1

Kenalan yuuuk... dengan tokoh baru saya.

Saka Dirgantara

Adeeva Elmira

***


Siang itu suasana di Bandara Soekarno Hatta terlihat ramai. Sekelompok orang berseragam sebuah penerbangan melintas dengan anggun. Saka sang pilot menyeret kopernya melewati sekian banyak penumpang. Mengabaikan mata yang terpesona menatap padanya. Terutama para perempuan yang tidak akan melewatkan kesempatan begitu saja. Bisa menatap pilot dari jarak dekat. Syukur-syukur kalau ditaksir. Sebuah pekerjaan yang benar-benar membuat banyak orang kagum. Meski bagi Saka itu sudah menjadi hal biasa.

Mereka menuju mobil kru yang sudah siap menunggu. Ini adalah salah satu keuntungan bagi para awak pesawat. Tidak perlu berjalan jauh saat tubuh sudah letih menunaikan tugas. Sambil melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidung. Saka langsung duduk dan menyenderkan tubuh.

Di sampingnya ada co-pilot Radit, juga beberapa pramugari yang ikut dalam mobil tersebut. Teringat akan sesuatu, pria itu segera mengeluarkan dompet serta sejumlah uang. Menyerahkan pada seorang pramugari.

"Uang rendang telur saya, Mel." Ucapnya. Di bandara Minangkabau tadi, ia meminta Amel untuk membelikan rendang telur di Bandara sebagai oleh-oleh untuk ibunya.

Amel menerima sambil tersenyum. Seluruh kru sudah tahu, kalau gadis itu menyukainya. Tapi ia tidak menanggapi, karena memang tidak tertarik. Entahlah, ia sendiri tidak tahu gadis seperti apa yang diinginkannya.

"Saya ke Rawasari saja ya, Pak." Perintah Saka.

"Lho, tidak ke apartemen, Capt?"

"Enggak, adik saya akan menikah. Saya ke rumah orang tua saja."

"Siap, Capt." jawab sang supir dengan sopan. Saka hanya tersenyum. Tadi sebelum terbang ia sudah membagikan undangan pada seluruh kru yang bertugas bersamanya. Akhirnya pria itu memejamkan mata.

Sesampai di rumah, ia melihat semua sudah berubah. Ada beberapa orang yang memasang tenda besar. Ya, adiknya akan mendahuluinya untuk menikah. Ia mengijinkan karena Keenan dan Adeeva sudah berpacaran lebih dari lima tahun. Keenan juga sudah bekerja, sementara calon adik iparnya memang masih kuliah. Tapi sudah memasuki tahap skripsi. Akhirnya ia dilangkahi.

Bagi Saka itu tidak masalah. Karena ia sendiri tidak tahu kapan bisa menikah. Sampai saat ini tidak ada satu orang perempuanpun yang menarik perhatiannya. Meski banyak yang memang benar-benar suka, tapi ia masih enggan. Merasa tidak masalah dengan kesendirian. Toh ia bahagia, jadi tidak terlalu pusing dengan jodoh.

Memasuki bagian dalam rumah, ia menemukan mamanya, Desi Dirgantara yang tengah memerintahkan beberapa orang untuk menyiapkan makanan.

"Sore, Ma." Saka menyapa sambil mencium pipi ibunya.

"Kamu sudah pulang? Ayo, coba jas yang sudah ada di kamar ya, semoga muat. Kalau ada kekurangan nanti kabari mama. Supaya secepatnya bisa diperbaiki."

Pria itu hanya tersenyum, pikiran mama benar-benar terpusat pada pesta sekarang. Mungkin terlalu senang karena salah seorang putranya kini menikah.

"Oh ya, ini rendang telur pesanan mama. Kebetulan tadi ke Padang."

"Narti, tolong simpan oleh-oleh dari Mas Saka. Besok kalau sudah santai, kasih saya ya."

Pria itu segera menaiki tangga menuju lantai dua. tidak ingin mengganggu konsentrasi sang mama. Sesampai di kamar, ia menemukan beberapa pasang pakaian dan juga kemeja seragam. Tanpa mencoba ia tahu bahwa semua pasti sudah pas. Karena memang sudah fitting untuk terakhi kali. Lagi pula ukuran tubuhnya belum berubah.

Saka segera mandi dan akhirnya terlelap dalam tidur. Tadi pagi ia harus bangun pukul dua dinihari, karena bertugas di penerbangan pertama. Tubuhnya lelah, dan satu-satunya yang ia butuhkan saat ini adalah tidur.

***

Malam harinya ia bangun sudah hampir pukul sepuluh. Perut terasa lapar sehingga Saka turun ke bawah untuk makan. Suasana sudah sepi. Akhirnya ia memilih makan pisang, Karena merasa tidak cocok dengan menu yang ada. Saka kurang suka daging.

Selesai makan, ia menatap suasana rumah yang berubah. Ya, ini kali pertama keluarga mereka mantu. Mama pasti menyiapkan dengan serius. Tapi sejak tadi ia tidak menemukan Keenan. Mengingat itu, ia segera bangkit dan mengetuk pintu kamar sang adik. Sayang tidak dibuka, Saka berpikir mungkin Keenan sudah tidur.

Bergegas pria itu kembali ke lantai dua. lalu menonton televisi. Rasanya ingin pergi ke club, bersama beberapa teman. Tapi mengingat tengah menginap di rumah papanya, Saka mengurungkan niat. Pak Dirga akan selalu bertanya pada ajudan yang berjaga, jam berapa ia pulang.

Karena itu ia memilih tinggal di apartemen sejak tiga tahun yang lalu. Tentu saja setelah merasa mampu. Karena membeli dengan cash. Saka tidak suka berhutang, bahkan ia tidak punya kartu kredit. Meski berkali-kali ditawarkan. Baginya utang adalah pendapatan yang diterima diawal. Jadi sama saja, daripada memabyar bunga, lebih suka menahan diri. Kalaupun sangat butuh, maka ia akan meminjam pada kedua orangtuanya. Dengan perjanjian yang jelas tentu saja.

Dari hasil kerjanya, kini ia juga memiliki sebuah mobil. Meski tidak tergolong mewah. Apalagi dengan ukuran pilot sepertinya. Beberapa temannya sudah menggunakan Alphard. Tapi bagi Saka, mobil hanyalah sebagai transportasi, bukan gengsi.

Ia bukanlah pria pelit. Bahkan cenderung boros tapi untuk hal-hal yang bersifat sosial. Tidak pernah tega melihat orang yang menderita. Ada keinginan untuk selalu membantu. Ia menjadi penyantun tetap beberapa panti asuhan, rumah singgah dan juga rumah sakit terapung. Bagi Saka, hidup itu harus seimbang. Karenanya ia masih menikmati hidup bersama teman-temannya.

Dulu ia bisa memberi berlebihan. Bahkan kadan gsampai kekurangan saat masih diawal karir. Tapi akhirnya mama menasehati. Bahwa ia juga harus memikirkan kehidupan sendiri. Saat ini ia hanya mengeluarkan sekitar 20 persen dari penghasilan untuk kegiatan sosial. Namun di luar dugaan, kariernya juga meningkat pesat. Beberapa kali mengikuti pendidikan lanjutan, di Amerika. Semua seperti dimudahkan. Bahkan kini ia berada di sebuah perusahaan penerbangan terbaik. Dengan gaji yang cukup besar. Bagi Saka, semua berkat doa orang-orang yang menyayangi dengan tulus.

Pagi itu keributan terdengar di seluruh penjuru rumah. Mama pingsan, sementara papa sibuk menghubungi beberapa orang. Suasana kacau, belum lagi beberapa keluarga yang sudah datang terlihat panik. Saka yang baru turun bertanya pada sala seorang kerabatnya.

"Ada apa?" tanyaya heran.

"Tadi malam Keenan tidak pulang. Pagi ini dia men-chat Pak Wira, ayah Adeeva. Mengatakan tidak bisa menikahi Adeeva karena tidak mencintai lagi. Apa maunya anak itu. Dulu papa larang mereka berpacaran karena status keluarga, Keenan ngotot. Setelah kami setuju dia malah minggat."

Saka mengepalkan jemarinya. Ia benar-benar membenci tindakan pengecut adiknya. Mereka memang belum sempat berbicara, sehingga tidak tahu kalau ada masalah besar. Segera pria itu mendekati sang mama yang baru saja sadar. Ikut memijat kakinya.

"Bagaimana ini? Apa yang harus kita katakan pada keluarga Adeeva? Mereka pasti sudah siap-siap."

Papa yang merupakan salah seorang petinggi di Kepolisian, masih sibuk menghubungi rekannya. Mungkin mencari jejak Keenan.

"Dasar anak tidak berguna. Bagaimana saya harus bicara dengan keluarga Adeeva?" omel papanya yang sudah duduk mendekati sang istri.

"Pa, coba cari saja dulu. Lalu paksa pulang. Kalau mau berpisah setelah pernikahan, terserah." Sang istri mencoba memberi saran.

"Papa sudah menghubungi beberapa teman. Menurut mereka ponsel yang digunakan Keenan terakhir kali tidak aktif lagi. Posisi terakhir di rumah ini. Kemungkinan ponselnya tidak dibawa."

Keributan semakin menggema. Beberapa keluarga semakin panik. Saka sendiri mencoba berkali-kali menghubungi seluruh nomor adiknya. Sayang, tetap tidak aktif.

***

Adeeva menatap nanar pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Berusaha untuk tidak percaya, atau setidaknya ini hanya jokes yang biasa diucapkan Keenan. Tapi sekeras apapun ia berusaha, namun kenyataan tetap sama. Keenan mengirimkan pesan bahwa tidak bisa menikahinya dengan alasan sudah tidak mencintai.

Kenapa baru sekarang? Saat dua hari sebelum pernikahan? Teringat pertemuan-pertemuan keluarga yang telah berlangsung. Pria yang saat itu masih menjadi kekasihnya menatapnya seolah memuja. Tapi sekarang?

Dua hari yang lalu mereka masih melakukan video call. Semua baik-baik saja. Tidak ada satu kalimatpun yang mencerminkan akan terjadi perpisahan. Apa karena mitos itu? Bahwa mereka tidak boleh bertemu menjelang pernikahan? apakah melakukan panggilan video bisa dikategorikan sebagai bertemu?

Apa salahnya sampai Keenan tega melakukan ini? Apalagi mengatakan kalau sudah tidak mencintai? Semudah itukan membolak-balikkan hati? Melupakan seluruh kenangan yang mereka habiskan bersama? Terbayang bagaimana masa-masa dulu. Saat mereka sering berdua. Awalnya ia tidak ingin dekat dengan Keenan. Karena status mereka yang berbeda jauh bak bumi dan langit. Namun, saat keluarga Dirgantara bisa menerimanya. Ia menganggap semua selesai.

Ataukah tiba-tiba keluarga Keenan tidak menyetujui? Tapi apa alasannya? Kenapa juga harus sekarang? Kepala Adeeva terasa sakit. Ia marah, kecewa, sedih dan merasa sendirian. Tidak tahu harus bercerita pada siapa. Kembali dihubunginya ponsel Keenan, tapi tetap tidak aktif. Ke mana dia?

Tangis Adeeva semakin keras. Sampai kemudian ibunya mengetuk pintu. Bagaimana caranya memberi tahu? 

***

Happy reading

Maaf untuk typo

15521

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top