23. Jemmy Tak Menyerah
Part 23 Jemmy Tak Menyerah
“Kau hamil?” Jemmy tersedah ludahnya sendiri. Keterkejutan dan ketidak percayaan bercampur jadi satu dalam tatapan pria itu untuk Gadis.
Gadis mengernyit dengan raut terpukul yang ditunjukkan pria itu. Sejenak sesuatu di dadanya tersentuh. Lima tahu mereka saling mencintai, tentu saja Gadis tak mungkin bersikap munafik dengan kebahagiaan yang mereka berdua dapatkan. Ketulusan Jemmy dan cinta pria itu, semua begitu dalam. Sedalam yang ia miliki untuk pria itu. Pun sedalam luka hati yang pria itu torehkan di dadanya.
“Apa itu hal yang aneh?” Pertanyaan Langit menyadarkan keterkejutan Jemmy. Yang beralih pada dirinya dan keduanya saling pandang.
Jemmy tahu, Langit pasti sudah mencari tahu tentang dirinya saat bertemu dengan Gadis di halaman rumah pria itu. Pria itu menyembunyikan kepalan tangannya di dalam saku celana, kemudian mengangguk pada Langit dan berlalu pergi. Tanpa mengatakan apa pun.
Gadis menggeliatkan tubuhnya sambil melepaskan telapak tangan Langit yang masih menempel di perutnya. “Kau tak perlu bersikap kekanakan seperti ini, Langit.”
“Dia menyentuhmu lagi.” Tangan Langit menyentuh lengan Gadis yang disentuh oleh Jemmy. Mengelusnya dengan lembut. “Kau lebih menyukai dia yang menyentuhmu dibandingkan diriku?”
“Kau tak perlu ijinku untuk menyentuhku. Kenapa kau masih merasa ada orang lain yang lebih berhak terhadapku dibandingkan dirimu?”
Seringai Langit melengkung lebih tinggi.
Gadis menarik tangannya. “Aku harus kembali ke ruang perawatan ayah,” ucapnya mencari dalih apa pun sebelum Langit mendorongnya ke dinding lorong dan sunyi tersebut. Dan keduanya tahu apa yang ada di pikiran pria itu dengan kesempatan yang datang.
***
“Maafkan Ayah, Gadis. Ayah benar-benar minta maaf.”
“Mewakili Jelita?” Gadis tak bisa menahan nada sinis yang terselip di antara suaranya. “Ayah selalu membelanya. Tak peduli seberapa pun besarnya kesalahan yang sudah diperbuatnya, kan?”
Tangan Ludy terulur, menyentuh sisi wajah sang putri. “Ayah memiliki alasan untuk melakukan semua ini.”
“Karena Jelita lebih mudah disayangi. Jelita yang periang, cantik, dan selalu bersikap patuh. Meskipun sekarang tidak cukup patuh.”
Ludy menggeleng, bibirnya yang pucat dan kering kembali terbuka saat Gadis mengulurkan sepotong jeruk. “Bukan. Kau. Kaulah yang paling ayah sayang.”
Gadis mendengus dalam hati. Tak sampai hati harus menunjukkan kesangsian kata-kata sang ayah tepat di depan muka seperti ini.
“Itu karena ibumu.”
Gadis tak terlalu mendengarkan. Ya, itu alasan yang selalu digunakan setiap kali Jelita membuat masalah. Ayahnya selalu membela sang kakak karena ibunya. Dan ia tak ingin mendengarkan lebih banyak atau kesulitan menahan ledakan emosi yang masih memenuhi dadanya saat ini.
“Apa Langit memperlakukanmu dengan baik?”
Ujung mata Gadis melirik ke sudut ruangan. Tempat Langit duduk bersandar dengan kedua tangan bersilang dada. Sementara mata pria itu yang terpejam tertutup oleh kacamata hitam yang dikenakan. Pertanyaan sang papa terdengar seperti beban yang ditekankan di dadanya. Kebohongan yang ditumpuk kebohongan, lebih melegakannya dibandingkan sang ayah harus tahu hubungan pernikahan mereka yang tak bergerak. Semakin hari semakin saling membenci. Hanya tinggal menunggu ledakan kehancurannya saja.
“Ya, setidaknya dia memperlakukan Gadis dengan baik.”
“Tuan Langit memang agak dingin dan tak punya hati. Tetapi hanya orang -orang tertentu yang akan bisa menyentuh hatinya dan mendapatkan seluruh belas kasih darinya. Dan dia akan memperlakukannya dengan sangat baik.”
Entah dari mana sang ayah mendapatkan omong kosong semacam itu. Tetapi biarlah sang ayah berpikir seperti yang diinginkan.
“Saat kau melahirkan anak pertamanya, dia akan menghadiahimu perkebunan tersebut.”
Tubuh Gadis seketika membeku, kepucatan merebak di seluruh permukaan wajahnya. “A-apa?”
Ludy menahan pergelangan tang sang putri yang sudah akan beranjak. “Ayah tahu itu terdengar seperti menjualmu padanya. Menjual anakmu padanya, tetapi semua sudah berjalan sejauh ini dan ini akan menguntungkan kita semua.”
“Menguntungkan ayah dan dia. Apa keuntungan yang akan kudapatkan?”
Ludy terdiam. Menatap wajah sang putri dan kehilangan kata selain mengucapkan kata maaf yang diselimuti permohonan serta penyesalan.
Gadis mendesah pelan. Menatap ketidak berdayaan sang ayah. Melihat bagaimana ayahnya mencintai sang mama, malah hanya memberinya rasa iri terhadap kehidupan pernikahannya dan Langit yang seperti ini. Terutama setelah cintanya dan Jemmy pun dihancurkan oleh Jelita. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan sejauh ini hanyalah ancaman Langit.
“Setelah dokter mengijinkan ayah untuk melakukan rawat jalan, aku tak akan ikut ke perkebunan. Dan mungkin aku akan lebih jarang berada di sana selain memeriksa panen selanjutnya dan perkembangan pembangunan gudang.”
Ludy hanya memberikan anggukan singkat. “Ya, kau harus banyak istirahat.”
Kening Gadis mengernyit. Menatap lekat tatapan sang ayah dan tahu bahwa sang ayah juga tahu tentang kehamilannya. Tak ada pembicaraan apa pun lagi hingga buah jeruk di tangannya habis dan sang ayah kembali terlelap.
***
Besok siangnya, Gadis mengurus semua administrasi sang ayah dan bicara dengan dokter ayahnya untuk persiapan kepulangan. Sementara Heru mengemas semua barang-barang sang ayah. Langit tidak mengganggu karena pria itu memang cukup sibuk. Setidaknya itu membuat Gadis sedikit merasa bebas. Pun ada Riana yang masih tetap mengawasi semua gerak-geriknya.
“Sudah selesai?” Riana mendekati Gadis yang baru saja menebus obat sang ayah di depan apotek.
“Aku akan pulang sendiri. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Aku melihat pasienmu mengantre …”
“Dokter Sunny yang mengurusnya.”
“D-dia …”
Riana mengangguk. “Kau baru ingat, Langit bisa melakukan apa pun sesukanya di rumah sakit ini.”
Gadis tak perlu meladeni pernyataan tersebut lebih jauh. Hanya nama Samudra saja, sudah berhasil membuat siapa pun bertekuk lutut. Selain keluarga terdekat, setidaknya tidak ada yang tahu kalau Langit sudah menikah dengannya. Jadi ia pun tak perlu menggunakan nama penguasa tersebut di mana pun berada.
“Gadis?” Suara pria yang sedang melintasi lobi tiba-tiba berhenti dan mendekati Gadis dan Riana.
“Bara.”
“Maaf, aku baru mendengar tentang keadaan ayahmu.”
Gadis mengubah kemuramannya dengan senyum. “Tidak apa-apa. Kau sudah banyak membantuku mengurus masalah perkebunan setelah kebakaran.”
“Bagaimana denganmu? Kau …” Bara mengernyit, tangannya terulur dan menyadari wajah Gadis yang lebih pucat dari biasanya. “Kau juga sakit?”
Gadis menggeleng, merasa tak nyaman dengan sentuhan Bara, terutama dengan keberadaan Riana di antara mereka.
“Tadi aku menggantikan sopir keluargamu untuk menjemput ayahmu.” Bara menunjuk kunci mobil sang ayah.
“Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Bara.”
“Tidak merepotkan. Keluargamu juga sudah banyak membantuku. Di mana kamar ayahmu?”
Ketiganya berjalan menuju lift dan naik ke lantai delapan. Beberapa kali Riana menangkap lirikan Bara terhadap Gadis. Binar cinta yang tersirat dalam tatapan pria itu lebih dari cukup menunjukkan perasaan yang dimiliki Bara untuk Gadis.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” Gadis mulai tak nyaman dengan tatapan Riana yang begitu intens terhadapnya.
“Apa hubunganmu dengannya?”
“Hubungan?”
“Apa Langit tahu?”
“Apa yang perlu Langit ketahui, hah?”
“Apa dia tahu kau sudah menikah dengan Langit?”
Gadis mengikuti lirikan Riana yang mengarah pada Bara. Selain Ayahnya, Jelita, dan beberapa pelayan yang ada di rumahnya, memang tak banyak yang mengetahui tentang pernikahannya dan Langit. Dan tidak. Bara tidak tahu, juga tak perlu tahu. Ia pun tak akan menjawab pertanyaan aneh Riana yang satu ini. “Bukan urusanmu.”
“Dia tak akan membuat masalah untukmu, kan? Hubunganmu dan Langit sudah cukup rumit. Jadi jangan membiarkan pria lain membawa masalah yang lebih besar untukmu.”
“Aku tak tahu apa yang kau katakan, Riana. Tugasmu hanya mengawasi makananku dan hari ini aku akan sampai di rumah sebelum makan siang. Kau bisa pergi sekarang.” Pintu lift bergeser terbuka dan Gadis melangkah keluar lebih dulu. Menyusul Bara dan Riana.
Setelah memastikan sang ayah naik ke dalam mobil yang akan membawa pria paruh tersebut kembali ke perkebunan, Riana berhasil mencegahnya untuk naik taksi dan masuk ke dalam mobil wanita itu.
“Di sini saja.” Gadis memegang gagang pintu mobil sebelum pintu gerbang terbuka untuk mobil Riana.
“Ck, kau benar-benar keras kepala, ya?”
“Aku bisa berjalan sendiri.”
Riana tak ingin berdebat lagi. Membiarkan wanita itu turun dan masuk ke dalam pintu kecil di ujung gerbang yang sudah dibuka oleh salah satu keamanan Langit.
“Gadis?” Panggilan tersebut kembali menghentikan langkah Gadis. Tubuhnya kembali berputar dan terkejut dengan keberadaan Jemmy yang ada di tempat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top