23

Kiki mengangguk mengerti. Dia mengangguk kemudian menjauh meninggalkan Ayu dan Marina.

"Ada apa ya, Mbak?" tanya Ayu ramah seraya meletakkan air putih kemasan di depan Marina.

Perempuan berkacamata itu mengucapkan terima kasih. Terlihat ragu dia kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Ayu, boleh aku menanyakan hal yang mungkin sedikit mengganggu privasimu?"

Kening Ayu berkerut membalas tatapan perempuan di depannya.

"Maksudnya?"

Mariana tersenyum getir mengeluarkan cincin dari tas tangannya.

"Ini milikmu, kan?" tanyanya seraya menyodorkan benda itu pada Ayu. "Cincin itu milikmu, kan, Ayu?"

Ayu bergeming.

"Katakan sedekat apa kalian!"

Masih tak menjawab, Ayu menarik napas dalam-dalam seraya merapikan jilbab.

"Ayu. Entah kenapa aku merasa Askara masih begitu mencintaimu. Bahkan cincin yang seharusnya tak lagi dia simpan, masih ada di lemari pribadinya!"

"Aku berhak tahu sedalam apa hubungan kalian. Ini penting untuk aku mengambil keputusan, Ayu!"

Terasa ada yang menusuk hatinya saat Marina mengatakan hal ini. Ayu masih ingat bagaimana Askara mencintainya meski dia masih separuh hati menerima. Bagaimana kilas harap terlintas di mata pria itu ketika tahu dia tak lagi bersama Yudhis.

"Keputusan apa yang Mbak maksud?"

Marina menarik napas dalam-dalam kemudian menceritakan kegalauan hatinya. Perempuan tunangan Askara itu mengungkapkan kekhawatirannya jika pernikahan tetap digelar sementara hati dan pikiran Askara masih pada Ayu.

"Beberapa kali dia kudapati sendirian dengan wajah murung dan menggenggam cincin ini. Ketika kutanya dia selalu mengelak dan cepat meletakkan kembali cincin itu."

"Aku nggak menyangka jika ternyata kamu yang selalu dipikirkannya, Ayu. Aku berpikir perempuan itu bukan kamu."

Ayudia memejamkan mata dan menarik napas panjang.

"Mbak Marina, Mbak harus yakin dan percaya saya dan Mas Askara tidak ada lagi hubungan apa pun," jelas Ayu.

"Tapi dia masih ...."

"Mbak ... untuk kisah masa lalu saya, biarkan jadi catatan saya sendiri. Orang lain tidak berhak tahu seperti apa perasaan dan perjalanan masa lalu saya. Jika memang Mas Askara memang seperti yang Mbak Marina ceritakan, saran saya justru Mbak yang harus meyakinkan diri Mbak sendiri. Melangkah atau justru berhenti."

Marina menatap Ayu tajam.

"Aku justru ingin terus melangkah, Ayu! Tapi aku khawatir kamu akan selalu jadi orang ketiga di antara kami."

Cepat Ayu menggeleng.

"Itu nggak akan pernah terjadi, Mbak. Saya bukan perempuan murah seperti yang Mbak pikir!" tukasnya.

"Mungkin bukan, tapi bagaimana jika Askara masih terus dihantui oleh dirimu? Sementara kalian aku lihat memang sedemikian dekatnya? Dia begitu terlihat sangat sayang padamu, Ayu!"

"Cukup, Mbak. Berhenti mengucapkan hal yang belum terjadi! Saya tahu apa yang Mbak rasakan. Saya paham ketakutan Mbak Marina. Percayalah, Mbak! Saya tidak akan pernah menjadi batu sandungan atau perempuan yang akan mengotori hubungan Mbak dengan Mas Aska."

Hening.

"Sekarang Mbak boleh pergi. Sudah nggak ada yang perlu dikonfirmasi lagi, kan? Saya sudah mengatakan hal yang sesungguhnya. Mbak nggak perlu takut kehilangan Mas Askara. Dia milik Mbak, dan selamanya akan jadi milik Mbak."

Seusai mengatakan hal itu, Ayu bangun lalu mengulurkan tangan seraya berkata, "Terima kasih kedatangannya."

"Kamu ngusir aku? Bahkan saat aku belum selesai mengatakan semuanya?" Marina bangkit menyambut jabat tangan Ayu.

"Ini lebih baik untuk saya juga Mbak. Kita sudahi saja pertemuan ini," balasnya tegas.

"Sebelum aku pergi, boleh aku meminta sesuatu?"

"Apa itu, Mbak?"

"Jauhi Askara. Aku mohon, kamu jangan berada di desa ini lagi!"

Kening Ayu berkerut.

"Maksud Mbak?"

Marina menghela napas.

"Aku dan Askara sepakat akan tinggal di sini dan membangun impian kita untuk desa ini. Aku khawatir jika kamu masih di sini akan ...."

Ayu bergeming mendengar penuturan perempuan berpostur lebih tinggi darinya itu.

"Tolong, Ayu. Aku tahu kamu perempuan baik. Jadi kumohon, bantu aku agar Askara tidak lagi berpikir tentangmu dan salah satu caranya adalah kamu ...."

"Aku mengerti. Untuk hal itu akan aku pikirkan."

Senyum Marina terbit ketika mendengar jawaban Ayu. Tampak kelegaan tergambar di wajahnya. Dengan mengucap terima kasih dia segera meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya berpesan agar Ayu merahasiakan pertemuan mereka pada Askara.

**

"Paklekmu kena disentri, Ayu. Kata dokter besok atau lusa boleh pulang," jelas Marni ketika Ayu baru saja tiba di rumah sakit.

Dia memutuskan untuk menemani Bulek Marni dan memberi support untuk Paklek dan keluarganya. Ayu kembali meninggalkan desa dan anak didiknya meski ada banyak yang harus dia lakukan di sana.

"Kamu seharusnya nggak perlu repot datang, Ayu. Bulek tahu bagaimana kesibukanmu di sana."

"Nggak, Bulek. Paklek juga Bulek juga orang tua Ayu. Ayu nggak bisa diam kalau salah satu dari kalian ada yang sakit."

Marni tersenyum seraya mengusap bahu anak kakaknya itu. Sementara Pakleknya terlihat masih terlelap dengan selang infus masih menampel di tangannya.

"Ayu sayang sama keluarga ini. Bulek dan Paklek punya tempat tersendiri di hati Ayu," imbuhnya.

"Makasih, Nduk. Kamu benar-benar seperti ibumu, Ayu. Lembut dan penuh kasih sayang."

Tersenyum Ayu meletakkan kepalanya ke bahu Marni seraya berkata, "Ayu yang harus mengatakan terima kasih, Bulek."

Ketukan di pintu membuat keduanya menoleh ke arah yang sama.

"Permisi, Bu."

Marni bangkit menyambut dokter dan perawat ramah yang masuk.

"Dokter Daffa?"

"Ayu?"

Keduanya tampak saling menatap lalu tersenyum.

"Kamu kok udah di sini aja?"

"Iya, Dokter. Ini Paklek saya," jelasnya dengan senyum.

Daffa mengangguk mengerti.

"Oke, aku mau periksa Paklekmu dulu ya."

Ayu tersenyum kemudian mengangguk.

"Kamu kenal?" tanya buleknya dengan suara pelan.

"Kenal. Bu Mita yang kenalkan," balasnya.

Mata Marni membulat dengan bibir sedikit tertarik.

"Kalau Bu Mita yang ngenalin ... itu artinya ...."

"Bulek. Jangan mikir macam-macam. Dokter Daffa ini pria baik."

"Cocoklah! Kamu juga perempuan baik, Ayu," timpalnya masih dengan suara pelan.

"Bulek, udah tuh dokter udah selesai periksa Paklek."

**

Yudhis mengusap wajahnya membaca balasan pesan Ayu. Dia baru tahu jika perempuan itu kini tidak berada di desa.

[Kenapa kamu nggak cerita ke aku, May?]

[Aku pikir Mas nggak perlu tahu. Lagipula Mas baru sehat juga, kan?]

[Tapi aku kan bisa antar kamu, May.]

[Nggak apa-apa. Aku baik-baik aja kok. Udah dulu ya. Assalamualaikum.]

Yudhis bangkit kemudian menelepon mamanya menceritakan kabar keluarga Ayu.

"Mama udah tahu, Yudhis. Semalam Mama ke rumah sakit. Menurut dokter Daffa, Pakleknya Ayu bisa pulang besok."

Mendengar nama Daffa disebut, wajah pria itu terlihat tegang.

"Dokter Daffa, Ma?"

"Iya, kebetulan yang menangani Paklek Ayu dokter Daffa, Yudhis. Ayu juga terlihat senang karena dia bisa bertanya banyak hal tentang kondisi Pakleknya."

Penjelasan lega Mita tak ditanggapi dengan hal yang sama. Justru Yudhis tampak semakin cemas. Kembali perasaannya bercampur aduk, tak lagi menanggapi cerita Mita di seberang, Yudhis segera mematikan sambungan teleponnya.

"Setelah Askara, sekarang Daffa! Oke, sebodoh itu aku!" rutuknya kembali menghempaskan tubuh ke sofa.

**

Ayu sibuk di dapur membantu Marni. Sore kemarin Pakleknya sudah kembali pulang, dengan mobil pribadi Daffa, Ayu merasa berhutang pada pria itu.

"Dokter Daffa itu baik ya, Nduk," ujar Marni membuka pembicaraan.

Tersenyum tipis Ayu mengangguk.

"Kan udah Ayu bilang sejak kemarin kalau dokter Daffa itu baik "

Ayu menuangkan air dari ketel ke cangkir. Semerbak aroma teh melati menguar bersama asap yang mengepul.

"Selain baik, pintar, dia juga ganteng loh, Ay." Kembali buleknya berkata, kali ini dengan mata menggoda.

Ayu hanya menarik bibirnya sekilas kemudian duduk di kursi kayu yang tak jauh dari tempatnya meracik teh. Meski digoda buleknya tak terlihat wajah cerah di sana. Justru paras cantiknya terlihat muram. Hal itu tertangkap oleh Marni. Perempuan itu mendekat.

"Ayu," tutur Marni pelan seraya menyentuh bahunya.

"Iya, Bulek?" balasnya menoleh seraya merapikan jilbab.

"Bulek lihat kamu sedang memikirkan sesuatu sejak kedatanganmu kemarin. Kamu mau cerita?"



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top