun dengan seember air.
"Kau benar-benar mengganggu tidurku, Diaz. Kenapa kita harus ikut penerbangan sepagi ini?" gerutu Kinan. Mengangkat kacamatanya ke atas kepala lalu menutup mulutnya yang menguap.
"Apa aku perlu mengambil seember air agar nyawamu kembali dengan utuh dalam hitungan detik?" desis Diaz. Menyambar kopernya di dekat kursi dan melangkah keluar mendahului Kinan.
Di pintu keluar hotel sudah ada Saga dan seorang sopir yang berdiri di samping sebuah taxi yang menunggu mereka. Dengan cekatan sekretarisnya itu mengambil alih kopernya dan memasukkannya ke dalam bagasi. Sedangkan si sopir taxi mengambil alih koper Kinan. Dan taxi pun melaju begitu Saga duduk di samping si sopir dan menutup pintu mobil.
"Apa kita akan terlambat?" tanya Diaz pada sekretarisnya.
Saga menoleh ke belakang dan menjawab, "Semoga lalu lintasnya lancar. Jika tidak..."
"Aku akan membunuhmu!" Diaz menyela jawaban Saga sambil melemparkan tatapan membunuhnya pada Kinan yang masih sibuk menyisir rambutnya dengan jemarinya.
Kinan menghembuskan nafasnya dan memutar matanya bosan. "Dan seharusnya lalu lintasnya berjalan dengan amat sangat lancar mengingat sepagi ini kau mengganggu tidurku. Bahkan semua orang masih sibuk bergulung dengan selimutnya, jadi pasti jalan raya akan sepi."
"Jam pagimu berbeda dengan orang-orang normal pada umumnya. Jadi jangan samakan dirimu dengan orang lain."
"Terserah kau saja!" maki Kinan keras. Cukup keras hingga membuat Saga menoleh ke belakang dengan pertengkaran pasangan suami istri tersebut. Tapi ia tahu diri untuk segera memalingkan muka lagi. Lagipula, itu juga bukan hal asing untuknya.
"Aku sudah nemperingatkanmu untuk bangun jam lima dan segera berkemas-kemas kemarin malam."
"Kau menelfonku jam 12 malam. Kau pikir berapa jam waktuku untuk tidur sebelum bangun dan mengemasi pakaianku?"
"Kau punya banyak waktu jika kau tidak pergi ke klub."
"Aku hanya bersenang-senang di tempat asing ini. Hotel yang kau pilih kali ini sama sekali tidak menyenangkan."
"Kalau begitu lain kali berikan kamar yang biasa untuknya, Saga."
Kinan membelalak tak percaya dengan wajah ngerinya, "Lebih baik aku tinggal di rumah saja."
"Coba saja." tantang Diaz dengan seringai penuh ancaman. Ia sudah pernah menyeret Kinan dari klub dengan cara yang sangat memalukan ketika wanita itu mencoba menghindar untuk ikut perjalanan bisnisnya ke luar kota.
Kinan mengerang jengkel, "Lagipula, kenapa kita harus pulang sepagi ini?"
"Karena hari ini ulang tahun Aidan. Dan aku sudah berjanji padanya untuk meniup lilin bersamanya."
"Kenapa pula keponakanmu itu harus berulang tahun hari ini?" gerutu Kinan lirih. "Lagipula dia masih dua tahun dan tidak tahu apa-apa. Kau bisa beralasan dan menyuapnya dengan hadiahmu."
Diaz mendengus, "Sayangnya aku bukan pengingkar janji dan penipu yang licik sepertimu, Kinan. Dan sekarang, bisakah kau menutup mulutmu? Atau aku yang akan terpaksa membungkamnya?"
Kinan sudah membuka mulutnya akan membalas kalimat Diaz. Tapi ancaman Diaz membuatnya menggeram dan memilih memalingkan muka melihat keluar jendela.
***
"O'om Yasss!!!" teriakan dengan suara anak-anak itu membuat Diaz memalingkan muka dari bagasi mobil. Menunda mengeluarkan kopernya, ia membungkuk dan membuka kedua lengannya untuk mengangkat balita yang langsung menghambur ke dalam pelukannya.
Ciuman Diaz langsung memenuhi pipi kanan, kiri, dahi dan hidung Aidan dengan gemas. Dan tawa geli langsung dijeritkan balita itu ketika jemari Diaz menggelitik perutnya.
"Ampuunn..."
"Apa?" kali ini Diaz menggelitik di pinggang Aidan. Membuat tubuh mungil itu menggeliat dan berteriak lebih keras lagi.
"Ampuunnn Om Yas."
Diaz menghentikan gelitikannya. Sekali lagi mencium pipi Aidan yang memerah. Kanan dan kiri masing-masing dua kali. Baru tiga hari ia pergi keluar kota tapi sudah sangat merindukan keponakannya itu. "Mana Papa?"
Aidan tampak mengernyitkan dahinya berpikir, "Om Yas lama."
Diaz tersenyum lagi, mengangkat tangan kiri untuk menengok jam tangannya. "Sedikit."
Aidan mengerucutkan bibir mungilnya cemberut. Tapi bukannya eksspresi merajuk khas anak-anak yang muncul, balita itu justru terlihat tampak begitu bahagia dengan senyum yang berusaha di tahannya. Kedatangan omnya ternyata mampu meluapkan kekesalannya yang telah menunggu dari pagi hari.
"Tapi Om punya sesuatu untukmu." Diaz membalikkan badannya ke arah bagasi mobil yang masih terbuka. Mengambil kotak yang telah terbungkus kertas kado bergambar karakter anak-anak jagoan Aidan.
Aidan segera melepas pelukannya di leher Diaz dan langsung menyambar hadiah yang diberikan omnya dengan teriakan sukarianya. Lonjakan dalam gendongan Diaz menunjukkan betapa senangnya balita itu.
"Bilang apa sama Om?"
"Telima kasih."
"Hadiah buat Om mana?" Diaz memiringkan wajahnya untuk menyodorkan pipinya. Yang langsung di cium oleh Aidan. Dan kemudian balita itu berusaha membuka bungkusan kadonya dengan segera.
"Jangan memanjakannya, Diaz." suara yang muncul membuat Diaz menoleh. Bersamaan dengan pengurus rumah tangganya yang berjalan keluar di belakang Adam. Dengan isyarat tangan ia menunjuk kopernya pada pengurus rumah tangga itu dan melangkah menghampiri Adam yang menunggu di depan pintu.
"Ini hari ulang tahunnya, bukan?" jawab Diaz. Mendaratkan satu kecupan lagi di pipi kanan Aidan yang sibuk berusaha membuka hadiahnya.
"Kau membawakannya juga minggu lalu." Adam mengikuti langkah Diaz yang mulai masuk ke dalam rumah. Jika sudah ada Diaz, maka seluruh perhatian Aidan pasti teralihkan darinya. Tapi ia tahu putranya itu juga menyayanginya. Sebesar menyayangi saudara juga. Beruntung waktu Diaz lebih banyak dihabiskan di luar kota. Atau dia yang akan tersingkirkan. "Bahkan setiap kau pulang dari luar kota." ia menekan suaranya.
"Apa pestanya sudah di mulai?" Diaz tak menanggapi sindiran halus kakaknya itu.
"Aidan bersikeras menunggumu. Jadi sebaiknya kau cepat ganti baju. Orang-orang sudah menunggu."
***
Komentarnya yang banyak dong. Biar semakin semangat posting next partnya.
Saturday, 24 February 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top