Angga dan Hanum

Mohon maaf yang tadi aku hapus. Wkwkw. Salah posting. Astaghfirullah 🙈

Nah yg ini yg bener.

Selamat membaca 💜

**

Hapnum mengangguk setuju saat Angga menunjuk cincin couple di etalase. 

"Bagus nggak, Num?"

"Bagus!"

"Ukuran jari Ajeng aku pikir sama dengan jarimu, boleh aku pinjam jarimu untuk tahu ukurannya?"

Kembali perempuan berdagu lancip itu mengangguk. Angga meminta kepada pelayan toko untuk mengambil cincin yang dimaksud. Sebuah cincin emas dengan gambar hati yang terbelah. Jika disatukan dengan pasangannya maka akan membentuk hati yang sempurna.

Hanum menelan ludah saat perlahan cincin itu masuk ke jari manisnya dengan sempurna. Mati-matian dia menahan napas yang tak beraturan meski matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

"Yes! Ini bagus banget dan udah pas kurasa. Betul nggak, Num?"

Mengangguk. Itu yang bisa dilakukan Hanum. Dia takut suaranya terdengar bergetar jika berkata-kata. Dia tidak ingin Angga mendengar dan tentu pria itu akan bertanya kenapa.

Hanum dan Erlangga adalah sahabat sejak SMP hingga mereka berdua kuliah. Meski tidak satu kampus, tetapi mereka selalu saling berhubungan. Jarak rumah yang cukup dekat menyebabkan keduanya sering bersama.

 Perhatian Angga kepadanya pelan tapi pasti mulai menyirami hati. Ada benih rasa yang memercik di sana. Diam-diam Hanum menaruh hati dan berharap besar kepada pria jangkung beralis tebal itu.

Namun, harapan memang tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Angga memilih Ajeng untuk menjaga hatinya. Ajeng, perempuan berparas manis yang merupakan anak dari teman dekat Johan, papa Angga.

"Hanum?" Suara lembut Rukmini membuyarkan lamunannya.

Rukmini -- ibu Hanum melangkah mendekat. Semenjak kematian sang ayah beberapa bulan lalu, perempuan paruh baya itu sering sakit-sakitan. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, Hanumlah yang banting tulang menjalankan tugas sebagai tulang punggung keluarga.

"Hanum, sudah malam. Kamu nungguin Angga?"

Hanum menoleh lalu menggeleng. Hatinya seperti teriris mendengar pertanyaan itu. Menunggu Angga? Bahkan Rukmini saja sudah menyimpulkan ada hubungan istimewa antara dia dan pria itu. 

Istimewa? Iya, mungkin memang istimewa dalam sudut pandang berbeda.

"Kenapa malah melamun?" Kembali Rukmini menyentuh bahu Hanum.

"Nggak melamun kok, Bu. Eum ... Hanum besok pagi-pagi sekali ke toko, Bu. Ada pesanan beberapa buket bunga."

Rukmini mengangguk. Selain bekerja di kantor yang dipimpin Angga, Hanum mempunyai toko bunga. Toko yang dikelola putrinya itu memang cukup laris. Kepiawaian Hanum dalam merangkai dan memasarkan bunga membuat toko itu berkembang pesat.

"Kalau begitu, kamu istirahatlah sekarang. Biar pintunya Ibu yang kunci."

Hanum mengangguk setuju. 

"Lila sama Tania udah tidur, Bu?" tanyanya soal kedua adiknya yang masing-masing sudah sekolah tingkat SMP dan SMA.

"Sudah dari tadi."

**

"Aku mau kamu sendiri yang merangkai bunga di ruangan meetingku, Hanum."

Tak menyahut Hanum hanya menyungging senyum mendengar permintaan Angga.

"Kamu nggak mau nolongin aku?"

"Jangan terlalu cepat menyimpulkan, Angga! Lagian permintaan kamu itu aneh. Bukannya setiap hari ruangan meeting itu selalu aku kirim bunga?"

"Ck! Besok Ajeng datang ke kantor, dan aku akan memberi kejutan di sana."

"Aku mau bunganya istimewa! Sama seperti Ajeng."

Tenggorokan Hanum tercekat. Ajeng datang ke kantor. Padahal sejauh ini dia sudah berupaya agar tidak bertemu perempuan pujaan Angga itu meski beberapa kali pria tersebut mengajaknya untuk bertemu.

"Dan cincin itu akan aku berikan di ruang meeting."

Hampir saja napasnya berhenti saat Angga mengucapkan cincin. Cincin indah berbentuk hati yang beberapa hari lalu dia ikut membeli di salah satu mal ternama itu akan bertengger di jari pemiliknya.

"Ajeng adalah pemegang saham perusahaan properti yang hendak kerjasama dengan perusahaan kita, Hanum. Nah saat selesai meeting nanti, aku mau kasi dia kejutan! Gimana? Momentum yang bagus, kan?"

Meski tahu Angga sama sekali tidak ada hati padanya, tetap saja hati kecil Hanum terasa remuk.

"Mbak Hanum! Udah dijemput Mas Angga tuh!" Lila menepuk pundaknya. "Mbak kenapa sih? Melamun terus? Kata Ibu Mbak mau pergi ke toko pagi-pagi, kan?" Lila adiknya menginterogasi.

"Eh iya, semalam Mbak tidur larut malam. Eum ... Mbak berangkat dulu ya. Kamu sama Tania hati-hati naik motornya!" Hanum mengemas berkas di meja tamu memasukkan ke tas kemudian bangkit menuju pintu.

Dia melihat ibunya tengah bercengkerama dengan Angga. Entah kenapa semakin dia tahu Angga tak mungkin jadi miliknya, pria itu semakin terlihat tampan. Menyadari pikirannya mulai tak keruan, Hanum menggeleng cepat.

"Pagi, maaf lama menunggu!" sapa Hanum lalu mencium punggung tangan ibunya.

"Nggak apa-apa," kata Angga dengan senyum. "Kita berangkat sekarang?" 

Hanum mengangguk.

"Bu, Hanum kerja dulu ya. Oh iya, toko udah Hanum pesan ke Sella untuk stand by di sana, nanti Hanum sebelum ke kantor ke toko dulu kok." ujarnya saat Angga sudah menuju mobilnya.

Rukmini mengangguk, sekilas Hanum bisa melihat genangan di mata perempuan paruh baya itu. 

"Iya, Hanum. Kamu baik-baik aja, kan?"

Kening Hanum menyipit mendengar pertanyaan ibunya.

"Baik, Bu. Ada apa? Kenapa Ibu tanya begitu?"

Rukmini mengusap pipi puterinya seraya menggeleng.

"Nggak apa-apa, Nak. Pergilah, kasihan Angga sudah menunggu!"

**

"Semalam ibumu bilang kamu tidur larut malam?" Angga melirik sekilas. Pria di balik kemudi itu terlihat gusar.

Seperti biasa, Angga begitu mengkhawatirkan Hanum. Pria itu sangat cemas jika perempuan berkulit kuning langsat itu sakit.

"Iya."

"Kenapa? Ada masalah atau ada yang kamu pikirkan?"

"Nggak apa-apa. Nggak ada hal serius kok. Cuma nggak bisa tidur aja."

Terdengar Angga menarik napas lega. 

"Kamu aku antar ke toko dulu, kan? Terus jam berapa sopir kantor bisa jemput kamu dan ambil bunga-bunga itu nanti?"

Hanum merapikan anak rambut yang berserak di wajahnya.

"Nggak perlu sopir kantor jemput. Aku bisa bawa bunga-bunganya naik taksi online."

Angga tersenyum tipis.

"Yakin?"

"Yakin," jawabnya singkat.

Mobil terus meluncur, sementara tampak aura berbeda di wajah Angga dan Hanum. Angga terlihat berseri-seri sementara Hanum lebih sering melihat ke luar jendela dengan wajah muram dan sesekali mengecek pesan di ponsel.

"Kamu kenapa?" Angga merasa ada yang tidak biasa pada sahabatnya.

"Kenapa emang?" Dia balik bertanya.

"Kok diam nggak seperti biasa?"

Senyum manis tersungging di bibir Hanum.

"Aku sedang berpikir soal tata letak bunga-bunga itu nanti di ruang meeting," dalihnya.

Angga mengangkat kedua alisnya kemudian mengangguk.

"Tumben! Biasanya kamu nggak seserius itu," tangkisnya.

"Karena klienku kali ini seorang bos yang akan memberi kejutan ke perempuan pujaannya," balas Hanum dengan senyum.

Angga tergelak, dia mengulurkan tangan kirinya ke puncak kepala Hanum dan mengacak rambut perempuan berhidung mancung itu. Merasa tak nyaman, Hanum berusaha mengelak. 

Meski hal tersebut tidak jarang dilakukan Angga padanya , tetapi kali ini dia berpikir untuk mulai menjaga jarak. Karena Hanum tahu ada hati yang harus dijaga. Hati perempuan bernama Ajeng.

"Kenapa? Takut rambut kamu acak-acakan?" Angga menoleh dengan tertawa nakal.

Menarik napas dalam-dalam, Hanum menggeleng.

"Angga."

"Heum?" jawabnya tanpa menoleh.

"Aku boleh meminta sesuatu?"

"Apa? Jangan minta cincin juga. Aku masih harus mulai ngumpulin duit lagi," ledeknya.

Menelan ludah, Hanum menggeleng.

"Ada baiknya kita jaga jarak ya," tutur Hanum pelan. "Kamu setelah ini nggak perlu lagi jemput aku dan kita nggak boleh sedekat ini lagi."

Hampir saja Hanum terantuk dashboard karena Angga  mengerem mendadak. Pria itu tampak gusar. Sementara klakson mobil di belakangnya sudah bersahutan protes.

"Angga! Kamu kenapa sih?" seru Hanum mengingatkan.

"Aku kenapa? Kamu yang kenapa!" gerutunya seraya kembali menginjak gas.

Mobil kembali bergerak mengurai kemacetan yang sejenak diciptakan Angga.

**


Bismillah. Semoga lancar sampai akhir. Teman-teman mohon support-nya yaa. 


Terima kasih 🙏💚


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top