Part 55

Keesokan pagi, Aiden datang ke apartemen sang bos sudah berpakaian baju koko putih, terpadu dengan celana kain hitam. Peci hitam pun telah bertengger di kepalanya.

Celia mengamati penampilan bodyguardnya sambil berjalan mengitari. Kedua tangan bersedekap. Menilainya dari atas sampai bawah, lalu manggut-manggut.

"Pak Ustadz Ai, manggilnya." Celia tergelak. Ternyata cukup konyol ide darinya. Seorang bodyguard bertubuh besar yang biasa menampilkan wajah datar, mau-mau saja berperan jadi orang alim. 'Untung punya aura wajah kalem,' batinnya.

"Sukses untuk kalian," ucap Nick.

Puas mengamati penampilan Aiden, Celia berdiri di samping suaminya. Ia mendongak menatap wajah lelaki itu. "Kamu juga, Sayang. Semoga berhasil mencari informasi tentang keluarga Ximon."

"Iya. Aku sudah mengabari orang kepercayaan Papa untuk membantu kita. Dia akan datang ke kantor sekarang."

Celia manggut-manggut. Kemudian, perhatian teralihkan ke Aiden dan Dante. Dante yang berperan sebagai asisten Aiden, hanya berpakaian kasual. Tetapi, lelaki itu telah menyiapkan garam kasar dan daun kelor. Entah mencari di mana.

"Oke, kita berangkat sekarang," ajak Celia. Sebelum berlalu, ia mengecup pipi dan bibir lebih dulu. "Aku pergi sekarang," ucapnya sambil menangkup sebelah pipi wajah lelaki itu.

Nick mengangguk. Ia mengambilkan helm Celia yang tergeletak di atas lemari sepatu, lantas membantu memakaikan. Kali ini istrinya tidak memakai kupluk ninja, juga membiarkan rambut panjang model french layernya tergerai.

"Hati-hati. Kalau ada apa-apa dan butuh bantuan, langsung hubungi aku, oke," peringat Nick.

"Iya, Sayang." Suara Celia terdengar tenggelam dari balik helm full face yang masih terbuka visornya. "Bye-bye, kami berangkat dulu."

Aiden membuka pintu bercat hitam, membiarkan Celia dan Dante keluar lebih dulu. Berganti Nick yang menahan pintu agar tetap terbuka, lantas memerhatikan tiga orang yang sudah berdiri di depan lift sampai menghilang dari pandangan.

***

Celia menghentikan motornya dengan jarak masih cukup jauh dari dari rumah Felix, tapi rumah bergaya eropa itu sudah terlihat dari tempatnya.

Sesaat kemudian, Aiden juga ikut menghentikan mobilnya. Ia menurunkan kaca pintu mobil sebelahnya, lantas menatap Celia.

"Sudah siap, 'kan?" tanya Celia, kepada kedua bodyguardnya.

Aiden dan Dante mengangguk.

"Oke. Kita lanjut." Celia melajukan motornya lagi dengan kecepatan rendah.

Setibanya di depan gerbang rumah Felix, ia memanggil scurity yang berjaga di pos. "Bapak, masih ingat tidak sama saya?" Suaranya terdengar ceria.

Dua scurity menghampiri. Berdiri di balik pintu gerbang berukir menjulang tinggi, lantas memerhatikan Celia dengan raut penasaran. Keningnya mengernyit.

"Saya yang beberapa hari lalu ditolong, pas jatuh di sini." Celia membuka helm, lalu menunjuk jalan tempat ia terjatuh.

"Ah, iya, Non. Saya sudah ingat sekarang."

Celia mengulas senyum lebar. Senang mendengarnya. "Bapak, saya sudah ada janji sama pemilik rumah. Boleh masuk, Pak? Tapi, saya bawa teman."

Dua scurity itu kembali mengernyit penasaran.

"Mau ada urusan apa, Non?"

"Bapak, bilang sama majikan, Bapak, saja. Kalau saya yang kemarin ke sini datang. Nanti dia akan paham."

"Baik, Non. Tunggu sebentar."

Salah satu scurity berlalu. Satunya lagi masih berdiri di balik pintu gerbang, sibuk ngobrol dengan Celia karena perempuan itu terlalu cerewet ingin tahu segala hal.

"Bapak, majikan, Bapak, ini punya anak tidak, ya? Pas aku di sini cukup lama, kayak sepi banget. Enggak ada foto anaknya juga. Kalau tidak punya anak, sayang banget, ya. Rumah sebesar ini tidak ada yang mewarisi." Sembari berbicara, pandangan Celia mengamati rumah berlantai dua itu. Lebih dominan bercat putih.

"Sebenarnya ada, Non. Tapi, karena suatu hal, Pak Felix dan Bu Gracie mengusirnya dari rumah. Dan sudah bertahun-tahun tidak pernah pulang."

Sangat jujur sekali scurity itu. Celia membatin. Lalu, pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. "Pasti anaknya badung, ya, Pak, sampai diusir dari rumah?"

Si scurity lebih mendekati Celia. Ia bersandar di pintu gerbang dengan salah satu tangan berpegangan pada besi. Sebelum berbicara, ia memerhatikan sekitar. Lalu, menatap Celia lagi, "Non, sebenarnya anaknya majikan saya itu baik. Tidak neko-neko. Tapi, dia diperkosa orang terus hamil. Karena majikan saya malu, jadi diusir dari rumah."

Celia semakin bersemangat untuk ngerumpi dengan lelaki itu. Ia pun mendekatinya dengan berdiri di hadapannya. "Waah, benarkah? Terus, terus, gimana sekarang, Pak? Apa hubungan mereka masih tidak baik?" Ia merendahkan suara.

"Saya tidak tahu. Sudah tidak pernah pulang ke sini soalnya."

Celia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Lalu, sibuk mencari sesuatu di galeri. "Saya juga punya teman perempuan, Pak. Sudah lama tidak bertemu. Ellena namanya. Padahal saya sudah kangen banget sama dia." Ia memperlihatkan foto Ellena ke scurity tersebut, yang langsung mendapat balasan keterkejutan.

"Ini sih, saya kenal, Non. Dia sering ke sini. Kadang tidur di sini juga."

"Ya ampun! Beneran?" Celia terbelalak. "Dunia memang seciut daun kelor." Ia mendesah sambil geleng-geleng. "Apa Ellena tinggal di sini, Pak? Dulu saya kenal dia pas lagi nonton konser. Terus kami dekat di sosmed. Belum sempat tukar alamat, sih."

"Nona Ellena saudara majikan saya, Non. Tapi, sudah beberapa minggu ini belum pernah ke sini lagi. Nanti kalau dia ke sini, saya sampaikan salam untuknya, ya."

"Iya, Pak. Bilang saja dari Regina gitu. Nama saya, Regina."

"Siap, Non." Scurity itu mengangguk. Lalu, menjauh dari Celia saat rekannya datang.

"Nona, Anda sudah diperbolehkan masuk," ucap scurity yang baru tiba.

"Baik, Pak." Celia tersenyum lebar. Sambil berjalan menuju motornya, ia mengedikkan dagu ke Aiden dan Dante yang sedari tadi menunggu di mobil.

Pintu gerbang dibuka. Celia mendorong motornya untuk masuk, sedangkan Aiden turun dari mobilnya yang terparkir di pinggir jalan tepat depan rumah Felix. 

Diam-diam, mereka membenarkan posisi kamera kecil yang sengaja dijadikan sebagai kancing.

Berperan sebagai ustadz, Aiden bersikap sangat alim. Ia menyambut dua scurity itu dengan menangkup kedua tangan di depan dada dan mengangguk hormat. Sedangkan, Dante sebagai sang asisten, menenteng plastik berisi garam dan daun kelor.

"Ayo." Celia melambaikan tangan kepada kedua bodyguardnya. Berpakaian seperti pertama datang, kakinya yang beralaskan sepatu boots mulai menaiki beberapa anak tangga sebelum tiba di pintu utama.

Gracie dan Felix sudah menunggunya di ruang tamu yang terdapat beberapa jenis lukisan yang terpajang di dinding, guci-guci dari keramik pun menambah kesan elegan dari ruang tamu itu. Lantas, keduanya menyambut Celia.

"Ibu, Bapak, senang bertemu dengan kalian. Ah, iya, sesuai janji saya kemarin, saya datang ke sini bersama teman saya yang bisa mengusir hantu-hantu di sini. Nanti beliau akan melakukan ruqyah rumah ini," jelas Celia. Menatap bergantian kepada sang pemilik rumah, juga kedua bodyguardnya.

"Iya, Regina." Gracie mengangguk. "Gara-gara kamu ngasih tahu ke kami, saya jadi suka merinding sekarang. Selalu kebayang-kebayang semua makhluk halus yang kamu sebutkan. Apalagi kalau teringat korban kecelakaan yang kamu bilang itu."

"Tenang. Sekarang akan kami bantu bersihkan." Celia mengulas senyum. "Bisa dimulai sekarang? Soalnya Pak Ustadz Ai ada kesibukan lain setelah dari sini."

"Ayo, mari silakan." Felix mempersilakan.

"Kami izin untuk menyambangi setiap ruangan di rumah ini, Pak, Bu," ucap Aiden, sopan.

"Iya, mari."

Kemudian, Aiden segera memainkan perannya. Ia pura-pura berdoa dengan mulut komat-kamit hanya dengan membaca Al-Fatihah. Selanjutnya, ia mulai mengayunkan kaki. Memasuki ruang keluarga dengan mulut terus komat-kamit, tasbih di tangan kanannya terus ia gerakkan memutar.

Celia, Dante, Felix, dan Gracie, yang mengikuti, hanya terdiam sambil memerhatikan.

Aiden mengelilingi pandangan ke sekitar dengan pandangan ke atas, kadang ke bawah, tampak begitu fokus dan meyakinkan.

"Kita boleh ke atas, Pak, Bu? Saya mendapat tarikan energi negatif sangat kuat dari atas," ucap Aiden.

Felix dan Gracie mengangguk mengiyakan.

"Mari." Felix mempersilakan lelaki itu untuk naik ke tangga, dan diawali dirinya.

"Bu, Pak, hati-hati lewatnya. Itu pocongnya lagi rebahan di tengah-tengah tangga." Celia asal bunyi. "Sepertinya mereka paling suka main-main di tangga, ya. Mungkin karena mudah buat gelantungan di sini, ya." Ia menepuk-nepuk railing besi berukir.

Dante dan Aiden menahan senyum mendengar ucapan ngawur Celia. Selain cerdas, Celia memang sangat pandai berakting. Mencuri perhatian orang, mendekatkan diri dengan lawan bicara, terlihat begitu mudah untuk perempuan itu.

"Kenapa kalian melototi kami seperti itu? Takut diusir ta? Aku loh, sudah bawain ustadz untuk ngusir kalian. Mampus. Mau cari tempat di mana lagi? Kalian enggak bakal bisa masuk ke sini lagi setelah sekeliling rumah ini dikasih pagar ghaib."

Semua pasang mata tertuju ke Celia yang terlihat sedang berbicara dengan seseorang dan tatapan perempuan itu tertuju ke langit-langit ruang keluarga. Sedangkan, di langit-langit itu hanya terdapat lampu kristal menggantung.

Mereka tiba di lantai atas. Masih di selasar, dan Aiden bingung harus ke arah mana lebih dulu.

"Apa di sini ada kamar kosong, Pak, Bu?" tanya Aiden, saat teringat jika Alice tidak pernah tinggal di rumah itu lagi. Dan alasannya cukup kuat jika kamar kosong itu menjadi sarang makhluk halus.

"Ada." Gracie mengangguk. Kemudian, ia mengayunkan kaki menuju kamar yang dulu ditempati Alice. Membuka pintunya, lantas menyalakan lampu dan mempersilakan Aiden masuk.

"Ini kamar anak saya. Sudah bertahun-tahun tidak ditinggali karena dia sudah meninggal," ucap Gracie.

'Meninggal? Jadi kalian benar-benar sudah tidak menganggap Alice?' batin Celia sambil ikut masuk ke dalam kamar tersebut.

Celia memerhatikan semua barang-barang yang ada di sana, terlihat masih terawat dan tertata rapi. Ia pikir, foto-foto yang dipajang di kamar itu foto Alice. Namun, yang ia lihat justru foto Ellena. Firasatnya semakin kuat jika keluarga Cooper dan Ellena memiliki hubungan erat.

Sengaja mendekati foto Ellena di dalam figura dan terpajang di atas meja, Celia mengambilnya.

"Ini anak, Ibu?" tanya Celia.

Gracie menggeleng. "Anak saudara saya. Kadang dia datang ke sini dan nginap di sini."

"Oooh." Celia manggut-manggut. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Semakin bingung apakah Alice memang benar anak dari kedua orang itu dan Ellena anak dari saudaranya?

Sementara, Aiden sibuk dengan tugasnya sendiri. Dante masih diam, memerhatikan temannya.

Cukup lama mereka di lantai atas, lalu berpindah lagi ke lantai bawah. Tujuan utamanya adalah menguak kasus kedekatan sang pemilik rumah dengan orang tua Celia.

Tidak berlama-lama Aiden melakukan ruqyah. Tindakannya seolah-olah sedang berdoa sangat khusuk. Dan detik itu juga Celia mulai berakting kerasukan.

Perempuan itu ambruk. Sesaat kemudian, menjerit-jerit, ngamuk secara brutal, dan Dante yang menahannya.

Gracie yang melihat langsung mencengkeram erat lengan suaminya. Tampak panik dan khawatir melihat Celia kerasukan setan. Apalagi ini hal pertama dalam hidupnya yang pernah ia lihat.

"Apa salahku? Apa salahku?" Celia menyerakkan suaranya, bervolume besar, dan terus belingsatan. Lalu, menggeram dengan seramnya.

"Apa salahku?" Celia berteriak lagi.

Kini, Aiden mulai menenangkan Celia, lantas mencoba berinteraksi dengannya.

"Siapa yang ada di tubuh teman saya ini?" tanya Aiden.

"Sashaaa! Sasha!"

"Kenapa Anda berada di rumah ini? Apa Anda mengenal pemilik rumah ini?" tanya Aiden lagi.

"Aaargh! Aku mengenalnya!" Celia berteriak lagi.

"Apa hubungan Anda dengan mereka?"

"Tanya mereka! Aargh! Tanya mereka!"

Gracie yang teramat sangat panik serta ketakutan, hanya bisa bersembunyi di balik tubuh suaminya.

"Bisa usir dia dari rumah saya?" pinta Gracie, sangat ketakutan.

"Tolong, keluar dari tubuh teman saya sekarang. Saya akan membantu Anda kembali ke tempat Anda yang seharusnya," pinta Aiden, kepada Celia.

Namun, Celia semakin belingsatan brutal. "Aku tidak akan pergi! Aku tidak akan pergi!" serunya dengan suara dibuat seseram mungkin.

"Mungkin di antara kalian dan orang yang ada di dalam tubuh teman saya ini, masih ada masalah yang belum terselesaikan selama beliau masih hidup, Ibu?"

"Tidak ada! Tidak ada!" Gracie menggeleng keras. "Kami berteman baik."

"JUJUUUR!" Suara Celia menggelegar. "AAARGH!" Ia semakin menggeram. Kedua tangan mencakar-cakar lantai, sedangkan mata menatap tajam Gracie dan Felix. Ia pun melepaskan diri dari tahanan Dante, lantas meloncat ke arah sepasang suami-istri itu.

Gracie yang semakin ketakutan langsung menarik suaminya. Tanpa sadar tangis pun keluar. Tubuhnya bergetar hebat.

Celia kembali menggeram menakutkan.

"Sasha, Sasha! Maafkan aku!" ucap Gracie di tengah ketakutannya. Setelahnya, ia menceritakan apa yang terjadi di antara dirinya dan Sasha.

Dengan kesadaran penuh, Celia mendengar itu. Kebenciannya semakin meradang kepada sepasang suami-istri di hadapannya. Untuk menghentikan aktingnya, ia pura-pura langsung pingsan. Tapi, demi apa pun, hatinya teramat sakit. Bak tertancap belati tajam sampai ke ulu hatinya yang terdalam.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top