42. TIDAK PERNAH
Berbohong dalam bentuk apa pun dan dengan tujuan tertentu juga tetap saja berbohong, bahkan demi kebaikan sekalipun. Sehingga itu artinya berbohong dalam hal dan tujuan apa pun tetap saja tidak diperkenankan.Karena ketika suatu saat kebohongan itu terungkap, maka akan ada sebuah kepercayaan yang akan lenyap.
🍭🍭🍭
"LO BUDEG, YAH? GUE TANYA LO BILANG MAKASIH KARENA HAL APA, HAH? APA YANG LO MAKSUD?"
Tepat saat Yugo sudah habis kesabaran, ia berbalik untuk membentak secara langsung pada Seiza, namun tepat saat itu pula Seiza pergi meninggalkannya
Yugo terlambat, karena pintu lift tertutup ketika Yugo membalikkan tubuhnya, hanya saja samar-samar Yugo sempat melihat wajah Seiza yang masih basah karena air mata pilu gadis itu.
Apakah Seiza akan pergi meninggalkannya untuk selamanya? Apa yang ada dipikiran gadis itu?
"Kejar, Bego!" titah Sadam keras. "Kalau lo gak kejar, jangan kaget kalau nanti terjadi apa-apa sama Seiza!" Dengan suara tinggi Sadam mengancam Yugo, berharap Yugo akan tergugah hatinya dan mengejar Seiza.
Benar saja, selang beberapa detik raut wajah Yugo berubah menjadi panic dan baru saja Yugo mau melangkahkan kaki kanannya sebuah suara mampu menghentikan niat baik itu.
"Yugo! Tolongin aku! Ini si Manda jenggut rambut aku. Yugo Tolong!"
"Gue gak akan biarin lo hidup tenang, Maura!" teriak Manda yang berhasil menjambak rambut pirang Maura.
Dengan hati gelisah akhirnya Yugo kembali masuk ke ruangan untuk menarik tubuh Maura keluar dari ruangan.
"Manda, stop!" titah Yugo dan akhirnya dengan sekali sentak, jambakan tangan Manda berhasil terlepas. "Lo ikut gue!" ucap Yugo kesal kepada Maura.
Melihat Yugo yang akhirnya justru memilih untuk melerai Maura dan Manda, Sadam mengumpat dalam hati dan akhirnya dengan perasaan kesal ia yang mengejar Seiza. Sadam berharap semoga Seiza tidak melakukan hal bodoh.
Saat sudah di pinggir jalan, Seiza menghapus air matanya yang kian mengalir deras di pipi mulusnya. Walaupun tubuhnya bergetar dan kepalanya mendadak pening, ia tak henti melangkah menjauh dari gedung kampus itu.
"Riko ...." panggil Seiza saat telepon sudah tersambung didering kedua.
"Kenapa, Kak?"
"Riko kamu pasti tau, kan, di mana Julian tinggal selama di Jakarta ini?"
"Julian? Buat apa lo tanyain tempat tinggal Julian?"
Seiza terdiam sejenak sebelum menjawab. "E-eh itu ... Maksud aku buat ... Buat jaga-jaga aja. Iya, maksud aku buat jaga-jaga."
"Jaga-jaga apaan? Lagian, kan, lo ke mana-mana pasti sama Kak Yugo, kenapa harus jaga-jaga." Sepertinya Seiza lupa kalau Riko belum tahu kenyataan pahit yang baru saja terjadi.
"Ma-maksud aku itu ... takutnya aku gak sengaja mampir ke suatu tempat yang dekat sama tempat tinggalnya Julian, kan, jadi lebih bahaya. Jaga-jaga kalau Yugo lagi gak bisa antar aku gitu. Kamu paham, kan, maksud aku?" Entah kenapa Seiza jadi tidak bisa berkata dengan sempurna, ia bingung merangkai kata karena sejatinya ia sangat amat jarang berbohong, jadi kalau ia berbohong pasti lidahnya agak berkelit.
"Ck! Ribet lo! Lagian kenapa gak lo tanya aja sama Kak Yugo. Kan, dia juga tau tempat tinggalnya Julian. Kenapa? Lo lagi ribut sama Kak Yugo?"
Gotcha!! Riko memang pintar dalam hal tebak-menebak. Namun, Seiza masih tetap harus menahan diri agar Riko tak mengetahui fakta tentang Yugo yang hanya menjadikannya objek balas dendam saja. Seiza tak mau dua pria yang selalu menjaganya itu terlibat perkelahian.
"E-eh enggak, kok. Yugo aja yang gak mau kasih tau aku. Jadi aku sengaja tanya kamu. Soalnya sekarang Yugo sering bolak-balik Jakarta Bandung, jadi aku harus bisa jaga diri."
"Ck!" Riko kembali berdecak, "Ya udah, nanti lo pergi sama gue aja kalau mau ke mana-mana. Dan lo jangan pergi sendirian, apalagi ke daerah Kemang, soalnya Julian tingal di Jasmine Residence," tutur Riko membuat Seiza menarik napas lega karena akhirnya mengetahui tempat tinggal Julian.
Setelah itu Seiza segera memesan taksi, tapi pergerakannya terhenti ketika tangan Sadam menyentuh bahunya.
"Lo mau ke mana, Za? Lo ... Gak akan lakuin hal yang macam-macam, kan?" tanya Sadam hati-hati.
Seiza tersenyum tipis lalu berucap, "Bunuh diri maksudnya Sadam?"
Seketika Sadam menjadi kikuk karena Seiza tahu maksud ucapan sebelumnya. "So-sorry, Za. Gue ...."
"Aku gak sebodoh itu, kok. Aku akan buktiin kalau ayah aku gak salah, Sadam. Sadam mau bantu aku?"
"Pasti gue bantu, kok. Ya udah sekarang kita pulang aja dulu, yah. Gue antar."
🍭🍭🍭
Yugo menarik kasar tangan Maura ke koridor sebelah ruang seni dan melepaskannya tak kalah kasar juga sampai tubuh Maura terbentur tembok.
"Tau dari mana lo tentang berita itu?" Tanpa basa-basi, Yugo langsung menanyakan pertanyaan pada intinya. Bahkan gaya bicara yang semula aku-kamu ia ganti.
Maura meraih sebelah tangan Yugo dengan sedikit bergetar, ia takut melihat aura Yugo yang benar-benar terlihat menyeramkan. "Yu-Yugo, kamu kok jadi ka-kasar gitu sih sama aku?"
"Gak usah ngelak! Cepat jawab! Dari mana lo tau tentang berita koran itu, Maura?"
Maura seketika mematung, kepalanya tertunduk dalam dan tak berani menatap wajah Yugo, mulutnya pun terkunci rapat tak sanggup berucap.
"A-ku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya.
"Apa?" Yugo benar-benar tidak bisa santai hari ini, ucapannya tak bisa dikontrol saat berbicara.
"Apa itu penting buat kamu, hah? Bukannya kamu sendiri yang bilang tadi kalau hal yang aku ucapin itu benar, terus kenapa kamu harus tanya lagi?"
Yugo memukul tembok di sebelah Maura dengan kepalan tangannya, bahkan sampai buku-buku tangannya itu memerah. "Jawab, Maura! Gue cuma butuh jawaban lo tau dari mana, bukan penjelasan kata-kata lo tadi, Bangsat!"
Maura justru menampar Yugo karena dengan beraninya berkata kasar padanya, baru kali ini ia melihat Yugo semarah ini hanya karena satu alasan, yaitu Seiza seorang gadis lemah pikir Maura.
"Berani, yah, kamu marah dan bentak aku kayak gini! Lihat apa yang bakal kamu dapat, Yugo!" Lalu setelahnya ia berlalu dari sana.
"Arrgghhh!!!" Yugo berteriak seraya memukulkan kembali kepalan tangannya pada tembok tadi. Pikirannya sangat campur aduk, ia benar-benar merasa tak tenang untuk sekedar bernapas sekarang.
Kedua mata Yugo terpejam erat, ia menjambak rambutnya sendiri menyalurkan kegelisahan yang tertanam dalam benaknya, tubuhnya ia sandarkan pada dinding dan lama-kelamaan tubuhnya merosot tak berdaya, karena seluru indra yang ia miliki kini sudah dikuasi sebuah nama, Seiza.
Karena tak kuasa menahan amarah yang kian menjadi, akhirnya Yugo memutuskan untuk segera pulang ke rumah dengan menggunakan jasa ojek online, karena sebelumnya Yugo menumpang pada mobil Arga.
Rumah yang dimaksud di sini adalah bukan rumah yang ia tempati dengan Om dan Ayahnya, melainkan rumah hasil jerih payahnya ketika sekolah, rumah yang ia beli hasil dari hadiah lomba, hadiah ranking dan hasil kumpulan uang jajannya, rumah rahasia Yugo.
Saat sudah sampai rumah rahasia itu, Yugo mengunci diri dalam kamar yang terletak di dekat tangga, kamar yang masih menjadi misteri bagi Bi Asih yang setiap hari membersihkan rumah itu. Dan ketika sudah di kamar itu, ia mengambil sesuatu dari tumpukan buku tebal yang berjudul Dasar-Dasar Teori Fisika.
Sesuatu yang ia ambil itu adalah potongan koran lama yang sama persis dengan yang gadisnya tadi tunjukkan ke dirinya.
Koran yang yang berjudul Istri Pengusaha Properti Tewas Tertembak.
Air mata Yugo seketika luruh mengingat berita itu dan memori pahitnya kembali berputar dalam ingatannya yang sedang keruh.
🍭🍭🍭
Saat Yugo mengetahui bahwa tanggal kematian ayah Seiza ternyata sama dengan tanggal kematian mamanya, dia mulai menerka-nerka apakah ini hanya kebetulan semata atau memang berkaitan?
Saat itu perang batin menggerogoti pikiran Yugo. Dalam hati kecilnya dia sangat ingin mengetahui apa penyebab sebenarnya mamanya meninggal. Namun, hatinya yang lain berkata lebih baik relakanlah, lagi pula memang itu sudah sekitar delapan tahun yang lalu.
Walaupun memang terasa ganjal, tapi pihak kepolisian memang sudah menetapkan bahwa Eva Amalia-mama Yugo, meninggal karena dibunuh, lebih tepatnya ditembak. Namun, kasus itu sudah lama ditutup karena Halim-papa Yugo tidak mau memperpanjang dan lebih memilih untuk mengikhlaskan istri tercintanya.
Sampai pada akhirnya Yugo yang memang diberkahi akal yang cerdas memilih jalan nekat dengan berusaha mencari sedikit info tentang kematian mamanya itu, sehingga ia tak menemukan kesulitan untuk meminta tanda tangan dan cap sekolah ke bagian tata usaha dengan alasan dia mendapat tugas dari Guru Bahasa Indonesia untuk mewawancarai berbagai profesi dan yang Yugo ambil adalah profesi polisi.
Berbekal koran bekas yang di dalamnya terpampang berita dari kasus sang mama, Yugo akhirnya bisa menembus kepercayaan kepada pihak polisi bahwa memang sedang dalam tugas sekolah dan mewawancarai sebuah kasus yang ditangani polisi.
"Wah ... Dik, ini kasusnya sudah lama sekali. Kamu tidak berminat membahas kasus baru?" tanya seorang polisi yang sedang diwawancarai Yugo.
"Gak apa-apa, Pak. Justru kalau kasus yang baru nanti sudah diambil teman-teman saya yang lain.."
"Kamu sampai kepikiran seperti itu, yah. Sebentar saya ambil arsip saya dulu di loker." Polisi itu berjalan menuju sebuah loker yang tiap pintunya ditempeli tahun berjalan.
Setelah berhasil mengobrak-abrik arsip tahun 2004, akhirnya dia kembali dengan membawa sebuah map berwarna hijau.
"Baiklah, hal apa yang ingin kamu tanyakan, Dik? Kita bisa mulai sekarang," ajak polisi itu.
"Sambil saya rekam boleh yah, Pak? Biar kalau saya lupa, saya bisa putar ulang nanti di rumah buat bikin resumenya." Yugo meminta izin untuk merekam pembicaraan mereka karena dia ingin mencerna lebih dalam apa saja yang dikatakan polisi tentang kasus kematian mamanya itu. Dan pak polisi pun memberi anggukan singkat..
"Apa benar kasus itu adalah pembunuhan?" tanya Yugo memulai wawancaranya.
"Iya, benar."
Baru saja pertanyaan pertama, sudah membuat Yugo panas dingin.
"Apa motif dari pembunuhan itu, Pak?"
"Berdasarkan nara sumber, karena urusan pribadi dari rumah tangga si korban."
"Korban yang bapak maksud di sini yang bernama Eva itu, kan, Pak?" Dalam hatinya Yugo bergetar menyebutkan nama mendiang mamanya.
"Iya. Ibu Eva, ibu dari anak satu dan istri dari pengusaha sukses bidang properti, Bapak Halim namanya."
Ya, benar, mereka orang tuaku, Pak. Ucap Yugo dalam hati.
"Maksud bapak karena urusan pribadi bagaimana, Pak?"
"Iya, Ibu Eva dan tersangka adalah mantan kekasih ketika mereka remaja dulu, lalu mereka berpisah dan masing-masing memiliki keluarga. Lalu entah kenapa infonya mereka bersatu kembali, atau bisa disebut selingkuh. Namun, pada akhirnya mereka bertengkar hebat sampai terjadinya pembunuhan itu. Mungkin alasannya tentang uang. Karena selama ini pekejaan tersangka serabutan dan tidak tetap, sedangkan dia harus menghidupi anak istrinya dan sebagian sumber mengatakan bahwa tersangka itu memanfaatkan korban untuk diambil uangnya"
"Selingkuh? Sudah lama?" Yugo mulai tak habis pikir kenapa mamanya bisa sampai selingkuh.
"Kalau itu saya juga kurang tau, Dik. Info yang kami terima hanya sebatas itu." Polisi itu menutup kembali berkasnya, lalu kembali berucap, "Dunia memang kejam, Dik. Ketika kamu dewasa nanti, kamu akan paham bagiamana semua ini terjadi. Tapi, untuk kasus tersebut sudah ditutup oleh pak Halim, karena pak Halim rasa percuma karena sang istri sudah meninggal."
"Kenapa ditutup begitu saja, Pak? Kata bapak tadi, pak Halim itu pengusaha yang sukses, lalu kenapa dia tidak melanjutkan kasus istrinya sampai tuntas?" Yugo mulai geram karena ayahnya tidak melanjutkan kasus itu.
"Karena almarhum ibu Eva yang memintanya."
"Bukannya ibu Eva sudah meninggal?"
"Sebelum ibu Eva meninggal dan sedang melewati masa kritisnya, dia meminta untuk tidak diperpanjang. Karena apabila diteruskan, khawatir akan berpengaruh kepada anak mereka, yang diketahui masih duduk di kelas 4 SD. Oleh karenanya, pak Halim menutup kasus tersebut agar dapat melindungi sang anak."
Mendengar penjelasan itu membuat hati Yugo teriris, perjuangan seorang ibu yang ingin melindungi anaknya dengan cara apa pun, bahkan dengan cara ketidakadilan dalam kasus kematiannya sekalipun.
"Lalu apakah tidak ada saksi dalam kasus itu, Pak?"
"Satu-satunya saksi adalah tersangkanya."
"Maksudnya?"
"Iya, satu-satunya saksi adalah tersangka yang melakukan penembakkan kepada ibu Eva, yang ternyata melakukan bunuh diri dengan menembak dirinya agar meninggalkan jejak. Tersangka ini sempat kritis juga dan ketika kami tanya, dia tidak mengaku."
"Bunuh diri?"
"Iya, pelaku tertangkap sedang sekarat dengan luka tembak. Dan tergeletak bersebelahan dengan ibu Eva dengan luka tembak di bagian bahu."
Yugo menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir kenapa bisa serumit ini.
"Lalu siapa saksi sekaligus tersangka tersebut, Pak?" tanya Yugo tak sabar ingin mengulik lebih lanjut siapa pelaku pembunuh ibunya. Dan ia harap nama tersangka yang tertulis di koran ini adalah salah.
"Namanya Haris. Haris Denardo. Seorang karyawan kontrak di salah satu percetakan." Jawab pak polisi.
"Haris? Haris Denardo?" Seketika kepala Yugo pening hebat seperti dihantam meteor untuk yang kedua kalinya, karena yang pertama adalah ketika ia membaca berita di koran itu.
Haris Denardo. Nama itu sungguh tak asing baginya. Sungguh dia mengenali nama itu. Nama yang selalu dia lihat ketika berkunjung ke rumah kekasihnya. Nama yang terukir di pinggiran piano yang sering dimainkan oleh Seiza. Ya, tidak salah lagi. Haris Denardo adalah suami dari Santi Ranaya dan ayah dari Seiza Denaya, kekasih hatinya, kekasih yang dia cintai.
🍭🍭🍭
Di dalam kamar misterius dari rumah rahasianya itu, kepala Yugo tertunduk lemah, sangat lemah, bahkan untuk mengangkatnya saja sudah tak mampu rasanya.
Punggungnya ia sandarkan pada pinggiran kasur, kakinya ia tekuk dengan sebelah tangan memegang selembar kertas koran lama itu.
Ia menilik keseluruhan isi kamar, semuanya sangat amat menyesakkan dada, karena mengingatkan kembali memori pahit yang ia harus ciptakan kala itu.
Air matanya perlahan mengaliri pipinya, ia tak bisa lagi membendung perasaan kecewa, sesal, marah, benci, bahkan sayang dan cinta.
Seluruh perasaannya berkecamuk menjadi satu mengingat memori lama itu, memori sebelum ia pergi meninggalkan kekasihnya di malam menyedihkan itu, meninggalkan Seiza dengan tangisannya, meninggalkan kisah kasih cintanya dengan orang yang sangat amat ia dambakan.
Ya! Yugo mengingatnya! Yugo mengingat semuanya! Semuanya!
Bahkan tak ada satu pun memori yang pernah hilang dari ingatannya, karena memang Yugo tidak pernah kehilangan ingatannya, Yugo tidak pernah amnesia. Tidak pernah!
.
.
.
Gimana?
Kaget?
Siapa yg dugaannya selama ini benar?🤭🤭🤭
💙💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top