[21] Akhir Dari Segalanya (?)

[Bagian 21 | 2379 words]

BENCI, adalah kata pertama yang terlintas di benakku dan sangat tepat untuk mengambarkan suasana di dalam dadaku. Tanpa kusadari, tanganku terkepal kala memandang dua wajah yang eksistensinya telah kubenci karena peristiwa yang sama sekali tak bisa kumaafkan.

"P-pangeran ...."  lirih Kiara. Telingaku bisa mendengar betapa kecewanya gadis itu saat tahu pria yang diidamkannya malah bersengkongkol dengan orang jahat.

"Apa kabar, Putri?" Menteri Tumo tersenyum miring. Masih saja aku muak dengan wajah tampannya. "Lama tak berjumpa, ya."

Ada gejolak amarah yang membuncah dalam diriku. Tanpa bisa kutahan, tanganku terangkat dengan bibir yang sudah siap melafalkan sihir emas. Tetapi sebelum aku sempat menyerang, dengan cepat Pangeran Rayne lebih dulu menarik pedangnya dan mengacungkannya tepat di leherku. Namun secepat itu juga pedang Adnan terangkat, mengarah pada leher Pangeran Rayne untuk melindungiku.

"Kalian kalah jumlah," kata Adnan dingin. "Jangan macam-macam."

Tak hanya Adnan. Aku juga mendengar ketika temanku di belakang yang bersiap dengan senjatanya.

"Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?" Pangeran Rayne balas menatap dingin. Ia malah semakin mendekatkan pedangnya, membuat Adnan melakukan hal serupa.

Akan tetapi sepertinya Menteri Tumo punya rencana lain dengan tidak langsung membunuhku. Ia menyuruh Pangeran Rayne untuk menurunkan pedangnya, yang tentu dilaksanakan dengan berat hati. Pedang Adnan juga menurun, tapi ia tetap bersiaga.

Saat itulah aku menangkap pendar cahaya di belakang mereka. Tepat di belakang Menteri Tumo dan Pangeran Rayne, bagai sebuah sesembahan untuk Pohon Hitam, aku melihat dua kristal yang berkelip-kelip seolah minta diselamatkan. Salah satunya kristal merah delima. Mataku membulat saat melihat warna kristal yang lain.

"Itu kristal kelabu milik Kerajaan Silvry!" seruku keras hingga membuat keempat temanku menyadarinya juga. "Serahkan pada kami!"

Aku hampir menerobos kedua pria itu dengan tangan menjulur. Sialnya aku kalah kuat sebab Menteri Tumo berhasil menahan dan mendorongku kasar. Mataku nyalang menatapnya.

Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. Bagaimana mereka bisa mempunyainya sementara kristal itu sendiri hanya bisa diambil orang-orang tertentu?

"Tidak ada yang tidak bisa dilakukan Kegelapan, Putri." Menteri Tumo tersenyum misterius. "Mengambil kristal hanyalah perkara mudah."

Aku menggeram. Untuk kedua kalinya aku berusaha menerobos dan mengambil kristal itu, namun kembali gagal. Menteri Tumo menahan dan mendorongku lebih kasar dari sebelumnya hingga aku terjungkal. Untung saja Elva yang tepat di belakang berhasil menahanku.

"Rayne, bereskan mereka."

Bagai sebuah alarm peperangan, Pangeran Rayne melempar sesuatu dengan cepat dan tinggi hingga benda entah apa itu melewati kami sebelum mendarat jauh bermeter dari posisi. Bersamaan dengan itu, tanah yang kami pijak bergetar. Aku yang baru saja hendak menyeimbangkan posisi, malah hampir kembali jatuh.

Baru kusadari bahwa retakkan-retakkan di tanah bertambah dan semakin panjang seolah dunia tengah terbelah. Dua pasang tangan berbentuk aneh muncul, hendak memanjat naik dari dalam perut bumi. Disusul sebuah kepala asimetris yang tampak membusuk sebagian, berwarna menjijikan, serta tampak kulit yang menggembung di beberapa bagian.

Hingga makhluk menjijikan itu menampakan seluruh tubuhnya yang baru berhasil keluar dari celah retakkan. Aroma tak sedap nan busuk menguar bersamanya. Dan parahnya tak hanya satu, tapi banyak sekali! Merek tampak bagaikan ulat-ulat yang tengah melata keluar dari persembunyiannya.

Kiara menjerit. Sepintas kulihat ia baru berhasil menghindar dari cengkraman salah satu makhluk itu. "Aku benci zombie!"

"Mereka adalah mayat mati yang berhasil dibangkitkan oleh Pangeran Rayne." Letupan sihir keluar dari telapak tangan Elva dan berhasil mengenai makhluk-makhluk yang mendekat padanya. "Kau harus menggunakan sihir tingkat menengah. Mereka bukan makhluk biasa."

Tanpa kusadari, kami berlima telah terkepung. Makhluk-makhluk itu muncul lebih banyak lagi dan lagi dari dalam tanah yang tandus ini. Terseok-seok menuju kami seolah kami santapan siang mereka.

"Mereka kebal bahkan setelah kutusuk dengan pedang!" seru Adnan panik.

Aku diam, mulai berpikir serta mencari rencana terbaik. Tanpa sengaja, telingaku mendengar percakapan sekilas Menteri Tumo pada Pangeran Rayne.

"Tahan mereka lebih lama. Prosesnya akan selesai sebentar lagi."

Mataku membeliak, pikiran dan perasaanku mendadak kacau. Proses apa?!

Tak mau terjebak lama, kuserang zombie-zombie di hadapanku dengan sekali mantra sihir. Begitu mereka menyingkir, kulayangkan mantra serangan pada Menteri Tumo tepat di depan sana. Kukira akan mengenainya, namun ternyata meleset. Selanjutnya, pria itu balik melayangkan serangan serupa padaku. Aku berlindung dalam kubah pelindung yang kuciptakan sekejap.

"Aku sedang tak berniat meladenimu, Putri." Menteri Tumo masih membelakangiku. Terdengar kekesalan dan amarah yang tertahan dalam nada suaranya.

"Tentu, karena aku juga tahu kau bukan tandinganku."

Tangan Menteri Tumo terkepal. Tanpa kuduga, serangan balasan malah kudapatkan dari Pangeran Rayne. Membuatku terpelanting mundur karena tidak siap menghindar.

"Aku akan mengurusnya. Kau panggil saja makhluk tengkorak itu." Pangeran Rayne berucap.

Firasatku bertambah buruk.

Belum sempat aku bangkit, tangan Pangeran Rayne bergerak seolah tengah melibas sesuatu. Bersamaan dengan itu, serangan angin muncul membuatku kembali terpelanting. Pakaianku penuh dengan debu. Di saat aku akan bangkit kembali, ia berhasil menyerangku lagi.

Namun, aku lebih sigap di ketiga kalinya. Kubuat kubah pelindung saat ia menyerang dan segera melayangkan sihir balasan. Ia balik terpelanting. Kesempatan itu kugunakan untuk menyeimbangkan posisi dan melihat apa yang tengah dilakukan oleh Menteri Tumo.

Pria itu membelakangi kami semua. Kedua tangannya terangkat. Di hadapannya, kedua kristal berbeda warna tampak menyala, ada percikkan listrik hitam di sekitarnya. Dengan cepat volume percikkan listrik itu bertambah sebelum saling terhubung antara kristal satu dengan yang lain. Cahaya kelabu dan merah delima terpancar dari kedua benda pusaka itu, lantas terarah pada Pohon Hitam. Pohon itu tampak bercahaya seolah tengah menyerap serta mengumpulkan semua kekuatan dari kristal sebelum menembakkannya ke langit.

Kuteguk ludah saat menyaksikan langit yang semula mendung menjadi bertambah gelap. Angin mendadak berhembus kencang, menerbangkan debu-debu yang sialnya hampir masuk dalam mataku. Petir tampak mengilap, menyambar di atas sana, disusul gemuruh yang memekakan telinga.

Belakangan aku sadar apa yang akan terjadi setelah dan dengan adanya mendung beserta petir di atas sana. Di depanku, beratus-ratus meter jauhnya; di ujung lain pulau ini, tampak sebuah bayangan besar yang tengah bangkit. Ia berukuran raksasa dengan tubuh berbentuk kerangka. Tubuhnya tampak tak padat; berupa bayangan seperti yang kubilang. Tubuhku hanya bisa mematung menatapnya.

Kemudian secara tiba-tiba aku terpelanting jauh, mendekati teman-temanku. Tidak perlu bertanya sebab aku tahu siapa yang menyerangku. Aku memaksakan diri untuk bangkit, dan mendapati jubahku robek dengan garis panjang.

Sialan.

"Viona!"

Aku menoleh, sangat kesulitan untuk melihat siapa yang memanggilku karena angin kencang ini. Tapi lalu aku tahu itu Elva sebab tampak rambut putihnya berkibar.

"Panggil makhluk di dalam kristalmu!"

Aku yang tidak begitu mendengarnya memutuskan untuk menghampirinya. Anginnya sangat parah. Mataku sering kemasukan debu.

"Panggil makhluk dalam kristalmu!" ulang Elva. "Hanya itu yang bisa mengalahkan raksasa di sana!"

"Ada makhluk dalam kristalku?" tanyaku tak percaya.

"Tentu saja! Kau kira itu hanya pajangan?!" seru Elva kesal. "Panggil ia!"

"Bagaimana? Aku tak tahu!"

"Kau hanya perlu memintanya bangkit dan mengarahkan kristalnya ke langit. Nanti  ia bekerja dengan sendirinya, dan—merunduk!"

Refleks aku mengikuti apa yang Elva minta. Tanpa kuduga tangannya terarah pada sesuatu di belakangku disusul letupan sihir. Aku kembali berdiri. Saat kulihat rupanya mayat aneh itu.

"Semoga beruntung!"

Selepas mengatakan itu, Elva pergi membantu Kiara di depan sana. Aku yang sama sekali tak punya ide lain memutuskan untuk mengikuti instruksi dari Elva. Kuambil kristal emas di dalam tas dan menggengamnya penuh harap. Kubisikkan sepatah kata dan mengangkatnya.

Hal ajaib terjadi. Telapak tanganku terasa menghangat sebelum akhirnya kristal emasnya menembakkan cahaya ke langit. Namun sebelum prosesnya selesai, kristalnya terlepas dari genggamanku. Terlempar jauh dan berdenting di atas tanah.

Ketika menoleh, kudapati Pangeran Rayne-lah yang melakukannya. Tangannya terangkat untuk menyerangku dan aku sudah bersiap untuk menghindar. Akan tetapi tanpa kuduga Rylo muncul, lantas berduel dengannya.

Aku tak sempat mengucapkan terima kasih karena kristal itu hampir saja diambil oleh mayat-mayat hidup, yang langsung kuserang lebih dulu. Kurebut kembali sebelum melakukan instruksi dari Elva untuk kedua kalinya.

Kali ini prosesnya berhasil. Beberapa ratus meter di belakangku; di sisi yang berlawanan oleh raksasa kerangka, kusaksikan sebuah bayangan raksasa tengah bangkit. Aku takjub kala menyadari bahwa bayangan raksasa itu berbentuk rusa, dengan tanduk panjang bercabang yang tumbuh indah di kepalanya bagai sebuah mahkota. Manisfestasi padatnya berpendar emas yang sangat menakjubkan.

Rusa itu meringkik, kaki depannya terangkat tinggi sehingga ia hanya bertumpu pada kedua kaki belakang.  Aku sempat berpikir bahwa mungkin akan terpijak ketika ia berlari melewatiku. Namun kurasakan, kakinya raksasanya sama sekali tak terasa walau ia betulan menginjakku. Aku takjub. Wujudnya sama persis dengan benang emas.

Melihat bagaimana semangatnya rusa raksasa itu menerjang dan bertarung dengan raksasa kerangka, rupanya cukup menyulut semangatku. Aku menguatkan diri, lalu memilih bergabung dengan temanku yang lainnya.

Kuserang mayat yang tidak habis-habis itu dengan mudahnya sambil mencapai teman-temanku. Mayat ini terus bermunculan, menyerang terus hanya akan membuat kita kehabisan tenaga. Aku akan menyusun rencana baru.

"Kita harus mengambil kristal itu!" seruku pada siapa saja yang mendengar. "Aku yang akan memimpin jalan. Kiara dan Elva, kalian mengikuti di belakangku. Rylo, kau alihkan Pangeran Rayne. Adnan, kau alihkan Menteri Tumo untuk sementara, oke?—bagus. Ayo bergegas!"

Kami mulai menjalankan bagian masing-masing. Adnan dan Rylo berpencar, sementara sisanya mengikutiku.

Di saat kedua temanku tengah terfokus menyerang mayat-mayat itu, kulihat Pangeran Rayne di kejauhan dan melangkah ke arahku. Angin mengibarkan rambut hitamnya, kini ia berada tak jauh di depanku. Aku menatapnya lamat kala menyaksikan matanya yang tampak bercahaya berbeda. Iris kirinya berpendar hijau terang, sementara iris kanannya berpendar merah delima.

Ya, telah kusadari sejak lama bahwa Pangeran Rayne juga mengidap heterokromia sepertiku. Awalnya aku hanya acuh dan tidak mengerti, namun kini aku telah paham mengapa kami mengidap kelainan yang sama.

Kusunggingkan senyum miring padanya, akhirnya ia menunjukkan iris aslinya juga

Sebelum ia sempat menyerangku, Rylo lebih dulu menjalankan bagiannya. Pangeran Rayne pun teralih. Aku menghela napas, lantas bergegas menjalankan tujuanku.

"Viona! Perhatikan rusa-mu!

Aku yang mendengar Rylo berkata demikan lantas mendongak mendapati rusa raksasa tampak kewalahan menghadapi lawannya. Ringkihannya menggema di langit kala raksasa kerangka berhasil menyerangnya. Hatiku mencelus mendengar rintihannya yang sangat menyedihkan.

"Aku akan memanggil makhluk kristalku untuk membantunya," kata Elva. "Viona, berikan kristalnya padaku!"

Tak mau berlama-lama, kuserahkan saja kristal ungu dari dalam tas kepadanya. Elva menangkap sempurna. Ia langsung menggenggam benda itu dan mengangkatnya ke arah langit.

Tiba-tiba, sudut mataku menangkap pergerakan Pangeran Rayne yang hendak membatalkan Elva membangkitkan makhluk. Sontak, aku berlari ke arahnya sebelum serangan itu menyasar ke kepalanya.

"Elva, awas!"

Aku menerjang Elva yang tampak terkejut. Di saat yang bersamaan, sihir dari Pangeran Rayne memang meleset, tetapi berganti mengarah pada kristal ungu. Benda pusaka itu terpental jauh, prosesnya gagal, sementara aku dan Elva berdebum di tanah.

Kami kalah cepat dengan Pangeran Rayne yang langsung menarik kristal itu dengan sihirnya. Ia tertawa keji. "Terima kasih atas kebodohanmu, Putri Viona."

Dengan segera aku bangkit walau merasa tubuhku sangat sakit sekali. Elva menyusul di belakangku. Kami berdua segera berlari agar bisa mencapai pangeran berengsek itu sebelum kristalnya jatuh ke tangan Menteri Tumo.

Terlambat.

Saat kami kembali dekat dengan Pohon Hitam, tampak Adnan yang sudah terbaring babak belur. Tanganku terkepal marah. Kupinta Elva untuk membantu Adnan. Aku akan memberi kedua pria itu pelajaran.

Kristal ungu telah berpindah tangan. Tak tanggung-tanggung, kulayangkan sihir emas kepada menteri sialan itu. Namun tanpa kuduga, untuk pertama kalinya sihir itu gagal. Pangeran Rayne lebih dulu membuat kubah yang melindunginya bersama Menteri Tumo. Amarahku memuncak.

"Kerja bagus, Rayne. Tuan akan memuji kita!"

Seranganku tertahan ketika melihat ketiga kristal itu saling terhubung dengan percikan listrik sebelum akhirnya memancarkan cahaya berwarna gelap ke arah Pohon Hitam.

Tubuhku mematung kala menyaksikan pohon itu bersinar hitam seolah mendapat kekuatan baru. Hawa di sekitarku meningkat. Ada aura hitam gelap yang melingkupi pohon itu. Angin bertiup rusuh, mengibarkan rambut dan pakaianku. Langit bertambah gelap seolah akan ada badai detik ini juga. Gemuruh memenuhi telingaku. Petir menyambar terang di atas sana, membuat yang ada di bawahnya terang sejenak.

Kedua pria itu tersenyum keji saat pohon membuat sebuah titik di hadapan mereka. Awalnya aku mengernyit bingung. Namun semakin lama kemudian titik itu membesar. Menteri Tumo dan Pangeran Rayne melangkah mundur, bulatan itu membesar seukuran tubuh mereka.

Kemudian mataku membeliak menyadari apa itu.

"Cegah mereka masuk ke portal!"

Kiara yang berdiri tak jauh dariku sontak siap dengan panahnya. Diarahkannya anak panah pada dua pria itu sebelum memanah dengan yakin. Sayangnya, panah sedikit meleset sebab harus melawan angin kencang dan mengenai bahu Pangeran Rayne.

Baru saja aku hendak tersenyum puas, masih saja sempat-sempatnya Menteri Tumo membalas. Tanpa benar-benar bisa kuduga, pria itu melayangkan serangan balik dengan pisau belati. Kukira ia mengincarku sesaat aku telah bersiap berlindung, namun hatiku mencelus dalam ketika tahu siapa sasarannya.

Kiara ambruk seketika di tanah.

"Kiara!"

Air mata seketika mengalir di pipiku dengan derasnya. Kulangkahkan kaki cepat ke arah Kiara yang sudah tergeletak di tanah dengan darah menggenang. Teman-temanku langsung ikut menghampirinya.

Aku berlutut cepat, menepuk pipi Kiara panik. Adnan di sampingku juga melakukan hal yang sama. Wajahnya tak kalah panik dariku. Tapi kemudian aku sadar bahwa tidk ada gunanya kami memanggil-manggil ketika tahu bahwa belati itu menancap tepat di jantungnya.
 
"Rasakan itu, Idiot!"

Mendengarnya, amarahku tersulut. Aku kehilangan kendali diriku kala mencabut belati itu tanpa ngilu dan balik melemparkannya bersama sihir emas pada dua pria bajingan itu. Tanpa kusangka, belatinya mengenai abdomen kanan Menteri Tumo. Jeritnya terdengar bersama ledakan sihir emas. Portalnya langsung menutup.

Bersamaan dengan itu, angin berangsur tenang. Awan kelabu mulai menyingkir dari langit. Kerangka raksasa tumbang, ia berubah menjadi abu yang tertiup angin. Rusa raksasa kembali menjadi kristal emas yang jatuh berdenting di dekatku. Dan, tak ada lagi Pohon Hitam. Ia lenyap seolah di depan kami tak pernah tertanam apapun sebelumnya.

Di suasana alam yang kembali tenang itu, aku mendengar tangis ketiga temanku di belakang. Aku berbalik, menatap wajah pucat Kiara yang sudah terpejam dengan berkaca-kaca. Tubuhku lemas. Sontak aku jatuh berlutut di sampingnya.

Tanpa bisa kutahan lagi, kulepaskan semua tangis dan air mataku. Kupeluk leher jasad itu dan menenggelamkan wajahku di sana. Kupanggil-panggil namanya, namun ia tak kunjung terbangun.

Kubebaskan amarah bersama derai air mata. Sudah berkali-kali aku panggil namanya, kuusap rambutnya, dan kutepuk-tepuk pelan pipinya. Namun, kenyataan bahwa ia tak akan terbangun lagi hanya membuat perih hatiku. Kami berempat menangis pilu.

Mengapa orang yang sama telah membunuh kedua orang tuaku juga harus merenggut nyawa sahabatku?

Hatiku semakin perih. Dadaku terasa seperti ditekan kuat-kuat, membuatku sesak. Air mataku terus berderai tanpa henti. Kepalaku menggeleng kuat, sangat tidak terima dengan kenyataan ini.

Ibu, Ayah, Kiara. Maaf ... aku gagal.

Tubuhku semakin lemas, tenagaku terkuras habis. Bahkan, kesadaranku mulai menipis. Di detik-detik sebelum kegelapan mengambil alih, aku bermimpi, Kiara mengucapkan selamat tinggal padaku.

.

.

.

.

.

Selamat jalan, Kiara.
Kamu akan terus menjadi sahabat terbaikku.




satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

nggak, nggak, aku nggak nangis kok. aku nggak nyesek, kok. nggak kok, nggak. ///sedot ingus, usap mata.

yah, beginilah akhirnya. tapi belum bener akhir. aku akan update epilog setelah ini.

eh maaf ya kalau agak nganu, aku ngetiknya pakai mode ngebut.

oh iya, ini happy ending gak sih? happy kan ya? kan vionanya masih alive :D 👍  //ditabok readers.

vommentnya  jangan lupa! ★

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top