18
Happy chinesse new year, buat yang merayakan......
Lyona membereskan ransel dan beberapa tas yang akan dibawa. Sudah saatnya berangkat. Beruntung pelabuhan tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Hanya perlu naik ojek yang sangat mudah didapat.
Menyusuri dermaga, gadis itu menatap laut yang terbentang di hadapan. Sesekali menoleh ke belakang. Bukit yang menjadi latar belakang Kaimana terlihat tinggi menjulang. Beberapa orang yang berpapasan tersenyum dan menyapa. Ia membalas dengan ramah. Karena memang cukup dikenal.
Memasuki speed yang lumayan besar, ia di sambut oleh kru, yakni motorist dan dua orang lain. Kemudian menyerahkan surat jalan dari perusahaan kepada mereka. Memilih langsung naik ke dek atas. Karena tidak tahan dengan asap rokok.
"Mau ke Arguni, Dok?" sapa seorang ibu.
"Iya, ibu?"
"Kesana juga, mau susul sa pu paitua."
Lyona hanya mengangguk, kemudian mengabadikan laut yang terlihat sangat tenang dengan kamera ponselnya. Lalu mengirimkan pada mami. Berikut pesan, kalau ia akan menuju tempat lain untuk bertugas. Tak terasa enam bulan sudah berlalu. Dan selama itu juga ia memendam rindu.
Teringat kembali percakapan dengan Bara tadi. Mendengarkan gombalan receh dari laki-laki tersebut membuatnya tersenyum. Ia hampir tak percaya, sepertinya bukan tengah berbincang dengan seorang Bara. Masih tak percaya kalau nomornya disimpan. Setelah kemarahan beberapa bulan lalu karena ia memblokir nomor pria itu.
Kenapa Bara bisa berubah? Atau sedang berakting dengan peran baru? Tidak mungkin putra Tante Serra mengejarnya. Karena paham, seperti apa perempuan yang biasa mengelilingi. Lyo merasa tidak cantik apalagi seksi. Jelas perempuan yang selama ini dekat dengan Bara memiliki dua hal tersebut.
Hati Lyona sedikit terusik. Sudah cukup lama ia sendirian. Tapi tetap tidak mengharapkan bahwa pria yang akan muncul dan menyukainya adalah seorang Bara. Laki-laki yang terlalu mirip dengan papi bukanlah seseorang yang layak dipilih. Karena yakin tidak akan bisa setia terhadap satu pasangan saja.
Ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya, kenapa tadi harus membalas pesan dan menerima panggilan. Ia tahu bahwa setelah ini Bara tidak akan mundur. Paham bagaimana pria itu memburu mangsanya. Tapi sudahlah, mereka cukup jauh, jadi tidak akan semudah itu datang ke Kaimana. Apapun namanya, pria pebisnis seperti Bara akan berpikir berulang kali membawa pesawatnya ke mari untuk kedua kali.
Lagi pula berada di perantauan membuatnya paham, bahwa ia harus pandai menjalin pertemanan dan bersikap tidak semau gue. Pengalaman hidup mengajarkan untuk lebih berpikir positif tentang seseorang. Tempat ini membuatnya berubah.
Huuuhfthh.. tenang Lyo. Dia tidak akan mengejarmu. Kalimat-kalimatnya adalah sesuatu yang selalu teucap untuk banyak perempuan setiap hari. Kalian hanya menjadi teman. Jalani saja harimu, selesaikan tugas dengan baik. Agar kelak bisa cepat bertemu mami.
***
Sayang apa yang ada dalam pikiran Lyo berbeda jauh dengan isi kepala Bara. Pria itu malah sudah menaruh harapan setinggi langit. Baru satu jam lalu selesai berbincang. Kini ia sudah merindukan suara Lyo. Awalnya tadi hanya iseng. Setelah sudah cukup lama menimbang. Entahlah hari ini ia memiliki keberanian. Bukan karena takut, tapi memastikan pikirannya sendiri. Itupun terasa seperti gambler. Diangkat ia sangat senang, kalau tidak, berarti memang Lyo bukan untuknya.
Selama empat bulan terakhir, ia banyak merenung. Hampir tidak ada lagi perempuan yang didekatinya. Mulai melepas satu persatu. Sampai saat ini, hanya Dinda yang sulit. Karena memang tidak ada komitmen. Tapi akhirnya menyadari kalau hubungan mereka sebenarnya sudah terlalu jauh melibatkan kebutuhan.
Ia tidak pernah mengucapkan kata berpisah, hanya pelan-pelan semakin menjauh. Mulai dari sedikit lebih lama membalas pesan. Atau tidak selalu bersedia menerima panggilan. Hal itu jelas membuat Dinda bingung. Beberapa kali perempuan itu datang ke club. Namun selama ini masih bisa menghindar. Tapi sepertinya sekarang tidak bisa lagi. Bara memutuskan untuk berbicara langsung.
***
Dinda duduk di hadapan Bara dengan wajah resah. Meski penampilannya masih seperti biasa. Perempuan cantik itu menatap tak suka.
"Kamu berubah."
Kalimat pertama yang keluar dari bibir seksi itu terdengar dingin. Kali ini Bara tidak berniat untuk memungkiri.
"Ya."
"Hampir satu tahun ini."
"Kamu menghitung dengan baik."
"Siapa dia?"
"Kenapa langsung menebak ke arah itu?"
"Dia pasti sangat spesial, hingga mampu merubah kamu. Sejauh mana hubungan kalian?"
Bara menghembuskan nafas panjang. Namun akhirnya memilih jujur.
"Tidak sejauh kita, belum dimulai bahkan."
Ada raut terkejut diwajah sempurna itu.
"Lalu, setelah sebulan ini kamu menghindar. Apa yang harus aku dengar?"
"Aku menemukannya secara tak sengaja. Ia berbeda."
"Jangan bilang, kalau dia adalah gadis yang dulu selalu ribut sama kamu."
Bara hanya tersenyum, tidak berniat membuka identitas Lyona. Karena itu sangat berbahaya. Ia tahu bagaimana kekuasaan Dinda di luar sana. Perempuan dihadapannya ini tidak akan menyerah begitu saja. Dan lagi tebakan perempuan ini benar. Ternyata memang sejauh itu Dinda merasakan perubahannya.
"Bukan."
"Seperti apa dia?"
"Terlalu biasa sebenarnya untuk menarik perhatian seseorang. Tapi entah kenapa disitu letak kelebihannya."
"Karena mirip dengan ibu kamu?"
Bara tertawa kecil, Dinda terlalu pintar untuk dibohongi. Itulah yang ia suka selama ini. Kecerdasan jelas membuatnya merasa memiliki teman bicara yang seimbang.
"Sedikit banyak, ya. Tapi sebenarnya bukan itu juga."
"Sejak kapan kamu menggunakan perasaan?"
"Kamu seperti menuduhku."
"Karena kamu merubah diri."
"Bukan tentang menggunakan perasaan, aku masih menggunakan logika berpikir."
"Lalu? Apa hasil pembicaraan kita saat ini? Kamu tahu aku tidak suka membicarakan hal yang tidak masuk akal."
"Apa kita bisa mengakhiri semua?"
Ada kemarahan diwajah cantik itu. Rasanya mata tajam itu sanggup membelah Bara menjadi dua bagian.
"Maksud kamu? Apa kita pernah memulai?"
Bara menatap mata Dinda yang memerah. Beruntung mereka ada di salah satu private room.
"Kita sudah memulai Din. Dan aku tidak ingin menyakiti kamu."
"Jangan berpura-pura menjadi malaikat, Bar. Kamu tahu bahwa aku sudah tersakiti. Aku tidak pernah menuntut kamu untuk menjadi milikku. Tapi yang kamu lakukan sekarang adalah menjauhkan aku dari kamu."
"Ini takkan ada ujungnya."
"Sejauh mana hubungan kamu dengan dia?"
"Seperti kukatakan tadi, kami bahkan belum memulai."
"Dan kamu sudah berkorban sebesar ini?"
"Ini bukan pengorbanan, tapi kita harus menyelesaikan sesuatu yang sebenarnya memang tidak layak."
"Menurut siapa? Kamu? Atau calon kekasih kamu."
"Aku menjaga nama baikmu."
"Kenapa baru sekarang? Karena kamu sudah menemukan seseorang?"
"Aku tidak tahu bagaimana cara membuat kamu mengerti."
"Kamu bosan denganku? Seperti pada perempuan lain yang selalu bergantian datang dalam kehidupan kamu?"
"Bukan bosan, sekali lagi kutegaskan untuk kebaikan bersama, kita salah."
"Kenapa setelah sekian tahun baru kamu menyadari bahwa ini salah? Aku semakin bingung dengan argument kamu yang sejak tadi mengambang."
Bara menghembuskan nafas kasar. Ia tahu bahwa ini sangat sulit.
"Intinya aku jatuh cinta, dan ingin memulai hubungan yang normal."
"Senormal apa?"
"Sesuatu yang berujung pada pernikahan, punya rumah tangga."
"Dan kamu tahu bahwa aku tidak bisa memberikan itu?"
"Kita sama-sama tidak bisa memberikan itu satu sama lain."
"Kamu ingin menikah?"
"Ya."
Kali ini Dinda tidak bisa lagi menahan tangis.
"Aku tahu ini akan terjadi. Tapi satu yang harus kamu ketahui, aku tak akan diam." Ucap perempuan itu pelan. Kemudian berdiri dan beranjak tanpa mengucapkan satu kalimat pun lagi. Meninggalkan Bara yang juga sebenarnya merasakan sesak yang sama.
Ancaman DInda bukanlah yang utama. Ia yakin bisa melindungi Lyona. Bara hanya merasakan sesuatu yang kosong. Hubungan mereka cukup lama. Sampai kemudian beberapa bulan lalu ia memutuskan berhenti pada Lyo. Bukan karena nasehat papanya. Tapi karena memang merasa bahwa ini waktu yang tepat untuk menghakhiri seluruh petualangan.
Ia sendiri tidak tahu apakah Lyo akan menjadi yang terakhir. Karena bukan tipe orang yang bisa berandai-andai. Tapi adalah sebuah kebenaran saat berusia seperti sekarang, ia harus mulai berpikir untuk serius.
Ia tahu bahwa Dinda kecewa. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebentar. Dan keputusannya, menyakiti perempuan itu. Bara menghembuskan nafas kasar. Saatnya pulang sekarang.
***
Speed boat yang ditumpangi Lyona baru saja bersandar dipelabuhan. Air sedang surut, sehingga dermaga terasa sangat tinggi diatas kepalanya. Beruntung beberapa orang dengan sigap mengangkat barang-barang miliknya. Masih mengenakan kacamata hitam untuk menghalau terik matahari. Seseorang mengulurkan tangan untuknya. Sejenak Lyo memicingkan mata karena terkejut.
"Kak Bara?"
"Ayo naik." Perintah laki-laki itu. Beberapa pasang mata menatap keduanya. Karena memang Lyo cukup dikenal, dan selama ini diketahui belum memiliki kekasih. Segera gadis itu mengulurkan tangan. Dengan sigap, Bara menariknya ke atas.
Ternyata, sebuah mobil sudah menunggu. Sopir menaikkan barang-barang milik Lyo. Setelah mengucapkan terima kasih pada motorist dan petugas dari perusahaan, Lyo pamit.
"Kamu mau langsung ke tempat kost?"
"Kak Bara kapan datang?"
"Jawab pertanyaanku dulu."
"Aku belum mandi, ya ke kost dulu. Jawab pertanyaanku dong?"
"Aku datang kemarin, naik pesawat komersil."
"Jauh amat, mami saja belum jadi datang kemari. Kak Bara sudah dua kali."
"Karena aku sedang mengejar kamu."
"Kayaknya aku nggak punya utang deh, ngapain harus dikejar?"
"Kamu kira aku debt collector, gitu?"
Lyona tertawa. Tak terasa mobil sudah sampai.
"Aku mandi dulu, Kak Bara mau ke hotel dulu?"
"Aku tunggu di sini saja. Jangan lama-lama mandinya. Meski kamu bau matahari banget."
"Yang namanya perempuan mandi itu pasti butuh waktu. Apalagi aku kepingin rebahan dulu. Capek diatas speed. Ombak lumayan besar di muara tadi."
"Aku tunggu kamu, kalau mau tidur dulu silahkan." Bara tidak mau mengalah. Lyona memutar kedua bola matanya. Kesal pada kekeraskepalaan pria itu.
"Ya sudah, tunggu di dalam saja. Nggak enak sama orang nanti. Tapi jangan macam-macam. Aku bisa teriak dan semua orang akan keluar dari kamar mereka."
"Memang kamu setega itu?"
"Nggak sih, tapi jauh lebih tega dari itu."
"Aku percaya." Jawab Bara ringan.
Keduanya memasuki rumah kost Lyo. Beruntung ada ruang tamu kecil di depan. Sehingga pria itu bisa menunggu di sana.
"Nggak ada air dingin, kulkasnya aku matiin sebelum berangkat. Kak Bara mau minum apa?"
"Aku kemari untuk ketemu kamu, bukan mau minum."
"Kok galakkan tamunya sih?" protes Lyo.
"Cepetan mandi, aku lapar." Perintah Bara penuh emosi. Merasa dipermainkan oleh gadis itu.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
120221
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top