22. Rencana

Sempat disinggung oleh Andreas sebelumnya, rumah pribadi mereka berbeda jauh dengan rumah keluarga besar Cakrawinata. Berkenaan dengan pelayan, ia pun menunjukkan perbedaan signifikan dengan tradisi keluarganya. Alhasil wajar saja bila Vlora sedikit menyipitkan mata tatkala mendapati hanya ada tujuh orang asisten rumah tangga di sana, termasuk kepala pelayannya.

"Perkenalkan kepala pelayan di rumah ini, Vlo. Namanya adalah Pak Dino Setiawanto."

Dino tersenyum sopan ketika menyapa Vlora. "Selamat datang, Nyonya."

"Terima kasih."

Perkenalan terjadi dalam waktu singkat. Setelahnya Andreas meraih tangan Vlora untuk mengajaknya beranjak menuju lantai atas.

Tatapan Vlora mengitari sekeliling. "Rumah yang nyaman. Suasananya terasa menyenangkan."

"Menyenangkan karena tenang bukan?"

"Tepat sekali."

Terkesan hening dan sunyi. Tanpa suara berisik. Tanpa adanya banyak mata yang bisa memandang.

Vlora yakin dirinya akan betah tinggal di sana. Terlepas dari kenyataan bahwa memang di sanalah tempatnya sekarang, ia merasa semua akan lebih baik kalau ia menyukainya secara alamiah. Untungnya itulah yang terjadi sekarang.

Penerimaan berubah menjadi rasa penasaran. Ketika Vlora merasa nyaman melangkah di rumah itu, ia pun tertarik dengan seluruh keadaannya.

Namun, sepertinya Andreas tidak berpikir demikian. Tak ada tur rumah. Ia justru mengarahkan Vlora ke satu ruangan.

Andreas membuka pintu dan menyilakan Vlora masuk. Kamar utama menyambut keduanya dengan kemegahan yang tak Vlora bayangkan.

Tentu saja. Tipikal Andreas.

Mungkin rumah itu tidak benar-benar kehilangan sentuhan Cakrawinata. Vlora sudah menyadari di langkah pertama yang diinjak.

Kemewahan yang berkelas tersemat dengan sangat apik. Setiap mata memandang maka keindahan desain modern yang berpadu dengan sentuhan seni khas nusantara akan membuat lidah berdecak. Termasuk dengan keadaan kamar utama.

Vlora kembali melangkah. Rasa penasaran menuntunnya untuk melihat semua ruangan yang berada di kamar tersebut. Dari ruang ganti hingga kamar mandi.

"Bagaimana?" tanya Andreas ketika Vlora selesai melihat-lihat. "Apa ada yang tidak kau suka? Katakan saja."

Apa yang Vlora tidak suka? Sejujurnya semua melebihi ekspektasinya. Bahkan ia tak mengira bahwa orang-orang Andreas akan menyusun bajunya persis seperti susunan di lemarinya.

Terkesan? Oh, tentu saja. Itu menambah keyakinan Vlora bahwa mata Andreas tak hanya digunakan untuk menggoda. Pria itu teliti dan pemerhati.

"Aku suka semuanya."

Vlora menghampiri Andreas. Samar, ia tersenyum seraya menunjuk satu titik.

"Terutama yang satu itu."

Andreas melihat arah yang dituju Vlora dan lantas menyeringai. Sepertinya tempat tidur berseprai putih dengan taburan bunga mawar memang adalah pilihan tepat untuk membuat semua wanita di dunia ini terkesan.

"Benar-benar tipikal dirimu, Reas."

Andreas menarik tubuh Vlora dan memutarnya demi bisa memeluk dari belakang. "Jadi kau juga menyukainya?"

Vlora mendeham. Sejujurnya ia tak mengira kalau akan mendapat kejutan taburan bunga mawar lagi. Rasa-rasanya sudah cukup di malam pengantin mereka, tapi Andreas tentu berpikir lain.

"Aku menganggapnya ini sebagai sambutan tahap satu yang harus aku berikan padamu sebagai seorang suami."

Tahap satu? Ehm sepertinya Andreas merencanakan tahapan lainnya.

Vlora tak terkejut. Lagi-lagi itu memang adalah tipikal Andreas.

Jadi Vlora hanya diam ketika Andreas semakin menarik tubuhnya. Punggungnya mendarat di dada bidang Andreas, lantas bisikan membelai daun telinganya.

"Tidak bisa berkata-kata, Vlo? Ehm jangan jadi wanita semudah itu."

Embusan napas Andreas terasa hangat. Belaiannya diikuti oleh sentuhan samar ujung hidung.

Mata Andreas memejam. Ia puaskan hasrat paru-parunya yang menginginkan lembut aroma Vlora. Alhasil tak aneh bila deru napasnya terdengar memberat hanya dalam hitungan detik yang singkat.

Vlora melepaskan diri dari rengkuhan Andreas. Ia berbalik dan menatap Andreas dengan kesan misterius.

"Wanita mudah?"

Beranjak, Vlora menuju meja rias. Ia melepas jepit rambut yang membingkai sanggulnya. Helaian rambutnya pun terbebas dan terurai indah. Gelombangnya terkesan feminin, tapi juga sensual.

"Mungkin tidak juga, Reas."

Andreas mengamati di tempatnya berdiri. Dahinya samar mengerut tatkala pantulan di cermin menampilkan pergerakan tak biasa Vlora.

Melalui cermin, Vlora melirik. Ia memaku tatapan Andreas sementara tangannya melepas blazer di tubuh, lantas menjatuhkannya dengan penuh irama di lantai.

Tindakan Vlora mengundang tanda tanya Andreas, tapi ia tetap menikmatinya. Terlebih ketika dilihatnya Vlora melepas satu persatu kancing kemejanya. Pada akhirnya kemeja itu pun bernasib sama dengan blazer.

Andreas menahan napas. Pantulan cermin memberikannya pemandangan yang tak ia antisipasi. Yaitu, dada Vlora yang nyaris polos.

Mangkuk bra yang Vlora kenakan tidak menutupi keseluruhan payudaranya. Andreas menyipitkan mata dan merasa mulus kulit yang mengintip seolah melambai, lantas menggodanya.

"Aku suka bra dengan tipe mangkuk setengah."

Andreas tersentak dari keterpanaan. Ia mengerjap dan memaksa diri untuk kembali menatap Vlora.

"Menurutku ini adalah tipe bra yang seksi," lanjut Vlora. "Bagaimana menurutmu?"

Seksi? Yang benar saja!

Andreas akan meminta lulusan terbaik Bahasa Indonesia untuk mencari kata yang lebih dari itu. Seksi benar-benar tidak cukup untuk mewakili apa yang sekarang tengah dinikmati oleh mata Andreas.

Vlora menahan diri untuk reaksi alamiah Andreas. Ia kembali bertindak dan kali ini adalah celana panjangnya yang menjadi sasaran.

Alis Andreas semakin mendekat satu sama lain. Ia bertanya-tanya, tapi tak yakin.

Vlora tak mungkin—

Mungkin saja! Vlora melepaskan celana panjangnya. Pakaian formalnya tersingkir dan hanya menyisakan dua potong pakaian dalam yang masih bertahan di tubuhnya.

Oh, astaga.

Vlora beranjak meninggalkan meja rias. Ia hampiri Andreas yang berdiri kaku.

Hanya mengenakan bra dan celana dalam. Rambut bergelombang terurai sensual. Langkah penuh percaya diri dengan lenggok yang amat alamiah.

Itu jelas adalah guncangan pertama yang tak diantisipasi Andreas. Vlora tampak begitu menggoda dan ia jelas telah tergoda.

"Vlo."

Perubahan suara Andreas membuat Vlora tersenyum. Ia melirik dan ujung jari telunjuknya bermain-main di dada Andreas.

Vlora bisa merasakan ketegangan Andreas. Untuk itu ia berpegang pada tangan Andreas untuk sedikit berjinjit. Ia mencapai telinga Andreas dan berbisik.

"Tidak bisa berkata-kata, Reas? Ehm jangan jadi pria semudah itu."

Tuntas berbisik, Vlora melepaskan Andreas. Lirikannya berubah gerlingan ejekan dan ia beranjak ke kamar mandi.

Andreas hanya bisa menarik napas dalam-dalam ketika Vlora meninggalkannya. Namun, ia justru terkekeh samar sedetik kemudian.

Sesuatu berkelebat di benak Andreas. Ia menggeleng berulang kali seraya memunguti semua pakaian Vlora di lantai.

"Aku memiliki kecenderungan untuk membalas."

Ah! Sorot mata Andreas berubah dan seringai menyungging. Tatap matanya tertuju pada pintu kamar mandi.

Memutuskan untuk menyusul Vlora, agaknya Andreas telah menyusun rencana agar mendapatkan pembalasan yang lainnya. Itu sepertinya adalah ide yang menyenangkan.

*

Malam harinya adalah pertemuan pertama antara Vlora dan Frans. Mereka berkenalan singkat dengan kesan yang tak biasa. Vlora mendapati Frans menilai dirinya sehingga membuatnya sedikit risi.

Andreas tertawa melihat interaksi Vlora dan Frans. Sikap keduanya seperti tengah berhati-hati antara satu sama lain.

"Mungkin kalian butuh waktu untuk mengakrabkan diri. Tidak perlu terburu-buru."

Vlora dan Frans sama-sama berpaling pada Andreas. Santai, Andreas berkata.

"Bagaimanapun juga, Frans. Vlora adalah istriku."

Bahkan dengan ekspresi lucu, Frans tetap tahu keseriusan tersirat Andreas. Termasuk sekarang.

Frans mengangguk. "Tentu, Pak."

Ketiganya menikmati makan malam sesaat kemudian. Selama itu tak ada pembicaraan penting yang tercipta. Mereka hanya membicarakan hal ringan, seperti rencana Andreas yang akan menyelenggarakan makan malam keluarga di rumah mereka—mengingat ia belum benar-benar memperkenalkan Vlora pada keluarga intinya.

Tuntas makan malam, Vlora ke ruang kerjanya sementara Andreas pun mengajak Frans ke ruang kerjanya. Pengantin baru itu jelas memiliki agenda yang berbeda.

"Saya minta maaf untuk sikap saya terhadap Bu Vlora, Pak. Ini hanya karena saya belum mengenal beliau."

Andreas menyandarkan punggung di sofa. Sikapnya santai sembari mulai membuka satu persatu map yang dibawa oleh Frans.

"Tak jadi masalah. Kau selalu waspada dan tak mudah percaya pada orang lain. Itu yang membuatku memilihmu, Frans," respon Andreas sambil membaca fail dengan teliti. "Kau selalu berhati-hati, tapi kau tak perlu khawatir."

Andreas menutup satu map dan beralih ke map lain. Ia lanjut mempelajari semua fail dan juga kembali berkata.

"Sama seperti aku yang tepat ketika memilihmu, begitu juga dengan Vlora. Dia tak akan mengacaukan semua yang telah kita lakukan selama ini."

Persis seperti yang dikatakan Andreas, Frans memiliki sifat penuh waspada, tak mudah percaya, dan selalu berhati-hati. Ia percaya pada instingnya dan anehnya ia merasakan ketidaknyamanan tatkala melihat Vlora.

Cara Vlora menatap dan pembawaannya membuat Frans tak tenang. Namun, ia menahan diri untuk tidak bersikap lebih jauh.

"Sudah berapa lama sejak peluncuran produk terbaru unsect?"

Lamunan Frans buyar. Sigap, ia menjawab. "Tiga bulan, Pak."

"Ehm. Tiga bulan."

Kali ini Andreas berpindah pada fail pemasaran. Grafik yang ditampilkan membuat dahinya mengerut.

"Terkesan konstan."

Frans mengangguk. "Sayangnya penjualan konstan di saat produk pesaing mengalami penurunan penjualan, seperti cut dan ranger. Progun tidak bisa memanfaatkan hal tersebut dan konsumen mereka bukan berpindah ke unsect.

"Craft."

"Benar, Pak," ujar Frans dan melanjutkan penjelasan. "Awalnya peluncuran unsect terbaru diperkirakan akan mampu menarik konsumen berpindah dari cut dan ranger, tapi yang terjadi justru craft yang bisa memanfaatkan situasi tersebut. Padahal Divisi Pengembangan dan Perencanaan sudah memperkirakan produk unsect kali ini akan pecah di pasaran."

Andreas beralih pada map selanjutnya. "Bagaimana dengan produk lain?"

"Bisa dikatakan hampir sama. Jadi karena itulah mengapa beberapa bulan belakangan ini terdengar isu kalau para pemegang saham ingin melakukan rapat besar. Mereka khawatir kalau Pak Ariel akan melakukan gebrakan tak terduga."

Andreas paham sekali hal tersebut. Ia tahu orang-orang sudah menahan kekhawatiran akan nilai saham.

"Sepertinya Jonas memang tidak bisa diharapkan."

Frans tidak berkomentar, tapi sepertinya memang demikianlah yang terjadi. Tiga tahun berlalu tanpa ada peningkatan yang signifikan. Bahkan produk serangga yang biasanya menjadi andalan Progun pun menjadi tak berkutik akhir-akhir ini.

Para pemegang saham sempat mengira bahwa unsect akan mampu melejitkan kembali harga saham, tapi mereka kecele. Tiga bulan penjualan tidak memenuhi target.

"Kalau keadaan ini terus berlanjut maka akan menguntungkan Lostic."

Andreas menyeringai. Ditatapnya sang asisten pribadi dan bertanya.

"Apa ini artinya waktu kita sudah tiba?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top