Banyu Sagara

Banyu Sagara

"Sejauh apa pun terpisahkan, tak akan mengubah kenyataan bahwa kita terlahir dari rahim yang sama"


Perceraian yang terjadi tiga tahun lalu membuat Banyu dan Sagara terpisah. Selama itu pula, mereka tak pernah berjumpa. Namun, komunikasi di antara keduanya masih cukup baik. Hanya saja karena Banyu yang memang tidak lagi berada di tanah air, melainkan tinggal di Jepang sebagai duta devisa. Selain itu, kesibukannya sebagai operator di kilang elektronik membuatnya seolah kehabisan waktu. Banyu menghentikan aktivitas makannya ketika notifikasi pesan di ponselnya berdering nyaring. Di layar tertera nama "Sagara".

[Mas Banyu kapan pulang buat jengukin kita? Udah kayak Bang Toyib beneran yang tiga kali puasa dan tiga kali lebaran nggak pernah pulang]

Banyu tersenyum pilu usai membaca pesan yang dikirim oleh sang adik. Entah itu pesan keberapa yang ia terima bulan ini dari si bungsu dengan isi yang serupa. Helaan napasnya terdengar berat seolah ada beban besar yang menyumbat saluran pernapasannya.

Pemuda 25 tahun itu membaca pesan itu berkali-kali tanpa membalas. Bukan tak mau membalas, tetapi karena tak tau harus menjawab apa. Ia tak ingin memberi harapan lagi seperti sebelumnya dan berakhir dengan mengecewakan penantian si bungsu.

[Belum tahu, Ga. semua Mas Banyu lakukan juga agar kamu bisa tetap kuliah dan buat renovasi rumah. Mas ingin kalian bisa hidup dengan layak]

Setelah berpikir cukup lama, hanya kata itu yang berhasil diketik oleh jarinya. Bukannya tak rindu Sagara dan sang ibu, tetapi ia memang tak punya pilihan lain. Pemuda itu harus mengutamakan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga. Andai sang ayah bisa diandalkan, ia tak akan sampai ke Negeri Sakura. Namun, ayahnya justru memilih menghidupi keluarga barunya dan menceraikan sang ibu dengan alasan tak sanggup lagi hidup serba pas-pasan. Hal yang membuat Banyu nekad pergi. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa lelaki tak bertanggung jawab itu, keluarganya bisa tetap hidup dengan layak.

Banyu memandangi foto di ponselnya. Ia tersenyum tipis kala mengingat momen kebersamaan bersama sang adik. Dulu, kebahagiaannya terasa begitu utuh. Namun, sekarang semuanya justru terasa berbanding terbalik. Maaf karena Mas Banyu belum bisa pulang, Ga. Mas bakal pulang tahun depan, batinnya.

Waktu terus melaju tanpa pernah berhenti sedetik pun. Tanpa terasa satu tahun kembali berlalu begitu saja. Sesuai janji Banyu pada dirinya, ia pulang ke tanah tahun ini. Kali ini, sengaja tak memberi kabar apa pun sebagai kejutan.

Banyu tiba di Bandara Adi Sucipto sekitar jam sepuluh pagi. Dari sana, ia memilih naik angkutan umum yang dilanjutkan dengan naik ojek. Tak lupa sebelumnya telah membeli oleh-oleh untuk keluarganya.

Usai turun dari ojek, Banyu tak lantas masuk. Ia berdiri cukup lama di halaman depan. Rumah di hadapannya tampak jauh lebih baik dibanding empat tahun lalu yang hanya berdinding bambu. Pemuda itu melangkah pelan, kemudian menekan bel rumah sebanyak tiga kali.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka lebar. Namun, sosok di balik pintu itu justru mematung untuk sesaat. Saat menyadari kehadiran sang kakak, ia tersenyum lebar.

"Bu, Mas Banyu pulang!"

Sagara langsung memeluk tubuh sang kakak dengan erat. Empat tahun tak berjumpa, membuatnya sangat merimdukan sang kakak. Walaupun sebelumnya, keributan di antara mereka sering kali membuat sang ibu sakit kepala.

"Mas Banyu pulang kok ngabarin dulu? Saga, kan, bisa jemput di Bandara."

"Sengaja mau bikin kejutan. Lagian Mas Banyu kangen naik bus sama ojek," Banyu terkekeh.

Perhatian Banyu beralih pada Renita yang tampak berkaca-kaca memandang ke arahnya. Ia lantas berdiri dan menghampiri sang ibu. Dikecupnya punggung tangan keriput itu dengan takzim.

"Ibu pikir udah nggak ingat kalau masih punya keluarga di kampung, Nyu," ucap Renita sembari memeluk tubuh kekar Banyu.

"Mana mungkin Banyu lupa kalau masih punya Ibu. Banyu pulang karena kangen opor buatan Ibu."

Renita melepas pelukannya, beralih mencium wajah putranya. Ia benar-benar bahagia karena bisa mendekap pemuda itu kembali.

"Ga, antar Masmu ke kamarnya biar istirahat. Ibu mau belanja dulu ke warung depan."

Sagara mengangguk, kemudian mengantar sang kakak ke kamarnya. Ia menaruh koper Banyu di dekat lemari.

"Mas, Saga mau ngucapin makasih. Makasih buat semuanya," ucap Sagara pelan.

Banyu menoleh, menatap adiknya dengan heran. Pasalnya, kedua mata Sagara tampak berkaca-kaca. Namun, tak urung mengganguk sembari tersenyum.

"Berkat kerja keras Mas Banyu, Saga bisa lanjut kuliah. Kita juga bisa renovasi rumah dan hidup tanpa kekurangan kayak dulu."

"Ga, kamu nggak perlu bilang terima kasih. Semua memang sudah menjadi tugas Mas Banyu sebagai kepala keluarga. Hanya ini yang bisa Mas Banyu perjuangkan untuk kebahagiaan kalian."

"Mas Banyu udah mengorbankan masa muda, kesempatan untuk kuliah, dan banyak hal untuk kita semua. Saga bahkan nggak bisa membalas apa-apa."

Banyu yang tadinya duduk di tepi kasur segera berdiri dan memeluk si bungsu. Entah kenapa, ia merasa sesak ketika mendengar pernyataan Sagara.

"Ga, Mas Banyu nggak pernah mengharapkan balasan apa pun. Mas Banyu ikhlas melakukan semuanya karena mengharap ridho Allah. Jadi, kamu nggak perlu mengembalikan atau membalas apa pun. Kamu belajar dengan baik dan bisa bergelar sarjana, itu sudah cukup."

"Jujur, sering kali Saga merasa bersalah karena membiarkan Mas Banyu menanggung semuanya sendirian. Mas Banyu bahkan sampai menjadi TKI demi memenuhi tanggung jawab. Saga ...."

Sagara tak sanggup melanjutkan kata-katanya, suaranya tercekat di tenggorokan. Ribuan kata yang telah ia siapkan selama empat tahun terakhir hilang begitu saja ketika berhadapan dengan sang kakak.

"Ga, menjadi TKI adalah jalan yang Allah pilihkan untuk Mas Banyu. Mas Banyu nggak pernah merasa menyesal ataupun berat ketika mengambil pilihan itu. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah."

Sagara menghapus air matanya dengan kasar, bahagia, haru, kecewa, semua menyatu dalam benaknya. Hal yang memicu air mata pemuda 22 tahun itu tumpah.

"Mas Banyu istirahat aja, Saga keluar dulu." Saga melepas pelukan sang kakak dan berbalik pergi.

Banyu mengangguk sembari tersenyum tipis, tak menyangka bahwa adiknya masih belum berubah. Meskipun terkesan manja, tetapi Sagara penuh perhatian.

Usai sang adik menghilang di balik pintu, Banyu merebahkan tubuhnya di kasur. Namun, kedua matanya enggan terpejam. Akhirnya, ia memilih duduk sembari mengedarkan pandangan. Pemuda itu tersenyum lebar karena kerja kerasnya selama ini terbayarkan.

Kamarnya yang dulu cukup sempit dengan hanya beralas tikar. Kini, tampak lebih luas dan nyaman. Lantainya pun bahkan telah dipasang keramik.

"Lantas, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top