9


Cinta kadang sulit dimengerti, adakalanya dia membawa bahagia, tetapi tak jarang juga memberi luka

🍁🍁

Ayu menarik napas dalam-dalam saat mengetahui makanan yang dia sediakan sama sekali tidak disentuh oleh Yudhis. Tak membuang waktu, segera dia membersihkan meja makan. Membuang makanan yang sudah basi dan mencuci semuanya.

Perempuan berjilbab lilac itu melirik arloji, sudah cukup siang untuk sarapan. Sengaja dia setelah salat subuh dan tilawah tadi berjalan-jalan keliling komplek hingga matahari meninggi.

Setelah semua beres, Ayu membuat jus dan menikmati sepotong roti yang telah dioles mentega. Matanya menatap pintu kamar Yudhis ya g masih tertutup rapat, kemudian membuka ponsel yang bergetar. Satu pesan masuk dari ibu angkatnya.

[Ayu, apa Yudhis belum bangun? Teleponnya nggak aktif.]

[Iya, Ma. Belum bangun.]

[Apa dia bersikap baik padamu, Nak?]

[Iya, Ma.]

[Syukurlah. Oh iya, lusa ulang tahun pernikahan kami. Mama harap kalian berdua datang ya.]

[Insyaallah, Ma.]

[Oke, oh iya, Ayu. Bilang ke Yudhis nanti kalau dia bangun, suruh telepon papa ya.]

[Iya, Ma.]

Obrolan chat selesai. Ayu kembali meletakkan ponsel ke meja. Jalan-jalan pagi tadi dia bertemu beberapa warga yang juga tinggal di tempat ini.

Mereka tengah mengadakan penggalangan dana untuk warga yang kehilangan tempat tinggal akibat kebakaran beberapa waktu lalu, yang tidak jauh dari komplek ini.

Ayu sempat bertanya dan mengobrol banyak dengan ketua panitianya. Ada tebersit keinginan bergabung aktif dengan mereka untuk mengisi kejenuhan sambil menunggu ia kembali ke desa.

Bibirnya mengembang, dia yakin Yudhis tidak menghalangi keinginannya. Masih dengan senyum, Ayu bangkit melangkah ke kamar. Saat baru saja dia hendak masuk kamar, Yudhis membuka pintu kamarnya, dia tampak segar dan siap pergi.

"Mau ke mana, Mas?"

"Ada urusan." Ia melanjutkan langkah ke rumah tengah.

"Eum, Mas." Ayu mengikuti dari belakang.

"Ada apa?"

"Mama tadi ...."

"Iya, aku mau ketemu Papa kok ini. Aku udah baca pesan Mama," potongnya seraya merapikan rambut dengan jemari.

Ayu menghela napas.

"Mas," panggil Ayu lagi.

"Ada apa?"

"Eum ... sambil menunggu aku kembali ke desa. Apa aku boleh ikut kegiatan amal di ...."

"Berbuatlah sesukamu yang kamu anggap baik. Aku pergi dulu!" Yudhis mempercepat langkahnya menuju pintu.

"Eum, Mas!" seru Ayu masih membuntutinya dari belakang.

"Ck! Ada apa lagi?" Pria itu membalikkan badannya sehingga bertubrukan dengan tubuh mungil Ayu.

Sejenak mata mereka saling tatap, tetapi cepat keduanya membuat jarak.

"Ada apa lagi?" tanyanya mengulang.

"Mama meminta kita datang lusa saat ...."

"Ulang tahun pernikahan mereka?" sambung Yudhis menatap lekat ke Ayu.

Perempuan bergamis putih itu mengangguk cepat.

"Iya. Kita pasti datang!" Terdengar tarikan napas panjang dari Yudhis.

"Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?" tanyanya.

"Nggak ada, Mas." Ayu menggeleng.

"Oke, aku pergi dulu."

Tanpa menunggu sahutan Ayu, Yudhis melangkah menuju mobil dan tak lama kemudian meluncur meninggalkan kediaman mereka.

🍁🍁

Yudhis menyesap kopi putih yang disiapkan Bik Mona, asisten rumah tangga mamanya. Dia tengah duduk berhadapan dengan sang Papa. Pria paruh baya itu meminta agar Yudhis mau membantu mengelola bisnisnya.

"Papa sedang membuka cabang bengkel sekaligus travel di luar kota. Papa harap kamu bisa memimpin di tempat itu, Yudhis!"

Sudah beberapa kali pria itu menolak tawaran papanya dengan alasan ingin membangun bisnis sendiri. Namun, dia juga paham posisinya sebagai anak tunggal yang mau tidak mau harus bertanggung jawab dengan semua bisnis sang papa.

"Oke, papa tahu kamu keberatan soal ini, tapi nggak ada salahnya mencoba. Lagipula ... bisnis ini milik keluarga, kamu bisa menjalankan sambil melihat peluang lain. Bagaimana?" Tatapan mata Pak Cokro lebih mengarah agar dia menerima tawaran itu.

Yudhis menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk pelan. Melihat jawaban putranya, Pak Cokro tersenyum lebar.

"Kamu jangan khawatir, kamu nggak perlu setiap hari stand by di kota itu. Papa hanya butuh ada orang yang bertanggung jawab menangani bisnis kita."

"Proyek ini akan dimulai dua bulan lagi. Papa.juga paham kondisimu saat ini." Pak Cokro kali ini menatap dengan senyum penuh arti. "Kamu dan Ayu harus saling menyesuaikan diri masing-masing, dan itu butuh waktu lama. Jangan khawatir, semua bisa dipantau lewat internet kan?"

Mata Yudhis menyipit mendengar ucapan papanya.

"Maksud papa, proyek ini nanti bisa dipantau lewat internet. Ada kecanggihan teknologi ... kenapa nggak digunakan?" jelas Pak Cokro.

Yudhis bergeming, dia hanya mengusap wajah. Terlihat keengganan menanggapi perkataan sang papa. Dia merasa terkadang orang tuanya terlalu menganggap mudah mengubah mindset soal Ayu.

Sesungguhnya dia ingin pergi jauh untuk waktu yang lama, karena sejujurnya dia tidak sanggup melanjutkan pernikahan yang sejatinya memang sudah berakhir. Dia tidak merasa telah melakukan banyak kesalahan termasuk menerima usulan mamanya untuk mengganti Prita dengan Ayudia.

Sejak awal dia merasa Ayu adalah adik yang tiba-tiba dengan cepat harus menjadi istrinya. Pria itu juga menyadari apa yang diucapkan Fredi adalah benar. Dia gak menyangkal bahwa Ayu adalah korban. Korban keegoisan kedua orang tuanya dan tentu saja dirinya.

Dia sangat paham begitu banyak keinginan gadis bertubuh mungil itu. Ada keinginan mulia yang telah lama dia impikan dan harus berantakan karena mendadak harus menikah dengannya.

Mendadak ingatannya kembali kepada Prita. Ada amarah yang meradang di hati. Ada beribu pertanyaan yang tidak terjawab. Kepergian Prita yang tiba-tiba tanpa kabar membuatnya merasa tidak dihargai.

Namun, rasa cintanya membuat ia ingin bertemu perempuan itu meski sekadar meminta jawaban atas semua yang dia lakukan.

Suara Pak Cokro membuyarkan lamunannya. Papanya tertawa kecil mengetahui dirinya melamun. Sambil menepuk bahu Yudhis, papanya berkata, "Ya ya ... papa tahu. Bawaan pengantin baru memang begitu. Penginnya dekat terus, meski hanya sebentar berpisah. Oke, kamu boleh pulang sekarang. Jaga baik-baik pernikahan kalian! Percayalah, Ayu perempuan baik!"

Kembali Yudhistira menarik napas dalam-dalam. Dia tahu Ayu adalah perempuan baik, tapi bagaimana jika dia tidak cinta? Bagaimana pernikahan bisa dijaga bila dirinya merasa semua yang terjadi adalah kesalahan? Yudhis hanya meraba-raba bagaimana jika papa dan mamanya tahu bahwa antara dia dan Ayu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.

"Yudhis! Kamu bengong lagi?"

"Oke, Pa. Yudhis balik ya," pamitnya seraya bangkit dari duduk.

Pak Cokro mengangguk.

"Nanti papa hubungi lagi kapan kamu mulai kontrol cabang kita di tempat yang baru."

Yudhis hanya mengangguk kemudian melangkah meninggalkan ruangan papanya.

🍁🍁

Ayu tersenyum mendengar penjelasan perempuan berjilbab lebar di depannya. Dia bersyukur bisa mengisi waktu luang di kegiatan sosial di yayasan ini. Meski masih perkenalan, tetapi dia merasa sudah mendapatkan keluarga baru.

"Saya panggil Mbak Ayu boleh?" tanya perempuan itu.

"Boleh, Bu."

"Mau panggil ibu kok masih muda banget," tuturnya seraya tertawa kecil.

Bu Aini adalah ketua yayasan sekaligus penanggung jawab semua kegiatan sosial di komplek itu.

"Jadi selain kegiatan amal yang kami adakan sebulan sekali, ada juga pengajian setiap satu pekan sekali, Mbak. Kami biasa mengadakan ta'lim di mesjid sini. Mbak kalau mau gabung boleh banget!" jelasnya ramah.

Mendengar ada pengajian, Ayu semakin bersemangat. Ada banyak hal yang ingin dia ketahui soal agama. Selama ini dia hanya sekali waktu saja mencari tahu, itu pun hanya lewat internet. Selebihnya dia membaca. Ada keinginan kuat dari dirinya untuk menggali ilmu dan wawasan dalam beragama.

"Baik, Bu. Saya save nomor wa ibu, ya."

Ibu bertubuh agak subur itu mengangguk.

"Mbak juga bisa ajak suami Mbak ikut kajian. Ada jadwal untuk para bapak juga loh!"

Mendengar penuturan itu, Ayu hanya tersenyum tipis.

"Iya, Bu."

"Eh tapi ... Mbak sudah izin ke suami kan untuk aktif di kegiatan kami?"

Ayu mengangguk tersenyum.

"Syukurlah. Selamat bergabung dengan kami," tuturnya seraya tersenyum.

🍁🍁

Yudhis tiba di rumah saat senja. Matanya menyipit melihat rumah gelap gulita, pintu terkunci. Bibirnya terus memanggil nama Ayu dan mengetuk pintu dengan wajah resah. Pikirannya mulai tak keruan. Seolah teringat sesuatu, ia merogoh kantong celananya mengambil ponsel. Ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Ayu.

[Maaf, Mas. Aku sedang berada di rumah warga yang terbakar. Maaf jika aku pulang malam.]

[Kunci rumah ada di pot bunga anggrek.]

Rahang Yudhis mengeras. Dalam hati dia mengutuk diri sendiri. Bagaimana dia bisa begitu sangat panik ketika tak menjumpai Ayu di rumah. Sementara bukankah dia yang membuka lebar-lebar akses perempuan itu untuk pergi ke mana pun?

🍁🍁

Alhamdulillah , akhirnya bisa up kisah ini lagi. Huhu, terima kasih buat teman-teman yang selalu menunggu kisah ini. Salam hangat buat teman-teman semua 💜🤗

Semoga selalu suka ya ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top