Chapter 13: Flesh and Bones
"Hei, selamat pagi."
Sapaan ramah dan aroma sedap dari sosis panggang menjadi sambutan yang cukup menyenangkan pagi ini. Kendati demikian, dengan segala perlakuan manis yang dilakukan wanita berambut panjang yang sedang menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi itu tetap tidak bisa menghapus perasaan tidak nyaman dan emosi yang dihasilkan dari konversasi panas yang mereka lakukan semalam.
Ia masih tidak tahu bagaimana caranya bersikap di depan Freen setelah wanita itu membongkar rahasianya sebagai manusia brengsek yang mengelabui hukum dengan cara yang paling kotor setelah membunuh 9 orang dengan senjata api. Seharusnya wanita itu dicopot dari kepolisian—dengan tidak hormat, apabila bisa dibuktikan penembakan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan—dan berakhir mendekam di jeruji besi dengan hukuman penjara minimal 15 tahun.
Kalau boleh jujur, sebenarnya ia tidak merasakan apapun selama berada di dekat Freen. Bahkan setelah ia tahu bahwa ia pernah membunuh orang sebelumnya. Seharusnya ia sedikit merasa takut dan terancam, namun ia tidak merasakan hal semacam itu sekarang. Rasanya... biasa saja. Seperti ia sedang bersama dengan orang normal pada umumnya. Baiklah, ia memang masih jengkel setengah mati dengan wanita itu mengingat pertemuan pertama mereka yang meninggalkan kenangan buruk.
Akan tetapi, setelah semua yang Freen lakukan untuknya, dimulai dari merawat dan menjaganya di rumah sakit sebagai bentuk tanggung jawab, menjemputnya di fasilitas rehabilitasi untuk kesehatan jiwa, hingga membantunya di rumah sakit setelah diserang oleh orang asing, Becca merasa bahwa dinding es yang terbentang di antara mereka perlahan-lahan mulai mencair.
Tapi tetap saja Becca tidak ingin menghabiskan paginya untuk duduk dan mengobrol dengan wanita ini—pikirannya masih melayang-layang ke obrolan yang mereka lakukan semalam dan menurutnya itu tidak akan baik untuk pikirannya. Selain itu ia juga memiliki rencana untuk pulang ke rumah keluarganya dan membahas hal yang penting bersama sang ayah.
Menyadari ucapannya tidak digubris oleh Becca, Freen memberikan senyum penuh pengertian dan tetap meletakkan dua buah piring di atas meja makan dan mulai meletakkan telur serta sosis yang sudah dimasak di atasnya. "Mengapa begitu terburu-buru? Semalam kau tidak makan apapun, kan? Jadi, duduklah bersamaku dan makan bersama. Aku berani jamin masakanku tidak akan membuatmu kecewa." Freen meletakkan teflon di atas kompor konduksi dan menggunakan tisu untuk membersihkan permukaannya dari minyak.
Di belakangnya, Becca menghembuskan napas pelan. Padahal ia ingin langsung pergi, tetapi wanita berambut panjang itu berhasil menahannya dengan iming-iming satu piring makanan pagi serta segelas susu hangat. Rasanya ia nampak seperti anak enam tahun yang dapat dibohongi oleh ibunya dengan sebatang permen cokelat. Well, meskipun Becca sendiri terlihat enggan menuruti permintaan Freen untuk sarapan bersama, wanita itu tetap mengambil tempat duduk di ruang makan—berseberangan dengan kursi yang akan ditempati oleh Freen.
Tak butuh waktu lama bagi letnan muda itu untuk membereskan alat-alat masak miliknya dan bergabung dengan Becca yang masih belum menyentuh makanannya hanya untuk menunggu. Melihat itu, Freen mengulas senyum kecil. Ia tidak menyangka Becca akan menunggunya. Itu adalah perbuatan kecil yang membuatnya merasa dihargai meskipun wajah Becca terlihat terlalu datar karena minimnya ekspresi yang ia tunjukkan.
Menenggak setengah gelas air mineral, Freen mendudukkan diri di tempat duduknya. "Seharusnya kau tidak perlu menungguku. Katamu kau sedang terburu-buru, jika begini aku malah merasa bersalah karena membuatmu terlambat menyelesaikan urusanmu itu." ucapnya sembari menekan-nekan pelipisnya. "Memangnya kau mau pergi ke mana dengan leher terluka seperti itu? Jadwalmu dengan Billy masih tiga hari lagi."
Becca menggumam. "Mengapa kau bertanya? Apakah itu penting bagimu?"
"Kau ini... aku hanya takut meninggalkanmu setelah insiden yang terjadi kemarin." Freen menghela napas. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dengan rapi tanpa membuat suara dentingan. "Omong-omong polisi sudah menangkap orang yang menyabet lehermu semalam. Divisi Keamanan Lalu Lintas yang menangkapnya ketika pria itu berusaha kabur melewati jalan tol untuk ke kota lain. Ia sudah diserahkan ke tim dan Irin yang akan mengurusnya."
Mata Becca berkilat—wanita itu mendadak tertarik dengan apa yang baru saja diucapkan oleh wanita di seberangnya. Tangannya yang menggenggam alat makan pun menegang, bayangan akan dirinya yang menghajar, memukuli, menginjak, mencekik, serta menendang manusia brengsek yang mencoba membunuhnya waktu itu. Baru kali ini Becca merasa ia perlu melakukan kekerasan dalam interogasi. Biasanya ia tidak memberikan toleransi terhadap kekerasan, tapi entah mengapa selama beberapa minggu terakhir ia merasa perlu memecahkan kepala satu atau dua orang manusia demi kepentingannya sendiri.
Baiklah, sepertinya ia sudah tidak waras sekarang. Dan Becca mengakui hal itu.
"Di mana orang itu?" secepat kilat ia menyahut dan berdiri dari kursinya. Sepertinya ia akan beranjak pergi ke kantor untuk menghabisi si pelaku tanpa berpikir dua kali. Namun beruntung, Freen segera menyambar dan menarik pergelangan tangannya—memberikan wanita itu tatapan tajam dan memerintahkannya untuk kembali duduk. "Lepaskan aku, sialan. Aku tidak akan membiarkanmu menghalangiku untuk melakukan apa yang aku lakukan untuk mendapatkan informasi yang aku perlukan dari orang sinting itu."
Astaga, mengapa aku baru tahu kalau wanita ini cukup keras kepala, Freen mengeluh dalam hati tanpa melepaskan genggamannya. Becca yang merasa tak nyaman jelas segera menggerakkan tangannya dengan agak kasar agar Freen melepaskan cengkeramannya. "Kau ini masih saja tidak mengerti posisimu, ya? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa apa yang terjadi di kantor akan menjadi urusanku. Aku juga sudah berjanji bahwa aku akan membantumu, apakah itu masih belum cukup?" ia menggerutu. "Lagipula, kalau kau ingin memancing Heng, kau tidak bisa langsung datang dan menyerangnya begitu. Bukan seperti itu caranya bermain, Rebecca."
Becca menghela napas, dia benar.
Bagaimanapun juga segala sesuatu yang dilakukan dengan terburu-buru malah akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Apalagi dengan kasus semacam ini di mana ia tidak ingin kecurigaannya kepada rekan kerjanya terlalu nampak yang justru akan membuatnya kehilangan apa yang sudah ia dapatkan. Di masa-masa seperti ini, yang ia lakukan hanyalah perlu mengikuti arus permainan dan bangkit untuk menyerang apabila ia senjata yang pantas.
Sekarang, ia hanya memiliki asumsi saja. Jika ia menyerang sekarang, itu sama saja dengan membunuh dirinya sendiri.
"Baiklah," akhirnya Becca menjawab. Sembari mengusap rambutnya ke samping wajah, wanita berambut pendek itu mendengus. "aku mematuhimu begini, bukan berarti aku mempercayakan semuanya padamu. Jadi jangan pikir kau bisa melakukan semuanya tanpa sepengetahuanku."
Freen tertawa kecil. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia tampak senang dengan jawaban Becca barusan. Ditandai dari bibirnya yang membentuk senyuman tipis seakan ia telah dibuat bahagia oleh sesuatu—dan itu memang benar, karena ucapan Becca lah yang membuatnya merasa demikian. Itu adalah satu dari sekian tujuan yang sedang ingin ia capai untuk sekarang; membuat Becca memberinya kepercayaan yang ia butuhkan.
"Tentu saja, Yang Terhormat Sersan Kepala Rebecca Armstrong. Omong-omong kau masih belum menjawab pertanyaanku. Ke mana kau akan pergi hari ini?"
Sejenak, Becca membisu. Ia lebih memilih memindahkan perhatian pada minumannya ketimbang menjawab pertanyaan Freen. Diambilnya gelas berisi susu hangat yang tidak lagi mengeluarkan uap panas itu dan menenggaknya hingga habis tak bersisa, barulah setelah ia menghabiskan minumannya, Becca membuka mulut, "Ada yang mengganjal dalam hatiku, dan ini membuatku ingin menanyakan beberapa hal pada ayah."
Wanita di seberangnya lantas meletakkan alat makan yang semula ia genggam sedemikian rupa menggunakan kedua tangan di atas piring. Bunyi dentingan yang dihasilkan oleh benda berbahan dasar logam itu sempat mengejutkan Becca. Ia tersentak, dan langsung menatap lurus pada Freen. Wanita itu sendiri kini sudah membawa jari-jarinya menjadi satu dan menggunakannya sebagai pangkuan dagu, sementara kedua matanya menatap lurus pada piring kosong di depannya.
Bibir Freen terlihat gemetar, sama halnya dengan separang irisnya yang tak fokus dan cenderung bergerak-gerak liar ke beberapa arah meski Freen berusaha untuk memfokuskannya pada piring putih yang tadi ia gunakan. Khawatir akan sesuatu yang buruk terjadi pada Freen, Becca berniat untuk bertanya. Namun, entah mengapa, Freen selalu bisa mengambil waktu yang tepat untuk berkelit menjauh dan membuat Becca terpaksa membungkam mulutnya, memutuskan untuk menelan kembali semua pertanyaan yang hendak ia lontarkan.
"Sebentar, aku harus menghubungi temanku. Ini penting," ucap Freen seraya berjalan menjauh dengan menggenggam ponsel yang telah didekatkan pada telinganya. Ia tidak menunggu jawaban dari Becca dan meninggalkan wanita berambut pendek itu dengan beberapa pertanyaan untuk menghubungi atasannya di balkon.
Teman? Becca mengernyit, sekaligus ingin tahu siapa orang yang hendak dihubungi oleh Freen dan hal apa yang akan mereka bicarakan sampai-sampai ekspresi wanita itu berubah seratus delapan puluh derajat. Wajah menyebalkan dari seorang letnan sombong yang pertama kali ia tunjukkan padanya kembali muncul beberapa saat yang lalu dan sempat memantik sekelumit perasaan kesal di hatinya.
Sersan muda itu menghembuskan napas. Ia tak ingin memikirkan apapun yang Freen lakukan di balkon dan menghabiskan menit demi menitnya yang berharga dengan duduk termenung di ruang makan. Diambilnya piring-piring yang ia dan Freen gunakan, meletakkan kedua gelas mereka di tumpukan paling atas untuk dibawa ke tempat cucian piring. Freen sudah membuatkan sarapan untuknya jadi hal yang bisa ia lakukan untuk membantu adalah mencuci piring dan merapikan meja makan sebelum masuk ke kamar mandi.
Selama mencuci piring, pikirannya tidak pernah lepas dari serangkaian kalimat yang akan ia lontarkan pada sang ayah. Bisa dibilang, pikirannya benar-benar sudah kacau sekarang. Adalah sebuah kesulitan yang tidak pernah ia duga sebelumnya bahwa ia akan sukar menyusun kalimat dan membuat pertanyaan untuk mendapatkan informasi penting yang ia butuhkan. Padahal, hal semacam itu seharusnya sudah menjadi spesialisasinya mengingat ia sudah melakukan pekerjaan ini selama beberapa tahun tanpa henti.
Ia tetap mencoba menenangkan diri. Jarang sekali ia bertemu dengan keluarganya setelah menangani kasus ini—kapan terakhir kali Becca menginap di rumah orang tuanya? Mungkin sekitar enam bulan yang lalu. Dengan situasi yang ada sekarang dan pembunuh berantai yang sedang menguntitnya, Becca tidak ingin memberikan bahaya yang sama pada keluarganya sehingga ia mengurangi komunikasi intens dengan ayah, ibu, dan kakaknya.
Semua itu ia lakukan dengan berat hati. Sebagai anak bungsu, sulit sekali ia menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia sangat merindukan keluarganya. Seakan diisolasi dari dunia luar, tak memiliki tempat untuk menghangatkan diri dan menumpahkan semua keluh kesah. Ia tidak memiliki seseorang untuk menceritakan betapa takut dan gelisahnya ia ketika si pembunuh menyebutkan namanya, mengikutinya setiap waktu, menantangnya, dan membunuh orang lain hanya untuk memberikan bukti bahwa ia masih menunggunya.
Meskipun polisi sudah memberikan pengamanan khusus untuk keluarganya di kediaman mereka yang baru, Becca tetap takut semua yang ia lakukan tetap berakhir sia-sia. Cepat atau lambat, si pembunuh akan menemukan celah dan menemukan lokasi keluarganya. Jika sudah begitu, maka semuanya akan terulang dari awal. Keluarganya tidak bisa terus seperti ini—hidup berpindah-pindah dan diliputi kegelisahan, diawasi oleh beberapa pasang mata milik polisi berpakaian sipil yang ditugaskan untuk mengawasi setiap anggota keluarganya.
Menghembuskan napas, Becca menarik serbet kering dari gantungan yang ada di dekat tempat cucian piring, menggunakan kain lembut berwarna kelabu itu untuk mengeringkan kedua tangannya dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah kucuran air hangat yang mengalir deras dari shower, pikirannya kembali bergemuruh hebat. Namun kali ini, ia merasa sesuatu yang terjebak di dalam kepalanya bukanlah pikirannya sendiri.
Melainkan seperti pikiran milik orang lain, atau... jiwa milik orang lain yang merasuk dalam labirin otaknya. Becca memejamkan mata demi memperkuat keyakinannya. Karena ia bersumpah, beberapa detik yang lalu ia mendengar sesuatu dalam kepalanya berbicara selayaknya ia menggumam untuk dirinya sendiri.
Tentu saja kalian semua pernah berbicara pada diri kalian sendiri, bukan? Pada waktu itu, kalian seakan bisa mendengar suara milik kalian sendiri. Sebagai manusia normal, Becca tentu sering melakukan hal semacam itu. Akan tetapi, yang terjadi padanya beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang berbeda karena ia seratus persen yakin dirinya tidak menggumamkan kalimat semacam, "Bunuh dirimu sendiri," serta, "Ambil pistol milik Freen Sarocha dan bunuh dia sebelum dia membunuhmu,"
Dan dia datang lagi. Becca mengacak-acak rambut basahnya dengan kasar. Suara yang bukan miliknya barusan membuatnya tak betah berlama-lama di dalam kamar mandi sehingga ia buru-buru mengeringkan rambut dan tubuhnya, berganti pakaian, dan keluar dengan handuk yang melingkar di lehernya. Ia tahu apa yang akan dilihat oleh kedua matanya jika ia mengabaikan suara tersebut dan memilih tetap tinggal di kamar mandi—benar, sosok hitam menyerupai manusia akan muncul melalui celah perabotan dan berlari menembus tubuhnya dan menghilang begitu saja.
Saat ia melangkah keluar kamar mandi, suara-suara itu masih menggema di telinga. Ia pun segera mendekati Freen yang tengah berdiri di dekat meja makan dengan pandangan tertunduk ke bawah dan tangan kirinya sibuk mengetikkan pesan di ponsel. Cukup dekat, Becca menepuk lengannya dan mencoba mengajaknya berbicara, dengan tujuan agar ia bisa melupakan suara jahat yang mencoba mempengaruhinya.
Wanita itu sudah berganti pakaian—dengan celana cream dan kaus hitam. Sebuah blazer hitam tersampir di lengannya. Aroma wewangian yang ia pakai dapat dihirup oleh Becca meskipun jarak mereka terpaut cukup jauh.
"Ponselmu bisa retak jika kau menekankan ibu jarimu seperti orang gila begitu. Kau mengirim pesan pada siapa? Apa orang itu membuatmu marah?" ia bertanya dengan senyuman miring, "Tapi aku tidak terkejut. Setiap hari kau selalu terlihat marah. Jadi mungkin itu termasuk salah satu kebiasaanmu?"
Entah karena terlalu fokus dengan masalah yang sedang ia tangani sehingga ia kehilangan fokus dengan dunia nyata dan membuatnya tersentak hampir tersedak karena suara serta sentuhan Becca yang tiba-tiba muncul di sampingnya, Freen mengerang kecil dan mematikan ponselnya, kemudian memutar tubuh untuk berhadapan dengan wanita yang lebih pendek darinya.
"Sudah selesai mandi? Berikan kunci mobilmu. Aku akan mengantarmu ke rumah sebelum pergi ke kantor." ajaknya.
Becca memiringkan kepala. ia tidak ingat Freen memiliki plester luka yang menempel pada wajahnya—ah, bagaimana ia bisa lupa dengan luka cakaran yang ada di wajahnya? Plester luka itu tampaknya masih baru ditempel dan ia yakin luka cakar tersebut sudah mengering dan hanya meninggalkan bekas goresan kering berwarna gelap dan bukanlah merupakan luka terbuka yang perlu ditutupi. Ia tidak mengerti apa tujuan Freen menutupkan plester luka pada luka goresan yang sudah nyaris sembuh. Apakah ia berniat menutupi sesuatu atau bagaimana?
Namun iika diperhatikan lebih jeli lagi, terdapat noda gelap yang menempel pada plester luka yang ia pakai. Nampaknya itu darah segar yang hampir merembes keluar. Khawatir, Becca mengangkat tangan kanannya dan menyentuh sisi wajah Freen sembari berjinjit. "Ini berdarah lagi. Apa yang kau lakukan?"
"Tidak ada. Aku hanya tidak sengaja menggoresnya dengan kuku," Freen menyentuh tangan Becca dan dengan lembut melepaskan sentuhannya dari wajahnya. Ia dapat merasakan bagian wajahnya yang sempat disentuh Becca sedikit memanas dan itu membuatnya terlalu fokus sehingga ia lupa bahwa tangannya masih menyentuh jemari Becca. Freen pun segera melepaskannya dan langsung memindahkan pandangan ke arah lain. "Uh, hmm... aku—aku ingin menemui ayahmu. Jika kau bertanya-tanya mengapa aku mendadak meminta untuk mengantarmu. Lagipula, aku merasa perlu memperkenalkan diriku karena sekarang kau tinggal bersama denganku."
"Oh, kau tak perlu melakukan itu."
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri setelah ada orang yang mencoba membunuhmu di tempat terbuka. Apa yang mereka lakukan bisa lebih buruk dari sebelumnya jika mereka mau."
Ah, ya. Dia memiliki poin yang tepat.
Becca bergidik ngeri akan bayangan cipratan darah merah yang menetes-netes di trotoar dan lelehan darah kental yang membasahi serta membuat pakaiannya lengket. Ia juga masih merasakan lecutan perih luar biasa yang tiba-tiba muncul—rasanya benar-benar sakit. Ia tidak bisa mendeskripsikan lebih lanjut kecuali kalian memiliki cara untuk merasakannya sendiri (percayalah, apapun yang terjadi, kalian tidak boleh merasakan hal yang sama). Memberikan tatapan terakhir pada Freen—wanita itu sedang menunggu jawabannya—sekaligus menyadari rona kemerahan yang timbul di telinganya yang sedikit tertutupi rambut, Becca mempertimbangkan beberapa hal yang melibatkan keselamatannya hingga akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan yang cukup memperkuat alasannya untuk menerima tawaran Freen.
"Oke, kau menang," Becca beranjak dari tempatnya berdiri untuk masuk ke dalam kamar dan mengambil kunci mobilnya yang berserak di atas meja nakas. Ia memberikannya pada Freen dan wanita itu menerimanya dengan antusias. "Kau tidak perlu terlalu lama di rumahku. Cukup turunkan aku di depan pagar dan segeralah pergi ke kantor. Ada beberapa polisi yang masih stand by di dekat rumah, jadi aku akan aman."
"Singgah sebentar untuk bertemu dengan orang tuamu seharusnya tidak akan menjadi masalah," Freen tersenyum penuh arti. Wanita itu kemudian mengenakan blazernya, berjalan mendekati rak sepatu, dan duduk di lantai untuk memakai sepasang sepatu kets berwarna hitam sembari menunggu Becca berganti pakaian di dalam kamar.
Tak sampai sepuluh menit, Becca sudah selesai dengan kegiatannya dan berjalan keluar kamar untuk menemui Freen yang sudah menunggunya di depan pintu. Mobil Becca berada di area parkir basement—terakhir kali Freen memakai mobilnya untuk membawanya pulang dari rumah sakit, ia memilih area basement dengan alasan keamanan karena tempatnya yang tertutup dengan kamera pengawas di beberapa sudut.
Sehingga mereka perlu menggunakan lift untuk turun beberapa lantai lebih jauh dan keluar di area parkir basement. Sepanjang perjalanan menuju basement, Freen adalah orang yang paling aktif menjaga agar obrolan mereka tetap berjalan lancar. Ia selalu memiliki topik obrolan yang menarik dan membuat Becca tidak jenuh serta bosan menanggapi. Biasanya Becca tidak terlalu tertarik dengan obrolan panjang yang menghabiskan waktu. Tetapi ia tidak merasa seperti itu ketika mengobrol dengan Freen.
Sedikit aneh karena mereka baru saja saling kenal selama beberapa minggu dengan awal pertemuan yang meninggalkan kesan negatif, kemudian terlibat insiden beberapa kali hingga membongkar fakta bahwa Freen adalah mantan kapten dengan sepak terjang yang cukup suram di dunia kepolisian. Siapa sangka Beccca justru merasa cocok dengan wanita ini? Bahkan bisa dibilang ia mulai menganggap Freen sebagai seorang kakak yang bisa melindunginya sekaligus menjadi teman kerja yang baik.
Namun tetap saja, itu tidak bisa membuat kewaspadaan serta kecurigaan Becca terhadapnya menghilang begitu saja.
Bunyi alarm mobil terdengar dari kejauhan ketika Freen menekan tombol untuk membuka kunci mobil. Cahaya kuning yang cukup terang muncul sekilas sebelum menghilang kembali. Itu cukup memberitahu di mana keberadaan mobil Becca dan mereka berdua segera berjalan mendekat. Namun, sesuatu yang ada di dekat kap mobil membuat langkah Freen mendadak terhenti. Wanita itu merentangkan tangan kanannya, meminta Becca untuk ikut berhenti dan berdiri di belakangnya.
"Apa yang—huh?"
Freen mengernyit, sementara Becca terkejut setengah mati. Bungkusan putih dengan bercak-bercak noda gelap di dalamnya membuat tangan Becca gemetar hingga tanpa sadar ia meremas lengan Freen dan menarik wanita itu mendekat. "Benda apa itu? Kenapa ada bungkus plastik semacam itu di atas kap mobil?" desisnya, caranya berbicara menjadi agak terbata-bata karena shock.
"Rebecca, tolong pastikan tidak ada orang lain selain kita di sini," ucap Freen. Tangannya tampak masuk ke dalam saku celana, ia mengeluarkan sarung tangan karet hitam dan mengenakannya dengan lihati sembari berjalan mendekati kantung plastik misterius tersebut.
Becca tanpa mengatakan apapun langsung menyambar sebuah tongkat kayu yang tergeletak di belakang salah satu mobil yang terparkir. Ia membawanya berkeliling area parkir basement dan dengan cepat kembali mendekati Freen di dekat mobilnya. Menyandarkan tongkat kayu pada pilar beton yang kokoh, Becca memberanikan diri untuk melihat isi dari kantung plastik yang diletakkan oleh Freen di atas lantai dingin basement.
Plastik sudah dibuka dan Freen memandangnya dengan tatapan ragu. Tatapan Freen itu membuat Becca merasa bahwa ia tidak seharusnya melihat apapun benda yang tersimpan di dalam kantung tersebut. Dan benar saja, begitu sudah cukup dekat, Becca langsung mengenali aroma busuk yang langsung membuatnya mual. Bercak-bercak gelap yang tampak dari luar kantung plastik rupanya adalah bercak darah yang sudah mulai teroksidasi dan membusuk.
Di dalam plastik tersebut adalah sebuah potongan tangan busuk dengan secarik kertas yang bertuliskan kau seperti anjing yang lari dari pemiliknya dengan tinta merah dan beberapa lembar foto polaroid. Benar, foto polaroid lagi.
Jantung Becca seakan tertarik ke bawah, tenggelam masuk ke dalam lubang hitam tak nampak dan membuat jantungnya teremas-remas tak karuan di dalam sana. Guncangan emosi sekaligus rasa takut membuat tubuhnya lemas dan membeku. Dalam pikirannya hanya ada satu; kengerian absolut yang disebabkan oleh benda tak waras yang ada di depannya, sekaligus menjadi bukti bahwa psikopat itu berhasil menemukan tempat persembunyiannya yang baru.
Ditambah lagi, ancaman yang ia dapatkan menjadi semakin nyata—dan itulah yang membuatnya lebih ketakutan sekarang. Sebelumnya, si pembunuh selalu memberikan beberapa lembar polaroid dan sebuah surat. Tetapi sekarang, kedua jenis benda itu datang bersama dengan potongan tubuh manusia yang sudah busuk.
Ini... jangan katakan jika dia membunuh orang lagi, kemudian membiarkannya membusuk di suatu tempat? Becca mendesis, sedikit bergidik ngeri atas bayangan mengerikan yang mendadak muncul di kepalanya. Ia menarik ujung jaket Freen, mencoba menarik perhatian wanita itu. "Freen, kita harus bertindak." desisnya.
"Aku tahu," wanita itu menjawab. Ia segera mengikat kantung plastik itu untuk menghindari bau busuknya menyebar semakin luas. Selain itu, ia juga tidak ingin Becca melihat lebih jelas apa yang ada di dalamnya. "Aku akan membawa ini ke kantor untuk diperiksa. Mungkin... dengan ini juga kita bisa memancing Heng."
"Biarkan aku ikut denganmu!" Becca menyahut. "Aku tidak bisa diam saja sementara kepolisian sedang berjuang untuk menemukan orang sinting ini. Di sini... ada kamera pengawas. Kita bisa mulai dengan mengecek rekaman kamera pengawas untuk menemukan siapa orang yang meletakkan plastik itu di atas mobilku!"
"Sudah kubilang, serahkan semuanya padaku, Rebecca Armstrong!" Freen membalas dengan suara agak tinggi dan membuatnya tersentak kaget. Ia sendiri tampaknya juga terkejut karena tanpa sengaja mengeluarkan suara terlalu keras. Jadi ia memilih bungkam dan mengatur napasnya sejenak—memang, ia juga sedikit panik sekarang—sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, "Jangan terlalu terburu-buru dan jangan bertindak gegabah. Menurutku, ini adalah ancaman yang sebenarnya sekaligus menjadi tanda bahwa sejauh apapun kau mencoba untuk bersembunyi darinya, dia akan tetap menemukanmu. Dengan kata lain, perang yang sebenarnya sudah dimulai. Kau adalah target utama di sini, dan jika kau ingin tetap bermain tanpa membuat dirimu sendiri mati terbunuh, kau harus tetap berada di bawah tanah."
"Tidak... tidak bisa. Aku tidak bisa..."
"Hei, kau harus mempertimbangkan kondisi psikologismu. Kita masih belum tahu gangguan apa yang kau alami! Kau tidak boleh memaksa pergi keluar sana dan melihat hal-hal yang justru membuat gangguan yang kau alami menjadi semakin parah dan sulit disembuhkan! Tidak, kita tidak ingin hal semacam itu terjadi, benar?" Freen menegaskan. "Satu-satunya jalan aman jika kau masih ingin membantu adalah dengan undercover. Jangan khawatir, aku akan terus membantumu. Aku janji."
Becca menggigit bibir bagian bawahnya. Kegelisahan masih juga tak hilang dari dadanya. Perasaan itu malah terasa menggumpal menyerupai benda padat tak kasat mata yang menyumbat setiap aliran darahnya dan membuatnya ingin mencekik lehernya sendiri. Ia hampir tak bisa berpikir, akan tetapi pernyataan Freen barusan terus berputar-putar di dalam pikirannya.
Ia tidak bisa kabur dan bersembunyi lagi. Ia hanya bisa maju dan menyambut apa yang akan datang selanjutnya, termasuk membuat dirinya menjadi umpan bila perlu. Tak peduli sebesar apapun keinginannya untuk menangkap psikopat ini, ia tetap tidak bisa melakukannya secara terang-terangan selama surat izin tugas dan pistol sebagai satu-satunya alat pertahanan dirinya ditahan oleh Saint.
Waktu itu, ia sudah berada di jalan yang tepat dan hampir mendapat petunjuk. Sayangnya, ia gagal karena ada seseorang yang hampir membunuhnya.
Lagipula, bagaimana bisa psikopat itu tahu di mana ia tinggal sekarang? Apakah ada alat pelacak yang disusupkan dalam ponselnya atau salah satu penghuni apartemen ini adalah kaki tangan psikopat itu?
"Becca," suara rendah itu kembali terdengar. Wanita berambut pendek itu lantas berbalik dengan sangat berhati-hati. Lembaran surat serta bungkusan plastik berisi potongan tangan berkulit pucat masih ia genggam erat kendati tangannya bergetar hebat. Suara Freen menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap sadar. Ia berkata dengan suara rendah, cenderung memerintah sekaligus waspada, "Cepat masuk dan pergi. Kita tidak boleh berlama-lama di sini."
Perjalanan menuju rumah keluarga Armstrong rupanya menghabiskan waktu lebih lama dari estimasi waktu yang ada pada Google Maps. Ini adalah kali pertama Freen benar-benar datang ke tempat tersebut karena selama ini ia selalu melakukan pengawasan dari jauh. Siapa sangka jalan menuju ke sana lebih membingungkan dari yang ia bayangkan.
Sebelumnya, di dalam mobil, mereka sepakat untuk menyembunyikan penemuan potongan tangan dan surat ancaman baru yang Becca dapatkan dari si psikopat untuk menghindari kepanikan di Keluarga Armstrong. Cukup sulit untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa setelah apa yang terjadi, tetapi karena mereka harus selalu bersikap profesional, mau tak mau mereka perlu mengatur emosi dan raut wajah.
Freen melajukan mobil dengan kecepatan rendah dan benar-benar menghentikan mobil tepat di depan rumah besar dengan gerbang hitam tinggi yang dikelilingi oleh tembok batu yang tingginya sama. Ia memperkirakan tinggi gerbang besi dan tembok batu itu kurang lebih mencapai 10 meter. Cukup tinggi dan sepertinya juga sulit dipanjat kecuali jika menggunakan alat khusus.
Dua orang petugas keamanan keluar dari pos jaga yang di luar gerbang dan mendekati mobil. Freen menurunkan kaca jendela dan menyapa kedua petugas tersebut dengan sopan sembari menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian kepada mereka. Becca juga ikut menyapa dan sepertinya kedua petugas itu mengenalinya sehingga mereka segera diizinkan masuk tanpa melalui prosedur pemeriksaan terlebih dahulu.
Mobil diparkir di halaman, tepat di samping Porsche putih yang sepertinya baru dibersihkan. Setelah merapikan diri dan menyemprotkan parfum ke pakaian mereka sebanyak masing-masing lebih dari empat kali, mereka berdua pun keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu utama.
Tuan dan Nyonya Armstrong sepertinya sudah menunggu kedatangan mereka. Pasangan suami-istri itu kompak berdiri dari kursi ruang tamu dan ikut berjalan ke pintu utama untuk menyambut kedatangan putri bungsunya yang telah lama mereka rindukan. Nyonya Armstrong saja langsung memeluk Becca dengan erat dan hampir menangis ketika tahu kondisi putrinya yang sedang terluka di bagian leher.
Freen hanya bisa tersenyum melihat momen kehangatan keluarga itu. Ia pernah merasakannya, dulu sekali, ketika ia masih begitu kecil. Kini ia sudah lupa bagaimana rasanya berada dalam keluarga yang sempurna dan melihat momen bahagia Keluarga Armstrong di depannya sekarang berhasil membuat hatinya terenyuh.
"Letnan Satu Sarocha Chankimha. Aku personel baru yang ditugaskan di tim investigasi yang dipimpin oleh Rebecca," Freen memperkenalkan diri dengan senyuman manis di bibir. Tangan kanannya terulur, berniat memberikan jabat tangan hangat pada Tuan dan Nyonya Armstrong. "Aku sudah menunggu hari ini datang. Senang sekali bisa bertemu langsung denganmu, Tuan Armstrong. Aku tahu dari berita utama jika perusahaanmu berhasil menggaet investor dari Jepang, ya? Kabarnya orang tersebut memiliki koneksi khusus dengan direktur utama Hitsubishi."
Tuan Armstrong menjabat tangan Freen selama beberapa detik. Ia menjawab, "Oh, tidak kusangka polisi sepertimu juga mengikuti berita semacam itu. Memang benar, investor tersebut adalah adik dari direktur utama Hitsubishi. Kami sengaja menjalin kerja sama bisnis dengan mereka bukan tanpa alasan, kau tahu?" ia tertawa renyah dan Freen mengangguk-angguk paham. Tuan Armstrong kemudian membawa mereka ke ruang tamu dan memanggil beberapa orang pelayan untuk menyajikan makanan dan minuman ringan. "Terima kasih sudah menjaga Rebecca. Dia benar-benar berada dalam titik terberatnya sekarang dan aku menjadi sedikit lebih tenang karena aku tahu ada orang yang selalu menemaninya."
Freen tersenyum. Ia melirik Becca yang duduk di sampingnya sekilas sebelum menjawab, "Kami adalah rekan kerja sekaligus teman. Jadi kurasa menjaga Rebecca sudah termasuk ke dalam kewajiban yang harus aku lakukan. Lagipula, dia cukup banyak membantuku sehingga aku merasa hidupku menjadi lebih mudah saat ia ada di dekatku."
Menghela napas, Becca menyahut, "Sebenarnya, tidak. Freen yang lebih banyak membantuku. Ia memberiku izin untuk tinggal di apartemennya sementara waktu dan ia juga merawatku saat aku, uh, ya... terluka. Luka di leherku ini bisa menjadi fatal jika Freen tidak datang waktu itu."
Nyonya Armstrong menghembuskan napas berat. Pandangannya berubah sulit ketika melihat perban yang melingkar di leher putrinya. "Mereka... hampir membunuhmu. Apakah tidak ada kemajuan berarti mengenai kasus ini? Situasi sudah mencapai status darurat, sepertinya."
Empat orang pelayan datang dengan membawa makanan dan minuman yang tadi diminta. Mereka meletakkan semuanya dengan rapi di atas meja dan membungkuk sebelum pergi meninggalkan ruang tamu.
"Kami sudah menangkap orang yang menyerang Becca tempo hari dan saat ini ia sedang dimintai keterangan. Polisi yang berkhianat dan melakukan percobaan pembunuhan pada Becca juga sudah diinterogasi dan terduga kaki tangan pelaku di tim forensik juga sudah ditahan. Kasus ini melibatkan banyak orang dalam jadi kami harus berhati-hati saat menanganinya," jawab Freen. Ia berusaha menjelaskan semuanya sedetail mungkin tanpa membongkar sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia.
Becca mengangguk, "Psikopat itu menggunakan susunan huruf dari nama keluarga kita, Armstrong, untuk mencari korbannya. Semua surat-surat ancaman dan foto-foto polaroid yang ia kirim padaku menjadi cukup bukti bahwa keluarga kita memiliki sangkut paut dengan kasus ini. Oleh karena itu, aku selalu berpikir... apakah Ayah dan Ibu memiliki masalah serius yang masih belum terselesaikan dengan seseorang?"
"Sebagai pengusaha, tentu saja ada banyak orang yang menyimpan dendam pada Ayah. Tapi aku yakin mereka bukan orang yang berani membalas dendam dengan membuat serangkaian pembunuhan berantai seperti ini untuk membuat Keluarga Armstrong hancur. Aku tidak ingin membela mereka, tapi aku seratus persen yakin pelaku yang kalian cari bukan berasal dari kalangan pebisnis."
"Bahkan jika salah satu dari orang-orang yang kau curigai itu menggunakan jasa pembunuh bayaran untuk melakukan semuanya?" Freen menyela dengan pertanyaan. Ia berhasil membuat kedua alis Tuan Armstrong berkerut dalam.
Menit demi menit penuh keheningan pun terjadi setelah Freen melontarkan balasan. Tuan Armstrong tak segera memberikan jawaban karena ia tampak berpikir dalam dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Entah apa yang pikirkan, tetapi jelas sekali ia terlihat mencoba mengingat-ingat sesuatu yang sudah lama ia lupakan. Hingga akhirnya pandanganya yang semula tertuju pada gelas minuman yang ada di atas meja tiba-tiba berubah dan beralih pada wajah Freen—pria itu agak terbelalak dan terkesiap selama sepersekian detik.
Becca mungkin tidak menyadari perubahan ekspresi yang terjadi dengan sangat, sangat cepat barusan. Tetapi Freen benar-benar menyadari itu. Apapun yang diingat oleh Tuan Armstrong, pastilah sangat penting sampai ia terkejut begitu melihat wajah Freen. Hanya saja, Freen tidak mengerti apa itu.
"Well, apapun kemungkinan yang terjadi, kami memberikan seluruh kepercayaan kami pada kepolisian. Kami akan terus membantu dengan kemampuan yang kami miliki, jika memang diperlukan." Tuan Armstrong akhirnya berkata. "Omong-omong Sarocha, jika kau ingin mengonfirmasi sesuatu, aku akan meminta sekretarisku untuk mengirim informasi kontak orang-orang yang aku maksud tadi. Meskipun aku yakin mereka tidak terlibat dalam kasus ini."
Freen mengangguk mantap. Perasaan senang muncul di hatinya ketika Tuan Armstrong memberikan konfirmasi bahwa ia akan bersikap kooperatif. Dengan begitu, urusannya di sini hampir selesai. Menengok pada jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, menyadari bahwa ia memiliki hal penting yang harus dilakukan selain mengantarkan Becca dengan aman di kediamannya, Freen memutuskan untuk berdiri dan berpamitan.
Potongan tangan yang ada dalam kantong plastik itu bisa jadi semakin rusak jika dibiarkan lebih lama. Jika sudah begitu, maka ekstraksi DNA akan menjadi lebih sulit karena partikel-partikelnya menjadi agak rusak.
"Sebenarnya aku ingin berbicara banyak hal denganmu, Tuan Armstrong. Tapi aku memiliki kepentingan lain di kantor. Criminal Profiler yang bekerja sama dengan kami datang ke kantor karena kami akan membahas perkembangan kasus," ia bangkit berdiri dari tempat duduknya dengan sopan. Pandangannya kemudian tertuju pada Becca, "Ada baiknya kau tetap di sini sampai aku menjemputmu nanti malam." Freen berucap seraya merapikan lipatan-lipatan tipis pada blazernya.
"Oh, baiklah. Kau bisa membawa mobilku, kalau begitu."
Freen tersenyum tipis dan menepuk lembut bahu Becca. Wanita itu kemudian melangkah melewatinya karena ia hendak berpamitan dengan kedua orang tua Becca—sengaja meninggalkan kesan baik di depan mereka karena ia yakin mereka akan lebih sering berinteraksi lagi ke depannya. Apalagi sekarang putri bungsu mereka berada dalam satu apartemen yang sama dengannya.
"Tolong, jaga dirimu, Sarocha. Rumah kami selalu terbuka untukmu jika kau ingin mampir. Seharusnya Richard ada di sini untuk menyambutmu, tapi sayang sekali ia sedang mewakili perusahaan di Kanada." Nyonya Armstrong menarik tubuh tinggi Freen dalam pelukan singkat. Ia juga mengusap ringan punggungnya dan membuat letnan muda itu agak tersipu. "Richard adalah kakak laki-laki Becca, jika kau bertanya-tanya."
Kakak laki-laki? Oh, benar juga. Aku ingat Becca menyebut nama Richie beberapa minggu yang lalu. "Sepertinya dia orang yang sibuk, ya? Tolong sampaikan salamku padanya." Jawabnya.
Sebelum mengikuti pelayan yang akan mengantarnya hingga ke pintu utama, Freen melambaikan tangan pada Becca sekaligus mengangkat kunci mobilnya sebagai tanda bahwa ia akan membawa mobil kesayangannya itu selama beberapa jam ke depan. Becca mengangguk singkat, kemudian memperhatikan punggung Freen menjauh dari pandangannya.
"Becca, apakah kau memiliki hubungan dekat dengan wanita itu?" tepat setelah Freen menghilang di balik pintu depan yang tertutup, Tuan Armstrong bertanya. Pandangan pria itu masih tertuju pada pintu yang tidak bergerak sedikit pun.
Becca mengangguk, kendati ia agak ragu hubungannya dengan Freen bisa dibilang dekat atau tidak. Tapi mengingat mereka sudah cukup sering menghabiskan waktu bersama dan bahkan tinggal bersama dalam satu unit apartemen yang sama, ia dapat mengkategorikan hubungan mereka sudah cukup dekat untuk dianggap sebagai sebuah hubungan pertemanan.
Melihat jawaban putrinya, Tuan Armstrong menghembuskan napas kasar. "Begitu, ya?" pria itu kemudian bangkit berdiri dari kursinya dan beranjak menuju jendela, membuka sedikit tirainya untuk mengintip keluar. Mobil Becca yang semula terparkir rapi di halaman kini sudah tidak ada di tempatnya. Mobil itu hampir tidak bersuara jadi ia tidak tahu jika Freen sudah meninggalkan rumah sejak tadi.
"Ada apa? Apakah kau merasa ada sesuatu yang aneh saat bertemu dengan Freen?" Becca mencoba bertanya. "Dia memiliki aura tidak mengenakkan yang mengelilinginya. Saat pertama kali aku bertemu dengannya pun ia tidak mengatakan hal-hal yang baik dan sedikit mengintimidasiku dengan sorot mata dinginnya itu. Jadi kupikir wajar saja jika Ayah merasa tidak nyaman saat bertemu dengannya tadi."
Tuan Armstrong mendengus, "Entah mengapa, aku merasa familiar dengan wajahnya."
Becca sontak mengangkat wajah. Sama sekali tidak menduga jawaban Sang Ayah. Oke, baiklah. Itu wajar, sebab ayahnya ini sudah mulai berumur dan wajah Freen adalah tipe wajah yang sering kau jumpai di beberapa tempat di Thailand. Apakah ia perlu merasa khawatir sekarang? Tidak, 'kan? Seharusnya begitu. Namun kalimat yang Ayahnya ucapkan selanjutnya benar-benar memberikan hantaman keras dalam hatinya.
"Kurasa kau perlu sedikit berhati-hati ketika bersamanya. Aku paham betul kau merasa Freen adalah orang yang baik, tapi... aku dapat merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam dirinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top