Baru yang Lama

Kunna minal muslimin, kunna minal mukminin.

(Kita termasuk orang-orang Islam, kita termasuk orang-orang mukmin).

Kunna minal muta’alimin, wa kunna minan najihin.

(Kita termasuk orang-orang yang belajar, kita termasuk orang-orang yang sukses).

Bil ukhuwah, wal jama’ah. Li khidmatil ummah.

(Dengan persaudaraan dan kebersamaan, untuk melayani umat).

Bil hammasah, wa sa’adah. Li lughotil jannah.

(Dengan semangat dan kebahagiaan, untuk bahasa surga).

‘Arobiyyah... ‘arobiyyah... ‘arobiyyah.

(Bahasa Arab).

Nisa bernyanyi riang diikuti 30 peserta didiknya. Lagu berbahasa arab dengan nada ceria itu berhasil membangkitkan semangat para muridnya, mereka sedang menekuk wajah usai mengkhatamkan ulangan  matematika di 90 menit sebelum Nisa mengajar.

“Ayo diulang sekali lagi lagunya. Biar makin semangat.” Nisa berseru riang, membuat siswa-siswinya semakin meninggikan suara.

Nisa selalu berusaha menciptakan pembelajaran yang seru dan menarik. Penting baginya membuat peserta didik faham dengan materi yang ia ajarkan. Dan seseorang akan memahami sesuatu jika mereka tertarik dengan sesuatu tersebut. Maka sebisa mungkin, Nisa mencari cara untuk membuat para peserta didiknya tertarik dengan bahasa Arab, mata pelajaran yang ia ampu.

Toyyib, assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.” (Baik) Nisa mulai membuka pengajarannya usai ia dan murid-muridnya menuntaskan sesi menyanyi.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Ustazah Nisa.” Seisi kelas serempak menjawab dengan semangat. Mereka menyukai Nisa. Ustazah yang pintar, seru, baik, dan cantik.

Naharukum said?” (Selamat siang) Nisa tersenyum menatap seluruh muridnya.

Sa’idul mubarok.” (Selamat siang juga) Lagi-lagi terdengar serempak.

“Minggu kemarin, kita udah bahas tentang warna-warna dalam bahasa Arab ya? Coba ustazah mau tes sebentar, masih ada yang inget apa gak sih?” Nisa berdiri dari meja guru, berjalan ke depan papan tulis.

“Bella, apa bahasa Arabnya warna kuning?” Nisa tersenyum menatap seorang gadis di bangku pojok.

Asfarun, Ustazah.”

Ahsanti, Ya Bella.” (bagus) Nisa mengacungkan kedua jempolnya, tanda mengagumi.

“Rozaq, apa coba bahasa Arabnya warna biru?” Kali ini seorang bocah lelaki gempal yang duduk di belakang menjadi sasarannya.

“Eh, apa ya, Ustazah? Ahmarun, bukan?” Bocah lelaki itu mendongakkan pandangan ke langit-langit kelas, terlihat berfikir.

“Loh kan, udah lupa? Gak dibaca ulang, ya? Coba diingat-ingat lagi, Nak.” Nisa tersenyum simpul, gemas dengan ekspresi muridnya.

“Ah ya, azroqun ya, Ustazah?” Bocah gempal itu terlihat sumringah dengan jawabannya kali ini.

Ahsanta, Ya Rozaq.” (bagus) Nisa kembali mengacungkan jempolnya, kali ini untuk Rozaq.

“Sudah pandai-pandai murid Ustazah ini. Kalo begitu kita lanjut aja ke materi minggu ini. Kali ini kita akan belajar tentang bahasa Arab dari  perabot-perabot kelas.”

“Ustazah pingin tau, siapa coba yang udah baca buku paketnya?” Nisa mengelilingi kelas dengan bibir yang tak pernah berhenti tersenyum. Beberapa anak terlihat mengangkat tangannya, membuat senyum Nisa semakin merekah.

“Anis coba, apa bahasa Arabnya papan tulis, Nak?” Nisa menghampiri seorang gadis imut yang terlihat mengangkat tangan.

Saburotun, Ustazah.”

“Subhanallah pandainya.” Nisa mengusap lembut pipi gadis kecil itu.

“Sekarang coba Kania. Bahasa Arabnya kipas angin apa, Nak?” Nisa bergerak ke samping, jarak dua meja dari bangku Anis.

Mirwahatun, Ustazah.”

“Aduh, Ustazah benar-benar jatuh cinta sama kalian. Pandai-pandai sekali sih.” Nisa bertepuk tangan riang, membuat para muridnya ikut tertawa senang.

Dan sesi belajar mengajar hari itu kembali berlanjut seru seperti biasanya.

Sejak memasuki Mts Irsyadul ‘Ibad sebagai seorang pendidik, Nisa sudah berjanji untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada yayasan itu. Ia bekerja sebaik mungkin, sedisiplin mungkin, serapi mungkin. Bukan untuk menuai pujian dari siapa pun, apalagi untuk meningkatkan tunjangan bulanannya. Untuk apa? Jika hanya demi rupiah, ia tak perlu susah-susah mengajar, menghadapi beberapa murid yang terkadang memancing emosinya, menjelaskan materi berulang-ulang kali kepada sebagian murid yang susah sekali paham, dan melakukan hal-hal sulit lainnya. Jika hanya demi rupiah, sungguh! Atmnya telah penuh setiap bulan bahkan tanpa perlu ditambah dengan gaji mengajar yang ia dapatkan. Uang rutinan yang setiap bulan dikirim oleh mama dan papanya sudah lebih dari cukup. Bahkan jika mau, Nisa bisa membeli yayasan tempatnya mengajar dengan uang itu mengingat ia yang telah lama tak menyentuh atm itu semenjak ia mengajar.

Sekali lagi, bukan tentang uang dan pujian. Nisa melakukan semua itu murni dari hatinya, murni dari hobinya mengurus anak-anak kecil. Nisa senang menatap binar-binar semangat para muridnya ketika mereka menyanyi bersama. Nisa selalu jatuh cinta berulang kali setiap muridnya mampu menjawab soal-soal yang ia ajukan, bahkan sebelum ia sempat menjelaskan tentang materi tersebut. Nisa bahagia menjadi seorang pendidik.

Nisa terlalu jatuh cinta dengan profesinya.

*****

+6285875987***:

Assalamualaikum, Tazkiya Annisa.

Nisa mengernyitkan dahi menatap pesan yang baru saja muncul di notifikasi ponselnya. Siapa pula yang menyapanya dengan nama selengkap itu?

Tazkiya Annisa:

Iya, waalaikumsalam. Dengan siapa disana?

Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga bermenit-menit setelahnya, tak ada balasan. Nisa melihat foto profil sang pengirim pesan, hanya ada gampar tumpukan kitab kuning disana. Tak ada pula nama sebagai penunjuk identitas pada laman pojok di di bawah foto profil, hanya ada tulisan lafadz Allah dengan font arab.

Nisa mengabaikan ponselnya, kembali fokus mengkoreksi hasil pekerjaan rumah murid-muridnya. Sesekali, ia masih melirik ponsel, berharap mendapat balasan dari nomor tanpa identitas itu. Nisa bukan tipe orang yang perhatian pada nomor-nomor baru yang masuk di aplikasi hijaunya. Ia merasa tak perlu kepo pada nomor-nomor baru yang menghubunginya, mungkin saja wali murid dari peserta didik atau beberapa teman grup yang belum sempat ia simpan nomornya. Namun kali ini, entah mengapa Nisa merasa penasaran sekali. Ia merasa butuh tau siapa pengirim pesan berisi salam itu. Bukan Nisa yang biasanya.

“Kapan kelar ngoreksinya kalo kamu gak fokus di kertas malah fokus di ponsel?” Nisa mendongak dan mendapati Fatih berada di hadapannya.

“Ada yang ngirim pesan ke ponsel Nisa, Mas. Tapi nomer-nomer doang, pas Nisa bales, sana gak bales lagi.” Nisa terkekeh pelan.

“Coba aku liat nomernya, siapa tau kenal.” Fatih mengulurkan tangan, meminta Nisa menyerahkan ponselnya.

Nisa menurut, ia memberikan ponselnya pada Fatih. Beberapa menit kemudian, Fatih terlihat menggeleng.

“Aku juga gak tau, gak kenal.”

“Seperti biasa, selalu tak bisa memberi solusi.” Nisa mencibir sementara Fatih terkekeh.

Ting.

Nisa segera menyambar ponselnya dari tangan Fatih. Ia yakin seseorang tanpa nama tadi lah yang sedang mengiriminya pesan.

+6285875987***:

Masih ingat dengan seseorang yang menemukan kunci mobil di sebuah acara resepsi?

Tazkiya Annisa:

Eh, Gus Ilham? Wah, masih inget buat ngehubungin Nisa ternyata.

Fatih mengernyitkan dahi melihat Nisa yang tersenyum sumringah menatap ponsel.

“Udah ketemu siapa?” Fatih menatap Nisa.

+6285875987***:

Ya inget lah, fungsinya apa aku minta nomor ponsel kalo bukan buat ngehubungin?

Tazkiya Annisa:

Haha, alhamdulillah kalo masih inget. Kok bisa tau nama lengkap Nisa? Kemarin aja lupa siapa nama Nisa. Huuuu.

+6285875987***:

Kita hidup di zaman serba canggih. Apa susahnya mencari nama kamu di media sosial?

Tazkiya Annisa:

Gus Ilham ngapain nyari nama Nisa di sosmed? Kurang kerjaan amat.

“Nis?” Fatih kembali bersuara.

“Eh? Iya, Mas. Gimana?” Nisa tergagap dan mendongak atas panggilan Fatih. Ia masih tersenyum sumringah. Beberapa detik setelah mendongak, ia kembali menatap layar ponsel.

“Udah ketemu siapa yang kirimin kamu pesan?” Fatih mengulang kembali pertanyaannya.

“Udah, kakak tingkat Nisa waktu kuliah ternyata.” Nisa menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

+6285875987***:

Emang kurang kerjaan, makanya ini lagi bercita-cita buat ngerjain kamu.

Nisa kembali tersenyum membaca balasan dari Ilham. Entah mengapa, ia bahagia bisa kembali merajut silaturahim dengan orang-orang di kampusnya dulu.

Fatih masih menatap Nisa dalam diam. Hatinya terusik. Ia tak pernah melihat Nisa sesumringah itu ketika berbalas pesan, bahkan pada pesan-pesannya yang penuh dengan kalimat perhatian. Iya, Fatih pernah diam-diam mengirimi Nisa pesan ketika ia sedang berada di tempat yang sama dengan gadis itu. Namun, Nisa biasa saja, tak menunjukkan raut seceria ini pada pesannya. Fatih paham, siapa pun dia yang saat ini sedang bertukar pesan dengan gadis di hadapannya ini, pastilah seseorang yang spesial.

Fatih masih menatap Nisa. Mendadak, ia merasa perasaannya terancam.

*****
Assalamualaikum, kangen Nisa apa Naya? 🤗🤗
Oh ya, kenapa Gus Ilham? Karena Naya pusing, di DM instagram pada rebutan Gus Ilham buat dijadiin kekasih halal gegara dia masih jomblo. Awalnya Naya nyoba buat jadiin Gus Ilham kekasih halalnya Naya juga, eh dia nolak. Songong emang dia, hiks. 😣😣
Akhirnya Naya coba munculin dia di lapak baru, sapa tau disini dia nemu jodoh. Naya masih bingung mau jodohin dia ama siapa. 😌😌
Udah ah,
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 💕💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top