11 | Arise and Newcomer

"Mikaze-san?" tanyaku menyadari bahwa tubuhku tidak lagi merasakan percikan air.

"Masuklah ke mansion," ajaknya menggenggam payung merah tanpa ada sejejak ekspresi.

Jangan bilang... kini aku sungguhan akan diusir?!

"Hari ini, segera kemasi semua barangmu. Kau akan dijemput oleh Shining. Jangan pernah kembali lagi ke Tokyo. Dunia metropolitan benar-benar keras untuk gadis kampungan sepertimu."

Bulu romaku bergidik. Membayangkan Mikaze bilang begitu terasa luar biasa mengerikan. Namun, dia pantas mengusirku setelah mengajakku masuk ke mansion karena bersikap sopan lebih dulu. Dia berhak melakukannya, tapi tetap saja... menyakitkan.

"Sebelum itu, kau harus memulangkan dia dulu," ucap Mikaze hendak menunjuk ke arah kanan.

Aku menoleh, mendapati Roberto berdiri dengan raut wajah bersalah. Kukira Mikaze sudah memulangkannya seperti masa-masa yang dulu--- secara paksa---tanpa adanya pertimbangan. Roberto menghampiri kami dengan langkah kecil.

"Maaf, Kak." Roberto menundukkan kepala. "Gadis yang kita temui di pameran itu, Anna adalah kakak kelas yang kusukai sejak aku menjadi mahasiswa. Aku tak sempat dekat dengannya."

Aku mengangguk paham. Aku senang ia mau jujur kepadaku. Roberto telah bersimpuh, hendak menjatuhkan air matanya.

"Orangtuaku bilang, seni takkan penting meski kugeluti seserius apapun di masa depan. Aku nekad dan tetap melukis karena ingin bersama Anna. Meski... aku berakhir mati karena gantung diri karena sangat tertekan."

Kadang, siapapun yang dalam tekanan sangat membutuhkan uluran tangan. Meskipun satu orang yang peduli saja pun tak masalah. Dengan demikian, ia akan mampu bertahan hidup dalam situasi dunia yang terus menyeleksi alam.

Aku berjongkok lalu berkata, "Roberto, terima kasih ya sudah memberitahu."

Ia tersenyum tipis. "Aku siap dipulangkan sekarang juga. Ternyata bertemu dengan Anna sekali lagi benar-benar di luar dugaanku."

Mikaze menautkan alis. "Sekarang juga?"

Aku mengangguk mantap. Roberto berdiri di hadapanku. Aku hendak melontarkan baris demi baris kalimat penyegelan. Dalam waktu singkat, Roberto menghilang. Aku berharap ia dapat tenang di sana.

Tunggu.

Sekarang aku dinyatakan berhasil, 'kan?

Kalau iya, itu artinya aku lolos dari ujian ini!

Ya Tuhan, aku senang sekali! Aku ingin merayakan hal ini dengan mandi kembang tujuh bunga!

"Mikaze-san, kau lihat yang kulakukan, kan---" sergahku tidak bisa tidak tersenyum.

Saat itu pula, rintik-rintik hujan yang menaungi kami telah berkurang, nyaris dapat dikatakan mereda.

Ucapanku terpotong begitu tersadar bahwa Mikaze bukanlah sosok yang ramah dan mendukung. Melainkan terkesan senang menjatuhkan perasaan dengan ucapan sarkas, tak luput menegur terhadap setiap kesalahan yang kuperbuat. Seharusnya, aku mengontrol diri.

"Selamat," puji Mikaze tanpa tersenyum, justru memang lebih baik begitu--- jika sebaliknya akan sangat aneh--- mungkin aku bisa pingsan di sini karena terlalu bahagia.

Namun tetap saja, ketika memujiku bisa jadi daftar terakhir dari kegiatan yang diminatinya.

"Kau... nggak akan mengusirku, kan?" tanyaku takut-takut.

Mikaze melipat payung lalu menyandarkannya ke pilar pintu utama mansion.

Ia mengusap dagu. "Sejauh ini belum. Kau masih cukup lengah sebagai cenayang."

Aku terkekeh kaku. Kritiknya seperti biasa, dilontarkan ketika aku ingin memastikan nasibku di sini.

"Kau punya potensi dengan berbuat nekad yang bersifat 50:50," gumam Mikaze berbalik badan. "Ah. Soal itu, maunya kapan?"

Soal nekad, aku tak tahu lagi ucapan itu berupa ejekan atau pujian semata. Yang jelas kenekadanku tidak selalu berujung terhadap kesialan.

Aku mengernyitkan dahi karena gagal paham. "Maksudmu, soal apa ya?"

Jemarinya terselip ke dalam saku celana. "Mempertemukan Hijirikawa dengan hantu yang kuusir paksa. Dulu, kau memintaku melakukan hal itu, kan?"

Dia masih mengingat hal itu.

Tuhan, aku merasa tak bisa lebih bahagia dari ini.

Ternyata, dia benar-benar mempertimbangkan hal itu, meskipun mungkin bukan secara perasaan. Mungkin saja hanya sekadar tanggung jawab, tapi aku yakin Hijirikawa akan senang mendengar hal ini. Di dalam batinku, aku memutuskan akan lebih semangat untuk bangun pagi. Persetan dengan shower yang membekukan, semangatku kini jauh lebih membara!

• • •

"Nasi omelet lagi... ya?" gumamku menyeringai kaku.

"Lagi?" tanya Ichinose tampak kebingungan.

Saat aku kembali ke mansion untuk mandi, rupanya semua porsi untuk seluruh penghuni telah disajikan Kurosaki di meja makan.

Entah kenapa, kurasa ke depannya, nasi omelet menjadi peringatan momen yang paling memalukan. Aku jadi teringat saat menangis bombay di depan pemuda yang pernah kuajak berkelahi secara adu domba. Dia memang tidak menertawaiku, malahan menemaniku sampai selesai makan. Namun tetap saja, dia bisa mengambil kejadian semalam untuk mempermalukan diriku.

Selain itu, kini aku bersyukur dia tidak lagi mengeksposkan bagian tubuhnya seperti kemarin. Kurosaki terbalut dengan sweater putih dengan celana training hitam sepanjang mata kaki berwarna cokelat muda. Ah, tak lupa ada sebuah celemek merah marun melekat di tubuh.

[Name], mungkin kau masih belum tak terbiasa hidup bersama sejumlah laki-laki berusia akil balig... atau mungkin dapat dikatakan nyaris dewasa.

Rasanya, aku ingin membenturkan kepalaku ke dinding saking malunya.

"Aku... pass," ucapku bangkit dari kursi makan.

Manikku bertemu dengan manik biru cerah milik Camus. Disusul delikan Kurosaki.

"Meskipun kau benci kepadanya, kuakui nasi omeletnya cukup enak untuk lidah orang berkelas sepertiku," ungkap Camus yang tidak membuatku kunjung mengubah pikiran.

Ya... memang aku nggak benci amat lagi sih, kepadanya, tapi entah kenapa sepertinya aku harus mencari alasan. Diet, mungkin?

Kurosaki yang hendak memotong telur dengan pisau mengernyitkan dahi. "Kalau nggak mau makan, nanti malam aku nggak akan membuatkan jatahmu."

Dia menggertakku. Dasar.

Tentu saja, aku nggak mau kelihatan lemah dan harus bertekuk lutut lalu berkata: "Kurosaki-sama, aku memang bersalah. Maafkan hambamu ini".

Euwh. Demi piyo-chan sekalipun, aku nggak sudi.

Aku nggak mau merasakan deg-degan nggak jelas sambil meratapi telur buatannya.

"Cih. Aku bisa makan mi instan. Memangnya aku cuma bisa hidup dengan makananmu?" lawanku menantang balik ancamannya.

Dipenuhi perdebatan, mata kami beradu dipenuhi tekanan yang enggan mengalah.

Saat itu juga, terdengar bel berdenting dari luar mansion.

Hijirikawa yang setengah menyantap dalam diam hendak beranjak dari kursi. Namun, aku segera mencegatnya. Mungkin dia tidak enak ingin menyela perdebatan di antara aku dan Kurosaki.

"Makan saja. Biar aku yang buka pintunya," sergahku lalu menghampiri pintu.

Akankah Saotome datang lagi ke sini? Namun, dia baru saja datang sekitar minggu lalu. Kondisi mansion juga baik-baik saja (setelah aku memulangkan Roberto, tetapi sepertinya yang terganggu hanyalah Mikaze).

Aku membuka pintu. Detik berikutnya, aku mendapati seorang pemuda yang tidak kukenali. Kulitnya lebih gelap ketimbang orang Asia umumnya yang memiliki ras mongoloid, maniknya berwarna hijau emerald, dan tinggi tubuhnya sekitar 180 cm.

Kesanku dari awal pertemuan ini, kupastikan dia bukan warga berkebangsaan Jepang. Sepertinya pemuda ini berasal dari Timur Tengah... atau Arab... atau Afrika? Entahlah.

Aku menoleh ke belakang, bingung harus memanggil penghuni lain yang bisa membantuku terbebas dari kebingungan ini. Tetapi mereka sedang makan. Aku tidak enak harus mengganggu kenyamanan mereka.

Aku mengerjap panik. Harus bicara dengan bahasa apa? Apa dia tersesat hingga ke sini?

"Apakah kau yang bernama [Full Name]?"

Kuelus dadaku--- sungguu terkejut saat pemuda itu bisa bertanya dengan bahasa yang sama denganku. Tak hanya itu, ia menebak namaku dengan pelafalan yang tepat.

"Y-ya. Maaf, Anda siapa, ya?" sahutku lalu bertanya karena merasa asing dengannya.

Manik hijau pemuda itu berseri-seri. Tangannya mendekapku erat-erat, seolah anak kecil yang tidak ingin kehilangan balon.

"Benarkah?! Menikahlah denganku!"

Aku mengerjap bingung. Heeeh?

Dari seluruh pemuda yang pernah hadir dalam selama 18 tahun hidupku, ini termasuk kejadian teraneh. Yaitu menerima lamaran pemuda yang tidak kukenali saat pertemuan pertama.

• To be Continued •

Kira-kira, pemuda itu akan tinggal di mansion?
A. Iya
B. Tidak

See you on the next part!
For anyone who follows me, you may read Ai's Side Story in private (rilisan partnya akan menyusul sekitar belasan feb 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top