5

Happy reading. 💜


***

Hari Minggu yang seharusnya menjadi hari paling tenang dalam hidupku kini harus sedikit terganggu dengan kehebohan Kak Aldo dan ketiga temannya. Playstation-lah yang menjadi alasan mereka berkumpul dan membuat kehebohan yang mengganggu.

Selain menganggu ketenanganku, kedatangan teman Kak Aldo juga turut membuatku dilanda kesibukan di dapur. Membantu Mama menyiapkan makanan kecil serta minuman untuk menemani para pemuda yang berteriak heboh di kamar Kak Aldo.

“Ran, anterin minuman ini, ya.”

Mama menyodorkan baki yang berisi empat gelas kosong dan seteko sirup padaku. Malas-malasan aku mendekati Mama dan mengambil alih baki tersebut.

“Ini aja, 'kan?” tanyaku yang dijawab Mama dengan anggukan.

“Kalau sudah, jangan ke kamar dulu. Makanannya juga dianterin,” pesan Mama sebelum aku keluar dari dapur.

Dengan bersungut-sungut aku menapaki satu persatu anak tangga. Kalau tidak mengingat ada Kak Nando di sana, pasti aku sudah menyuruh Kak Aldo untuk mengambil sendiri makanan dan minuman di dapur. Enak saja merepotanku dengan kedatangan teman-temannya. Harusnya dia menyediakan sendiri makanan dan minuman untuk teman-temannya. Alih-alih menganggu hari libur dan ketenanganku.

Suara gaduh dari kamar Kak Aldo langsung menyapa telingaku yang berdiri di ujung tangga. Para lelaki itu tertawa dengan sangat keras. Ternyata, bukan anak cewek saja yang suka membuat kegaduhan kalau sedang kumpul. Anak cowok pun akan gaduh kalau sudah bertemu. Tidak ada bedanya sama sekali.

“Makanya jangan jadi playboy.” Suara Kak Rian langsung terdengar. Disusul suara tawa tak lama kemudian.

Walau tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan, tapi aku tahu siapa yang dijadikan objek pembicaraan. Di antara teman-teman Kak Aldo, hanya Kak Hendra-lah yang terkenal playboy. Tukang gonta-ganti cewek seperti bergonta-ganti pakaian.

Kalau dipikir-pikir, wajar sih Kak Hendra banyak yang suka. Selain ganteng, dia juga tajir. Banyak cewek-cewek yang naksir karena dua hal itu. Kalau urusan otak sih, ya … agak menengah ke atas.

“Mumpung masih muda. Lagian, nggak seru kalau pacaran cuma satu orang aja.”

Aku tiba-tiba saja langsung menghentikan langkah saat mendengarnya. Kata-kata Kak Hendra terasa menyakitkan di telingaku yang kata orang-orang termasuk tipe setia ini. Aku tidak suka jika seseorang menjalin hubungan lagi di belakang kekasihnya. Entah apa pun alasannya. Aku sangat membenci orang ketiga dalam sebuah hubungan.

“Kalau kamu, Ndo? Kapan punya pacar?” Kali ini Kak Aldo yang bersuara.

Mendengar nama Kak Nando disebut langsung membuatku memasang telinga baik-baik. Sedikit lancang memang karena aku sudah sengaja mencuri dengar. Namun, aku sangat penasaran dengan pembicaraan di antara empat cowok itu.

Jantungku berdetak cepat menanti jawaban apa yang akan diberikan Kak Nando. Berharap ia akan memberi kode perihal gadis yang ia sukai dan tengah dekat dengannya. Kalian pasti tahu siapa orangnya, ‘kan? Namun, setelah hening yang cukup lama, Kak Nando tetap tidak memberi jawaban.

Tanpa sadar aku menghela napas kecewa. Sepertinya aku terlalu memasang ekspektasi yang terlalu tinggi.

“Kalau Nando sih, palingan pacaran sama tiang bendera di sekolah.” Lagi, tawa itu kembali berderai. Aku yang hendak mengetuk pintu langsung mengurungkan niatku mendengar celoteh Kak Hendra.

Tiba-tiba saja aku memanas. Kalau saja mereka tahu siapa yang menjadi pacar Kak Nando, apa masih mereka meledek Kak Nando?

Jawaban Kak Nando akhirnya terurai kemudian, “Emang harus ya aku cerita tentang pacar aku sama kalian?”

“Wuu …,” koor yang lainnya bersamaan.

“Kamu ada pacar? Kok nggak cerita?” Kak Aldo terdengar tak percaya.

“Emang harus?”

Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajah Kak Nando saat ini. Mungkin datar seperti biasa atau malah lebih datar. Yang pasti, nada suaranya terdengar dingin.

“Aku rasa Hendra cuma bercanda.” Suara Kak Rian langsung mencairkan suasana. “Lagian kamu juga, Ndra. Kita ini sudah kelas dua belas, mikirin sekolah aja belum kelar ini malah mau ngegaet cewek baru. Kapan mau belajarnya?”

“Ah, belajar mulu. Enggak seru!”

“Terus jadi playboy emangnya seru?” balas Kak Rian.

“Ah, kamu nggak asik! Lama kelamaan ketularan sama Nando nih. Asik di paskib sampe lupa nyari cewek.”

“Kamu beneran udah ada pacar, Ndo? Atau pembelaan aja biar nggak dituduh Hendra pacaran sama tiang bendera?” tanya Kak Aldo.

“Terserah,” jawab Kak Nando singkat. Terdengar sekali ia tidak mau memperpanjang percakapan.

“Gimana kalau aku kenalin sama sepupu aku, Ndo?” tawar Kak Hendra. “Dia kelas dua belas juga, tapi di luar kota. Gimana?”

Mendengar Kak Hendra yang ingin mengenalkan Kak Nando dengan sepupunya yang di luar kota membuatku langsung mengetuk pintu kamar Kak Aldo. Tidak lagi kupedulikan ketukan kasar yang aku layangkan. Emosiku benar-benar terbakar.

Siapa yang tidak cemburu saat mendengar kekasihnya akan dikenalkan dengan lawan jenis?

Wajah Kak Aldo langsung menyapaku saat daun pintu itu terbuka. Pemuda itu menggeser sedikit tubuhnya untuk memberiku jalan saat menyadari apa yang aku bawa.

“Nih minumannya,” kataku ketus.

Kulirik Kak Hendra dengan tatapan sinis. Begitu juga Kak Rian. Saat tatapanku tertuju di Kak Nando, aku langsung mendengkus. Sebisa mungkin menghindari bersitatap dengan Kak Nando.

“Lagi ngobrolin apa, sih? Kayaknya seru banget,” kataku sedikit berbasa-basi.

“Ini, si Nando, katanya dia pacaran sama tiang bendera di sekolah.” Kak Hendra menunjuk Kak Nando dengan dagunya.

“Ha? Serius Kak?” tanyaku. Kupasang ekspresi tak percaya sebagus mungkin agar lebih meyakinkan. Ah, sepertinya aku harus belajar akting agar bisa lebih natural lagi.

“Nggak usah percaya. Hendra emang ngaco, Ran,” bela Kak Rian yang langsung mengambil minuman yang kubawa.

Aku manggut-manggut mendengarnya.

“Emang Kak Nando nggak ada pacar?” pancingku.

Kak Nando diam. Namun matanya tertuju lurus padaku. Seolah dengan tatapan matanya itu dapat membuatku terbakar, atau bahkan meleleh di tempat.

“Mana sempet dia nyari pacar, Ran. Orang dia sibuk di paskib,” ejek Kak Hendra. “Dia udah cinta mati sama paskib.”

“Oh gitu. Ya udah, lanjutin ngobrolnya.” Aku memasang senyum semanis mungkin.

“Makanannya mana?” tanya Kak Aldo.

“Nanti dibawain."

“Cepetan. Laper nih,” bisiknya.

“Berisik!” balasku sambil melotot.
Saat berada di depan pintu aku berbalik dan berkata sepelan mungkin, “Kayaknya emang Kak Nando lebih cocok pacaran sama tiang bendera daripada sama manusia.”

***

Jangan lupa komen, ya.

Xoxo

Winda Zizty

16 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top