08. Hwasa
Begitu Bang Ceye pulang ke kontrakan, Taeyong langsung mendekatinya. Selain alasan ditinggal Jisoo main sama temannya dan pengen lihat keadaan mantan rumah kontrakannya, dia juga ada urusan sama Bang Ceye. Taeyong pengen minta bantuan kakak tingkatnya ini.
“Bang, pacar lo anak fakultas olahraga, kan?”
“Bukan pacar.”
“Itulah pokoknya,” lanjutnya.
Chanyeol menoleh. “Kenapa?”
“Mau minta tolong. Username Instagram dia apa? Biar gue tanya langsung aja sama anaknya.”
Satu alis Chanyeol terangkat heran. Tumben banget Taeyong nanya beginian. Bukannya dia sudah berhenti sejak punya pacar.
“Gak nomer Whastapp-nya aja?” Chanyeol justru menawarkan kontak alih-alih merapalkan username Instagram yang diminta.
“Gak perlu. Cukup username IG-nya aja. Biar gue tanya-tanya di DM.”
“Suka siapa lagi lo?”
Taeyong tersentak. Lalu buru-buru menjelaskan, “Gue lupa jelasin. Jangan salah paham dulu. Gue cuma mau minta bantuan cewek lo doang, Bang. Kebetulan doi lo anak fakultas olahraga, dan kebetulan juga cewek gue mau ambil proposal yang berhubungan sama olahraga.”
“Oh ... kirain ada yang lo taksir.”
Taeyong tertawa terbahak-bahak. Taksir cewek lain? Mungkin kalau itu dia yang dulu, dia pasti mengiyakan. Apalagi dulu dia tipe orang yang gampang naksir-naksiran cewek, lalu kalau bosan membuangnya. Dalam artian, taksir versi miliknya bukan arti sesungguhnya dari kata taksir. Seolah dia yang dulu hanya butuh cewek untuk sekadar permainan.
Sedang dia sekarang enggak punya pikiran buat balik ke masa lalunya. Di matanya kini tak ada lagi cewek yang menarik, selain miliknya yang sekarang. Taeyong sudah merasa kenyang hanya dengan memiliki Jisoo seorang sebagai kekasihnya. Perjuangannya menyakinkan Jisoo agar percaya dan mau menjadi miliknya sudah lebih dari cukup sebagai bukti kalau dia enggan lagi menjadi dirinya di masa lalu.
“Dibolehin gak?”
Chanyeol lantas menyebutkan username Rhea setelah dicek lagi didaftar following-nya.
“Thanks, Bang.”
“Yoi.”
Chanyeol cukup kagum sama Taeyong yang mau berubah demi Jisoo. Padahal, laki-laki seperti mereka ini yang tidak pernah bisa setia sama satu cewek, alias orang brengsek, paling sulit untuk berubah. Minimal effort menjadi laki-laki baik butuh biaya yang besar. Dan biaya itu termasuk menemukan perempuan yang layak menjadi belahan jiwa mereka.
Taeyong beruntung dapat menemukan orang tepat. Dibandingkan dirinya yang masih belum tahu kapan akan berubah. Kapan pula dia akan menemukan perempuan yang tepat. Atau mungkin, karena memang dialah yang enggan berubah.
“Oke. Kalau gitu gue pamit dulu.”
Mereka belum sempat ngobrol banyak, tapi Taeyong langsung pamit setelah dapat username gebetan Chanyeol. Buru-buru pergi setelah setengah jam main di kontrakan. Ada teman yang langsung menyayangkan kepulangannya dan berusaha menahannya supaya menunda jam pulangnya itu. Tentu Taeyong bersikeras kalau dia harus segera pergi.
Begitu mengatakan alasan pulangnya karena si pacar yang ternyata sudah selesai main sama temannya, mereka lalu tutup mulut. Lalu membiarkan Taeyong pulang tanpa menuntut banyak.
“Ssst. Jimin.”
Jimin menoleh ke arah Bobby yang barusan memanggilnya diam-diam.
“Mau taruhan gak?”
“Taruhan apaan?”
“Taeyong sama Jisoo,” katanya mulai berbisik pelan setelah menyeret pantatnya mendekati Jimin. “Berapa lama mereka pacaran. Gue pegang setahun deh, minimal sampai semester enam ini.”
Jimin ragu. Pasalnya Taeyong yang sekarang sulit buat dia tebak.
“Coy. Mau gak?”
“Hmm ... bingung. Tapi gue pegang sampai pertengahan semester tujuh, deh.”
“Taruhannya?”
“Duit?”
“Berapaan?”
“Sejuta?”
Bobby segera menjabat tangan Jimin. “Oke. Deal!”
• s h a m e l e s s •
Jisoo masih saja tiduran di kamar Johnny setelah sibuk mendengarkan cerita Hwasa yang belakangan sering uring-uringan enggak jelas. Sepulang kuliah tadi dia langsung ditarik Hwasa buat main ke kosannya. Mendengarkan keluh kesahnya yang lebih banyak mengeluarkan umpatan dan cacian maki buat si pacar yang enggak jelas lagi mau dia apakan itu. Setelah lelah bercerita Hwasa lalu keluar dari kamar Johnny yang mereka jadikan tempat curhat, sementara Jisoo tetap tinggal bersama Johnny yang belum lama ini balik dari kampus.
“Menurut lo mereka bakalan putus gak?”
Johnny mengidikkan bahu setengah malas.
“Sayang juga. Mereka pacaran udah cukup lama.”
“Mau lama atau pendek. Kalau cowoknya brengsek, percuma juga dipertahanin.”
“Iya, sih,” gumam Jisoo setengah melamun. “Tapi baru kali ini gue lihat Hwasa kebingungan gitu. Biasanya dia paling tahu harus bertindak apa. Sekarang dia kesannya kayak mengulur-ulur waktu, antara putusin atau enggak.”
Johnny menoleh, lalu tersenyum. “Karena dia terlanjur sayang. Orang yang sudah terlanjur sayang sama pasangannya, paling sulit buat ambil keputusan.” Dia menambahi lagi, “Walau selama ini Hwasa seperti kelihatan ogah-ogahan pacaran sama Yuta, tapi aslinya dia sayang banget.”
Jisoo juga menyadari itu selama mengamati kebersamaan antara Hwasa dan Yuta. Hubungan mereka terkesan begitu santai dan menyenangkan. Yuta yang sering melontarkan guyonan, lalu Hwasa yang sering merespon sambil berapi-api. Mereka lebih banyak santainya daripada seriusnya. Kadang-kadang saja hubungan mereka terlihat dewasa. Kalau-kalau tidak ada siapa-siapa di dekat mereka.
“Lo sama Taeyong gimana?” tanya Johnny mengalihkan lamunan Jisoo.
“Baik-baik aja kok. Malah justru semakin membaik.”
Senyuman Johnny melebar dan terkesan lega. Meski tanpa diberitahu dia bisa menebaknya sendiri hanya dengan melihat mereka bersama.
“Emang si Yuta ada masalah apa sih, sampai bikin hubungannya renggang begini?” tanya Jisoo lagi masih kepikiran masalah Hwasa.
Sampai detik ini, Jisoo masih belum tahu sumber masalah renggangnya hubungan temannya ini. Hwasa enggan memberitahu atau jangan-jangan dia belum tahu. Sementara laki-laki yang menjalin hubungan dengannya, terkesan menjauh dengan sendirinya. Di kampus bahkan mereka sulit bertemu. Seolah mereka tinggal di kampus berbeda.
Johnny menggeleng. Sebenarnya dia mencurigai sesuatu, tapi dia tidak bisa langsung bertindak tanpa bukti. Sebagai anak hukum dia membutuhkan bukti konkrit sebelum menghukum seseorang. Selain Hwasa susah bertemu Yuta di kampus, cowok itu juga terkesan membuat Johnny susah menemuinya. Kalau mereka pas-pasan di kampus, Yuta suka cepat-cepat berbalik arah berlawanan sama Johnny. Cowok itu jelas menghindarinya karena terlalu takut bertemu Johnny.
“Taeyong udah jemput,” serunya bergegas bangun dari posisi tiduran. Seraya memakai cardigan rajut dan tas kuliahnya yang tergeletak di lantai. “Gue balik dulu, John.”
“Hati-hati.”
Jisoo mengangguk. Sebelum pergi dia berhenti di depan pintu kamar Johnny. Tiba-tiba terpikirkan sesuatu. “John,” panggilnya pelan.
“Hm?” Johnny mendongak ke depan.
“Lo gak mau berusaha gitu.”
“Apa?”
Jisoo memutar bola mata. Pura-pura kesal sama Johnny yang lagaknya tidak paham sama maksudnya. “Ini kesempatan lo.”
“Pulang,” ujarnya setengah mengusir Jisoo yang langsung terkekeh dan kabur sebelum si teman bangkit demi menutup mulutnya.
Jisoo hanya sempat berpamitan lewat teriakan pada Hwasa, ketika melihat sosok Johnny yang keluar dari kamar dengan ekspresi penuh dendam. Buru-buru dia pergi sebelum mulutnya benar-benar ditutup sama Johnny.
Hwasa mengernyit bingung dengan sikap buru-buru Jisoo berpamitan. Sedang Johnny langsung mengubah ekspresinya saat bertemu mata dengan Hwasa.
Ehehehe 💁🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top