Chapter 16: Halloween
Aku melihat ruangan penuh dengan orang-orang yang berpakaian aneh. Mataku mulai mencari Kai dan aku mendapatinya sedang duduk dengan seorang gadis. Dari belakang, aku bisa melihat bahwa gadis itu memiliki rambut berwarna hitam. Aku menghampiri mereka dan Kai sedikit terkejut dengan kedatanganku.
"Sera!" Kai berseru.
Aku tersenyum dan melirik ke arah gadis itu. "Hai, aku Sera, temannya Kai. Kau pasti seseorang yang spesial itu, kan? Kai sangat ingin memperkenalkanku padamu."
Gadis itu balik tersenyum padaku. Wajahnya sungguh cantik, tipikal gadis yang bisa berteman dengan siapa saja. Pancaran aura menyenangkan muncul dari dalam dirinya dan membuatku begitu ingin tahu gadis ini.
"Aku Viera Sloan," katanya. "Dan aku rasa, aku bukan gadis spesial itu."
Aku mengerutkan keningku, lalu aku menatap Kai dan kemudian menatap balik gadis itu. Aku bisa melihat cahaya bersinar di matanya, seperti mata yang menyala saat gelap. Manusia serigala.
"Aku kira kau mengencani seorang manusia biasa," bisikku dan duduk di samping Kai.
"Memang, pasanganku sedang mengambil minum di sebelah sana." Kai menunjuk seorang gadis berambut ikal berwarna pirang. Hampir sama dengan warna rambutku.
"Oh," gumamku singkat. "Lalu kau sedang apa?" tanyaku dan kemudian melirik Viera.
"Aku pergi ke rumahmu beberapa waktu lalu, tapi aku tidak berani masuk ke dalam rumahmu karena saat itu ibumu datang." Viera mulai berbicara padaku.
"Ah, ibuku bilang dia melihat seorang gadis berambut hitam berdiri di depan rumah, namun kemudian pergi." Aku menatap matanya. "Apa itu kau?"
Viera mengangguk. "Aku tidak bisa masuk karena ibumu memasang sebuah penjagaan di setiap sudut rumah agar makhluk-makhluk supernatural seperti kami tidak bisa masuk."
Aku melirik Kai. "Tunggu, tapi, Kai pernah masuk ke dalam rumahku," bantahku.
"Beberapa kali dan ibumu selalu ada saat aku main ke rumah," kata Kai.
Aku mulai berpikir. Apakah ibuku memang seprotektif itu? Aku tidak pernah melihatnya mengkhawatirkanku, ya walaupun secara tidak langsung. Namun, aku tahu dia mengkhawatirkanku, tapi aku tidak mengira akan berbuat sampai ke situ.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan sebenarnya?" tanyaku akhirnya. Berusaha menuju poin yang ingin dia katakan.
Viera melirik Kai cepat, kemudian padaku. "Beberapa waktu lalu, gerombolan kami kedatangan seseorang. Dia meyakinkan kami untuk menjadi sekutunya, sebenarnya dia mengatakan itu pada semua jenis kami. Pemimpin kelompokku menyetujui, mereka yakin dengan pria itu. Dan akan melakukan apa pun untuknya. Aku dengar, mereka akan melakukan penyerangan pada manusia. Aku tidak begitu jelas mengenai detailnya dan atas tujuan apa, tapi aku tahu mereka akan melancarkan serangan delapan hari lagi dari sekarang."
Aku menelan ludah saat mendengar perkataan Viera. Aku tidak tahu sebenarnya bermaksud apa dengan mengatakan hal ini padaku. Aku belum mengerti tujuannya.
"Sebagai kaum yang beradab, aku tidak akan melukai manusia. Mereka adalah teman dan banyak dari mereka berbuat baik pada jenis kami. Namun, aku tidak bisa mencegah pemimpin kelompokku. Dan aku mendengar mengenai dirimu, aku tahu kau seorang Demigod. Kau pasti bisa melakukan sesuatu, kau pasti bisa meminta pada orang tua Dewa-mu atau setidaknya menggertak mereka dengan kekuatanmu."
Aku mendengar kata-kata yang begitu bersemangat dari Viera. Atau memang dia selalu bersemangat setiap saat. Aku yakin dia benar-benar mengharapkanku. Namun, aku tidak bisa, bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku memang tidak memiliki kekuatan apa pun.
"Aku tidak bisa," kataku.
Viera mengerutkan keningnya. "Kenapa?" tanyanya bingung, sedikit kesal.
"Aku sangat ingin membantumu, tapi aku benar-benar tidak bisa." Aku berusaha meyakinkannya. "Aku ...." Ragu dengan kata-kataku sendiri akhirnya aku diam.
Memecahkan rasa canggung, seseorang datang dengan membawa tiga gelas minuman. "Wah, kita kedatangan teman lagi? Aku akan mengambilkan minuman lagi," katanya.
Viera langsung bangkit dari tempat duduknya. "Tidak perlu, aku akan pergi." Gadis itu menjauhi kami dengan kesal.
Pikiranku akhirnya berjalan ke mana-mana. Manusia, perang, Xander, malaikat, Demigod, dan mulai menyatukan semuanya dalam pikiranku menjadi seperti adonan kue yang tidak terlihat bentuknya.
"Jadi kau temannya Kai?" Gadis yang menyodorkan minum padaku, membuatku kembali dari lamunanku.
Aku tersenyum padanya. "Ya, dan kau pasti gadis yang Kai ceritakan."
"Aku tidak yakin," kata gadis itu. "Aku Eretria Mipros, aku dari jurusan hukum."
Aku mengangguk sambil menunjukkan kekagumanku. "Politik, salah satu topik yang berat. Bukannya aku tidak suka, tapi bagiku politik itu bahasan yang berat untuk otak kecilku," candaku.
Eretria tertawa, diikuti tawa Kai. Selanjutnya, obrolan kami mengenai Kai. Secara tidak langsung, aku membocorkan apa saja yang Kai sukai dan tidak sukai. Kadang, Kai hanya tertawa malu sambil mengoreksi kata-kataku yang dilebih-lebihkan.
"Dan kau adalah satu-satunya gadis yang Kai berani ajak berkencan." Aku melirik Kai.
"Benarkah?" Eretria juga melirik Kai.
Kai mengangguk malu. Aku hanya tahu bahwa Kai pernah mengajak jalan dua sepupu perempuannya, Napia Petra dan Syllis Petra. Mereka sepupu dari ibunya Kai dan tentu saja mereka seorang peri. Aku bahkan bisa melihat itu hanya dari fisik mereka. Kulitnya yang halus, bentuk tubuhnya yang ramping dan sikap lemah lembut mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar peri sejati. Wajah mereka juga hampir mirip, terlihat seperti kembar. Namun, Napia adalah sang kakak, sedangkan Syllis adiknya.
Aku hanya pernah bertemu mereka secara langsung sekali, saat Kai mengajak mereka jalan. Napia dan Syllis tinggal di kerajaan utara, kedua orang tuanya yang memegang kendali atas kerajaan peri bagian utara. Akan tetapi, kedua orang tua mereka tidak seperti Kai, mereka tidak membiarkan anak-anak mereka ikut berbaur dengan manusia. Jadi Kai mengajak mereka untuk pergi ke jalanan hanya beberapa kali. Itu juga karena disetujui oleh orang tua Kai juga.
Kai kemudian melirik pedangku. "Pedangmu terlihat seperti asli, Sera." Dan secara bersamaan, Kai menyentuhnya.
Aku kemudian menepis tangannya lembut. "Ah ya, ini memang pedang—" Aku berhenti dan melirik Eretria. "Pedang bekas ibuku saat ikut kontes drama, jadi harus terlihat sungguhan." Aku berbohong. Tentu saja aku tidak bisa mengatakannya di depan Eretria bahwa itu pedang pemberian malaikat pelindungku. Kai mungkin akan percaya, tapi gadis itu pasti akan menertawaiku. Aku tidak ingin diingat sebagai gadis yang aneh untuk kesan pertamanya.
Kai hanya mengangguk dan Eretria juga begitu. Kemudian mereka mulai berbincang mengenai beberapa hal yang aku tidak begitu mengerti. Pikiranku melayang entah ke mana lagi dan mataku tiba-tiba saja tertuju pada seorang pria yang berdiri di tengah-tengah kerumunan orang.
Aku memejamkan mataku dan membukanya lagi, tapi pria itu masih berdiri di sana. Xander, dengan wajah datar khasnya menatapku. Kami melakukan kontak mata cukup lama, sampai akhirnya Penta muncul dari samping Xander dan memberikan minum padanya.
Ah, tentu saja Xander datang bersama Penta. Mereka seorang pasangan sekarang. Aku kemudian mengalihkan pandanganku, tidak mau memikirkan Xander. Alunan musik tiba-tiba berubah menjadi romantis. Dan Eretria menarik Kai untuk diajak berdansa.
Di sinilah aku, seorang gadis tanpa pasangan yang duduk sendirian. Mataku kemudian melihat Xander lagi, bersama Penta. Gadis itu melingkarkan tangannya di bahu Xander dan pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Penta. Aku masih menatap mereka saat seseorang berbisik di telingaku.
"Butuh seorang pasangan?" ujar suara itu.
Aku berbalik dan mendapati pria vampir yang waktu itu hampir membunuhku. Aku sontak terkejut dan mendorongnya. Secara refleks, pedangku sudah berada di tangan dan menodongkannya pada pria vampir itu.
"Hei, tenang. Aku tidak akan menyakitimu," katanya, seolah itu bisa menenangkanku. "Aku tahu kau sudah jadi bagian dari jenisku, jadi aku tidak akan menyakitimu."
"Aku masih jadi manusia, dasar bodoh! Sekarang tinggalkan aku atau pedang ini akan memenggal kepalamu!" Aku berusaha mengancamnya.
"Kau tidak mungkin masih menjadi manusia," bantah pria itu.
"Apa kau lihat ada taring vampir di antara gigi-gigiku?" Aku mengatakannya dengan sedikit nada penekanan, sambil menunjukkan gigiku.
Pria itu kemudian bingung. "Bagaimana bisa?" tanyanya.
"Pergilah dan jangan ganggu aku," kataku kesal.
Pria itu berusaha menurunkan pedang dengan tangannya. "Tenanglah," katanya.
Pikiranku mulai kacau sekarang. Rasanya, gigitan itu berhasil mengingatkanku lagi. Perasaan campur aduk antara kesal, sedih, dan sakit muncul secara bersamaan. Pria itu masih saja memojokkanku. Dan tiba-tiba saja sengatan menyakitkan terasa dari bekas gigitan. Aku memegangi bekas gigitan itu. Darahku seolah-olah naik dan turun, mendidih. Alunan musik romantis yang terdengar berubah menjadi alunan lagu acak yang memusingkan.
Aku menjatuhkan pedangku yang hilang dengan cepat, karena aku tidak membutuhkannya lagi. Bukan, aku tidak peduli lagi, yang aku pedulikan adalah rasa sakit di leherku yang menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Tiba-tiba saja suara pecahnya lampu memekakkan telinga, alunan musik berhenti, dan ruangan menjadi gelap seketika.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top