1. Bujang Lapuk

-

-

Suara detak jarum jam di ujung ruangan terdengar nyaring. Bunyi gelegak air panas dari teko listrik pun bergabung dalam orchestra dari arah mini bar di dekat meja makan.

Sementara itu, satu-satunya manusia di sana justru hanya bisa diam, dan merenung dengan kelopak mata berkedip pelan beberapa kali bak pajangan lapuk. Ralat, lebih tepatnya bujangan lapuk.

Masa tubuh sedang yang dibalut kaus tanpa lengan dengan boxer di atas lutut itu, terlihat kaku seperti tanpa semangat, dan tanpa nyawa. Rambut hitam yang mulai menyentuh tengkuk mencuat tak tentu arah. senasib dengan sang rambut, wajah lelaki itu pun tampak kusut bak cucian kotor yang ditumpuk sebulan penuh.

Dari mata kosong yang terus mengerjap itu, sepasang kantung mata hitam ikut pula bergerak menyatakan eksistensi mereka.

Seolah-olah memberikan tanda jika lelaki ini sejenis makhluk nocturnal alias betah begadang. Pelan-pelan mulutnya menguap lebar lalu terkatup rapat, dengan masih tanpa ekspresi.

Semenit.

Dua menit.

Lima menit berlalu.

Suara ceklak yang keras menggema. Tanda air panas dari teko listrik sudah siap bertemu dengan pekatnya kopi pahit, sepahit kehidupannya yang itu-itu saja.

Pupil yang semula kosong milik lelaki tadi berpindah ke arah ponsel di atas meja, kala getarannya membuat benda itu terasa tremor.

Sambil beranjak dari duduk untuk membuat kopi, dia menekan tombol hijau pada benda persegi empat itu. Seketika suara sumbang nada dering yang memekakkan telinga pun langsung menghilang.

"Halo," jawab Pangeran atau biasa yang disebut Pange itu lagi-lagi menguap lebar.

"Udah di jalan," bohong Pange menuangkan isi dari teko ke dalam gelas.

"Kapan sih gue bohong. Semalem gue lembur, telat dikit boleh kali!" rutuk Pange mulai sebal, sambil menggepit ponsel di bahu kanan sementara tangan yang lain membawa kopinya yang panas ke arah meja makan.

Sambil menggaruk pipi dengan malas, dia mulai menyeruput kopi paginya pelan. "Lagian kenapa si Bule enggak sekalian bikin shift gue overnight aja dah."

"Penjajahan terselubung nih."

Mata Pange menerawang ke depan, dengan telinga pura-pura mendengar ucapan panjang lebar dari balik telepon. Setengah menyipit, dia melirik jam yang masih setia berada di angka tujuh.

"Ya udah gue tutup. Kita lanjut ngobrol di kantor aja."

Dengan enteng, Pange mulai mengunyah nasi goreng sisa semalam dengan pelan.

Namun, sesaat Pange berhenti mengunyah kala poster-poster bertuliskan Ubisoft, Rockstar, dan Gemeloft menghiasi dinding-dinding apartemen mengalihkan fokusnya. Dia tersenyum masam lantas kembali menyantap sarapan.

***

Perjalanan ke kantor sebenarnya bukanlah hal yang menyebalkan bila Jalu, motor kesayangannya, tidak masuk bengkel sejak dua hari yang lalu.

Akibat itu juga, Pange harus rela berpindah menggunakan KRL disambung kendaraan online untuk sampai ke kantor. Yang barang tentu memakan lebih banyak waktu.

Seperti sekarang, jam hampir menyentuh pukul sembilan ketika Pange sudah tiba di kantornya, NCVision Studio. Sebuah perusahaan game development yang sudah hampir tiga tahun ini membiayai uang bulanan, laundry, dan apartemen Pange. Cukup setimpal, mengingat pekerjaannya pun membutuhkan ketelitian dan waktu yang tidak sedikit.

Gesekan boots dengan lantai kayu terdengar berdecit, kala tubuhnya sudah melewati ruang resepsionis.

Sebuah area yang luas memanjang dengan puluhan layar komputer berderet di atas meja, ditambah kasak-kusuk penghuninya menyambut seluruh indra Pange.

Tenang, ini bukan ruangan warnet, meskipun terlihat demikian. Lantaran beberapa poster karakter game buatan mereka terpampang sepanjang dinding yang sengaja tidak dicat di sana. Mulai dari si cantik Arathel dari game RPG, sampai Boom Boom dari Advergame pesanan klien.

Selain itu, ada pula kutipan-kutipan nyeleneh dari beragam kalangan, yang mungkin dipajang untuk membuat buruh game di sini betah melembur, dan lebih semangat untuk bekerja. Trik yang bagus bagi para karyawan baru, tapi tidak bagi Pange.

Kepala Pange terangkat, melongok sedikit dari atas stiker buram pada ruangan kaca di belakang dinding resepsionis.

Seulas senyum tipis muncul ketika sosok perempuan berambut lurus dengan mata bulatnya, sibuk mendiskusikan sesuatu bersama beberapa tim Business and publisher line.

Sebuah tim yang bertugas bertugas mencari publisher, distributor atau klien untuk game-game mereka. Sebab fokus NCVision hanya berada di ranah development, atau simpelnya menciptakan game. Maka untuk meluncurkan game dalam sebuah platform, biasanya tim ini lah yang bekerja mencari.

Bisa dibilang, sama halnya dengan sebuah buku. Game pun butuh rumah untuk dilahirkan. Katakan saja seperti Nitendo, Chillingo atau Konami.

Kembali ke perempuan dari balik kaca. Bagaikan adegan slow motion di film-film dengan efek bokeh sebagai background, gerakan tangan perempuan itu saat meletakkan anak rambutnya ke telinga membuat dunia Pange semakin penuh warna dan--

Menyenangkan.

Segera, mulut Pange terkatup rapat. Agaknya lamunan lelaki itu makin berubah liar. Sambil bersenandung pelan, dia yang mengenakan kaus dilapisi kemeja polos biru tua itu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan di ujung kanan kantor. Walau wajah perempuan tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Yang bahkan kopi tadi pagi pun kalah telak dalam membangun mood-nya dibanding senyum Mika.

Nama perempuan itu.

Pembawaan Mika yang anggun, manis, dan cerdas, memang jelas jomplang dengan tindak tanduk dirinya. Ini juga yang jujur membuat Pange selalu berada di tempat yang sama sejak duduk di bangku kuliah.

Maju segan, mundur pun tak rela.

Bagi Pange, keberadaan Mika yang seperti ini setidaknya sudah cukup untuk membuat dia tetap betah hingga tetes darah penghabisan untuk bekerja di sini.

Senyum Pange menghilang, begitu wajah serius Damar rekan kerjanya sudah menyambut dari atas sofa di depan layar LED dengan joystick di tangan. Mata lelaki itu masih betah menatap layar meskipun tangannya sudah bergerak-gerak meminta Pange mendekat.

"Kemana aja lo baru nyampe?"

"Macet. Lo kan tahu motor gue di bengkel." Pange duduk di sebelah Damar dengan tatapan penuh perhatian mengawasi timnya yang bergerak aneh di depan layar PC. Yang rupanya tengah mengetes game kinect.

"Lo dicari Mas Fahmi," kata Damar meletakkan joystick-nya ke atas sofa.
"Tim Arcade?" tanya Pange malas.

Damar mengangguk.

Dalam hati, Pange merutuk. Ini pasti perihal reporting-nya minggu lalu. Padahal belum ada satu menit dia menjatuhkan pantatnya ke atas sofa.

"Gue samperin dulu deh," kata Pange akhirnya setelah melemparkan tas selempangnya ke atas kursi.

Hentakan suara keyboard ditambah gumaman bising para developer kembali sampai ke telinga Pange, begitu dia keluar dari ruangan.

Jumlah developer memang yang paling banyak dibanding divisi yang lain. Maklum demi target tahunan.

Lantas untuk mengefisiensi sumber daya yang membeludak pada line ini, NCVision akhirnya membagi mereka ke dalam empat tim, Arcade, RPG, Simulation, dan Strategy. Dengan masing-masing divisi memegang proyek yang berbeda-beda.

Tim dibuat bukan berdasar jenis game. Menurut Brian, CEO sekaligus bule nyasar yang mengaku kembaran George Clooney di kantornya, penamaan ini dibuat agar terlihat keren. Tidak seperti kuis cerdas cermat.

Tentunya dengan masing-masing tim memiliki empat unsur pekerjaan developer. Tim leader, game designer, game programmer, dan game writer.

Akan tetapi, di antara empat tim tadi, Pange paling malas bila berhubungan dengan developer dari tim Arcade. Bukan karena kebanyakan game mereka membosankan, dan terlalu banyak bug, tetapi ini soal Rayyan.

Designer baru tim Arcade yang terlalu arogan. Sedangkan, tim leader mereka selalu meminta tester atau QA untuk lebih mendetail dalam memeriksa game.

Perpaduan yang menyesatkan bukan? Dan siapa yang sering menjadi korban? Pangeran.

It's so sucked.

Mungkin dia kira divisi Pange cuma main-main dan terlihat paling santai. Lantaran setiap harinya mereka hanya berkutat dengan tiga buah PC dan bermain game selama delapan jam, lima hari dalam seminggu.

Padahal bila mata-mata tester di sini tidak bertaraf dewa, jangan harap game akan sempurna saat tiba di tangan gamer. Sebab ibarat pabrik, timnya lah yang menyortir dan bertugas sebagai Quality Control sebelum game rilis.

"Kenapa, Mas?" tanya Pange begitu tiba di bagian tim Arcade.

"Sorry nih Nge, gue panggil lo pagi-pagi. Gue mau tanya soal report lo di task action kemarin buat poin yang ini," jawab Fahmi dengan timnya yang sudah berkumpul di depan papan tulis besar.

Belum apa-apa sebuah lirikan mengejek dari arah Rayyan harus Pange telan bulat-bulat. Kemudian dengan cueknya lelaki itu malah mendekati PC di meja Rayyan sambil memperhatikan coretan acak pada papan tulis.

"Sebenarnya, soal Q-Q (Quick Change) mungkin udah dianggap umum di luaran. Cuma kalau dari sisi gue itu masih termasuk bug, karena dari manual pun enggak ada Quick Change* di sana," terang Pange menunjuk bagian mana saja yang menjadi bug.

"Soal Quick Change udah banyak kayaknya game FPS (First Person Shooter) yang justru jadiin ini sebagai feature, dan gamer fine-fine aja," potong Rayyan.

Praktis Pange menutup mulut rapat-rapat, dengan kesan malas langsung tampak dari wajahnya. Sementara beberapa orang dari tim Arcade saling tatap, sadar bila aroma persaingan mulai terasa.

"Itu cuma masukan dari gue sih, Mas. Selama bug mayor yang lain udah fixed gue sih no problem," kata Pange mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Dan yang paling gue concern masalah map, Mas. Even ini manfaatin Vaporware*, beberapa map baiknya jangan 70% sama. Saran aja sih."

Fahmi terlihat berpikir sambil menggerak-gerakkan game menggunakan mouse di depan layar. "Oke, nanti kita bakal diskusi bentar soal ini. Balik lagi ke bug, kalau misal ini butuh di-fixed, lo bisa cek di Trello* kalau udah kelar."

Pange mengangkat jempol kanannya.

"Cuma jadi tester, lagak udah selangit," gumam Rayyan dengan wajah sinis kepada Pange.

Pange tersenyum masam, ketika gerutuan yang terdengar seperti bisikan tadi sampai ke telinganya. Dia menghela nafas panjang dan memilih mundur lantas kembali ke ruangan QA.

"Kampret!" umpat Pange sampai-sampai Damar dan beberapa rekannya dari QA line melirik lelaki itu bingung.

Pange buru-buru menggeleng dan tersenyum masam.

***

Usai makan siang, Pange memutuskan untuk sekadar refreshing di lantai delapan belas. Gedung perkantoran yang terdiri dari dua puluh lantai ini memang memiliki balkon yang disulap sebagai taman outdoor dari lantai tiga hingga ke atas.

Perusahaan Pange yang menyewa lantai tujuh belas dan delapan belas, membuat dia dan beberapa karyawan menjadikan tempat ini sebagai pelepas lelah. Penghilang penat. Terutama baginya yang setiap hari harus menatap layar PC.

Aroma dari segelas kopi di tangan, Pange hirup dalam-dalam. Sementara terik matahari dari atas menyorot kulitnya tanpa kenal takut. Untung saja angin di sini cukup kencang berembus, membuat teriknya tak seberapa.

Bila boleh jujur, sampai detik ini emosinya masih belum reda kepada Rayyan. Bila dipikir-pikir, lelaki itu benar-benar seperti test pack, sensitif. Sangat merepotkan.

"Suntuk banget?"

Pange tersenyum lebar. Dia tahu suara siapa yang ada di belakangnya. Lelaki itu pun berbalik. Seorang perempuan dengan baju terusan pas lutut berwarna biru pastel, dan cardigan hitam yang menutupi kedua bahunya berjalan mendekat.

"Aku denger dari Damar, kamu ada masalah sama timnya Mas Fahmi?" tanya Mika duduk pada bangku kayu di depan tubuh Pange.

Lelaki itu menggeleng. "Enggak juga. Cuma bentrok biasa, antara idealisme sama deadline."

Mika terkekeh pelan. "As always ya. Aku jadi enggak enak, sebagai orang yang suka kasih deadline ke mereka, secara enggak langsung buat kamu susah."

Pange ikut tersenyum dan duduk di sebelah Mika seraya memandangi langit di atas sana. Wangi lili langsung menyerbu indra penciuman Pange sesaat kemudian.

Inilah salah satu yang membuat lelaki itu suka dengan Mika, selalu berpenampilan rapi, manis, tanpa berlebihan. Tidak seperti wanita-wanita metropolitan yang lain, penuh tambal sulam.

"Lihatin melulu," celetuk Mika tersenyum samar.

Tubuh Pange berpindah menghadap Mika, dengan senyum iseng terpasang di bibir. "Emang kenapa? Enggak boleh?"

Mika mendengkus pelan. Sesaat keduanya terdiam. Sibuk dengan suara hati masing-masing.

"Kamu enggak akan selamanya di titik ini kan, Nge?"

Kedua alis Pange menyatu. "Entah. Mungkin iya, mungkin enggak," ujar lelaki itu dengan santai.

Mika menarik nafasnya dalam.

"Kok jadi kamu yang dilema sih?" kelakar Pange sambil tertawa renyah.

"Dih, ngapain?! Males banget dilema Cuma gara-gara kamu!" ketus Mika mendorong bahu Pange membuat lelaki itu hampir terjatuh dari bangku beton.

Pange tertawa pelan dan kembali duduk di tempatnya semula pura-pura marah.

Di sisi lain, Mika memandangi Pange dari ujung rambut ke ujung kaki. Masih sama. Seperti seorang Pange yang dia kenal sejak tujuh tahun lalu, semaunya, keras kepala, dan susah ditebak.

Walaupun bulu-bulu halus di sekitar wajah lelaki itu makin nampak, sebagai tanda mereka berdua bukan lagi maba yang tidak tahu akan ke mana masa depan mereka. Seharusnya.

"Game Dazzling Dash kemarin udah fix bakal di-porting ke mobile?"

Mika mengangguk sembari merapikan rambutnya yang terkena angin. "Minggu ini kita bakal ngobrol lagi sama representasinya Chillingo."

Pange mengangguk malas. Pasalnya bila game PC di-porting alias dipindah ke media lain - yang dalam hal ini mobile - maka pastinya akan ada beberapa detail yang dirombak untuk penyesuaian. Semoga bukan tim Rayyan yang memegang proyek ini.

"Nge, kabar Tante gimana?"

"Nyokap? Sehat. Cuma kadang kalau telepon masih suka tanya-tanya kawin sih," jawab Pange menggaruk rambutnya yang tak gatal dengan tatapan jauh ke depan. "Biasa lah, Nyokap."

"Emang... kamu belum mau kepikiran ke sana?"

Pange mengedik. "Entah."

"Kenapa?"

"Maksudnya?" tanya Pange lagi sambil memasang ekspresi bingung.

"Ih, ditanya malah balik tanya. Jawab serius bisa enggak sih. Bercanda melulu!" gerutu Mika mulai kesal, bahkan kedua tangannya sudah menggantung di pinggang. "Udah ah, aku mau balik ke ruangan. Udah mau kelar makan siang. Dah."

Pange mengangguk, mengangkat tangan kanannya, dan membiarkan perempuan itu menghilang ke dalam gedung. Setelah perempuan itu benar-benar pergi, Pange menggaruk rambutnya sembari memasang wajah masam.

"Lah, emang kurang serius apalagi jawaban gue?"

***

TBC

*Quick Change : trik untuk mempercepat animasi kokang senjata. Karena dalam game FPS atau tembak-tembakan, saat menggunakan beberapa senjata terdapat animasi tambahan seperti mengokang saat reload peluru. Bagi beberapa gamer ini mengganggu serangan. Dengan menekan tombol "Q" dua kali, maka animasi ini secara otomatis akan dipercepat. Beberapa developer bilang ini bug, tapi ada yang menjadikan ini feature.

*Vaporware : Game yang tidak jadi rilis.

*Trello : Aplikasi dekstop semacam google doc. Tempat tim melakukan komunikasi dan memeriksa timeline kerja mereka.

Acuy's Note :

Semoga suka!

Anyway buat yang kepo sama game FPS, contohnya bakal aku coba share di IG story weekend ini ya. Oke!

Jangan lupa BKS (Baca, Komen & Share)✌😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top