Part 12

Atau... kau ingin kita pergi berdua saja?

***

Kangen ibu

Begitu caption yang Ara bubuhkan pada foto yang baru ia unggah di akun media sosial berbasis foto miliknya. Foto yang ia ambil dari pintu kaca menuju balkon apartemen Chun Ae.

Tampak Seoul Tower yang berdiri gagah di atas gunung Namsan, dengan langit yang masih pekat, serta kerlip lampu yang menunjukkan bahwa kota itu tak pernah berhenti menggeliat.

Baru pukul 05.00 waktu Seoul. Menyisakan sekira setengah jam menuju waktu subuh.

Suara notifikasi dari device-nya terdengar. Ara mengintip saja dari layar, jantungnya mendadak berdegup menemukan nama akun s.yeojoon yang memberikan satu ikon love untuk unggahannya baru saja.

Apa ini akunnya saj- ....

Ara buru-buru menghentikan praduganya. Memilih untuk mengetuk notifikasi, dilanjutkan mengetuk nama yang baru saja memberi respon untuk fotonya. Tak ada foto diri di akun tersebut, hanya foto pemandangan, jalanan, buku, dan beberapa foto ruangan yang salah satunya ia kenal.

Tak salah lagi, itu ruang direktur di office-nya. Jadi....

Belum usai ia menganalisis, satu direct message masuk ke notifikasi.

[Balkon apartemen Chun Ae memang tak pernah gagal menyuguhkan view terbaiknya.]

[Apa tidurmu semalam nyenyak, Ara?]

Dua pesan dari orang yang sama, yang sedang ada dalam pikiran Ara saat ini.

Ara tersenyum. Dengan lincah mengetik dan mengirimkan balasan.

[Alhamdulillah. Sajangnim sudah bangun?]

[Does 'kangen ibu' mean you miss your mom?]

Ditanya apa, jawabnya apa? Please deh, Pak Bos. Ara berkata dalam hati.

[Betul, Sajangnim.]

[Okey. See you at 7.00 am.]

"Obrolan yang aneh. Loncat-loncat nggak jelas," gumam Ara. Bulan sabit masih menggaris dari bibirnya.

[Bukan 7.30 am, Sajangnim?]

[Lebih cepat lebih baik.]

Ara tersipu sendiri. Ia merasa sajangnim-nya menyimpan sesuatu padanya.

Duh, ge-er banget kamu, Jembar Segara. Sadar diri aja deh. Chun Ae kamu anggap apa?! Batinnya menyadarkan.

***

Yeo Joon datang sesuai waktu yang dijanjikannya sendiri. Ara membukakan pintu, sudah siap untuk melakukan aktivitas hari itu.

Terlihat berbeda dari biasanya. Ia mengenakan celana blue jeans dan kaus lengan panjang putih yang dibalut lagi dengan kemeja hitam longgar sepanjang paha. Pashmina warna mocca menutup helai-helai rambut serta kepala, sebagian sisanya melingkari leher dan menyampir di pundaknya. Sneakers classic warna hitam melengkapi penampilannya pagi itu. Manis.

Yeo Joon berusaha menyembunyikan rasa gembira, yang kalau sudah muncul bisa menghapus segala kesan datar pada wajahnya.

"Sudah bawa baju hangat?" tanya Yeo Joon penuh perhatian.

"Sudah, Sajangnim."

"Oke. Kita berangkat."

Ara menggendong ranselnya. Tangan kirinya menenteng long coat yang mungkin akan diperlukannya. Mereka berjalan beriringan menuju area parkir. Ara sekuat hati berusaha mengenyahkan kecanggungan.

"Kau pernah makan abalone?" Yeo Joon membuka percakapan. Seperti biasa, lagu-lagu ballads menjadi pengiring perjalanannya.

"Belum, Sajangnim. Di negara saya jarang ada masakan abalone. Lagipula harganya mahal." Ara meringis setelahnya, menyadari kepolosan pada jawabannya.

Sajangnimnya terkekeh, "Pagi ini kau akan mencobanya. Ada kedai halal yang punya jeonbokjuk enak. Dan kedainya selalu buka sejak ba'da subuh. Kita akan makan di sana. Kau harus mencicipi salah satu makanan terlezat di dunia. Setidaknya menurut lidahku."

Hati Ara gembira, satu impian di depan mata. Ia pertama kali tahu abalone dari salah satu sinema Korea, Jewel In The Palace. Dan ia ingat betul, abalone adalah salah satu masakan yang sering dibuat dan disajikan dayang dapur istana untuk keluarga raja. Makanan orang kaya, begitu menurut sepengetahuannya.

"Tidak usah repot, Sajangnim. Anda sudah banyak berbuat baik pada saya. Saya tidak enak hati pada Chun Ae?"

"Chun Ae? Kenapa memangnya?"

"Emm, b-bukankah Sajangnim dan dia, emm... dekat?"

"Ya. Kami memang dekat. So?"

"Saya tidak mau membuatnya, emm... itu... eh... emm ...."

"Cemburu?" sahut Yeo Joon, yang disambut Ara dengan anggukan ragu-ragu.

Sekali lagi tawa Pak Direktur berderai, "Hubungan kami tak seperti yang kau pikirkan, Ara. Kami memang dekat, tapi kami tidak berkencan. Bukan sebagai kekasih atau pasangan. Yaa, dekat saja."

"T-tapi, Sajangnim---"

"Dia memang begitu. Sering menimbulkan kesan cemburu kalau aku dekat dengan perempuan. Karena sejak suaminya meninggalkan dia, aku menjadi satu-satunya yang dia cari setiap kali membutuhkan apapun. Termasuk saat kau pingsan kemarin."

"C-Chun Ae s-sudah punya suami?!" Ara kaget setengah mati. Ia ingat perkataan Jae Won di awal perjumpaan, tapi dia kira itu hanya candaan saja.

"Ya. Lebih tepatnya pernah punya suami. Lalu laki-laki brengs*k itu meninggalkannya dengan perempuan lain yang jauh lebih muda. Padahal aku sendiri tak melihat kekurangan yang ada pada Chun Ae, kecuali ...."

Ara hendak menanyakan lanjutan kalimat sajangnim-nya, tapi ia takut salah, atau terlihat kepo. Ia hanya menoleh ke kiri, menatap wajah Yeo Joon yang ternyata juga sedang memandangnya.

Yeo Joon tersenyum, "Kau ingin tahu ya?"

Ara tak menjawab, tak pula mengangguk atau menggeleng. Cuma melempar seulas senyum yang malu-malu.

"Kecuali keras kepalanya yang agak di atas rata-rata. Ya, dia memang keras kepala. Tapi menurutku tidak begitu mengganggu sih. Apalagi di depan suaminya ia tak sekeras kepala seperti saat di depanku. Jadi tak sepatutnya juga laki-laki itu meninggalkan Chun Ae.

"Memang dasarnya saja brengs*k. Belum tahu cara menjadi laki-laki yang baik dan benar, sudah berani menikahi anak orang. Harusnya dia pakai rok saja." Ara menahan tawa, membuang muka ke arah berlawanan dengan bosnya.

Yeo Joon memang masih kesal setiap kali bicara tentang suami Chun Ae. Juga tentang golongan suami tidak setia secara umum.

Topik obrolannya membuat Ara teringat pada kakeknya. Dia merasa beruntung tak pernah menceritakan soal itu pada Jae Won atau Chun Ae, apalagi pada sajangnim-nya. Ia lega, tak perlu mendapat justifikasi apa-apa berkaitan dengan perbuatan kakeknya di masa lalu.

Meski ia sendiri tak kenal dan merasa kecewa pada kakeknya, ia tetap tak akan sanggup menahan perasaan jika seandainya Yeo Joon tahu, dan kemudian mengatai kakeknya yang bukan-bukan. Atau malah memasukkannya dalam kategori laki-laki brengs*k.

"Bodohnya lagi, Chun Ae tak pernah bisa move on dari suaminya. Bahkan sampai detik ini dia masih selalu menyalahkan dirinya atas kepergian laki-laki itu. Dia selalu membela pengecut itu. Dan itu seringkali dilakukannya di depanku. Padahal dia tahu persis kalau aku tak suka pada si pecundang itu. Dia bahkan selalu memaksaku untuk memahami dirinya, juga laki-laki itu. Menyebalkan!"

Yeo Joon mengeluarkan semua unek-uneknya pada Ara. Tidak pas sebenarnya, tapi ia ingin memulai menjalin kedekatan dengan gadis itu. Dan menurut Yeo Joon, membuat Ara mengetahui sedikit demi sedikit isi hatinya adalah cara yang tepat untuk menggiring Ara dekat dengannya. Lebih dari sekadar direktur dan pegawai dari perusahaan rekanan yang sedang magang di tempatnya.

"Apakah Sajangnim dan Chun Ae bersahabat baik?"

Ara tentu saja tak mengetahui maksud Yeo Joon curhat padanya. Ia malah menggeser topik pembicaraan mereka.

"Yaa, pokoknya kami dekat. Terserah mau disebut apa. Pokoknya dekat." Wajah Yeo Joon sudah kembali pada default setting-nya.

"Apa karena itu Sajangnim dan Chun Ae tidak meningkatkan kedekatan ke level yang lebih tinggi lagi?"

Astaghfirullah, pertanyaan apa sih ini? Ara merasa pertanyaannya salah. Seolah ingin terlalu jauh mengetahui urusan orang lain.

"M-maaf, Sajangnim. Tolong anggap saja saya tidak pernah bertanya. Maafkan saya."

"Tenang saja, aku juga tak pernah menganggap pertanyaanmu itu ada." Ucapan Yeo Joon membuat Ara makin merasa bersalah saja.

"Bersiaplah, Ara. Kedai jeonbokjuk-nya sudah di depan mata."

Ara diam, ia menurut saja. Sampai makanan terhidang, ia lebih banyak bungkam, hanya mendengarkan sajangnim-nya yang bersemangat menjelaskan tentang jeonbokjuk, bubur lezat berbahan utama kerang abalone.

"Tadi kau bilang abalone adalah makanan mahal. Kau tahu kenapa abalone mahal?" tanya Yeo Joon usai menandaskan isi mangkuknya. Ara menggeleng saja, memberanikan diri menatap mata sajangnim-nya.

"Abalone hanya hidup di kedalaman laut yang jauh. Dan tak seperti kerang lain yang bisa dipanen dengan jaring atau alat, memanen abalone harus menyelam dan mengambilnya langsung di kedalaman.

"Selain itu, abalone biasanya hanya hidup di laut dengan jenis perairan dingin. Dan dia juga memiliki kandungan gizi yang tinggi. Makanya dia dijual dengan harga relatif mahal. Malah di zaman dinasti dulu, abalone menjadi makanan yang hanya disajikan untuk keluarga raja.

"Di negara kami, abalone bisa dibilang menjadi makanan khas Jeju-do, sebab di sanalah salah satu sumber abalone di negeri kami ini."

Jeju. Benak Ara lagi-lagi mengembara pada Jang Geum. Pada keinginannya untuk menapaktilasi jejak-jejak Jang Geum dalam serialnya. Ia melamun.

"Ara, kau jadi ikut ke Gimpo atau mau melamun saja di sini?" Ara gelagapan. Buru-buru menyambar coat-nya dan berlalu dari kursinya.

Mobil meluncur santai. Sama seperti perasaan Ara yang mulai melupakan topik Chun Ae tadi.

"Hari ini sampai tiga hari ke depan kau belajarlah di Gimpo. Tapi maaf, aku hanya mengantarmu hari ini, kebetulan aku sedang ada urusan di tempat yang sama. Besok kau naiklah train, atau kau bisa juga naik bus. Kau berani, kan?" Yeo Joon kembali mengambil posisi sebagai pembuka perbincangan.

"Insya Allah siap, Sajangnim."

"Belajarlah yang benar. Kau tahu kan, nilai purchase untuk element di perusahaan pembangkitan?" Ara mengangguk lagi.

Yeo Joon masih akan melanjutkan bicara, ketika sebuah panggilan dari aplikasi hijau masuk ke gawai Ara. Rasa sungkan melanda. Ia lupa mengaktifkan mode silent pada ponselnya. Ara segera menolak panggilan tersebut, tak enak pada bosnya.

"Siapa? Pacarmu? Terima saja."

"Bukan, Sajangnim. Saya tak punya pacar." Ara buru-buru memberi klarifikasi atas statusnya.

Sekali lagi Yeo Joon tersenyum penuh arti.

"Itu tadi Mas Heru."

"Mas... Mas what?"

"Mas Heru. Mas mean oppa." Ara menjelaskan.

"Heru, mean what?" Kali ini Ara yang tertawa. Yeo Joon tak melewatkan wajah Ara yang terlihat menyenangkan saat begitu.

"Heru, Sajangnim. Kun Heru Widjanarko." Disebutnya nama partner di kantor Jakarta yang namanya sudah akrab juga dengan orang-orang di kantor Seoul.

"Ah, ya ya. Heru." Yeo Joon terbahak menyadari kealpaannya pada satu nama tersebut.

"Telepon balik saja, siapa tahu dia mau memberimu kabar gembira. Bukankah kemarin kau membantunya mempersiapkan dokumen dan harga untuk pembukaan tender hari ini?"

"Benar, Sajangnim. Emm, kalau begitu saya mohon izin untuk membaca pesan dari Mas Heru."

Yeo Joon mengangguk. Tak sampai sepuluh detik kemudian, senyum mengembang lebar di wajah gadis yang mencuri perhatiannya itu. Dan ia pun tahu, kabar yang diterima sudah pasti kabar gembira. Tentu saja kabar gembira juga untuk kantornya.

"Selamat ya, Ara. Pasti tim kalian yang keluar sebagai pemenang untuk pengadaannya."

"Alhamdulillah. Benar, Sajangnim. Terima kasih, Sajangnim. Terima kasih banyak. Mas Heru yang pegang project ini, saya hanya membantu saja."

"Membantu sampai pingsan ya? Dedikasimu memang luar biasa. Tapi..., bukan pada Heru saja kan?" Ada cemburu yang berusaha ditekan.

Lagi. Mata mereka saling beradu. Ara mengalihkan pandang terburu-buru. Yeo Joon tersenyum. Gemas.

"Oh ya, bulan depan kami akan mengirimmu selama dua minggu ke Busan."

"Siap, Sajangnim. Kwajangnim sudah memberi tahu saya Senin kemarin."

"Tapi sebelum kau ke sana, kita akan ke Jeju-do akhir pekan depan. Kau bersiaplah."

"K-kita?! Ke J-Jeju?!"

Ara tiba-tiba gugup. Episode-episode Jang Geum saat diasingkan ke pulau Jeju melintas berganti-ganti di benaknya.

Hati Ara seakan mau meledak mendengar kata Jeju. Baginya, menginjakkan kaki ke sana masih menjadi mimpi. Ia bahkan tak yakin bisa melipir ke Jeju dalam empat bulannya di Korea. Tapi apa yang baru saja ia dengar sungguh membuatnya ingin berteriak kegirangan.

Tapi tunggu..., sajangnim-nya tadi menyebut kita. Apakah itu berarti mereka akan pergi berdua? Oh, tidak!

"Emm... K-kita ya, Sajangnim?" Ara mencoba meyakinkan dirinya.

"Ya. Kita. Kita akan ke Jeju-do. Kenapa? Kau tidak suka?"

"T-tapi, pulau Jeju jauh, Sajangnim. Kita, emm... kita tidak mungkin pergi, emm... b-berdua saja, kan?"

Yeo Joon berusaha menahan tawanya melihat wajah polos Ara, tapi ia tak bisa.

"Bukan kita berdua, Ara. Yang kumaksud dengan kita adalah semua penghuni office. Kita biasa mengadakan liburan musim gugur selama tiga hari. Kali ini destinasi kita adalah Jeju-do. Jadi kita akan pergi ramai-ramai ke sana."

Seketika timbul keinginan Yeo Joon untuk menggoda Ara.

"Atau... kau ingin kita pergi berdua saja?"

Wajah Ara sontak dipenuhi rona merah. Ia malu. Sangat malu. Yang bisa dilakukannya hanya menunduk dalam-dalam, sambil tak henti merutuki diri.

Senyum lebar masih tertinggal di wajah Yeo Joon. Ia terus menyetir dan membiarkan Ara larut dalam diamnya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah gadis itu, dengan hati yang dipenuhi getar-getar tak menentu.

***

Part depan langsung ke Jeju aja yaaa.

Dan maaf, aku belum update Mendadak Ipar. Yang kangen Iqbal-Luli harap bersabar sebentar lagi.

Thank you 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top