4. Kencan

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Sore telah menjelang tatkala Vlora tanpa sadar melihat pada punggung tangannya yang tadi pagi mendapat kecupan dari Andreas. Ia tertegun sejenak dengan wajah mengeras dan memanas. Lalu ia justru mengambil sehelai tisu demi mengelap di sana.

Percuma, memang. Tak ada sisa jejak yang ditinggalkan Andreas. Hanya saja Vlora merasa ia perlu melakukannya.

Pintu ruangan Lucas terbuka. Vlora dengan segera berdiri dari duduk.

"Saya pulang. Untuk besok, kita langsung bertemu di Granduta."

Vlora mengangguk sekali. "Baik, Pak."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Lucas beranjak dari sana. Ia melangkah santai seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana. Tepat sebelum ia memasuki lift, terdengar suaranya sedikit menggema.

"Ve, aku baru keluar."

Vlora duduk kembali setelah pintu lift menutup. Ia menyelesaikan beberapa pekerjaan dengan mata yang sesekali melirik jam di layar monitor komputer. Jelas dan tak perlu ditanya, ia tengah menunggu kedatangan Andreas dengan satu pemikiran yang melintas di benak.

Mungkin ini memang yang terbaik.

Lift yang turun bergerak naik kembali. Pintunya membuka beberapa saat kemudian. Seorang pria yang telah Vlora tunggu kedatangannya telah tiba.

Andreas berjalan dengan penuh rasa percaya diri. Ia tersenyum dan langsung duduk di depan Vlora.

"Aku sempat berpikir kalau kau akan pulang. Ternyata aku keliru. Kau benar-benar menerima tawaranku."

Vlora menyimpan fail sebelum memadamkan komputer. Ia tersenyum enteng dan mendengkus samar.

"Saya? Kabur?" Vlora menggeleng dengan ekspresi santai. Ia berkemas dengan begitu ringkas dan praktis. "Percayalah. Itu bukan tipe saya sama sekali, Pak."

Andreas setuju dalam satu kali anggukan. "Percayalah. Aku tahu persis kau termasuk ke dalam golongan tipe wanita yang mana, Vlo."

Vlora menghentikan sejenak kegiatannya dan melihat pada Andreas. Menunggu kelanjutan perkataan pria itu.

"Karena yang mendorongku ingin menikahimu adalah kau tipe wanita yang aku inginkan."

Vlora mengabaikan perkataan itu. Alih-alih ia justru bangkit seraya menyandang tas kerja pada satu bahu.

"Saya rasa kita bisa pergi sekarang, Pak."

Tak tersinggung lantaran Vlora mengabaikan ucapannya tadi, Andreas pun turut bangkit. Tangannya terangkat dalam gestur mempersilakan Vlora.

"Silakan."

Vlora melirik sekilas dan berjalan tanpa basa-basi. Ia biarkan Andreas menyusul dan berjalan di sisinya.

Tiba di depan lift, Andreas mengulurkan tangan demi mempersilakan Vlora terlebih dahulu. Setelahnya barulah ia masuk dan ketika lift mulai bergerak turun, suara Vlora terdengar.

"Tak perlu dipaksakan, Pak. Trik seperti itu hanya ampuh untuk gadis berusia 17 tahun. Mencari simpatik?" Vlora membuang napas seraya berdecak sekilas. "Itu adalah trik yang sudah ketinggalan zaman."

Andreas terkekeh. Merasa tak perlu berpura-pura menahan desakan geli, ia mengusap ujung pelipis dengan jari telunjuk.

"Kau sungguh keterlaluan, Vlo. Yang barusan itu bukan trik, tapi etika seorang pria."

Vlora mengangkat wajah seraya bersedekap. Tatapannya tertuju pada angka yang terus berganti di atas pintu lift.

"Oh, etika seorang pria. Sayangnya di mata saya itu terlihat seperti usaha seorang bocah yang sedang mencari perhatian. Sejujurnya saya malah penasaran mengapa Bapak tidak berusaha untuk mengambil alih membawa tas saya."

"Boleh?"

Vlora mendelik saat tangan Andreas benar-benar terulur untuk mengambil alih tas kerjanya. "Tidak perlu. Saya bisa membawa tas saya sendiri, Pak. Lagi pula kalau saya mengizinkannya, itu hanya akan mempermulus rencana Bapak saja."

Kekehan Andreas kembali berderai. Bahkan kali ini sampai menimbulkan setitik basah di ujung matanya.

"Terserah bagaimana pendapatmu, tapi katakan padaku. Kau ingin makan di mana?"

Acuh tak acuh, Vlora menjawab. "Terserah Bapak. Saya ikut saja. Tinggal katakan di mana kita akan makan dan saya akan membuntuti mobil Bapak."

Sesuatu membuat dahi Andreas berkerut terlepas dari sikap Vlora yang tetap amat sopan padanya sementara mereka akan berkencan sebentar lagi. Sesuatu yang tanpa sadar membuatnya meraih satu tangan Vlora.

"Tunggu dulu," kata Andreas seraya menatap Vlora. Ekspresinya menunjukkan ketidakyakinan. "Membuntuti mobilku?" Suaranya terdengar bingung. "Maksudmu kita pergi dengan mobil berbeda?"

Mata Vlora berkedip sekali. "Menurut Bapak? Saya bisa pergi dengan mobil saya sendiri."

Andreas melongo. Lalu ia justru tertawa dengan kesan yang berbeda dari sebelumnya.

"Wow! Kau jelas tidak pernah mendapat tawaran kencan sebelumnya, Nona Sinis."

Vlora tercengang dengan julukan yang baru saja diberikan Andreas. "N-Nona Sinis?"

Andreas abaikan syok Vlora. Ia justru lanjut bicara.

"Dengar, Vlo. Di mana-mana ketika ada pria yang mengajak wanita berkencan maka itu artinya mereka akan pergi bersama. Dengan kendaraan yang sama. Bukannya pergi dengan kendaraan terpisah dan menggunakan adegan buntut membuntuti. Aku bukan buronan dan kau bukan mata-mata."

Tawa dan perkataan panjang lebar Andreas sukses membuat Vlora terdiam. Terlebih karena Andreas pun seakan tak memberi celah padanya.

"Kita pergi bersama dengan mobilku."

Sayangnya Vlora tidak akan menyerah semudah itu. "Saya tidak mungkin meninggalkan mobil saya di kantor. Besok pagi saya harus pergi kerja."

Ting!

Lift berhenti bergerak. Pintu membuka dan Vlora bergegas keluar. Di saat bersamaan, ia mendengar Andreas memberi saran.

"Kau bisa memesan taksi atau memilih opsi kedua."

Langkah Vlora berbelok dan menuju parkiran. Begitu pula dengan Andreas.

"Opsi kedua?"

Di sebelahnya, Andreas mengangguk sekali. "Ya, opsi kedua. Yaitu, biarkan aku yang mengantarmu ke kantor."

Refleks, Vlora melihat Andreas dengan tatapan tak percaya. Untuk itu, Andreas justru membalasnya dengan sorot rayuan.

"Agar lebih mudah, kau bisa menginap di tempatku. Jadi aku bisa mengantarmu kerja lebih cepat lagi. Untuk masalah pakaian, kau tentu tak mungkin ke kantor dengan pakaian ini. Kita pergi berbelanja sebentar. Bagaimana? Sederhana bukan?"

Dengkusan mencemooh tak mampu ditahan Vlora. Ia tergelak dan geleng-geleng.

"Sudah cukup," ujar Vlora seraya menuju mobilnya. "Saya sudah memutuskan untuk tetap mengendarai mobil saya sendiri."

Kaki Vlora berhenti seketika tepat setelah ia selesai bicara. Ia membeku dengan tatapan yang tertuju pada satu ban mobil. Tatkala Andreas menghampiri, ia berpaling dengan tatapan tajam.

"Katakan pada saya kalau ini bukan perbuatan Bapak."

Andreas melirik ban mobil itu. Kedua bahunya naik sekilas seraya tersenyum nakal.

"Kalau aku jawab bukan, apa kau akan percaya?"

Bibir Vlora mengatup begitu rapat. Tangannya meremas tas kerja. "Bagus sekali. Ban mobil saya tahu kapan waktu paling tepat untuk bocor."

Tawa Andreas menggema di tempat parkir. Kembali, ia tak akan berpura-pura demi menyembunyikan rasa senangnya.

"Akan aku katakan sesuatu, Vlo," ujar Andreas setelah tawanya berakhir. "Orang-orang mengatakan kalau kita tak akan pernah bisa lari dari takdir. Jadi aku asumsikan kalau takdirmu memang berakhir di mobilku."

Andreas mengeluarkan kontak mobil. Ia menekan alarm dan satu mobil yang terparkir tepat di sebelah mobil Vlora, berbunyi.

"Silakan."

*

Bukan restoran mewah yang menjadi tujuan Andreas. Nyatanya dugaan Vlora sedikit keliru ketika Andreas justru membawanya ke sebuah mal ternama.

Berpusat di jalan M. H. Thamrin, adalah Plaza Nusantara yang menjadi tempat persingkahan keduanya. Bangunan kokoh nan berkelas yang terkenal akan beragam macam merek impor orisinil di dalamnya.

"Kau tahu bukan kalau jam makan malam itu biasanya pukul tujuh?" tanya Andreas santai seraya melepaskan sabuk pengaman. "Sementara ini masih pukul setengah enam sore."

Vlora turut melepaskan sabuk pengaman. "Jadi?"

"Jadi aku memsan dua tiket. Kita nonton dulu dan setelah itu baru makan," lanjut Andreas seraya melirik dengan kilat menggoda. "Bagaimana?"

Vlora tak menjawab. Alih-alih ia segera turun dan disusul oleh Andreas.

Andreas jelas masih ingat bahwa Vlora sudah menuding dirinya tengah melakukan trik menarik simpatik. Namun, hal itu tidak lantas menyurutkan semangat Andreas untuk menyiapkan semua dengan sebaik mungkin.

Adalah Plaza Nusantara Premiere yang menjadi pilihan Andreas. Bioskop yang tidak hanya menjanjikan kenyamanan dalam menikmati berbagai film terbaru, melainkan juga privasi.

Ruang tunggu dibuat secara khusus sehingga para pengunjung tidak perlu menunggu dengan gelisah dan berdesakan. Dengan kesan ekslusif, kafe yang tersedia pun menjamin setiap menu bisa dinikmati dengan nyaman, bahkan bila diinginkan maka pesanan bisa diantar ke studio.

Suhu sejuk cenderung dingin, kursi empuk, dan suasana yang tenang. Andreas dan Vlora duduk bersisian sekitar sepuluh menit sebelum film dimulai.

Lampu studio meredup. Film dimulai, tapi sayangnya Andreas sama sekali tidak tertarik dengan investigasi yang sedang terjadi. Ia melihat Vlora yang benar-benar fokus pada film sementara dirinya justru fokus pada wajah Vlora.

"Menurutmu siapa penjahatnya?" tanya Andreas seraya sedikit beringsut mendekati Vlora. Bisikannya membelai daun telinga Vlora. "Apa benar tersangka atau justru orang lain? Polisi itu sendiri atau tetangganya yang menjadi pelapor pertama?"

Mata Vlora berkedip sekali dalam keremangan. "Semula saya berpikir kalau memang tersangka yang menjadi penjahatnya, tapi sepertinya tidak. Sperma di lokasi kejadian adalah bukti yang benar-benar nyata. Saya rasa film ini tidak akan sesederhana itu. Apalagi karena latar belakang pemerkosa dan pembunuh yang memiliki gelar pendidikan tinggi. Ia tidak akan meninggalkan lokasi kejadian begitu saja."

Senyum mengembang di wajah Andreas. Ia tampak tertarik dengan pemikiran Vlora.

"Jadi menurutmu pelakunya orang lain? Siapa?"

"Seseorang yang sama sekali tidak terduga oleh siapa pun," jawab Vlora seraya berpaling. "Bisa saja orang terdekatnya. Keluarga mungkin. Seseorang yang bisa dengan mudah memanipulasi identifikasi DNA korban."

Andreas diam. Dalam senyum takjub, ia tak henti-hentinya melihat Vlora dengan binar kekaguman.

"Mengapa kau bisa menebak kalau pelakunya adalah keluarga sendiri? Aku pikir kau memiliki jalan pikiran yang sama dengan penulis skenarionya."

Film telah selesai. Cahaya kembali menerangi studio. Pada saat itu, Vlora menyisihkan gelas minumnya yang telah kosong seraya menjawab.

"Identifikasi DNA akan mengalami kecenderungan rancu kalau menyangkut sistem kekeluargaan. Jadi wajar kalau tak ada yang menduga pelakunya adalah kakaknya sendiri. Hasil DNA dari rambut yang tertinggal pasti memiliki kemiripan dengan DNA korban."

Andreas menatap lekat pada Vlora. "Terlepas dari pemikiranmu, aku akui kalau aku sependapat untuk satu hal."

"Apa?"

"Terkadang pelaku memang adalah orang terdekat," jawab Andreas. Ia berdecak dengan ekspresi tak biasa. "Seperti keluarga."

Ada kesan berbeda yang Vlora tangkap dari perkataan dan cara bicara Andreas kala itu. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya dan melihat pada jam tangan.

"Sekarang sudah jam setengah delapan malam. Sepertinya kita terlambat setengah jam untuk makan."

Andreas bangkit dan meraih tangan Vlora, membantunya berdiri.

"Kau ingin makan di mana? Ehm atau kau ingin coba mencoba mencicipi masakanku? Kalau ya, kurasa kita bisa pergi ke tempatku sekarang juga."

Vlora menarik tangannya, tapi tidak menjauh. Alih-alih ia justru maju selangkah dan sedikit menjinjitkan kaki. Mencari posisi yang pas di telinga Andreas.

"Apa itu semacam undangan untuk berakhir di kamar Bapak?"

Andreas menyeringai.

"Maaf, Pak. Satu hal yang perlu Bapak tahu," lanjut Vlora. Sekilas, matanya melirik. "Saya alergi dengan kasur bekas orang lain."

Setelah mengatakan itu, Vlora lantas berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Ia menuju pintu keluar dan meninggalkan Andreas yang sedetik hanya bisa geleng-geleng dengan satu pemikiran di benak.

Aku tahu. Wanita sepertimu tak akan pernah takluk dengan rayuan.

Andreas melangkah. Satu tangan masuk ke saku celana dan perlahan senyum penuh arti tersungging di wajahnya.

Kabar bagusnya, aku jelas tahu persis apa yang kau inginkan dari sebuah pernikahan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top