23. Romantic Streams (4)

Tante Dara yang menjemputnya langsung dari terminal dan mengajaknya untuk tinggal sementara di rumahnya alih-alih mengantarkan ke rumah Jisoo dulu. Ada alasan mengapa dia tak mau mampir ke rumah tersebut, Tante Dara tahu ini, mungkin semua keluarganya pun tahu kalau Jisoo tak akan pernah sudi lagi untuk sekadar mampir ke rumah itu.

Dia sudah lama meninggalkan tempat itu lantas buat apa kembali berkunjung, tak peduli mau sebentar atau lama bila mampir hanya membuatnya sakit hati ada baiknya melupakan. Sudah jadi keputusannya untuk minggat dari rumah itu, dia ingin menjualnya bersama Tante Dara yang bersedia membantu tanpa perlu mengomentari keputusan sepihak anak dari sahabatnya ini. Butuh waktu lama buat rumah itu laku terjual ke orang lain mengingat beragam larangan muncul berasal dari saudara ayah yang berpikiran sempit—baginya—menurut mereka keputusan Jisoo ini terkesan amat egois, tega menjual rumah yang masih layak buat dia tinggali untuk masa depannya kelak nanti.

Mereka menduga dan tersemat ejekan pula kalau Jisoo tidak akan punya masa depan cerah jika minggat dari rumah itu; pun berpikiran dia akan tinggal di mana bila tempat tinggal satu-satunya dia jual. Semua orang ikut campur meski tahu Jisoo anak tunggal dan semua keputusan ada di tangannya sebagai pemilik rumah.

Peduli amat sama omong kosong. Mereka hanya ingin Jisoo akur tinggal berdekatan bersama keluarga kecil ayahnya yang telah sembunyi darinya bertahun-tahun, luar biasanya keluarga itu tinggal di sebrang rumah. Menyebabkan Jisoo tak sudi ke sana lagi dan tak peduli dengan tuduhan-tuduhan dari keluarga sang ayah.

Dia sudah memutuskan ini matang-matang setelah lulus kuliah nanti Jisoo akan memperbaiki segalanya. Membeli sebuah rumah utuh di suatu tempat dengan hasil dari penjualan rumah lama. Jisoo akan membawa ibu pulang, merawatnya demikian baik, mengantikan momen lama antara ibu dan anak yang sudah lama absen, dan paling penting Jisoo ingin memperbaiki segala kekurangajarannya yang mengira jika semua ketidaksempurnaan di hidupnya adalah salah ibu.

Kendati masih sulit untuk menerima bahwa sebagian banyak penyebab ayah berkhianat adalah karena perilaku ibu sendiri. Ibunya merupakan wanita perfeksionis yang berambisi kuat. Selalu mengutamakan pekerjaan dibandingkan keluarga padahal sebelum menikah bersama ayah yang sepuluh tahun lebih muda darinya—perbedaan usia di antara orang tuanya sebuah kejutan besar terutama bagi keluarga ayah yang sempat tak setuju, tapi begitu tahu jenis pekerjaan ibu mereka lalu menerima walau sekarang penerimaan itu berpaling jadi tuduhan—ibu berjanji akan lebih banyak tinggal di rumah alih-alih kantor. Ibunya punya ambisi begitu kuat hingga tak bisa memegang janjinya sendiri.

Pekerjaannya sebagai dokter kejiwaan rutin menyita hampir sebagian banyak dari perannya sebagai seorang ibu dan istri. Beliau jarang di rumah, jarang merawatnya sebagaimana peran ibu terhadap putrinya, dan selama ini memang hanya ayah-lah yang memiliki dua peran ganda. Sementara ayahnya dulu adalah pria paling setia namun tak pernah lagi semenjak ibu berpaling dan jarang memanjakannya itu.

Kedua orang tuanya tak pernah bercerai entah karena tidak menginginkan hal tersebut atau memang keduanya sama-sama tak peduli soal perceraian, toh sedari awal memang segalanya telah jadi berantakan. Ibu mulai jarang muncul ke rumah ketika umurnya 12 tahun dan ayah jarang menanyakan kabar ibu ketika Jisoo mulai tak peduli dengan absensi sang ibu di setiap momen hidupnya.

"Kalau mau jenguk ibu kamu, tinggal bilang aja sama tante, ya. Nanti tante anterin ke sana."

Jisoo sekadar mengangguk sebelum mengunci diri di kamar yang sudah dia tempatin semenjak meninggalkan rumah itu. Sementara sekarang dia ingin istirahat melepas penat akibat perjalanan kemari, sebelum nanti batinnya terluka acapkali menjenguk ibu yang sudah bukan seperti ibunya lagi.

• s h a m e l e s s •

Ibu telah melupakan segalanya bahkan dirinya sebagai putrinya yang sudah menginjak dewasa ini. Perilaku ibu kerap berubah-ubah dan itu kadang menyakiti dirinya saat beliau mendadak marah, mengomel, dan menuduh dirinya tak pernah becus dalam bekerja.

Solar—perawat ibu—sejak dulu selalu meminta dirinya supaya memaklumi perilaku sang ibu yang semakin hari semakin memprihatinkan. Namun, adakala upaya Jisoo untuk memahami keadaan ibu sia-sia belaka jika absensinya di setiap momen penting dalam hidupnya selalu muncul dan jadi momok paling menyakitkan seiring kemarahan ibu padanya.

"Anak saya umurnya baru dua belas tahun. Dia masih kecil, belum tahu apa-apa." Ibu acapkali mengocehkan hal demikian tentang dirinya yang selamanya akan beranggapan bahwa dia masih berusia 12 tahun. "Ayahnya selalu manjain anak saya, padahal saya pengen dia jadi anak mandiri."

Jisoo meremas tangannya yang kian rapuh ini, mengalirkan kerinduan begitu dalam serta kehangatan dari dirinya.

"Saya pengen masukin Jisoo ke asrama biar dia bisa mandiri, lagi-lagi ayahnya menolak. Memang begitu ayahnya sangat keras kepala, semua dia yang urus, apa-apa harus lewat izinnya, seolah saya tidak ada hak untuk campur tangan. Jisoo anak saya juga. Saya tuh pengen suatu saat dia jadi dokter, psikolog, atau psikiater—terserahlah asal bukan jadi anak yang malas-malasan, saya tidak suka anak saya begitu."

Genggamannya semakin menghangat hingga menarik perhatian sang ibu padanya.

"Didik anakmu dengan benar. Jangan terus manjakan dia," kata beliau.

"Iya, Ibu," responnya sekuat tenaga bersabar.

Lalu ibu mengoceh lagi, "Bulan depan anak saya ulang tahun. Tolong, belikan dia kue tart warna hijau seperti daun. Meskipun saya enggak suka warna hijua, demi Jisoo saya akan pura-pura suka."

Ocehannya itu lalu berganti jadi sebuah kemarahan. Mata tuanya yang sayu mulai tampak seram saat menatap dirinya seakan dia adalah orang yang paling ibu benci seumur hidup. Kalau sudah begini Jisoo akan menjauh dan memanggil Solar supaya bergegas membuatnya istirahat.

Orang-orang selalu mengira kalau ibunya sekarang gila padahal bukan. Ibu hanya sedang tidak mengingat apa-apa, memorinya itu terjebak pada saat usia Jisoo masih 12 tahun.

Solar muncul lagi dan memberitahukan kalau ibunya sudah istirahat di kamar. Jisoo berterima kasih sebelum menjenguknya lagi, kali ini dengan perasaan lega luar biasa tatkala menatap wajah damai sang ibu yang terlelap nyenyak di ranjangnya itu.

Dia mengisi kursi di samping ranjang kemudian meraup tangan dan meremasnya kuat. "Ibu pernah maafin ayah?" Jelas dia tak akan pernah tahu jawaban ini. "Kenapa ibu bisa suka ayah? Bukannya ibu tahu kalau ayah itu kurang ajar ...," dengan samar senyum tipisnya muncul, "aku ingat kalau ibu selalu menyebut ayah kurang ajar saat aku pura-pura tidur dan nggak tahu apa-apa itu."

Pikirannya lantas menerawang ke suatu tempat. Dia jadi melamun sesaat masih bersama renungannya itu. "Ibu bakal marah kalau aku misal ...." Lidahnya kelu dan kata-kata itu terkurung sementara pada keheningannya. "A—aku ... Ibu ... maafin aku ya, kalau sudah ngecewain. Maafin aku juga kalau ... kalau aku suka lelaki seperti ayah. Maafin aku ya, Bu."

Romantic streams berakhir, ini pendek sih hikss 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top