30. Pelan-Pelan

Velia mengerutkan dahi tatkala Lucas melewati ambang pintu dapur. Adalah penampilan rapinya yang menjadi penyebab. Alasan yang berhasil menarik rasa penasaran sehingga aktivitasnya terjeda sejenak.

Ada roti gandum utuh yang telah dipanggang menunggu sentuhan Velia selanjutnya. Berupa telur ceplok yang sekarang masih bertahan di udara. Agaknya belum ingin meninggalkan sutil.

Lucas tersenyum tipis mendapati tatapan Velia. Ia lewati meja dan kitchen island, lalu menghampiri Velia di depan meja kompor.

Rengkuhan Lucas menyapa pinggang Velia. Berikut dengan kecupan sekilas yang dengan senang hati ia daratkan di dahi.

Velia mengerjap. Lucas beranjak demi memberi kesempatan bagi Velia untuk menyiapkan sarapan.

"Kau rapi," komentar Velia seraya menaruh piring sarapan Lucas. "Apa kau ada acara?"

Lucas menarik piring di mana ada seporsi roti isi menggiurkan. Ia mengangguk.

"Di Sabtu pagi?"

Lucas yang semula ingin langsung menikmati sarapan sontak menghentikan pergerakan. Tangannya turun kembali dan mendarat di meja. Ada sekelumit geli yang terbit sehingga membuat Velia kian mengerutkan dahi.

"Kenapa? Apa aku baru saja menanyakan hal lucu?"

Lucas menggeleng. "Tidak sama sakali. Bukan hal lucu, melainkan sebaliknya. Itu wajar. Kau persis seperti wanita yang khawatir."

Ada penekanan berbeda di kalimat terakhir Lucas. Menyiratkan makna yang sukses membuat wajah Velia kaku.

"T-tidak sama sekali," bantah Velia terbata. "Aku hanya berpikir mungkin sebaiknya kau beristirahat. Terkadang kau bekerja hingga larut."

Biar merah di pipi dan jengah Velia membuat mata Lucas berkilat. Ada kesenangan tersendiri yang terpancar di sana.

Lucas mengangguk penuh arti. "Jadi intinya adalah kau ingin mengajakku beristirahat?"

Kembali ada penekanan berbeda di kalimat Lucas. Pun kembali menyiratkan makna yang kian sukses membuat Velia membeku.

"Ah, i-itu—"

Ucapan Velia terputus oleh kekehan Lucas. Ia menyerah dalam usaha membela diri.

"Aku ada janji temu sebentar dengan kenalanku, ujar Lucas seraya mulai menikmati sarapan. "Bisa kupastikan dia adalah seorang pria."

"A-aku, ehm itu bukan urusanku. Kau tak perlu menjelaskannya, Luc."

Dua gigitan besar roti amblas ke saluran pencernaan Lucas. Untuk kategori orang yang menikmati sarapan, ia jelas menunjukkan sikap lebih dari biasanya.

Lucas kembali menggigit. Ia mengunyah penuh irama dan mungkin bukan hanya roti isi itu yang enak. Melainkan bias merah di wajah Velia yang lebih dari segala-galanya.

"Kau tidak akan pergi bukan?"

Velia menggeleng. "Tidak. Aku di sini saja. Lagi pula sekarang kau tidak menyuruhku pergi ke mana pun tanpamu."

Roti isi habis tanpa sisa. Lucas menuntaskan sarapan dengan segelas air putih.

"Aku hanya takut kalau kau pergi maka kau tak akan kembali lagi."

"Luc—"

"Sepertinya aku harus pergi sekarang," potong Lucas seraya bangkit. "Hubungi Iwan kalau kau butuh sesuatu, tapi tidak termasuk dengan membawamu keluar."

Velia mengangguk. "Hati-hati di jalan."

"Aku akan segera pulang."

Lucas melabuhkan kecupan pamit di dahi Velia. Setelahnya ia pergi, meninggalkan Velia seorang diri.

*

Kalau bukan karena kata-kata 'penting' dan 'mendesak', jangan harap Rino akan datang siang itu. Risiko yang ditawarkan besar. Siapa yang bisa menjamin? Bisa saja kamera pengawas membidik wajahnya saat bertemu Boy.

Itu bisa jadi barang bukti. Pun terlepas dari jaminan Boy yang mengklaim bahwa pekerjaannya akan selalu rapi—seperti yang sudah-sudah, Rino sungguh tak ingin mengambil risiko.

Sayang, kali ini Rino harus mengalah. Keteguhan Boy membuat ia mengiyakan pertemuan yang ditawarkan.

"Jadi menurutmu ..."

Agaknya 'penting' dan 'mendesak' Boy memang sesuai kenyataan. Itu berkaitan dengan pengintaian yang gagal.

"... Velia memang menjadi wanita simpanan pejabat?"

Boy menaruh cangkir kopi kembali di tatakan. Bahunya naik sekilas.

"Berat saya," jawab Boy mengangguk. "Ya. Saya akan melihat lagi hari Senin, tapi kalau seandainya dia memang diperlakukan dengan sangat istimewa maka saya khawatir ini akan sedikit sulit, Pak."

Rino meringis skeptis. "Apa menurutmu pria yang memelihara Velia akan melapor pada polisi kalau wanita simpanannya diculik dan dihabisi?"

Boy diam. Ia tak punya bayangan sama sekali.

"Tidak perlu berpikir sejauh itu. Di mana-mana wanita simpanan itu derajatnya rendah. Lagi pula apa untungnya dia mempermasalahkan hilangnya Velia? Itu bisa mengancam kehidupannya sendiri."

Sebagai seorang pria yang sering berkecimpung di dunia malam para wanita penjaja seks, Rino bisa menerka jalan pikiran tersebut. Ia mendengkus remeh.

"Mati? Tinggal cari wanita lain!"

"Pekerjaan saya mengharuskan untuk berpikir jauh. Lagi pula bukankah Bapak sendiri yang ingin pekerjaan ini rapi dan bersih? Kalau Bapak perbolehkan maka saya dengan senang hati bermain kotor, tapi tentu saja. Saya tidak ingin mengambil risiko tak setimpal."

Rino mendengkus kasar. Tak perlu penjelasan gamblang, ia mengerti apa maksud Boy.

Dompet bewarna hitam keluar dari saku Rino. Ia mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah. Setengah membanting di meja, ia berikan uang tersebut pada Boy.

Seringai timbul di wajah Boy. Ia mengambil uang tersebut dan memasukkan ke dalam saku dalam jaket.

"Saya pastikan paling lama akhir bulan ini saya akan mengetahui alamat Velia dan membereskan semua."

Rino melirik jam tangan. Ia mengecek tanggal dan Boy masih punya waktu sekitar dua minggu lagi.

"Aku ingin secepatnya."

Boy menyeruput habis kopi. "Secepat yang bisa saya lakukan."

Rino mendelik, tapi tak sempat mengatakan apa-apa lagi. Boy keburu bangkit seraya memperbaiki letak topi. Rendah dan amat turun, ia benar-benar tak ingin orang melihat wajahnya. Ia langsung berlalu meninggalkan Rino yang mengumpat.

Dasar! Untung saja aku masih membutuhkanmu, Boy!

*

Tentu saja adalah Velia yang menjadi tujuan Lucas setibanya ia di apartemen. Ia masuk dan menuju kamar, tapi Velia tak ada.

Di dapur.

Lucas bergegas menuju dapur dan mendapati aroma khas menguar di udara. Berikut dengan senandung kecil yang terlantun dari bibir Velia.

Pemandangan itu membuat langkah Lucas terhenti. Alih-alih langsung menghampiri, ia putuskan untuk puas menikmati semringah di wajah Velia. Ia terlihat sungguh bahagia.

Mungkin itu ada kaitannya dengan kue brownies yang baru saja Velia keluarkan dari oven. Kerak mengilap di atasnya terlihat benar-benar cantik.

Velia menaruh kue dengan hati-hati di kitchen island. Pun menarik kertas roti dan mengeluarkannnya dari loyang persegi panjang. Pada saat itulah tatapannya membentur Lucas.

"Luc!" seru Velia. "Kemari."

Lucas mendekat. "Apa yang kau masak? Brownies?"

Velia menyambut Lucas bukan hanya dengan semringah, melainkan ada binar-binar pula di matanya.

"Kau tahu?"

"Aku ingat aromanya," ujar Lucas menjawab penasaran Velia. "Kau pernah memasakkannya untukku."

Velia mengerjap. Satu ingatan berkelebat di benak.

"Saat ulang tahunmu."

Suara Velia terdengar lirih. Tak ingin, tapi ia tak bisa mencegah ingatan itu untuk berputar di dalam kepala. Melibatkan rerumputan hijau di taman, kejutan Velia, dan senyum Lucas.

"Itu adalah ulang tahun yang tak akan aku lupakan."

Hangat hadir dan mengusir binar di mata Velia. Sekelumit nyeri hadir. Jantungnya bagai diremas.

"Apa kau tahu?" tanya Lucas seraya memeluk Velia dari belakang. Wajahnya mendarat di pundak Velia. "Sejak kepergianmu, brownies adalah makanan terlarang untukku."

Hangat menghilang. Tergantikan panas membakar.

Lucas tertawa samar. "Aku terdengar begitu melankolis bukan?"

Sama sekali tidak bermaksud berlebihan. Emosi Lucas tak terkendali setiap melihat makanan yang mengingatkannya akan Velia. Ironis, tapi senyum dan sorot penuh cinta Velia selalu membayang tatkala Lucas melihat kue tersebut.

Geramnya jangan ditanya. Senyum dan sorot penuh cinta Velia bertolak belakang dengan kepergiannya yang tanpa kata. Jadi tak mungkin Lucas bisa biasa-biasa saja.

"M-maafkan aku, Luc."

Suara Velia terdengar serak. Ia memutar tubuh dan memeluk Lucas.

"M-maafkan aku."

Lucas tertegun. Ia tak bisa bernapas ketika ada kesan tersirat dalam pelukan Velia. Ia bisa merasakannya. Itu persis seperti dulu.

Tak terlihat. Tak terdengar. Namun, ada yang menyentak seluruh sel di tubuh. Setiap titik saraf Lucas merespon.

Lucas embuskan napas panjang. Ia balas pelukan Velia dan tersenyum samar. Pun membelai dengan penuh perasaan.

"Kupikir sekarang adalah masanya untuk menghentikan perang dingin antara aku dan brownies."

Lucas mengurai pelukan. Ia raih dagu Velia dan mengangkat wajahnya. Lembut, ia kecup bergantian mata Velia yang mulai berkabut.

"Kapan aku bisa menikmatinya? Aku sudah tak sabar."

Velia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai diri walau sulit. "Sebentar lagi. Aku siapkan juga teh untukmu."

Lucas menarik diri. Ia akan menunggu dengan tenang dan sabar. Bila itu berkaitan dengan camilan buatan Velia, tentu saja penantiannya akan dibalas sepadan.

Brownies dan teh tersaji. Terlihat menggoda, keduanya bukan hanya menawarkan kelezatan di lidah. Lebih dari itu, ada nuansa lama yang turut hadir kembali.

Lucas tersenyum. Ia tatap Velia dan menyadari bahwa sedikit jeda berhasil menetralkan lagi perasaannya.

"Ayo! Coba kau cicipi."

Bukan sekadar mencicipi. Lucas membuka cengkerama petang itu dengan satu suapan besar. Ia mengunyah dan menikmati wajah tegang Velia.

"Bagaimana?" tanya Velia penasaran. "Apakah enak?"

Tak ada yang berubah sedikit pun. Persis. Sama seperti dulu. Bukan hanya rasa di lidah yang sama persis, melainkan senyum di wajah Velia pula.

Velia tertegun. Cara Lucas menatap membuatnya tak bisa bernapas.

"Luc."

Lucas menikmati potongan berikut. "Selalu enak," jawabnya mengabaikan perubahan wajah Velia. "Entah mimpi apa aku semalam sehingga bisa menikmati brownies buatanmu hari ini."

"Sebenarnya aku juga tak tahu apa mimpiku semalam sampai-sampai memasak brownies," timpal Velia tersenyum kecil. "Setelah kau pergi tadi, aku bingung harus melakukan apa. Jadi aku meminta Iwan untuk berbelanja bahan kue."

Lucas terbatuk. Ia tersedak brownies dan buru-buru meneguk teh.

"Kau tak apa?"

Velia menyodorkan sehelai tisu. Lucas mengelap sisa air di bibir. Sorotnya menunjukkan kekagetan tak main-main.

"I-Iwan?" tanya Lucas memastikan. "Kau menyuruhnya belanja bahan kue?"

Velia mengangguk penuh suka cita. "Ya dan ternyata dia cukup tahu beberapa bahan kue."

Lucas tercengang.

"Oh, tak hanya itu. Beberapa hari yang lewat aku pun meminta Iwan untuk berbelanja sayur dan bahan masakan lain. Dia lumayan pintar memilih ikan segar."

Sekarang Lucas tak bisa mengatakan apa-apa sementara Velia hanya tertawa.

"Kau sendiri yang menyuruhku meminta bantuan Iwan bila ada apa-apa."

Memang, tapi Lucas sama sekali tidak berpikir itu akan berkaitan dengan bahan kue dan ikan segar. Ia terkejut mendapati Velia melakukan hal tersebut. Namun, ia lebih kaget lagi karena Iwan melakukannya dengan baik.

"Sepertinya Iwan benar-benar sopir yang bisa diandalkan."

Tawa Velia berubah jadi senyum geli. "Bagaimana dengan kau sendiri? Apa pertemuanmu lancar?"

"Pertemuanku?"

Agaknya topik Iwan dan berbelanja bahan makanan adalah pengalih pikiran yang ampuh. Setidaknya Lucas butuh waktu dua detik untuk mencerna pertemuan yang Velia maksud.

"Untunglah kau mengingatkanku," ujar Lucas seraya merogoh saku dan mengambil ponsel. "Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Lucas bangkit dan pindah di sebelah Velia. Ia rengkuh wanita itu seraya menunjukkan satu foto padanya. Berupa satu rumah besar yang terkesan tak terurus sehingga meredam kecantikan yang sesungguhnya.

"Luc," lirih Velia gamang. "Apa ini?"

Lucas menatap Velia. "Seperti yang kau lihat. Itu adalah foto sebuah rumah."

Firasat hadir. Bulu kuduk Velia meremang. Tak ingin, tapi prasangka hadir dengan cepat.

"Kau benar."

Seakan bisa menebak isi pikiran Velia, Lucas mengangguk penuh arti. Setelahnya ia menunjukkan foto-foto lain. Menampilkan potret rumah megah itu tadi berbagai sudut.

"Ini rumah seorang kenalanku. Usahanya sedang tak sehat dan aku tertarik. Bagaimana menurutmu?"

Prasangka kian menjadi-jadi. Kali ini adalah Velia yang tak bisa berkata-kata.

"Kau pasti suka tinggal di sini. Halamannya luas. Kau tidak akan merasa suntuk lagi. Kau bisa menanam dan merawat bunga seperti kebiasaanmu dulu. Ah!"

Sesuatu melintas di benak Lucas. Dahinya mengerut ketika menyadari satu kemungkinan.

"Kau masih suka menanam dan merawat bunga bukan?"

Velia tak menjawab, melainkan mengungkapkan keberatan. "Kau tak seharusnya melakukan ini, Luc."

Ada beberapa alasan yang siap Lucas utarakan sebagai bukti bahwa ia memang seharusya melakukan itu. Namun, Velia kembali bicara.

"Kau sudah memberiku banyak hal, Luc. Sepertinya aku tak perlu menjabarkan semua itu."

Lucas menggeleng seraya menahan ringisan. "Jangan. Itu bukan ide baik."

"Untuk itu a—"

"Terlambat untuk menolak."

Bola mata Velia membesar. "K-kau?"

"Kuyakin tak butuh waktu lama untuk Vlora mengurus balik nama sertifikatnya."

Lidah Velia benar-benar kelu sekarang. Ia hanya bisa melongo ketika Lucas sebaliknya. Ia tertawa senang, layaknya telah memenangkan pertandingan penting.

"Jadi ..."

Suara Lucas terdengar seiring tangannya yang meraih jemari Velia. Ia menggenggam dan meremas pelan.

"... kau ingin tinggal di mana?"

Velia tak berdaya. "A-aku ... aku ...."

Tangan Lucas naik. Ia elus pipi Velia seraya tersenyum demi menikmati gagapnya.

"Kupikir tak masalah kau ingin tinggal di mana. Melainkan yang jadi soal adalah kau ingin tinggal bersama siapa.

Lucas meraih tengkuk Velia. Dalam satu tarikan lembut, ia sukses meredam kelu bibir Velia berkat seuntai lumatan.

"Benar bukan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top