[2] Surat

[Bagian 2 | 1407 words]

"KAMU tidak apa? Kuperhatikan wajahmu murung sejak kemarin."

Aku menoleh, dan mendapati Kiara yang menatapku lekat. Gadis itu selalu ingin tahu. Bukan jenis 'ingin tahu' yang menyulitkan, tapi ia menginginkanku berbagi cerita dengannya. Aku ingin, namun belum berkenan.

Kuseruput kopi yang uapnya masih mengepul ini sebelum menjawab dengan suara lirih. "Aku tidak apa."

Kiara mendengkus. "Terserah kamu sajalah. Tapi jika kamu ingin tahu, wajahmu mengkhawatirkan. Sampai beberapa dosen mengatakan hal yang sama."

Aku menatapnya. "Para dosen?"

Kiara mengangguk. "Mereka beranggapan bahwa mahasiswi kesayangan mereka sedang ada masalah."

Aku mendelik pada penekanan yang diberikan Kiara. Walaupun itu benar, tetap saja aku tidak suka dengan panggilan itu. Terlalu berlebihan.

Aku tidak menjawab lagi. Lebih memilih untuk menghabiskan shortcake vanila dan menikmati setiap bagiannya. Kiara melakukan hal yang sama.

Omong-omong, Kiara adalah teman pertamaku di sekolah akhir saat masa orientasi siswa. Kami terus bersama hingga memilih kuliah di tempat dan jurusan yang sama. Kiara memilih untuk ikut denganku, tepatnya. Aku sendiri tidak keberatan, justru senang karena ada teman yang sudah lama kukenal.

Dan, satu lagi teman dekatku. Namanya Adnan. Ia juga kuliah di sini, namun berbeda jurusan. Cowok itu sekelas dengan kami saat pertama kali pembagian kelas di sekolah akhir. Intinya, kami bertiga sudah kenal cukup lama.

Kiara bercerita padaku bahwa ia menyukainya. Dan aku memaklumi saja. Memang selalu ada rasa di antara persahabatan dengan cowok.

Bicara tentang Adnan, cowok itu terlihat di kejauhan. Tak butuh waktu lama untuk ia mengampiri dan ikut bergabung dengan kami.

Kiara menyipitkan mata, menatap Adnan yang membawa laptop putihnya dengan pandangan tak suka. "Tidak boleh ada laptop di kafetaria."

Adnan melirik kami berdua sebelum membuka laptopnya dan berkata, "tugasku banyak."

"Tugasku juga banyak."

Adnan berdecak. Ia terlihat sedikit frustasi saat melihat layar laptopnya. Entah tugas apa yang dikerjakannya. "Daripada kamu bicara terus, lebih baik pesankan aku teh hijau dan biskuit."

Kiara yang sudah menduga bahwa akan disuruh Adnan mendengkus sebal. "Dasar tidak tahu diri," sinisnya. Tapi ia tetap beranjak, dan bisa kulihat gadis itu pergi ke kedai untuk memesankan apa yang dikatakan Adnan.

Aku tertawa kecil. Mereka memang sering bertengkar dan selucu itu kadang.

"Viona," Adnan memanggil, namun pandangannya tetap pada layar laptop. "Ada apa dengan wajahmu?"

Aku bingung sendiri sebelum menyentuh wajahku. Rasanya, tidak ada yang salah.

"Kamu terlihat murung," tambahnya seolah mengerti kebingunganku.

Aku menghela napas. Sejak kemarin banyak sekali yang menayangkan hal serupa.

"Tidak apa," balasku singkat. "Mungkin kelelahan."

Adnan tidak berkata apapun lagi, dan aku juga merasa belum saatnya untuk bercerita.

Kiara datang dengan nampan hitam berisi secangkir teh hijau dan sebungkus biskuit tanpa rasa. Ah, ia selalu hafal pesanan Adnan saat waktu istirahat.

"Pesanannya, Tuan," sindirnya lagi sambil meletakkan nampan tepat di hadapan cowok itu.

Adnan yang melihatnya tertawa pelan. Baginya, sindirian Kiara tak ubahnya sebuah rajukkan anak kecil. Ia berterima kasih sebelum menyeruput teh hijaunya dan kembali fokus pada laptopnya.

"Jadi, Viona," kata Kiara yang membuatku menoleh. "Kamu tidak mau bercerita?"

Adnan meliriku, seolah juga menanyakan hal yang sama. Sebagai sahabat, tentu mereka ingin tahu. Tapi aku menggeleng pelan. Masih enggan.

"Tenang saja. Lagipula kalian orang pertama untuk tempatku bercerita."

Sepulang kuliah, aku segera kembali ke rumah. Padahal Kiara dan Adnan mengajakku makan siang. Hal yang sudah lama tak kami lakukan karena Adnan yang sering sibuk. Namun, aku tak bisa. Dan berkata bahwa ada yang harus kuselesiakan.

Aku tak berbohong. Karena memang benar, aku ingin menyelesaikan kegiatan membersihkan kamar orang tuaku. Tidak, aku tidak penasaran atau apa. Tapi aku berpikiran, bahwa lebih cepat selesai lebih baik. Setidaknya aku bisa kembali membersihkan setelah sekian lama nanti. Aku tidak suka sesuatu tentang kamar itu yang membuatku kepikiran hingga sulit berkonsentrasi di kampus. Mungkin memang aku harus menyelesaikannya.

Maka, aku sudah berada di sini, di kamar orang tuaku. Aku mencoba mengabaikan bingkai foto kedua orang tuaku dan sesuatu yang berada dibaliknya. Meskipun sulit karena aku terus kepikiran, setidaknya aku tak kembali melihat gambar itu lagi.

Setelah membereskan nakas dan memindahkan barang di dalam lacinya ke kardus, aku menuju lemari. Rencananya, aku akan membereskan pakaian mereka, dan menyimpannya dalam kardus. Mungkin aku juga akan menyumbangkan beberapa.

Tak ingin berlama-lama, aku menyelesaikan rencanaku. Semuanya lancar saja hingga aku menemukan sesuatu. Sebuah amplop yang bertuliskan: untuk Viona.

Aku menghela napas. Mengapa selalu ada hal yang bisa mengusik pikiranku?

Aku mengantonginya. Lantas bergegas menyelesaikan yang sempat tertunda. Kuletakkan kardus-kardus itu dalam gudang, bersama tumpukkan kardus lainnya. Lalu menutup furnitur yang ada dengan kain putih seperti semula. Sudah selesai. Aku pun keluar, mengunci pintu dengan membawa sekeranjang kain yang berupa seprai dan tirai.

Saat aku hendak pergi ke tempat laundry, aku dikejutkan oleh sepasang manusia di ruang tamuku dan televisi yang menyala dengan volume kecil. Aku bisa saja melemparkan keranjang di tanganku saling kesalnya jika aku tidak mencoba untuk bersabar.

Sabar, ingatku pada diri sendiri. Namun, aku mengumpat dalam hati.

"Dasar tidak tahu diri," kesalku yang membuat mereka tersenyum tanpa dosa. "Aku menyesal tidak meletakkan seember air di atas pintu."

Mereka tertawa. "Kiara yang mengajakku," kata Adnan dengan nada menyalahkan setelah tawanya mereda.

Kiara mendelik padanya, tak terima. "Siapa yang mengusulkan untuk ke rumah Viona?"

"Kamu."

"Jangan membual!"

Adnan tertawa setelah berhasil membuat Kiara kesal. Sementara itu, aku hanya bisa bersabar lagi ketika melihat mereka. Sungguh seperti anak kecil.

"Jangan lakukan itu lagi atau aku benar-benar menaruh seember air di atas pintu," ingatku pada mereka.

Mataku pun teralih pada bungkusan putih di atas meja. Aku menghampiri dan ikut duduk di sofa, namun tanganku membuka bungkusan itu. "Ini apa?"

Mereka berhenti bertengkar. Diakhiri dengan Kiara yang masih mendelik sebal, dan Adnan yang menjawabku, "makan siang untukmu. Kiara yang membelikannya."

Aku membukanya dan menemukan seporsi nasi dengan ayam goreng berserta kentang goreng. Menu favoritku.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung memakannya. Begitu nikmat hingga aku lupa bahwa kedua temanku ada di sana. Aku baru tersadar bahwa aku belum makan sejak pagi.

Kiara memusatkan pandangannya pada keranjang di dekat kakiku, lantas ia bertanya, "apa yang kamu bawa itu?"

"Seprai dan tirai untuk di laundry," jawabku disela makan.

Kedua orang itu tak bicara lagi, mereka sibuk menonton televisi. Sesekali bertengkar lagi karena berebut channel dan acara yang akan ditonton.

Sementara itu, aku selesai makan. Mendadak, aku teringat amplop putih di kantongku. Aku melirik Kiara dan Adnan yang terlihat fokus sekali dengan acara televisi yang mereka tonton. Tak ingin menggangu, aku membukanya diam-diam.

Di dalamnya, aku mengerutkan kening ketika menemukan sebuah kunci emas dan sebuah surat. Aku mengantongi kunci sebelum mulai membaca surat itu. Sebuah surat yang cukup panjang, dari Ibu dan Ayah.

"Untuk Viona.

Mungkin kamu membaca surat ini saat kami sudah meninggal, atau beberapa tahun setelahnya. Kami tidak tahu berapa usiamu saat membaca ini, tapi kami harap kamu sudah cukup besar untuk mengerti.

Kematian kami tidaklah sesederhana yang kamu lihat. Kematian kami melibatkan sesuatu yang rumit dan sesuatu yang kamu tidak pernah pikirkan sebelumnya. Jika dahulu kami sering memarahimu karena ikut campur urusan kami, sekarang kami mengizinkan.

Kami bukan manusia biasa, kami pemimpin sebuah kota yang berbeda dimensi dari yang kamu tinggalli sekarang. Terdengar konyol memang. Namun kami tidak bercanda memberitahumu tentang ini.

Kami hanya berharap kamu mau pergi ke kota itu, dan menyelesaikan kekacauan serta apa yang kami tidak sempat selesaikan karena keterbatasan waktu. Percayalah, andilmu sangat besar di sana. Dan kalau kamu tidak mau membantu, sesuatu yang buruk tak hanya terjadi di kota itu, tapi di dimensi lain, termasuk kotamu sekarang.

Untuk ke sana, kamu bisa menggunakan kunci emas. Ada jalan rahasia di kamar kami yang tak pernah kamu ketahui. Caranya mudah, gunakan kunci untuk membuka lemari.

Sesampainya di sana, cari Jendral Ryno atau Penasihat Falfa. Jangan percaya siapapun selain mereka berdua.

Maafkan Ibu dan Ayah yang tidak bisa menceritakan apapun padamu, lalu tahu-tahu memintamu ini itu. Kami punya alasan. Dan tolong jangan benci kami saat kamu tahu apa alasan itu.

Ibu dan Ayah selalu menyayangimu, dan bangga padamu, seperti yang kamu ketahui. Kamu tidak pernah mengecewakan, jadi kami percayakan padamu. Sudah saatnya kamu mengetahui apa yang selalu kami larang untuk kamu ketahui.

Terakhir, rasa sayang kami tak pernah pudar walau kami sudah tertanam dalam tanah, Viona. Kami selalu bersamamu, melindungimu. Tolong percaya hal itu. Dan apapun yang terjadi, jangan membenci kami, Sayang. Setiap hal yang terjadi di dunia, selalu ada alasan di baliknya.

Kami sayang padamu, Marcia Viona Romano Goldey, putri kebanggaan Ibu dan Ayah satu-satunya.

Tertanda,
Ibu dan Ayah."

Pandanganku mengabur bersamaan dengan mataku yang memanas. Di saat itu juga, Kiara dan Adnan memanggilku sebelum akhirnya bendungan air mataku runtuh. Aku menangis untuk kedua kalinya di minggu ini.

tinggalkan jejak karena itu means a lot for me ^^

tadinya mau ngasih cast adnan kiara, tapi belum nemu, hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top