Bab 15.2 Pertemuan
"Arion?"
Panggilan dari suara itu tidak menghentikan langkahnya. Terlalu enggan berbalik untuk sekadar memastikan, sebab belum siap jika berbalik dan ternyata gadis itu bukan Freya.
"Arion!"
Kali ini ia dipaksa berhenti. Gadis yang sedari tadi ia tarik untuk lari menjauhi kerumunan, menahan tangannya. Untung saja saat itu mereka sudah berada di tempat yang sepi, jalanan setapak yang tertutup oleh deretan rumah terbengkalai. Langit sore yang semakin mendung, seakan ikut membantu mereka bersembunyi di balik bayangan gelap.
"Benar Arion, kan?"
Perlahan Arion melepas genggamannya, lantas berbalik. Kini, ia dapat melihat wajah gadis itu dengan sangat jelas. "Freya?"
Freya langsung memeluknya; sedikit berjinjit, mengalungkan kedua lengannya pada leher Arion. "Arion. Syukurlah. Syukurlah!"
"T-tapi mereka bilang ... mereka bilang kau sudah ...," Arion bergetar.
Freya melepas pelukannya dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. Ia membelai pipi Arion lembut. Mereka saling bertatapan—menyaksikan kilat kerinduan dari mata masing-masing.
Arion tersentak karena getaran dari dalam kantong jubahnya. Ia merogoh dan memperlihatkan Kristal Dayna yang bersinar di tangannya.
"Kristal Dayna?" Freya terkejut, ia pikir tidak akan pernah menemukan kristal itu lagi. "Bukannya ini disimpan Artikius?"
Belum sempat Arion menjawab, kristal itu melayang, menjadi cahaya dan melesat masuk ke punggung tangan kanan Freya—kembali pada 'sang pewaris'. Gadis itu meringis, ketika kristal biru kecil memasuki kulitnya, lalu menghilang.
Sekarang Arion benar-benar yakin kalau gadis yang berdiri di hadapannya memang Freya. Dia membuka bibir, hendak mengucapkan sesuatu tetapi urung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan hingga tidak tahu mana yang harus dilontarkan lebih dulu, begitupun Freya yang hanya bisa diam memandang penuh rindu.
"Arion maaf ... maaf karena sudah melakukan hal jahat padamu. Aku—"
Arion meraih pipi Freya, membelai dan menuntunnya ke dalam sebuah ciuman—lumatan yang begitu dalam. Ini adalah ciuman pertama mereka. Seakan hanya dengan cara itu dapat mengungkapkan segala rasa yang menggebu. Sesuatu yang rasanya tidak mampu terungkapkan dengan kata-kata.
Terima kasih telah hidup dan bertahan hingga pertemuan ini.
Arion melepas pagutannya, tetapi enggan membuat jarak. Ia menunggu gadis itu membuka mata dan menatap langsung pada iris emasnya. Kedua kening saling bertumpu, embusan napas seakan menyatu. Hingga senyuman penuh haru mengantarkan mereka pada pelukan yang begitu erat.
Suara langkah yang mendekat mengakhiri reuni. Freya menarik Arion untuk pergi dari tempat itu, menyelinap di jalanan setapak yang sepi hingga berakhir di depan sebuah rumah kecil di pinggiran desa. Rumah sederhana yang hanya terdiri dari satu ruangan. Ada kursi dan meja kayu di bagian kanan serta sebuah ranjang di bagian kiri. Pun tidak ada hiasan lain, tampak kosong.
"Kita aman di sini," ucap Freya setelah mengunci pintu. "Ini rumah yang kami sewa beberapa hari yang lalu. Kita bisa tenang di sini."
Freya hendak berbalik untuk kembali menatap Arion, tapi pemuda itu lebih memeluknya dari belakang, membenamkan wajah pada leher sang gadis, menghirup aroma Freya layaknya candu. Seakan tengah mengobati kehampaan yang terasa selama ini.
"Kupikir, aku tak akan pernah bertemu lagi denganmu," bisik Arion dengan nada bergetar.
"Aku juga. William bilang, kau sudah—" ucapan Freya terpotong kala Arion melepas pelukan dan menuntunnya untuk berbalik.
"William. Dia mengatakan kalau kau dibunuh. Dia bilang kau sudah tidak ada!" gumam Arion.
Freya tersenyum kecut. Ia juga tidak tahu tujuan kakaknya hingga berbohong dan membuat mereka saling merasa telah kehilangan seperti ini. "Tidak. Dia ... dia meminta Dolhaf menyelamatkan kami."
Arion merosot, berlutut di hadapan Freya. Sang gadis melakukan hal yang sama. Kepala Arion tertunduk, menyandar pada bahu depan Freya. Kenyataan bahwa gadis itu masih hidup dan baik-baik saja membuat segala kelegaan menghampirinya.
"Maaf ... aku tidak ada untukmu saat kau membutuhkanku," gumam Arion.
"Tidak, aku yang salah. Aku yang seharusnya minta maaf karena mengusirmu seperti itu. Aku—"
"Aku sudah tahu. Lucya. Dia yang merusak segalanya," timpal Arion.
"Banyak hal yang telah terjadi, tapi aku senang akhirnya kita bertemu lagi." Freya berkata lembut. Tangannya membelai rambut Arion. "Grey dan Arlan pasti sangat senang jika tahu kau ada di sini."
"Di mana mereka?" tanya Arion tanpa niat mengangkat keningnya dari pundak sang gadis.
"Mereka sedang membantu warga desa yang dituduh sebagai penyihir."
"Kalian ... masih saja suka mengurusi orang lain." Arion tersenyum, ingatan tentang masa kebersamaan mereka melintas dalam benaknya.
"Ke mana saja kalian selama ini?" Arion kembali bertanya. Kali ini ia mengangkat wajah untuk memandang langsung mata cokelat Freya.
Freya menggeleng. "Banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu. Ayahanda dibunuh saat kudeta terjadi dan ... aku dibawa pergi oleh Dolhaf ke Aydril—Ah! Benar, Aydril. Tempat itu nyata."
Freya bersemangat, sementara Arion hanya tersenyum dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Aydril ... tempat yang kau cari, benar-benar ada." Freya meneteskan air mata, membelai pipi Arion. "Setelah semua kekacauan ini berakhir, kita akan ke sana bersama!"
Arion menggenggam tangan yang membelai wajahnya, menarik tangan itu ke bibir, lalu menciumnya lembut. Ia tidak peduli pada apa pun lagi, melihat Freya duduk di hadapannya dengan suara merdu yang teramat ia rindukan sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia.
Hujan mulai turun, mengguyur deras beralun gemuruh yang sesekali menggelegar. Terjadi keheningan di antara mereka. Bukan karena tidak ada yang ingin dikatakan, tapi terlalu banyak hal hingga tak tahu mana yang baiknya lebih dulu diucapkan.
"Freya ... aku ingin kita tetap seperti ini. Selamanya." Arion memecah keheningan. Kedua tangan saling bertautan, menyalurkan kehangatan.
"Ya, mulai sekarang kita akan selalu bersama!"
"Sungguh?" Arion menatap penuh harap. "Sungguh?" ulangnya.
"Tentu saja."
Mereka kembali bertatapan. Wajah saling mendekat, mengikis jarak yang memang tipis, dan ciuman itu kembali terjadi. Begitu lembut, tidak menuntut. Tangan Arion terangkat, membelai tengkuk sang gadis seraya memperdalam ciuman. Terus beringsut memerangkap Freya yang sudah tersandar pada pintu. Gemuruh menggelegar. Kilat sesekali menyambar, memberi penerangan pada ruangan itu, memperlihatkan dua insan yang sedang meluapkan sebuah rasa.
Freya membuka mata, melirik Arion yang sedang tertidur di pangkuannya. Bibirnya mengulas senyum, memperhatikan setiap lekuk wajah Arion. Tangannya terangkat, membelai rambut hitam lembut itu. Perlahan, jemarinya turun menyentuh hidung mancung sang pemuda, lalu berhenti di bibir. Seketika ia teringat pada ciuman mereka sebelumnya, membuat wajahnya memanas.
Tanpa sadar, Arion telah membuka mata dan menatapnya. "Maaf, aku membangunkanmu?" tanya Freya gelagapan. Ia menarik kembali tangannya tapi ditahan Arion.
Arion hanya diam. Menggenggam lembut tangan Freya, menaruhnya ke pipi—merasakan kehangatan sang gadis. "Tetaplah seperti ini."
Tetaplah seperti ini untuk selamanya.
Setelah sekian lama, Arion dapat tidur nyenyak. Mimpi buruk itu tidak lagi datang. Perasaan gundah, kemarahan, kebencian, semuanya meluap, membuat dadanya begitu ringan. Hidup seperti inilah yang ia inginkan. Tenang, damai, tanpa ada ancaman apa pun.
Suara ketukan pelan dari luar mengalihkan perhatian mereka. Arion segera berdiri, mengintip dari sela pintu kayu. Matanya melebar saat melihat orang yang berdiri di luar sana. Freya yang menyadari perubahan ekspresi Arion, segera mendekat dan membukakan pintu.
"Kau?" lirih Grey—jelas sekali betapa terkejutnya dia saat melihat Arion sudah berdiri di samping Freya.
Freya menarik kedua kesatrianya untuk masuk ke dalam dan kembali mengunci pintu. Kali ini, mereka berempat saling bertatapan hingga akhirnya Grey merangkul Arion dan Freya sekaligus. Sementara Arlan masih tampak ragu dan bingung, tapi Freya memaksanya untuk bergabung. Hampir setahun mereka berpisah, Tentu pertemuan kali ini adalah segalanya.
Akhirnya kita kembali bersama.
****
"Aku akan mengakhiri era penyihir." Arion berucap tegas setelah mereka menceritakan semua yang telah terjadi. Kedamaian sebenarnya akan terwujud. Selangkah lagi ia dapat hidup normal, bersama mereka.
"Bagaimana caranya?" tanya Freya.
"Melenyapkan mereka semua." Arion menjawab enteng.
Freya hendak protes tetapi urung. Ia memang pernah meminta Arion berjanji untuk tidak membunuh. Namun, setelah semua yang terjadi, apakah ia masih pantas mengingatkan tentang janji itu?
"Aku memang sudah berjanji untuk tidak membunuh," lanjut Arion seakan menjawab keraguan gadis di hadapannya itu. "Tapi ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia ini. Dunia yang kau sukai."
"Bagaimana kau akan melawan mereka semua?" Kali ini Arlan bersuara.
"Aku ... punya sekutu yang bisa menaklukkan dunia dengan genggamannya." Bersamaan dengan jawaban itu, sebuah asap hitam muncul di belakang Arion, disertai sosok Samael yang sudah berdiri menyeringai ke arah mereka.
"Apakah aku mengganggu reuni kalian?" tanya Samael berbasa-basi.
"Siapa?" Arlan mengeluarkan pedangnya—waspada.
"Dia adalah sekutu yang aku katakan," jawab Arion. "Lucifer."
"Lucifer?"
Semua mata memandang kaget ke arah Arion, berharap mereka salah dengar atau ini hanya sebuah lelucon.
"Benar. Aku Lucifer. Tapi kalian bisa memanggilku Samael." Iblis itu tersenyum ramah, menampakkan sepasang taring dari belahan bibirnya.
Mereka bertiga menarik Arion untuk menjauh dari Samael. Grey ikut mengeluarkan busurnya, sementara Freya membuat sihir pelindung. Suasana berubah tegang.
"Apa yang sudah kau lakukan pada Arion?"
"Aku tidak melakukan apa pun," Samael masih tersenyum.
"Bagaimana kau bisa bebas? Apa kau memaksa Arion untuk melakukan hal buruk?" tuding Freya.
"Tidak!" sela Arion. "Dia yang telah membantuku selama ini. Menyelamatkanku dari William dan Artikius."
Arion maju ke depan, menghadap sahabatnya. "Aku dan Samael akan mengakhiri semuanya."
"Arion, jika kau melakukannya, akan terjadi perang besar untuk kedua kalinya. Kau ... akan menjadi musuh semua penyihir. Bahkan mungkin, musuh umat manusia." Grey memperingatkan.
"Aku tahu. Aku akan menanggung semuanya."
"Kau yakin tidak di bawah pengaruh iblis itu?" celetuk Arlan.
Arion tersenyum simpul. "Rupanya kau masih bermulut tajam, " ejeknya.
"Aku sudah memikirkan ini berkali-kali. Pun telah melihat semua yang terjadi. Satu-satunya jalan untuk menciptakan perubahan adalah memusnahkan sumber kerusakan hingga ke akar. Selama penyihir masih memiliki kuasa, maka tidak akan ada yang namanya kedamaian. Sihir yang kita miliki adalah parasit yang cepat atau lambat akan menggerogoti hingga akhirnya membusuk dan merusak dunia, seperti saat ini."
"Tapi kau tidak bisa bekerja sama dengan iblis. Apalagi dia itu Lucifer!" pungkas Freya. "Dia adalah iblis yang seharusnya tidak berkeliaran di atas bumi!"
Samael hanya diam dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari bibirnya.
"Setidaknya, dia tidak akan pernah mengkhianatiku."
"Tapi ...," lirih Freya, meragu.
"Mungkin menghentikan kekacauan ini untuk sementara dapat dilakukan tanpa adanya banyak korban, tapi apakah itu akan menjamin untuk waktu yang lama?" lanjut Arion.
"Memang tidak. Tapi kau juga harus berpikir kalau tidak semua penyihir adalah orang jahat yang haus kekuasaan. Ada banyak dari mereka yang juga menginginkan hidup damai tanpa ada perpecahan atau saling menjatuhkan." Freya menentang. "Tidak ada hal baik yang akan didapat dari mengorbankan banyak nyawa."
Arion menatap lembut, tapi menyiratkan kekecewaan. Seharusnya Freya bisa mengerti setelah melihat semua yang terjadi. "Tapi sayangnya, mereka yang hanya memedulikan diri sendiri jauh lebih banyak dibandingkan orang-orang yang kau katakan itu."
"Kau sudah terlalu jauh, Arion!" timpal Grey.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top