20
"Padahal disakitinya hanya sekali, tapi rasa traumanya seolah tak mau kenal siapapun lagi."
***
Malam ini, selepas makan, Alin memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Sekarang pukul sembilan malam. Cakra dan Ara sudah lebih dulu makan malam di pukul delapan tadi. Sementara Alin tertidur saat pulang sekolah, hingga bangun di pukul setengah sembilan tadi.
Sekarang, Alin sedang duduk di depan jendela bening yang terkunci permanen. Jendela kamarnya terdiri dari dua jendela yang dipisah dengan satu jendela permanen. Alin membuka salah satu jendela, membiarkan angin malam masuk ke dalam kamarnya.
Tak ada pemandangan yang menarik. Hanya saja, Alin merasa sangat menikmati momment seperti ini.
Alin mendengkus napas pasrah kala membaca pesan masuk dari Naumi.
Alin sengaja mengabaikan pesan gadis itu. Mungkin dia akan membalasnya nanti. Saat ini, dia sedang melihat postingan hiburan di sosial medianya.
Bunyi deru motor yang saat ini lewat di hadapan rumahnya, mampu menyita perhatian Alin. Ia mengernyit heran, bahkan memantau motor itu hingga berhenti di rumah seseorang yang tak asing baginya. Tak lama, motor itu kembali pergi.
Itu Sadam. Dia baru saja diantar pulang oleh seorang lelaki, yang Alin duga adalah teman sekelas mereka juga. Tapi bukan Abi.
Alin lantas geleng-geleng kepala. Harusnya Naumi tak usah membuang-buang waktu untuk memikirkan lelaki yang mungkin saja tak pernah memikirkannya.
Alin tak bermaksud bohong. Jika dia mengatakan jujur bahwa ia baru saja melihat Sadam pulang entah darimana, Naumi pasti akan bertanya panjang lebar nantinya.
"Ehem!"
Sontak, Alin dibuat kaget. Seseorang kini tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di hadapan jendela kamarnya. Padahal Alin hanya sebentar terfokus pada ponselnya dan sama sekali tak sadar jika ada orang yang melangkah menuju jendela kamarnya.
Terlebih orang itu adalah Sadam.
"Gimana tugas kelompoknya?" tanyanya, tumben.
Alin mengernyit heran. "Tanpa lo tanya, tugasnya pasti bakalan kelar tepat waktu."
Sadam mengangguk kecil. "Udah makan?"
Alin benar-benar tak habis pikir dengan ulah pacar temannya ini. "Bukan urusan lo!" bentaknya tak santai. "Lagian hari ini gak ada pr. Dan lo gak ada alasan apapun ke sini!"
Alin mengatakan hal itu tanpa menatap kedua mata Sadam. Sadar bahwa kehadirannya cukup mengganggu, lelaki itu akhirnya beranjak pergi.
Alin menghela napas panjang sembari mengusap dadanya. Ia masih shock.
***
Hari ini, Cakra kembali meminjam motor Alin. Pria itu menyuruh Alin untuk pulang bersama Sadam. Tak ada penolakan apapun dari Alin. Meskipun tahu, bahwa pulang sekolah nanti ia akan menaiki bus kota atau memesan ojek online, anggap saja itu sebagai imbalan karena Cakra sudah mau menerimanya untuk tinggal di sini.
"Gapapa nih, lo pulang naik bus kota?" tanya Naumi saat mereka hampir sampai di parkiran.
Alin hanya mengangguk.
"Kenapa gak nebeng Abi aja sih?"
Alin berdecak kesal. "Rumah gue sama Abi gak searah, Nau."
"Apa salahnya, Lin? Selagi Abi nya mau. Lagipula gue santai-santai aja kok nganterin Sadam pulang walaupun gak searah."
Alin mendengkus pasrah, meski di dalam hatinya merutuki bahwa perbuatan Naumi terlalu bodoh.
"Menurut kamu gimana, kalau Alin pulang bareng Abi?" Naumi tiba-tiba bertanya pada Sadam. "Daripada dia naik bus kota. Nunggunya lama, rame lagi."
Tak ada jawaban apapun dari Sadam. Naumi berinisiatif mencari Abi di parkiran, dan kebetulan lelaki itu baru saja menaiki motornya.
"Bi, Alin nebeng lo gapapa kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Alin di sebelahnya benar-benar menahan malu atas tindakan Naumi yang terkesan mengemis.
Abi bergeming selama beberapa saat, hingga akhirnya menjawab. "Boleh."
"Nah kan, apa gue bilang. Abi itu baik, Lin."
Sumpah, Alin rasanya ingin menghilang dari tempat ini sekarang juga.
"Buruan naik. Bi, jagain Alin ya. Jangan sampai kenapa-napa!" sahut Naumi sembari mendorong Alin agar segera naik ke motor Abi.
Terpaksa, Alin akhirnya bersedia nebeng bersama Abi.
***
Malamnya, Alin terbangun di pukul delapan, sebab mendengar suara Cakra yang mengajaknya makan malam. Alin tak menyaut sebab ia masih mengumpulkan nyawa. Ia memang terbiasa tidur setelah pulang sekolah, dan Cakra maklum akan hal itu.
Alin mengibaskan tirai jendela kamarnya. Beruntungnya kasur Alin letaknya di pojok dan bersebelahan dengan jendela, hingga Alin bisa bebas menikmati momen di luar rumah dengan rebahan. Ya meskipun tak ada yang spesial di luar jendelanya.
Sebuah motor sport yang tak asing kini berhenti tepat di pelataran rumahnya. Alin membulatkan matanya tak santai, dan buru-buru bangkit sembari keluar kamar.
Cakra dan Ara sempat menatapnya heran karena mereka kira Alin sedang tidur. Alin bergegas membuka pintu utama sebelum orang itu mengetuknya lebih dulu.
Dan ya, ketika pintu utama dibuka, Abi benar-benar sudah ada di hadapannya.
"Hai," sapa lelaki itu.
Alin memilih keluar, lantas menutup pintu, mencegah agar suara mereka tak terdengar hingga ke dalam.
"Kenapa?" tanya Alin dengan nada sopan, sekalipun ia tak tahan untuk segera mengusir Abi dari sini.
"Gapapa. Gue cuma mampir," ujar lelaki itu.
Inilah alasannya mengapa Alin tak mau dekat dengan laki-laki, apalagi sampai meminta untuk mengantarkan pulang. Selain tak siap membuka hati lagi, Alin juga tak ada perasaan apapun pada Abi.
"Jalan yuk," ajaknya.
Alin sudah menduganya. "Gue gak bisa. Abang gue lagi di rumah, gak enak."
"Abang lo lagi di rumah? Kalau gitu biar gue yang minta izin."
"Gausah!" tolak Alin. "Abang gue galak. Lagian malam ini gue mau bikin tugas."
Abi mengangguk. Bukannya pergi, lelaki itu malah beralih duduk di kursi tamu.
"Kalau gitu ngobrol bentar, bisa kan?"
Alin mendengkus pasrah. Saat ia hendak menyusul Abi, tak sengaja pandangannya malah beralih pada rumah Sadam. Saat ini, lelaki itu sedang berdiri di pelataran rumahnya sembari menatap ke arahnya.
Alin kikuk. Ia berpura-pura menguap. "Abi, gue udah ngantuk. Tugas gue juga belum selesai. Lo pulang aja gapapa kan?"
"Oh, udah ngantuk ya? Okey." Lelaki itu akhirnya bangkit. "Besok pagi berangkat bareng siapa?"
"Gue diantar bang Cakra."
Abi mengangguk. "Kalau pulang?"
"Bareng gue."
Sontak, Alin dan Abi menoleh ke asal suara. Tak disangka ternyata Sadam beralih menyusulnya. Sadam menepuk bahu Abi cukup kuat, lantas melayangkan senyum sinis.
Yang Alin tahu, mereka adalah sepupu, meski kelihatannya tidak terlalu dekat.
"Oke, kalau gitu gue balik." Kali ini Abi benar-benar pergi. Lelaki itu menaiki motornya, menghidupkan mesin, lantas melaju meninggalkan pelataran rumah Alin.
Tinggallah Alin dan Sadam.
Alin menatap Sadam dengan tak santai. "Pr matematika? Gue belum ngerjain satupun!" tebaknya lebih dulu, sebab ia melihat bahwa Sadam membawa buku tulisnya ke sini.
"Trus?" balas lelaki itu.
"Ya trus, tinggalin buku lo ke gue. Besok pagi lo tinggal terima beres. Gitu kan yang lo mau?"
Sadam mengangguk, dan membuat Alin semakin kesal. Alin lantas merampas buku itu dari tangan Sadam dan masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan apapun lagi.
Saat melewati ruang tengah, Cakra sempat menanyainya, dan Alin hanya menjawab bahwa yang orang yang ia temui tadi adalah Sadam. Cakra memercayainya begitu saja.
Alin lantas memasuki kamar, dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Diam-diam, Alin mengintip di balik jendela kamar. Ternyata Sadam sudah tak ada lagi di pelataran rumahnya.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top