Bab 31 - Malam Yang Menegangkan

   Setelah mendapat kabar dari Mbok Salmi, Arthurlangsung menuju ke rumah sakit yang tidak jauhlokasinya dari rumah. Raut panik jelas tergambar di wajah Arthur, kaki panjangnya melangkah dengan cepat sepanjang lorong rumah sakit. Dia sudah menelpon Agung tadi saat di jalan dan Agung mengatakan Malika harus dirawat.

   “Bagaimana keadaannya?” tanya Arthur kepada Agung yang duduk di depan kamar rawat inap Malika.

   “Masih belum siuman Den,” jawab Agung sedikit gugup. Dia gugup karena bingung apakah harus menceritakan kejadian tadi atau tidak?

   Menangkap gelagat Agung, Arthur memicingkan matanya curiga. “Apa ada yang tidak kamu laporkan Gung?” tanya Arthur penuh curiga.

   “Begini Den, tadi pagi Non Malika saya antar pergi memesan keramik di tempat teman saya di pinggiran kota. Di sana saat kami sedang memesan keramik tiba-tiba seorang Ibu-Ibu berteriak dari arah sungai yang terletak di belakang rumah teman saya itu,” Agung berhenti sebentar untuk mengambil napasnya.

   “Lalu apa lagi yang terjadi?” rasa penasaran dan curiga juga terlihat jelas pada raut wajah Arthur.

   “Di sungai itu terdapat mayat yang terapung,” ucap Agung yang menatap Arthur.

   “Jangan katakan bahwa Malika melihatnya!” seru Arthur penuh kekhawatiran yang kentara. Agung pun hanya bisa menganggukkan kepalanya atas seruan Arthur tersebut.

   Melihat anggukan Agung itu, Arthur langsung menerobos masuk ke kamar rawat inap Malika. Di dalam terdapat Rere yang duduk di samping ranjang menunggui Malika yang tebaring lemah. Wajah Malika telihat pucat dan hal itu membuat hati Arthurbtrasa terhantam batu yang besar.

   “Di belum siuman,” kata Rere kepada Arthur yang masih berdiri di depan ranjang Malika.

   “Dokter bilang apa?” Arthur meandangi wajah Malika dengan perasaan bersalah karena tidak dapat menjaganya dengan baik.

   “Dokter bilang dia hanya setres dan butuh istirahat,” jelas Rere.

   “Terima kasih karena sudah menggantikanku menjaganya,” ucap Arthur, dia berjalan menuju sofa yang terletak di dalam kamar itu.

   “Tidak perlu berterima kasih seperti itu, kalau kamu sibuk aku bisa menjaga Malika di sini,” Rere menatap Malika yang masih terbaring dengan damainya, “Malika akan bangun sebentar lagi, itu kta Dokte,” tambah Rere lagi.

   Arthur menghela napasnya pelan, kepalanya terasa pusing dan berat melihat kondisi Malika. “Aku yang akan menjaganya di sini, lebih baik kamu pulang bersama Agung,” ujar Arthur yakin dan juga merasa tidak tega dengan kondisi Rere yang sedang hamil.

   “Apa dirimu butuh sesuatu? Nanti aku akan menyuruh Agung untuk mengantarnya,” tawar Rere yang berdiri dari duduknya.

   “Tolong minta Mbok Salmi untuk menyiapkan pakaian gantiku dan tolong minta Agung untuk mengantarnya kemari,” pinta Arthur dan dia juga berdiri dari duduknya,mengantar Rere hingga ke depan pintu kamar.

   “Aku pulang dulu,” pamit Rere.

   “Agung hati-hati bawa mobilnya,” pesan Arthur kepada Agung.

   Saat Arthur masuk kembali ke kamar terlihat Malika sudah dalam posisi duduk dan tangan yang memegang kepalanya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Arthur yang langsung menghampiri Malika.

   “Haus ...” suara Malika terdengar serak. Arthur dengan sigap mengambilkan segelas air yang tersedia di meja samping ranjang Malika, dia juga membantu Malika minum dengan perlahan.

   “Istirahat saja lagi,” ujar Arthur saat Malika sudah selesai minum.

   “Bisa buat ranjangnya posisi duduk? Aku ingin duduk saja,” pinta Malika, suaranya masih terdengar pelan walaupun sudah tidak serak lagi.

   “Tentu,” Arthur langsung memutar stelan ranjang yang tedapat di sebelah bawah ranjang. Setelah membuat posisi ranjang menjadi duduk, dia membantu Malika mencari posisi nyaman. Arthur juga menyusun bantal untuk sandaran Malika lebih nyaman.

   “Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu sedang kerja?” tanya Malika membuka obrolan.

   “Calon suami mana yang tidak khawatir mendengar calon istrinya pingsan?” nada suara Arthur terdengar sebal dengan pertanyaan Malika.

   “Aku baik-baik saja,” Malika memberikan senyumnya yang tetap terlihat cantik wakaupun dalam keadaan lemas.

   “Kamu tidak baik-baik saja Malika, aku tahu kamu masih trauma atas kejadian beberapa waktu lalu dan tadi kamu melihat sesuatu yang membuatmu teringat kejadian itu,” bantah Arthur langsung dan tegas tidak setuju dengan kata-kata Malika bahwa dia baik-baik saja.

   “Jangan memarahi Agung yang tidak laporan,” pinta Malika dengan wajahnya yang penuh permohonan. ”Aku yang memintanya untuk tidak laporan,” tanbah Malika lagi.

   “Dia tetap saja harus diberikan peringatan Malika,” ujar Arthur tidak mengabulkan permintaan Malika.

   “Aku mohon,” Malika masih berusaha memohon dengan mengelarkan wajahnya yang lebih memohon lagi, bahkan kedua tangannya ditangkupkan di depan dadanya memohon.

   “Hah! Baiklah!” Arthur yang tidak tega akhirnya menyetujui permintaan Malika itu.

   “Terima kasih!” seru Malika yang terlihat senang.

   Lalu suasana menjadi hening, baik Malika dan Arthur sama-sama tidak berbicara. Malika sibuk dengan pikirannya yang berkelana kemana-mana, tentang seperti apa nasibnya nanti jika hidupnya saja selalu dibayangi oleh masa lalu. Sedangkan Arthur, pikirannya sedang tebagi ke pekerjaannya. Hari ini seharusnya dia pergi ke Paris untuk bertemu dengan Alena, tetapi dia tidak mungkin meninggalkan Malika.

   “Jika kamu ada pekerjaan aku tidak apa-apa sendirian,” kata Malika kepada Arthur.

   “Sebenarnya sore ini aku ada penerbangan ke Paris, aku akan bertemu dengan sepupuku di sana,” jelas Arthur yang telihat serba salah.

   “Pergilah aku baik-baik saja sendiri di sini,” Malika memberikan restunya kepada Arthur untuk pergi ke Paris.

   “Aku akan minta Agung untuk menjagamu, sebentar lagi dia akan datang mengantar baju ganti untukku,” kata Arthur akhirnya. Malika sendiri hanya mengangguk saja, jauh di dalam hatinya dia ingin Arthur tetap tinggal menjaganya. Mungkin dia terdengar sangat egois jika menyuarakan keinginannya itu.

   Setelah Agung datang dan Arthur mengganti bajunya di kamar mandi yang ada di dalam kamar inap Malika, dia langsung pergi untuk berangkat ke Paris. Malika kini sendirian di dalam kamarnya, matanya tidak bisa terpejam, otaknya sibuk berputar memikirkan tentang keberlangsungan hubungannya dengan Arthur.

   Sementara itu, Bima yang ditugaskan oleh Arthur untuk mencari informasi keberadaan Black Thompson merasa ada hal ganjil atas pencariannya. Dia sudah berusaha menghubungi Tn. Thomson yang merupakan ayah kandung Black, namun hasilnya sia-sia.

   “Tn. Thompson menjadi buronan sejak satu tahun ini?” tanya Bima kepada dirinya sendiri. Otaknya berputra menebak-nebak apa yang terjadi. “Terlibat kasus penggelapan dana, sepertinya ini bukan gaya berbisnis keluarga Thompson,” lanjut lagi Bima menganalisa.

   “Ada apa Boss?” tiba-tiba seorng laki-laki berbadan kekar dengan wajah yang bercodet di bawah mata sebelah kanannya datang bertemu Bima.

   “Aku ingin kamu dan anak buahmu mencari tahu lebih lanjut tentang keberadaan Tn. Thompson dan anaknya Black Thompson, lacak jejak mereka!” perintah Bima dengan raut wajahnya jelas terlihat sangat serius.

   “Baik dalam waktu 24 jam Boss sudah akan menerima laporan,” sanggup laki-laki berbadan kekar itu dan langsung panit begitu saja dari hadapan Bima.

   Bima bukanlah sosok orang yang dianggap remeh, namanya begitu terkenal di kalangan mafia profesional dan kelas atas. Degan koneksinya itu, Bima dapat dengan mudah menemukan informasi apa pun itu. Apa lagi menemukan orang yang menghilang, itu perkara mudah walaupun orang itu bersembunyi di lubang tikus sekali pun.

   “Josh Sujatmiko,” gumam Bima yang ingat dengan ayah tiri Blck Thompson dan juga merupakan paman Arthur. Josh sendiri diangkat Rafael Sujatmiko sebagai anaknya saat umur Josh mash 7 tahun dan ayah Arthur sendiri masih berusia 3 tahun.

   Bima langsung bergegas pergi, dia akan mencari tahu sendiri keberadaan Josh Sujatmiko. Tujuannya untuk sekarang adalah rumah kediaman Josh Sujatmiko, beberapa tahun lalu setelah meninggalnya orangtua Arthur, Josh dan Rafael bertengkar hebat dan menyebabkan Josh pindah bersama keluarganya.

   “Ada yang aneh dengan Arthur, seperti ada yang disembunyikannya tentang kejadian tiga tahun lalu,” ucap Bima sambil mengendari mobinya. “Gocha! Ini pasti berkaitan dengan meninggalnya Ibu kandung Alena,” senyum penuh kebanggaan terkembang di bibir Bima, dia yakin bahwa hal ini akan berkaitan satu sama lainnya.

   Malam sudah semakin larut, saat itu Malika ditinggal sendiri karena Agung permisi pergi membeli kopi. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sudah merecanakan hal jahat untuk keselamatan Malika. Orang itu sudah siap dengan baju perawatnya, dia juga mulai bergerak karena baru beberapa saat yang lalu orang yang menyuruhnya telah menurunkan perintahnya.

   Lorong-lorong sepi rumah sakit itu kenghantarkan orang itu menuju kamar Malika, Agung sendiri belum kembali dari pergi membeli kopi. “Pekerjaan yang sangat menyenangkan,” gumam orang itu pelan di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya.

   Malika sendiri sudah mulai tertidur akibat efek obat yang diminumnya, dia merasa bahwa rumah sakit adalah tempat yang aman. Untuk itu dia membiarkan Agung pergi membeli kopi di cafetaria rumah sakit.

   Ceklek!

   Terdengar suara pintu kamar terbuka, Malika melihat ke arah pintu kamar dan melihat seorang suster laki-laki datang dengan keranjan obat di tangannya. Tidak adanrasa curiga Malika terhadap orang tersebut. Dia hanya membiarkan orang itu masuk dan mendekat ke arahnya.

   Agung yang sadar bahwa dompetnya tertinggal di sofa di dalam kamar Malika, memilih membatalkan niatnya membeli kopi dan kembali ke tempat Malika. Tadi Agung sempat menemni Malika mengobrol sebentar. “Dasar ceroboh kamu Gung,” rutuk Agung pada dirinya sendiri.

   “Duh kok ini rumah sakit sepi banget sih,” Agung merasa ketakutan dengan keadaan rumah sakit yang mulai sepi karena parabpenghuninya sudah mulai terlelap tidur, beberapa suster terlihat berjaga-jaga di pos masing-masing.

   Agung lamgsung mempercepat langkahnya karena merasa perasaanya mulai gelisah. Langkah kakinya juga terdengar jelas menggema di sepanjang lorong rumah sakit yang sepi itu. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori Agung saat mengingat Malika yang sendirian di kamar.

   Suster laki-laki itu mulai mengeluarkan suntikan yang Malika tidak ketahui bahwa itu berisi cairan racun. “Kok suster yang sebelumya bilang yang tadi itu obat terakhir saya dan akan kembali disuntik sekitar jam 3 pagi,” ujar Malika heran. Malika juga berusaha melihat wajah suster yang tertutup masker itu.

   “Ah mungkin suster yang tadi salah memberikan informasi,” jawab suster itu yang terlihat datar-datar saja.

   “Oh begitu ya,” angguk Malika mengerti.

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top