20. You Okay!

Sore hari itu, rumah terasa senyap. Karena kesibukan masing-masing anggota keluarga, memang sudah sejak lama sore hari di rumah itu selalu sepi. Tapi kali ini bukan hening yang menenangkan seperti yang biasa disukai Farah. Beberapa hari ini, keheningan yang terjadi di rumah itu terasa menyesakkan dada.

Saat sang ayah masih bersama mereka, mereka sekeluarga pasti berkumpul di waktu sarapan dan makan malam. Tapi sejak beliau tiada, tidak ada lagi yang berkumpul di ruang makan. Karena seringkali mereka tidak nafsu makan, dan baru akan makan hanya karena sudah terlalu lapar. Mereka baru berkumpul lagi di ruang makan ketika Erlang datang membawakan makanan, hanya demi menghormati lelaki yang telah menyisihkan waktunya untuk membawakan makanan untuk mereka.

Karena belum leluasa bergerak, Faris menghabiskan waktu dengan diam seharian di kamarnya, kecuali untuk makan dan ke kamar mandi. Dia juga belum masuk sekolah lagi, dan sudah mendapat ijin dari sekolahnya untuk libur sampai akhir minggu itu.

Farah juga belum ke kampus lagi untuk bimbingan skripsi. Saat Pak Ardi, dosen pembimbingnya, datang melayat pada hari meninggalnya ayahnya, beliau mengatakan bahwa Farah bisa mengambil waktu yang diperlukan untuk menenangkan diri sebelum kembali mengerjakan skripsinya. Hanya saja, beliau juga mengingatkan bahwa waktu pengumpulan skripsinya tinggal satu bulan lagi.

Ibu Farahpun belum kembali mengajar meski telah lewat beberapa hari sejak kepergian suaminya. Beliau masih terus berada di kamar, dan menghabiskan waktu dengan lebih banyak menangis.

Farah merasa hidup ibunya seperti berhenti ketika ayahnya tiada. Beliau tidak lagi memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akibatnya, Farahlah yang beberapa hari ini mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Farah tidak keberatan mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena toh dirinya belum bisa berpikir jernih untuk mengerjakan revisian skripsinya. Dan kalau dirinya hanya diam tanpa mengerjakan apapun, pasti dirinya akan terus-menerus teringat pada hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini. Jadi kesibukan pekerjaan rumah sebenarnya merupakan pelarian Farah untuk menghalau pikiran-pikiran buruknya.

Sore itu Farah baru saja selesai melipat baju-baju yang selesai dijemur, ketika ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Farah tahu bahwa tamu itu adalah Erlang. Pasti lagi-lagi ia membawakan makanan. Sudah beberapa hari ini, lelaki itu melakukan hal tersebut setiap hari. Farah merasa bahwa itu sangat membantu keluarganya di hari-hari seperti ini, sehingga mereka tidak perlu memasak dan cukup memanaskan masakan yang dibawa Erlang.

Namun di sisi lain, Farah juga jadi harus selalu bersiap dengan satu dan lain cara untuk menghindari percakapan dengan lelaki itu. Bukan karena dia membenci lelaki itu setelah kejadian itu. Tapi justru karena Farah membenci dirinya sendiri yang belum bisa berhenti mencintai lelaki itu, bahkan setelah lelaki itu memperlakukannya seperti pelacur yang ditinggalkan begitu saja setelah ditiduri. Ia membenci perlakuan lelaki itu terhadap dirinya, tapi juga belum bisa berhenti mencintainya. Betapa bodohnya ia kan.

Di sisi lain, setelah mengetahui perasaan Erlang yang terpendam kepada ibunya selama bertahun-tahun, Farah jadi sadar diri dimana posisinya. Bahkan Lidya yang menemani lelaki itu selama hampir 2 tahun tidak juga berhasil membuat lelaki itu melupakan ibunya. Kini semua menjadi jelas bahwa perhatian yang diberikan Erlang selama ini kepadanya memang hanya sekedar karena dirinya adalah anak dari perempuan yang dicintai lelaki itu. Dan yang dilakukan lelaki itu kepadanya malam itu, jelas bukan karena lelaki itu tertarik padanya, tapi karena lelaki itu melihat ibunya pada diri Farah. Dirinya memang hanya pelarian semata.

Farah sudah bersiap membuka pintu, lalu segera masuk ke kamarnya dan membiarkan lelaki itu langsung masuk ke dapur mereka (seperti biasa), ketika ternyata dia menemukan orang lain di depan pintu. Bukan hanya satu, tapi ada dua orang.

"Bapak? Ahsan?" sambut Farah dengan tatapan bingung.

Lelaki berwajah Timur Tengah di hadapannya itu tersenyum. Dan anak tampan itu segera melepas tangan ayahnya, lalu menerkam pinggang Farah.

"Kak Farah! I miss you!" pekik Ahsan sambil bergelayut manja di pinggang Farah.

Terharu, Farah melepaskan lengan Ahsan yang melingkar di pinggangnya, lalu berlutut di depan anak itu dan memeluknya.

"Kak Farah juga kangen Ahsan," kata Farah, berbisik pelan di telinga anak itu, sambil menahan air matanya.

Mereka berpelukan tidak lama, karena Farah kembali bangkit dan menggandeng anak itu masuk ke dalam rumahnya. Ia juga mempersilakan Attar untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

"Saya nggak menduga Bapak dan Ahsan kemari," kata Farah, masih kaget dengan kehadiran kedua orang ayah dan anak itu.

"Saya baru dengar pagi ini dari Pak Ardi, bahwa ayah kamu meninggal," jawab Attar, menyebutkan nama pembimbing skripsi Farah. "Makanya sore ini saya ajak Ahsan kesini. Saya turut berduka, Farah. Maaf saya baru kesini sekarang."

Sontak mata Farah berkaca-kaca mendengar ucapan Attar. Ia kemudian menggeleng cepat.

"Bapak nggak salah. Saya yang salah karena lupa mengabari Bapak. Maaf ya Pak."

"Saya ngerti," jawab Attar sambil mengangguk maklum. "Saya sudah mengalaminya dua kali. Dan saya juga anak sulung seperti kamu. Banyak hal yang harus dilakukan setelah kepergian orang tua kita, sampai kadang kita bahkan lupa bersedih."

Mendengar hal itu, yang benar-benar tepat dengan keadaannya saat ini, membuat Farah merasa terharu karena akhirnya ada orang lain yang mengerti perasaannya.

"Ibu Farah ada? Saya mau mengucapkan duka cita."

"Ada, Pak. Di kamar," jawab Farah sambil menunjuk kamar ibunya. "Tapi belakangan ini Mama jarang keluar kamar kecuali untuk ke kamar mandi dan makan. Mama lebih banyak di dalam kamar. Jadi sepertinya belum bisa menemui Bapak. Tapi nanti saya sampaikan salam dari Bapak buat Mama. Makasih banyak ya Pak, sudah repot-repot datang kemari."

Lagi-lagi Attar mengangguk maklum. "Ibu Farah pasti sangat terpukul."

Farah mengangguk singkat.

"Farah harus kuat ya. Dan saya yakin Farah kuat."

Sekali lagi Farah mengangguk. Kali ini dengan embun di pelupuk matanya yang makin bertumpuk. Dia tidak menjawab kata-kata Attar, karena khawatir air matanya akan runtuh kalau dia bersuara sedikit saja.

Ahsan yang sejak tadi hanya diam sambil duduk bersandar dan memeluk lengan Farah, kini akhirnya ikut bicara.

"Kalau Papa lagi kerja ke luar kota, Ahsan sedih banget," kata Ahsan sambil menengadah menatap Farah. "Kak Farah pasti lebih sedih."

Farah menunduk, balas menatap mata anak itu dan membelai kepalanya dengan penuh sayang.

"Tapi kata Ustadz Ilham," lanjut Ahsan sambil menyebutkan nama guru mengajinya, "Kalau kita jadi anak sholeh, kita bakal ketemu lagi sama orangtua kita di surga. Kak Farah kan anak sholeh kan?"

Farah tidak bisa lagi menahan air matanya ketika menatap mata bening anak tampan itu.

Apalagi ketika sekonyong-konyong anak itu menangkup kedua pipi Farah, menatap langsung ke matanya dan berkata, "Kak Farah, you okay."

Farah kira barusan Ahsan bertanya padanya. Tapi ketika anak itu mengulangi kata-katanya, Farah baru menyadari bahwa itu bukan kalimat pertanyaan.

"Kak Farah, you okay! You will be okay!"

Itu kalimat untuk menguatkan. Dan kalimat itu memberi efek sangat besar bagi Farah.

Lalu anak itu menengadahkan kepalanya, dan mengecup kening Farah. Saat itu juga pertahanan diri Farah runtuh. Air matanya luruh. Ia memeluk anak itu dan menangis. Tangisan yang tidak leluasa dikeluarkannya selama berhari-hari, yang membuat rasa mengganjal di dalam dirinya kini akhirnya meluap.

Ahsan balas memeluk gurunya itu dengan sayang.

Attar hanya diam mengamati interaksi kedua orang yang disayanginya itu. Keputusannya untuk mengajak Ahsan sepertinya bukan keputusan yang salah.

Farah dan Ahsan masih berpelukan hingga beberapa lama, sampai akhirnya seseorang mengetuk pintu ruang tamu yang memang terbuka.

Farah dan Ahsan saling melepaskan pelukan untuk melihat tamu yang datang. Dan Attar bangkit dari duduknya untuk menyapa laki-laki yang pernah berkenalan dengannya beberapa waktu yang lalu itu.

"Pak Erlang," sapa Attar sopan, sambil berdiri, dan menganggukkan kepalanya pada lelaki yang berdiri di depan pintu itu.

* * *

Siapa yang seneng ketemu Pak Attar?

Siapa yang seneng ketemu Ahsan?

Siapa yang seneng ketemu Om Erlang?

Siapa yang mau cepet update lagi? Eeeaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top