7. Pilihan
Kesadaran Lucas kembali. Matanya mengerjap dan perlahan membuka. Dalam penerangan temaram, adalah langit-langit yang ia tatap pertama kali.
Lucas berpaling. Ada Velia tertidur di sisinya. Ia tampak nyenyak dan letih. Perpaduan sempurna untuk menerbitkan senyum di wajah Lucas. Agaknya ia tak akan beranjak dari tempat tidur untuk beberapa saat.
Bertopang satu siku, Lucas mengambil posisi yang tepat untuk memandangi Velia. Ia mengulurkan tangan dan menyingkap anak rambut yang berantakan di sisi wajahnya. Pun merapikan rambutnya ke belakang leher sehingga mempertontonkan jenjang pesona tersebut.
Tangan Lucas berhenti bergerak. Ia bergeming dan darah berdesir. Tatapannya tertuju pada jejak-jejak merah yang tertinggal di sepanjang leher Velia. Bukti nyata akan cumbuan semalam.
Itu adalah pemandangan paling indah yang pernah Lucas lihat. Sekaligus menjadi pemandangan berbahaya untuknya. Ia tak ingin mengambil risiko dan akhirnya memutuskan turun dari tempat tidur.
Lucas mengabaikan keadaan polosnya. Ia melangkah dan berniat untuk mengambil segelas air. Namun, lenguhan Velia menahan kakinya.
Berpaling, Lucas mendapati Velia menggeliat dalam tidur. Selimut di tubuhnya sedikit turun. Menampilkan keadaannya yang sama polos dengan Lucas. Sedikit, putingnya pun mengintip dari balik selimut. Tampak membengkak akibat ulahnya semalam.
Lucas menarik napas dalam-dalam. Ia menenangkan diri walau tak mudah. Jantungnya berdegup dan sekilas ingatan melintas di benak.
Tak ingin bermaksud berlebihan, tapi Lucas berani bersumpah bahwa malam tadi lebih dari sekadar menakjubkan. Kenikmatan itu amat nyata dan sukses membuat ia buta. Alhasil tak aneh bila ada candu yang lantas tercipta.
Lucas tak bisa bertahan. Berjarak satu jam dari hubungan intim pertama mereka, ia pun kembali mencumbu Velia. Awalnya ia mendapat penolakan, tapi bukan berarti Lucas berhenti menggoda.
Diawali cecapan, Lucas menikmati dingin kulit Velia lantaran keringat yang baru mengering. Diikuti oleh remasan pada bokongnya. Ditutup satu isapan di puting yang berhasil menarik lenguhannya.
Lucas tak menunggu lama. Kewanitaan Velia basah dan ia segera menghunjam. Niat mulia yang sempat terbersit di benaknya pun sirna sudah—Lucas berencana untuk memberikan waktu bagi Velia mengingat itu adalah kali pertama baginya.
Terbukti. Kewarasan Lucas hilang bila berada di dekat Velia. Ia mencumbu dan menggauli Velia tanpa henti. Lidah, jari, dan kejantanannya bergerilya sehingga Velia tak berdaya. Akhirnya Velia pun tertidur letih setelah hubungan kedua.
Lucas membasahi tenggorokan dengan sebotol air dingin. Ia membuang napas dan mengusir bayang itu dari benak. Sungguh, ia tak ingin mengambil risiko dengan serangkaian rencana yang sudah tersusun di pikiran.
Pertama, Lucas mengirim pesan pada Vlora. Menyuruh sang sekretaris untuk datang dan kemudian ia bergegas mengenakan jubah.
Kedua, Lucas menerima layanan kamar. Seorang pelayan datang dan mengantarkan sarapan.
Pelayan hotel pergi dan Lucas bergegas kembali ke kamar. Velia telah bangun. Ia duduk seraya menahan selimut di dada.
Lucas mendekatinya. "Selamat pagi, Ve."
Bukan hanya sapaan yang Velia dapatkan, alih-alih berikut usapan di pipi. Ia menengadah dan Lucas kembali berkata.
"Sarapan kita sudah siap. Lebih baik kau makan sekarang. Mungkin Vlora akan datang sebentar lagi. Atau mungkin kau ingin mandi? Aku akan meminta pihak hotel menyiapkan pakaian untukmu."
Velia meremas selimut. "T-tak perlu. Aku bisa mengenakan pakaianku semalam."
"Pakaian semalam? Jangan. Aku tidak ingin melihatmu mengenakan pakaian murahan seperti itu."
Velia yang sudah mengenal Lucas bertahun-tahun memutuskan untuk tidak berdebat. Membalas perkataan Lucas tidak pernah menjadi pilihan tepat. Alhasil ia memutuskan untuk bangkit, tapi rasa sakit sontak menyergap.
Ringisan lolos dari bibir Velia. Kakinya terasa goyah. Beruntung Lucas gesit menangkapnya.
"Kau tak apa?"
Velia berpegang pada tangan Lucas. Ia menggigit bibir dan kaki bergetar seolah tak bertenaga. Pun sekujur tubuh terasa pegal.
"Aku antar kau ke kamar mandi."
Lucas tak berpikir dua kali untuk menggendong Velia tatkala mendapati keadaannya yang menyedihkan. Ia menarik lepas selimut dari tubuh Velia dan mengabaikan jerit paniknya.
Seringai timbul di wajah Lucas. Ia mendengkus seraya melangkah ketika Velia berusaha menutupi tubuh.
"Untuk apa lagi kau menutupi diri? Aku yakin itu tak perlu lagi," ujar Lucas seraya melirik. "Aku sudah melihatnya. Juga menyentuhnya."
Ucapan Lucas mengintimidasi dan membuat usaha Velia sia-sia. Ironis, tapi kata-kata Lucas berhasil membuat Velia tak lagi mencoba menutupi tubuh. Alih-alih ia justru membeku.
Lucas mendudukkan Velia di satu kursi sementara ia segera mengisi air hangat di bak mandi. Tak cukup sampai di sana, ia pun memastikan Velia berendam dengan nyaman setelahnya.
"Sebenarnya aku ingin sekali berendam bersamamu," ujar Lucas seraya meraih dagu Velia. Ia menatap lekat dan membuat pipi mulus itu merona merah. "Sayangnya aku sedang menunggu Vlora."
Velia diam. Tak mengatakan apa-apa ketika hatinya berharap semoga Lucas cepat keluar dari sana.
"Silakan nikmati mandimu."
Velia pikir Lucas akan segera beranjak setelah mengatakan itu, tapi ia kecele. Lucas justru menarik tengkuknya dan melumat bibir Velia dalam ciuman dalam. Pun berbisik di telinga.
"Malam yang indah bukan?"
*
Bagi Velia itu bukanlah malam yang indah, alih-alih sebaliknya. Penuh kengerian dan ia ingin mengenyahkan semua bayang yang terjadi dari benak.
Velia menekuk kaki. Wajahnya terbenam di atas lutut. Air mata mengalir dan penyesalan itu membuat dadanya sesak.
Herry, maafkan aku. Aku terpaksa. Aku melakukan ini demi kau.
Suara-suara menggema di kepala Velia. Menuding dan melayangkan satu tanya yang membuat ia kian tersiksa.
Apakah Herry akan tetap menerimaku kalau tahu apa yang terjadi?
Velia nelangsa. Meratap keputusan yang telah diambil dan hanya satu pegangan yang membuatnya bertahan.
Aku tak punya pilihan lain.
Keadaan memaksa Velia. Terus mendesak sehingga ia terperosok ke lembah putus asa. Ia menderita sementara ada yang merasa sebaliknya.
Adalah Lucas orangnya. Tatkala ia kembali ke kamar dan mengenakan pakaian, tatapannya membentur satu pemandangan di atas tempat tidur. Dalam bentuk sebercak warna merah yang mengotori seprai putih.
Lucas membuka lemari. Ia melihat ukuran pakaian Velia bertepatan dengan gema suara bel. Tak perlu menebak, tentunya adalah Vlora yang datang.
Sekitar lima menit kemudian Lucas dan Vlora duduk di sofa. Tanpa berbasa-basi, ia berkata.
"Bagaimana?"
Vlora menyerahkan satu map dari dalam tas. "Seperti yang Bapak perintahkan."
Meraih map tersebut, Lucas memeriksa sejenak. Ia membaca dengan teliti dan mengangguk.
"Oke. Jadi kosongkan jadwalku hari ini," ujar Lucas seraya menaruh map di atas meja. "Mungkin sampai siang."
"Baik, Pak."
"Kalau nanti dia sepakat untuk menandatangani ini maka kau harus mengurus semua secepat mungkin."
Vlora mengangguk. "Semua akan saya kerjakan sesuai keinginan Bapak."
Memiliki Vlora sebagai sekretaris adalah satu pencapaian Lucas. Wanita itu cekatan dan selalu bisa diandalkan.
"Satu lagi. Aku ingin kau siapkan gaun berukuran S untuk Velia."
Itu adalah perintah terakhir yang Lucas berikan sebelum Vlora pergi. Ia bangkit dengan membawa map di tangan dan beranjak kembali ke kamar.
Waktu yang tepat. Velia baru saja keluar dari kamar mandi. Kesan segar hadir dan menutupi letih yang masih tersisa.
Lucas mendekati Velia. Langkah wanita itu seketika berhenti. Kakinya mendadak tak bertenaga dan tanpa sadar, ia justru tersurut ke belakang.
Ekspresi Lucas berubah. "Mengapa? Apa sekarang kau jadi takut padaku?"
Velia mengerjap. Ia menarik udara demi menghimpun keberanian. Tubuhnya terasa kaku, tapi ia berhasil balas menatap Lucas dan menggeleng.
"Tidak."
Satu sudut bibir Lucas naik, membentuk senyum miring. "Bagus," ujarnya singkat. "Sarapan sudah siap. Lebih baik kau makan sekarang sebelum kau pingsan."
Lucas melirik kaki Velia. Jelas bisa menangkap getar halus di sana.
Panas menjalar di pipi Velia. Ia malu, tapi yang dikatakan Lucas memang benar. Alhasil ia pun menuruti perkataan Lucas.
Duduk dan menikmati sarapan bersama, mata Lucas tak lepas dari Velia barang sedetik pun. Sikap Velia yang kerap menunduk demi menghindari tatapannya dan menikmati sarapan dengan perlahan membuat Lucas menyeringai tipis. Velia seolah memasang waspada padanya dan ia menganggap itu menggelikan.
"Ve," panggil Lucas setelah menyesap kopi. "Apa kau sudah mengecek rekeningmu? Uang sepuluh juta yang kujanjikan malam tadi sudah ditransfer."
Velia nyaris tersedak roti. "T-terima kasih."
Menggeleng, Lucas menaruh cangkir kopi di tatakan dan bersandar. Ia duduk dengan nyaman seraya berkata.
"Tak perlu berterima kasih. Apa yang kita lakukan adalah kesepakatan sesuai perjanjian di awal. Kau memberiku dirimu dan aku memberimu pekerjaan di kantorku."
Velia menangkap sinyal tak enak. Untuk itu ia menuntaskan sarapannya.
"Hanya saja aku pikir ini sedikit tak adil untukku."
"Apa maksudmu?"
"Aku memberimu pekerjaan. Kau bisa bertahan seumur hidup dengan bergantung di perusahaanku, tapi aku?" tanya Lucas menyeringai. "Aku hanya diberikan satu malam dan aku pun turut membayar untuk itu."
Mata Velia membesar. "Kau yang menawarkan uang itu, Luc."
"Apa kau ada bukti?"
Velia tak bisa menjawwab. Alih-alih wajahnya berubah keras dengan geram yang membuncah.
Lucas tersenyum. Ia meraih map dan memberikannya pada Velia.
"Apa ini?"
Enteng, Lucas menjawab. "Surat perjanjian."
"Surat perjanjian?" tanya Velia tak mengerti dan segera membuka map tersebut. Ia membaca cepat dan ketakutan langsung menyergap. "Kau ingin menuntutku?"
"Menuntut? Ehm siapa yang bisa menebak? Kau melakukan peminjaman di kantor dengan skala besar, mencurangi jam kerja, dan tidak disiplin. Apa menurutmu aku bisa menuntutmu dengan ini?"
Velia menggeram. "Kau bajingan, Luc."
Lucas mengabaikan umpatan Velia. Ia tak merasa tersinggung sama sekali. Alih-alih dirinya penasaran akan sesuatu.
"Katakan padaku, Ve. Sebanyak apa utang yang kau miliki sehingga melakukan peminjaman di kantor? Sampai kau rela menjual tubuhmu padaku?"
Keras di wajah Velia kian menjadi-jadi. Bercampur malu dan amarah yang membuatnya susah bernapas.
"Buka lembar di belakang."
Velia melakukan perintah Lucas. Ia membaca dan seketika membelalak.
"Apa ini?"
"Seperti yang kau baca," ujar Lucas seraya bangkit. Ia menghampiri Velia dan tangan terulur demi mengurung di kedua sisi. Wajahnya menunduk ketika lanjut bicara. "Aku tidak main-main ketika mengatakan bahwa aku menginginkanmu, Ve."
Velia syok. Ia memucat. "K-kau ingin aku menjadi wanita simpananmu?"
Tak langsung menjawab, Lucas menyelusuri wajah Velia yang tegang dengan tatapan. Kian turun dan matanya membidik bibir Velia yang membuka.
Lucas meneguk ludah. "Terserah kau ingin mengatakannya apa, tapi aku ingin kau ada di tempat tidurku. Memuaskanku setiap aku menginginkannya."
Bukan hanya pucat, sekarang tubuh Velia dingin. Tak ubah layaknya mayat, Velia pikir dirinya sudah mati.
"Sebutkan berapa utangmu dan aku akan melunasinya sekarang juga. Aku akan melakukan apa pun asal kau menandatangani kesepakatan itu."
Velia membeku. Lucas tak bisa menunggu.
"Berapa?"
"Tiga ratus lima puluh juta."
Lucas mengangguk. "Aku akan mengirimmu lima ratus juta."
"K-kau—"
"Tandatangani, Ve," bisik Lucas memotong. "Kau sudah terlanjur jatuh ke pelukanku. Apalagi yang kau pikirkan?"
Velia meneguk getir yang timbul di pangkal tenggorokan. Sungguh ia tak pernah mengira Lucas akan memanfaatkan keadaannya.
"Tidak. Cukup semalam ini aku memberikan diriku padamu."
Lucas menegapkan tubuh. "Kau bisa memikirkannya sampai siang ini. Tak perlu terburu-buru."
Velia tidak butuh waktu untuk berpikir. Ia sudah bulat pada keputusan. Sayang, takdir yang tak berpihak padanya.
Menuntaskan sarapan, Velia memutuskan kembali ke kamar. Ia bermaksud bersiap, tapi satu panggilan dari rumah sakit membuatnya tertohok kenyataan.
Tangan Velia jatuh lunglai. Panggilan berakhir dan kembali, hidup memberinya pilihan yang tak bisa dielak.
Velia keluar dari kamar. Melangkah gontai dan sorot matanya kosong tatkala meraih map.
Lucas mengangkat wajah. Ia menatap Velia dan menyeringai. Tak perlu kata-kata, ia tahu apa pilihan Velia.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top