13. The Climb

Shannon mendongak. Dia perhatikan baik-baik sisi tebing yang curam di sana. Ada satu sisi Alpena yang sekiranya bisa dilalui. Letaknya ada di sebelah barat. Sisi gunung itu memiliki kemiringan yang curam dan medan yang sulit dilewati. Hanya pemanjat tebing profesional yang mungkin bisa melewati sisi gunung ini, tetapi pemerintah Nordia melarang segala bentuk aktivitas pendakian di gunung ini agar tidak ada korban jiwa. Alasannya karena salju hampir tidak pernah berhenti turun di gunung ini dan angin di sekitar gunung ini juga kencangnya minta ampun.

Tinggi gunung Alpena sekitar 5-6 kilometer. Shannon memperkirakan gunung ini bisa dilalui selama 4-5 jam, tetapi waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama daripada itu mengingat medan yang dilalui cukup sulit. Shannon memakai tali pengaman di pinggangnya, setelah terpasang, Shannon mulai memanjat. Tangannya mencengkeram kuat dan kakinya menginjak mantap setiap bebatuan tebing yang dijadikan pijakan.

"Ah, sudah lama aku tidak memanjat seperti ini," gumamnya.

Shannon terus bergerak, dia terus memanjat sampai di ketinggian 200 meter. Sejauh ini semua berjalan lancar. Meskipun angin dingin mulai mengusiknya, dia tampak tidak terganggu sama sekali. Makin Shannon bergerak ke atas, entah kenapa dia merasa makin nyaman. Gunung ini seolah-olah memberinya sambutan hangat. Satu per satu pijakan dilewati. Bersamaan dengan itu, kepalanya terasa diisi dengan memori yang sudah dia lupakan.

Kala itu Shannon, dengan wujudnya sebagai dewi Skadi, pertama kali turun ke Maple World. Dia meniupkan udara dingin di Nordia yang penuh berkah bagi makhluk yang menghuninya. Dia memang menciptakan tanah yang tidak mudah untuk ditinggali, sebagian menganggap salju yang turun karenanya hanya bisa membawa kerusakan.

"Apa itu barusan?"

Shannon diam sejenak setelah ingatan samar-samar itu muncul. Tato di pundak kanannya terasa panas, ada panggilan telepati. Kemudian, suara Edvard masuk ke kepalanya.

Bagaimana? Kau baik-baik saja di sana?

Iya, sejauh ini semuanya lancar. Hanya saja ....

Kenapa?

Di sini bersalju, beberapa pijakan menjadi licin terlapisi es. Angin di sini juga kencang sekali, tetapi entah kenapa aku merasa nyaman melewatinya.

Oh, itu bagus.

Iya, dan ... kadang-kadang ada banyangan seperti kilasi balik saat aku pertama kali ke sini. Bukan dalam wujud manusia, tetapi sebagai dewi.

Oh, jangan khawatir. Itu hanya sedikit ingatanmu yang sudah kau lupakan karena efek hidup dengan wujud manusia. Yang lain kadang begitu juga, jadi jangan terlalu dipikirkan. Kalau ada kesulitan hubungi aku lagi.

Oke, baiklah.

Shannon memanjat lagi. Tak terasa dia sudah berada di ketinggian satu kilometer lebih. Dia berhenti sejenak, melihat ke samping kanan-kiri dan ke bawah. Sekitar 300 meter lagi ada area yang bisa dia pakai untuk istirahat. Sekitar 20 menit, Shannon sampai di area itu. Dia duduk di batu yang bagian atasnya datar dan lumayan luas. Kakinya yang bergelantungan digoyang-goyangkan dengan santai. Botol minuman dikeluarkan dari tas pinggang, Shannon pun meneguk air dari botol itu.

Shannon memejamkan mata. Dia benar-benar merasa tenang berada di sini. Satu ingatan kembali merasuki pikirannya. Kala itu, dengan wujud dewinya, dia mengulurkan tangan selagi menghadap selatan. Dari tangannya butiran kristal salju tercipta dan terbang terbawa angin. Dia mengangkat tangan, lalu tanah di depannya bergerak, membumbung tinggi ke langit. Selagi tanah itu terus bergerak ke atas, Dia naik ke salah satu batu yang ikut tergerak. Tanah itu terus membumbung menjadi gunung. Shanon, yang dalam wujud dewinya sebagai Skadi, berdiri dipuncak gunung itu. Dia mengangkat tangannya dan salju turun di puncak gunung itu.

Shannon membuka mata. Ingatan barusan terasa membuat dadanya hangat. Dia berdiri dan mendekat ke dinding bebatuan, lalu menempelkan dahinya ke sana. Shannon pun diliputi rasa rindu mendalam, seolah-olah sedang terkoneksi dengan Gunung Alpena.

Shannon mulai memanjat lagi. Makin lama dia merasa makin cepat memanjati gunung ini. Bahkan dia merasa tidak perlu tali pengaman yang harus selalu ditancapkan ke dinding gunung. Ketika Shannon berada di pijakan batu yang bisa dipakai berdiri, Shannon berhenti sejenak untuk melepas tali pengaman. Dijatuhkanlah tali itu dan dibiarkankanlah gravitasi membuatnya terus terjun ke bawah.

Shannon memanjat lagi. Kali ini dia merasa lebih bebas. Mungkin karena tali pengaman yang aga meribetkan itu sudah ditanggalkannya, atau mungkin setiap di ketinggian tertentu Shannon mengingat kembali saat-saat dia masih menjadi dewi dan berperan besar dalam penciptaan tanah Nordia. Yang manapun itu, selama itu tidak menghambatnya untuk meanjat, Shannon tidak masalah. Selama dia bisa mencapai puncak gunung ini, dia tidak akan banyak berkomentar.

Lagi-lagi Shannon mendapati ingatan yang sudah lama dia lupakan. Kali ini adalah ingatan ketika zaman awal bangsa Viking menempati tanah Nordia. Shannon memberi mereka berkah dengan menghidupi hewan-hewan yang bisa mereka buru. Shannon juga memberi mereka berkah berupa perlindungan selama mereka tinggal di tanah ini. Akhirnya, di zaman itu, para Viking mulai mempercayai keberadaan dewa-dewi Nordik. Mereka membangun kuil-kuil persembahan dan mengukir kalimat-kalimat pujian di batu, tulang hewan hasil buruan, dan di batang pohon. Penyembahan mereka berimbas pada bertambahnya kekuatan dewa-dewi Nordik.

"Ah, itu masa-masa yang indah. Aku jadi merindukan diriku saat masih dalam wujud sempurna dan dalam kekuatan penuh."

Shannon terus memanjat, sekarang dia berada di ketinggian sekitar 4 kilometer. Udara di sini makin dingin, kandungan oksigen juga makin tipis. Mski begitu, Shannon masih terus memanjat tanpa hambatan. Tangannya makin kuat mencengkeram setiap batu yang dia jadikan pegangan. Kakinya juga tidak pernah goyah saat memijak. Tubuh Shannon terasa begitu ringan setiap kali dia bergerak.

"sedikit lagi sampai, sedikit lagi sampai. Sekitar satu kilometer lagi aku sampai di puncak." Shannon bergumam menyemangati dirinya.

Shannon, di radarku menunjukkan kalau ada helikopter yang terbang ke arahmu. Sebaiknya kau sembunyi.

Itu telepati dari Viktor. Dia memang ditugasi Edvard untuk mengawasi pendakian Shannon dari jauh. Shannon langsung paham dan bergerak cepat. Di sebelah atas kanannya ada tumpukan salju yang tampak tersangkut di celah antara dua batu besar. Shannon bergerak ke sana. Dia berdiri di dekat batu itu. Kakinya menahan keseimbangan selagi memijak pada dua batu yang posisinya tidak sejajar. Shannon mengandalikan salju-salju di sekitar untuk menutupi dirinya.

Tidak lama, suara helikopter terdengar dari arah kiri Shannon. Jika didengarkan dari suaranya, tampaknya helikopter itu terbang agak jauh dari gunung. Shannon merasa lega. Sebab, dia khawatir kalau angin yang ditimbulkan dari baling-baling helikopter akan mengempaskan saju yang menutupi dirinya. Helikopter itu berlalu begitu saja. Syukurlah posisi Shannon tidak ketahuan. Kemudian, dia melanjutkan pendakian.

"Oke, aman."

Sekitar kurang dari satu jam, Shannon pun sampai di puncak Gunung Alpena. Rupanya bagian sini diberi pagar kawat, mungkin itu sebagai pengaman agar tidak ada yang jatuh dari atas sini. Shannon memanjati pagar kawat itu tanpa kesulitan, lalu dia menjatuhkan diri dan berpijak pada tanah yang tertutup salju.

Kuil yang dituju ada di depan mata. Penampakan kuil peninggalan bangsa Viking berbeda daripada kuil dari peradaban lain. Bentuk kuil itu mirip dengan long house, rumah besar yang digunakan bangsa Viking sebagai tempat tinggal pemimpin mereka. Dindingnya terbuat dari susunan kayu yang ditumpuk. Atapnya terbuat dari daun dan kulit pohon yang dikeringkang. Meski tampak sederhana, struktur bangunannya tampak kuat jika memperikirakan usia bangunan ini.

Shannon berjalan sambil menunduk. Meskipun area ini tidak ada penjaganya, Shannon tetap memutuskan untuk bergerak dengan minim suara. Pandangannya awas mengamati sekitar. Di depan, Shannon melihat pintu masuk yang dimaksud Edvard, dia bergerak cepat ke arah sana. Seperti yang dikatakan Edvard dalam pertemuan penyusunan rencana, memang benar ada celah kecil di bekas pintu masuk utama kuil ini. Shannon pun masuk, awalnya dia agak kesulitan karena kakinya sempat tersangkut. Namun, beruntung itu tidak menjadi halangan yang berarti. Begitu sudah di dalam Shannon terperangah dengan apa yang dia lihat.

"Wah, luar biasa."

¤¤¤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top