part 5 - end of first date

"Tadi kan ada adegan pas Tony Stark-nya dateng ke rumah Spiderman terus nge-flirt ama si Aunt May itu."

"Masa sih?" Davin menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali untuk menghilangkan image tolol yang barusan diciptakannya.

"Lo nggak nyimak ya? Tadi pas di dalam lo nggak ke toilet juga kan?" Andrea mendengus ejek, "Ketiduran ya tadi? Gimana sih Dav, katanya lo suka film ginian." Candanya terkekeh.

"Gue nyimak kok!" Davin buru-buru membela diri, "Mungkin tadi ke-skip aja ama gue beberapa detik." Davin melebarkan garisan bibirnya menutupi kecanggungannya.

Beberapa kali pikirannya memang sempat teralihkan, mungkin adegan yang sedang dibahas Andrea itu salah satu waktunya. Pikirannya terusik setiap kali kedua kaki bagian paha wanita itu saling bergesekkan setiap Andrea merubah posisi kakinya untuk menumpu kaki satu dengan kaki lainnya; atau setiap kali Andrea menggerakkan tubuhnya untuk membenarkan posisi duduknya dan mencondongkan kedua gundukan seksi di dadanya.

Andrea tersenyum meremehkan dengan bercanda sambil menyuapkan potongan daging ikan yang sudah dipilah-pilahnya sebelumnya ke rongga cantik diantara dua garis bibir menggoda itu.

Davin mengajaknya ke salah satu restoran fine dining yang terdekat dengan tempat mereka menonton tiga puluh menit yang lalu. Restoran italia ini terletak di salah satu gedung perkantoran yang tentu saja tidak beroperasi di hari mereka mengunjunginya. Dia selalu lebih suka untuk mengunjungi restoran cepat saji atau restoran berkelas warung dengan range harga yang lebih bermartabat. Tapi karena hari ini adalah hari spesialnya dengan Andrea, kencan pertama mereka, Davin cukup tahu aturan dengan mengajak Andrea makan malam disini dan bukan di restoran cepat saji favoritnya apalagi warung kebanggannya yang manapun.

Davin menyuapkan potongan daging sapi terakhir dari piringnya ke dalam mulutnya sendiri. Dia tidak mau menyia-nyiakan secuilpun makanan untuk tersisa dipiringnya, apalagi setelah mengingat harga makanan itu di menu saat awal mereka memesan.

"Jadi," Andrea memulai topik baru setelah menyeruput sparkling waternya, "Mr. Web Developer. The best web developer in office."

"Lo ngejek gue ya?" Kata Davin separuh bercanda. Memang hanya ada satu orang web developer di gedung kantornya yang berlantai enam belas itu.

"Kok ngejek sih?" Andrea terkekeh cantik, "abisnya lo nggak pernah ngomongin tentang kerjaan lo sih? Very confidential position yah?"

"Nggak lah," tukasnya segera, "Gue nggak ngomongin karena nggak ada yang penting aja dari kerjaan gue. Nggak ada yang spesial, beda ama pekerjaan lo."

"Nggak mungkin Davin. You're the only person hold this position in company. Jangan boongin gue dengan bilang posisi lo nggak spesial. Ada belasan team leader di fashion department tempat gue. Jadi kalo mau adu nggak spesial, jelas kerjaan gue lebih kurang spesial."

Davin memamerkan senyum simpulnya, "iya gue tahu. Tapi elo yang bikin pekerjaan lo itu jadi spesial." Davin buru-buru menambahkan saat melihat kedua mata didepannya berkilau cantik setelah apa yang dikatakannya, "karena lo suka dengan pekerjaan lo."

Ekspresi Andrea tidak berubah. Wajahnya tidak merona seperti wanita umumnya yang mendapatkan pujian. Tapi dia tersipu. Jelas terlihat dengan sangat dari mata cokelatnya yang tajam memandang lekat lawan bicaranya dan senyum simpul yang dikulumnya supaya tidak terlalu nyata.

"Emang lo nggak suka pekerjaan lo?" Ucap Andrea lagi setelah mengembalikan ekspresi tersipunya.

"Biasa aja."

"Terus kenapa lo milih jadi Web Developer?"

Davin menimbang, untuk jujur atau tetap menjawab seadanya. "Karena ini salah satu pekerjaan yang nggak dimengerti bokap gue." Davin memutuskan jujur dengan nada sesantai mungkin.

"Hmm.." Andrea mengangguk. Dia cukup cerdas untuk tahu di garis batas mana dia boleh berdiri. "Well, mau gimana pun latar belakangnya, tetep menurut gue pekerjaan lo keren kok. Membuat majalah bisa dibaca dari digital dan diakses semua orang dalam waktu yang sama. That's a sexy job," tambahnya yang membuat urat Davin berkedut kencang.

Ingin sekali dilumatnya bibir pink menggoda yang baru saja mengeluarkan kata "sexy" dari mulutnya tanpa sadar bahwa yang terseksi di ruangan ini adalah pencetus kata itu sendiri. Kalau saja dia tidak ingat ada puluhan pasang mata yang memandang mereka saat ini dan Andrea belum menjadi lebih dari teman kencannya malam ini.

Sambil menghabiskan waktu yang hanya serasa satu kedipan mata, karena bercengkrama dengan Andrea membuatnya merasa rugi untuk mengejapkan mata, Davin bersikukuh membayar sendiri seluruh makanan yang mereka nikmati berdua saat Andrea berniat mengeluarkan dompet dari Balenciaga mungilnya. Yang kemudian disambut dengan senyum simpul dan ungkapan terima kasih Andrea.

Mereka meninggalkan tempat dinner mereka tersebut dengan kembali naik mobil sedan Davin. Davin melihat jam di sebelah setir kemudinya. 21.13. Dia merasa ada yang kurang dari kencan mereka. Ada yang belum dan seharusnya dilakukan dan disampaikannya kepada wanita itu. Waktu terlalu cepat berlalu dan dia tidak ingin menyesalinya.

"Mau ngopi dulu?" Hasil terbaik dari otaknya yang memproses cepat dan mengaktualisasikan melalui mulutnya.

Andrea mengangguk setuju, "Boleh, dimana?"

"Di dekat sini ada langganan gue nongkrong, kita kesana ya?" Davin menepikan mobilnya untuk bersiap-siap menuju tempat di idenya.

"Oke."

Butuh waktu cukup panjang dimana setelah mereka tiba di tujuan tersebut untuk menyadarkan Davin bahwa hasil terbaik putar otaknya tidak terlalu jenius.

"Sebentar, gue ambil sesuatu di bagasi dulu ya." kata Davin saat mereka masih berdiri di depan tempat yang dimaksudnya. Davin membuka bagasi dan mengambil kemeja abu-abu miliknya yang masih terlipat rapi, berusaha memperbaiki buah dari ketololannya.

"Yuk," ajak Davin setelah dia kembali di samping Andrea yang sibuk mengamati warung yang sempat menjadi ide brilian Davin, "Tempatnya rada biasa, tapi kopi di sini terkenal enak. Lo harus coba," Davin mengeluarkan pembelaan diri sebelum perasaannya mengatakan dia akan mendapatkan pandangan merendahkan dari wanita itu nantinya.

"Kayaknya asik tempatnya," tutur Andrea tanpa ekspresi yang ditakuti Davin akan muncul, dan kemudian mengikuti Davin masuk ke sana.

Ini memang tempat yang biasanya dihabiskan Davin bersama teman-temannya sejak kuliah. Menurut Davin warung kopi ini tempat ternyaman untuknya menikmati kopi sambil nonton bola ataupun hanya bercengkrama dengan teman-temannya. Tapi harusnya dia sadar, nyaman untuknya bukan berarti nyaman untuk orang lain, terutama wanita seperti Andrea.

Davin memang kurang peka sebagai lelaki. Selama ini dia tidak menyadari mahluk seperti apa yang berkumpul di tempat itu karena mahluk-mahluk itu memang tidak berbahaya dan mengganggunya, tapi tidak untuk Andrea. Serigala kelaparan yang menerkam mangsa dengan matanya ada di setiap sudut ruangan, dengan liur yang Davin yakin akan menetes sekejap lagi. Tidak ada mahluk menawan seperti Andrea yang muncul di sana. Ada beberapa wanita yang mengunjungi tempat itu dalam satu waktu, tapi tidak satupun bisa menandingi pesona feromon Andrea.

"Lo mau ngerokok kan?" tebak Davin sambil mengiringi wanita itu ke salah satu meja di area outdoor yang belum pernah dipilihnya sebelumnya. Smoking Area.

Andrea mengangguk dan duduk di salah satu meja kosong yang dipilihkan Davin untuk mereka.

"Pake ini aja ya Dre," tukas Davin sambil melebarkan kemeja abu-abunya dan mengubahnya menjadi selimut kecil untuk menutupi kedua belahan tubuh bagian bawah Andrea yang sejak tadi mengundang mata para serigala. "Pesennya di counter, gue tinggal bentar dulu ya. Gue pesenin Ice Americano nggak apa-apa kan?"

Andrea yang melihat tingkah gentle namun kikuk itu hanya tersenyum dan mengangguk.

Davin menghampiri counter dimana ada dua barista menunggu disana, yang keduanya didapatinya memandang mahluk yang dibawanya tadi. "Ice Americano dua, bos!" katanya berusaha menyadarkan salah satu barista yang dikenalnya dari pengaruh sihir Andrea.

"Eh, udah lama nggak mampir bos," sapanya, "Ice Americano dua ya," ulangnya berusaha terlihat berkonsentrasi walau pandangannya masih terpaku ke belakang Davin.

Davin mengikuti pandangan serigala dihadapannya itu menuju satu titik dari tempat asalnya.

Dilihatnya Andrea sudah asik sendiri, tidak merisaukan tatapan haus sekelilingnya dan mulai menikmati candunya yang baru saja dibakarnya saat Davin meninggalkannya.

"Dapet dari mana bos? Bisa nemu cakep kayak gitu?" barista tadi menyerahkan dua cup plastik berisi Ice Americano yang baru saja selesai diraciknya.

Davin mengindahkan komentar itu dengan senyum singkatnya dan tidak ingin memperpanjang apapun. Direbutnya kedua gelas itu dari tangan sang barista dan berbalik menjauh setelah mengucapkan terima kasih. Dia berjalan kembali menghampiri pusat perhatian untuk duduk di singgasananya di sisi Andrea untuk menjadi pusat celaan karena bersanding dengan wanita itu.

Andrea menghirup panjang untuk kemudian menghembuskan kembali nikotin dijarinya sebelum mengambil ice americano yang disodorkan Davin dengan tangannya yang lain dan mengulum sedotan di puncak gelas plastik itu. "Nice coffee," pujinya dengan tambahan senyum simpulnya yang sedikit membuat perasaan Davin meringan. "Tempat lo nongkrong Dav?"

"Iya," jawab Davin singkat sebelum dia memutuskan mengakui kesalahannya, "sorry ya Dre."

"Untuk?"

"Kurang berpikiran panjang dan ngajak lo kemari."

Andrea mengerutkan bagian kulit diantara alisnya yang tetap membuatnya cantik, "Kenapa memangnya? Gue suka kok tempat ini. Dan kopinya enak."

"Tapi lo pasti ngerasa nggak nyaman," tukasnya penuh perasaan bersalah, "Gue nggak mikir sampai kesana."

Tidak perlu lebih dari sepuluh detik untuk Andrea paham maksud absurd kalimat itu, yang membuatnya memutuskan terkekeh. Dijepitnya lagi rokok dengan kedua bibirnya untuk menghirupnya dan kemudian menariknya lagi dengan dua buah jarinya, "santai aja kali Dav. Gue udah biasa dengan hal kayak gini." Bola matanya berputar berkeliling meja-meja lain yang masih menatapnya, tanpa menggerakkan kepalanya.

Davin memutar pandangannya ikut berkeliling, memastikan yang mereka maksud adalah hal yang sama.

"Mata blingsatan, pikiran biadab, dan imajinasi liar. Gue udah biasa menemukan itu," jelasnya santai, "yah, namanya juga cowok. Ngertilah gue. Vitalnya kerja lebih cepet dari otaknya." Sekali lagi dihirupnya nikotin dijarinya.

Davin malu, karena memiliki semua ciri-ciri yang disebutkan Andrea. Dia malu menyadari fakta bahwa yang dikatakan Andrea itu benar dan dia malu menjadi salah satu bagiannya.

Mereka saling berdiaman beberapa saat. Mata cokelat Andrea masih menatap lelaki disisinya yang melarikan matanya untuk memandangnya, "Tapi elo beda, Dav."

Mata itu akhirnya memandang mata cokelat Andrea yang menangkapnya lekat tanpa melepaskannya. "Gue nggak beda dari mereka. Gue sama aja kayak mahluk lelaki yang lo sebutkan itu," akunya.

Andrea tersenyum seolah dia memenangkan sesuatu, "i know any kind of guys, Dav. Gue lebih tahu dari lo, percaya deh. Dan buat gue elo itu beda."

Secercah cahaya hangat masuk ke hati Davin. Cahaya pembelaan bahwa dia lebih baik dari apa yang dikiranya, setidaknya menurut Andrea.

"Kalo lo masih ngerasa sama dengan semua cowok bajingan yang gue sebutin barusan, gue kasih fakta yang bisa menghibur lo. Biasanya gue akan selalu diajak dinner saat date di restoran hotel, nggak peduli dengan enak enggaknya makanan restoran itu karena di otak mereka cuma mikirin menjadikan gue makanan mereka malam itu. Dan mata-mata liar itu akan selalu sibuk menelanjangi gue, dan nggak akan menyia-nyiakan kesempatan hanya untuk memandang mata gue saat sedang bicara. Dan tangan-tangan itu juga nggak akan pernah puas menggerayang di setiap inci bagian yang bisa mereka sentuh. Merasa lebih baik sekarang?"

Andrea berbicara dengan nada santainya seolah yang mereka bicarakan hanyalah tentang bagaimana dia mendeskripsikan pekerjaannya. Dan penjelasan Andrea barusan membuatnya merasa lega dan iba bersamaan. Lega karena dia tidak sebajingan yang dikiranya dan iba karena Andrea, sang wanita sempurna itu, harus terbiasa menjalani hidup tidak normalnya sebagai akibat dari kesempurnaannya.

Karena Davin tidak meresponnya, Andrea menambahkan lagi "Lo itu berbeda, Davin. Full of respect, smart, simple dan nggak berlebihan. Dan gue suka."

Davin memandang mata itu tidak berkedip. Berusaha menangkap maksud kalimat barusan. Dia suka? Andrea suka? Apa yang disukainya? Sifat yang barusan disebutnya itu atau Davin? Tapi harusnya kalau sifat itu yang disukainya dan sifat itu menurut Andrea ada padanya, berarti dia yang disukai Andrea. Tapi hal ini terlalu rumit untuk dicernanya dalam hitungan detik.

Andrea wanita simpel dan apa adanya. Dia tahu bagaimana mengungkapkan dan memilih mana yang disukainya dan mana yang dibencinya dengan jelas. Jadi bukan hal yang aneh kalau dia menyukai Davin dan akan mengatakannya dengan gamblang. Tapi pembicaraan barusan terlalu remeh kalau disebut sebagai pernyataan perasaan.

Davin bergumul dengan pikirannya sendiri. Ingin rasanya dia menanyakan langsung kepada Andrea maksud kalimatnya barusan namun selalu kalah dengan nyalinya sendiri. Sisa waktunya bersama Andrea malam ini sampai dengan saat diantarnya kembali wanita itu ke tempat asal dia menjemputnya sore tadi, Davin tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Dan sampai saat dia sadar mereka sudah di depan lobi apartmentnya dan dia harus berpisah dengan wanita itu, yang ada hanyalah penyesalan kenapa dia tidak memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk mencari akal mengorek informasi yang dibutuhkannya, atau bahkan hanya sekedar menghabiskan waktu bersama mereka yang belum tentu dimilikinya setelah ini.

"Thanks ya Dav, buat semuanya hari ini." Andrea melepaskan sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya seperlahan mungkin. Senyum simpulnya ditunjukkan kepada lelaki disampingnya itu.

"Iya, sama-sama," jawab Davin singkat dengan otaknya yang masih berputar keras. Jantungnya berdegup keras. Dia tahu harus melakukan sesuatu sebelum semuanya berakhir. Otak, hati dan nyalinya sedang beradu kuat.

Andrea membiarkan waktu berlalu dengan keheningan selama lima detik, yang kemudian direvisinya menjadi sepuluh detik sebelum dia keluar dari mobil.

"Bye," Andrea membalikkan badannya untuk membuka pintu setelah cukup menunggu.

Otaknya kalah K.O. Sementara pertandingan antara nyali dan hatinya berakhir seri. "Andrea, sebentar.." Davin menahan tangan disisinya dan membuat pemiliknya terduduk kembali.

Dan saat Andrea menoleh untuk mengetahui apa yang menahan tangannya untuk beranjak dari mobil, sebuah wajah menghampirinya dalam sekejap dan sepasang bibir mendarat tepat di bibirnya.

Davin memiringkan wajahnya saat mendekat dan setelah memastikan pendaratan sempurna sambil menggunakan tangannya yang tidak merengkuh tangan Andrea untuk mengantisipasi kalau leher dihadapannya itu mundur, dia menutup matanya. Sebagian untuk menikmati dan sisanya takut tamparan akan lepas karena tindakan tanpa otaknya ini.

Dia mengunggu beberapa saat bibir itu tetap melekat di bibirnya sebelum membuka matanya sedikit untuk mendapati pemilik bibir itu juga sedang menutup kelopak matanya. Tanpa sadar Davin yang dari tadi terlalu tegang untuk bernapas, menghembuskan napas lega ditengah ciuman mereka.

Andrea membuka kelopak matanya dan memberikan jarak diantara mereka sehingga mata mereka bertemu begitu dekat, sebelum memiringkan wajahnya lagi dan mulai melumat bibir yang tadi berani menghampirinya. Memberikan pembalasan yang lebih nikmat. Tangannya yang menganggur dibaringkannya di pundak Davin.

Kali ini pikiran Davin lebih jernih dari sebelumnya. Otaknya bisa memproses bahwa aroma pertama yang dihirupnya adalah aroma rokok yang selalu dihirup wanita itu, ditambah dengan harum parfum bercampur aroma tubuhnya yang selalu mengiurkan. Aroma itu menusuk hidungnya menuju otaknya untuk menyampaikan kepada syaraf-syaraf tubuhnya untuk berdenyut lebih kencang. Apalagi disaat bibir pink yang didambanya sepanjang hari ini memainkan sepasang bibir miliknya dengan piawai. Kedua pasang bibir itu membiarkan liukan lidah diantaranya masuk ke rongga mulut dan menggoda syaraf-syaraf didalamnya sesaat. Dan kemudian keluar lagi. Seperti sedang mengejek.

Andrea menjauhkan wajahnya sekali lagi dan berniat meninggalkan bibir itu malam ini, "Hati-hati baliknya." Wajahnya merona kemerahan menahan gejolak di dadanya. Digigitnya bibirnya sendiri untuk menggoda lawannya.

"Malem gue telpon," pinta Davin dengan pandangan depresi melihat bola mata dan sepasang bibir merekah tiga senti didepannya bergantian.

Andrea memberikan senyum simpulnya sambil mengejek tatapan depresi lelaki didepannya dengan melangkah keluar dari mobil, "Night," bisiknya sambil kemudian melangkah masuk menuju pintu lift sambil memberikan senyumnya dari kejauhan.

Meninggalkan Davin dengan tatapan depresi dan uratnya yang berdenyut.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top