extra chapter

Sewaktu Kirana sadar kala itu, dia tiba-tiba sudah ada di sebuah ruangan rumah sakit dan tidak lagi berada di Jakarta. Waktu juga menjadi lebih maju beberapa bulan dibanding terakhir kali yang bisa dia ingat, hal itu jadi tampak terlalu surreal buatnya. Kirana telah kehilangan orientasi di sekitarnya terlalu banyak, hingga harus menjalani perawatan intensif beberapa waktu. Hingga dokter akhirnya menyatakan kalau kondisinya sudah cukup membaik, meski harus diimbangi dengan istirahat dan rutinitas check-up.

Lalu Mama membawa Kirana juga Raki ke Kanada, dan berencana menetap di sana. Orang-orang nggak pernah membicarakan apa pun di depan Kirana langsung soal apa yang terjadi. Tentang kenapa mereka pindah dan tak kembali ke Jakarta. Tapi, Kirana sudah tahu. Meski begitu, dia tak mengatakan apa-apa. Sebab jauh di lubuk hatinya, perasaan takut itu masih tetap ada. Bahwa apa yang ia lihat terakhir kali itu betulan nyata.

Raki akhirnya melanjutkan rencana kuliahnya yang sempat tertunda. Terus Kirana cuma diizinkan home schooling sebab kondisinya yang masih rentan buat ke mana-mana. Dia juga menjalani beberapa kali terapi buat membantu proses pemulihan.

Selama itu, dia cuma mendapat kabar dari Jakarta lewat Abang atau Mamanya. Soal Ree yang mengambil jurusan arsitektur di salah satu kampus negeri, terus berakhir satu kos bareng Jeviar sama Jeno. Kabar selanjutnya datang dari Skiza yang malah jadian sama orang yang betulan nggak Kirana duga, padahal dulu itu anak pernah sampai nangis dikerjain sama Kale. Skiza juga masuk universitas yang sama kayak Ree, tapi dia mengambil Sastra Inggris.

Kirana senang mendengar itu semua, cuma rada kangen—jujur, agak sedih juga, sih. Diam-diam berandai-andai kalau aja dia nggak kayak gini ... what kind of life she would had?

Terus kabar soal Papa. Katanya keluarga besar pihak Papanya marah besar, dan sempat memblokir semua tunjangan yang sempat mereka beri ke pria itu. Apalagi setelah Mama menggugat cerai lelaki itu. Fakta bahwa Papa punya anak perempuan lain selain dirinya dari wanita yang juga bukan Mama, membuat pihak keluarga Papa nggak bisa berkutik kalau ditilik bagaimana mereka selama ini sangat menjunjung reputasi di depan publik. Tapi, anak perempuan itu tetap anak Papa. Kirana cuma pernah dengar kalau eyang putrinya mengajak anak itu tinggal bersama.

Selebihnya, Kirana nggak tahu apa-apa lagi dan juga tak berniat mencari tahu lebih jauh. Karena dia tahu banget, sebanyak apa pun informasi yang ia dapatkan, sebanyak itu pula sesak dan pedih yang mesti ia tanggung. Jika ketidaktahuan bisa menyelamatkannya dari itu semua, maka Kirana bisa menutup mata dan telinga selamanya.

Awalnya Kirana pikir begitu. But the pain wouldn't disappears, it stays like a never-ending bad dream.

Kirana nggak bisa mengukur seberapa dalam impact kejadian itu kepada hidupnya, sampai dia nggak sengaja mendengar kata-kata Mama malam itu.

" ... just tell me that you are in hurt, Ma." Suara Raki yang terdengar bergetar dan berat terdengar.

"Indeed." Mama menjawab. "But, all of us are in hurt, don't we?"

"That's why he doesn't deserve your forgiveness."

"Abang, Mama nggak bakal minta kamu buat maafin papa." Mama berkata begitu. "Tapi Mama harap, akan ada satu hari di mana kamu bisa memaafkan semuanya, bisa lepas dari perasaan benci kamu sama apapun itu. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diri kamu sendiri. This life is just too short to live with those hurtfull feelings, dan Mama cuma mau anak-anak Mama bisa bahagia di dalam hidup ini. Mama nggak mau kamu terjebak kebencian dan menyia-nyiakan apa-apa aja yang sebetulnya mampu membuat Abang bahagia."

"Tapi—"

"Abang, selama ini Mama lari dari kenyataan dengan menyibukkan diri buat kerja jauh dari rumah. Sebab Mama terlalu terpaku sama luka hati Mama, dan selalu berpikir kalau kerja bisa bikin Mama lupa sama semuanya. Tapi, nggak. Setelah Mama nyaris kehilangan satu anak Mama, Mama sadar sesuatu. Lupa nggak akan membuat duka kita hilang,  malah bakal jadi sesuatu yang lebih besar kalau nggak dihadapi. Dan dengan lari dari kenyataan, I might had seen so many things around the world, tapi Mama nggak bisa lihat kalian tumbuh sampai segini besar. Mama sangat menyesali itu semua, dan jangan sampai kalian berdua ngerasain hal itu juga."

"Ma ..."

"Makanya, semoga nanti kita bisa damai, ya, Bang. Sama semuanya."

Kirana nggak mendengar lebih jauh sebab tak sanggup. Karena ucapan Mama mengindikasikan satu hal, dan hati Kirana terasa terlalu berat untuk bisa memikirkan seuntai maaf.

Lalu, satu berita bahwa Om Key—kakaknya Mama, bakal mengembangkan usaha di Jakarta dan nama Kirana jadi disebut-sebut. Rencana itu sudah disampaikan Omnya bertahun-tahun lalu, tapi keluarga mereka nggak mengira hal itu akan terealisasi secepat ini. Terus pas banget, Kirana sudah akan menyelesaikan pendidikannya dan kondisi fisiknya juga telah membaik. Mimpi Kirana masuk ke satu universitas negeri di Indonesia diungkit lagi.

Awalnya Kirana ragu. Jika dia kembali, kemungkinan dia bakal ketemu Papanya akan jauh lebih besar. Dan ketidaksetujuan Raki kalau Kirana balik juga jadi pemicu. It just, mereka sudah ada di Kanada, lho, ngapain jauh-jauh balik ke Indonesia kalau di sini juga ada kampus.

Terus yang jawab malah Mama. "Di sini nggak ada mie gacoan, nasi padang, sama putu ayu, lho. Kiki juga nggak bisa kos, terus makan mie instan di akhir bulan."

Habis itu, Raki ngambek dua hari.

Akhirnya Mama mengirim Kirana balik. Dia senang, sih, cuma dia takut kalau sampai ketemu sama papa. Tapi, Mama bilang nggak apa-apa. That's her dream, and it will be unfair if she gives up upon it just because of afraid. Kayak, Mama nggak mau Kirana menyesal seumur hidup karena sesuatu yang temporary. Lagian Kirana juga tinggalnya jauh dari rumahnya yang dulu dan sama Om Key. Jadi meski pun ada, tapi kemungkinan Kirana face to face sama papanya sudah diminimalisir.

Terus, pas semuanya sudah ditetapkan. Raki tangkas banget ngomel ini-itu ke Kirana. Soalnya kali ini itu cowok nggak ikut balik, kan. Kirana tahu Raki agak gloomy, jadi dia cuma balas iya-iya aja.

"Kamu kalau habis ngampus kalau bisa langsung istirahat ke rumah, dan Abang tahu banget kamu anaknya nggak terlalu suka bersosialisasi jadi nggak usah maksain ikut ini-itu kalau nggak wajib banget. Oh, ya! Jangan makan sembarangan mentang-mentang Abang nggak awasin kamu, ya! Biar kamu tahu aja, Abang bisa mantau kamu biarpun Abang ada di sini."

"Iya-iya."

"Kamu kalau mesti banget keluar sama temen cowok jangan lupa bilang ke Ree. Mau ke mana, jam berapa, dan ngapain aja harus jelas."

"Iya-iya."

"Terus kalau pagi jangan lupa sarapan—" Raki mendongak buat melihat Kirana yang sekarang lagi menguap lebar. "—kamu denger Abang ngomong nggak, sih?"

"Dengar, Abang. Buktinya aku nyahut dari tadi."

Raki cuma bisa mengehela napas, lanjut memasukkan barang-barang Kirana ke dalam kardus. "Kalau ada apa-apa bilang aja ke Ree, berhubung Abang nggak bakal ada di sana. Kalau anaknya nggak bisa, recokkin aja si Jeno atau si belalang sembah. Nggak usah sungkan, soalnya mereka masih punya hutang budi sama Abang."

Kirana mengerjap, sebelum cuma membalas dengan manggut-manggut.

Soal Jeviar, kabar terakhir yang Kirana dengar tentang cowok itu adalah he was on a date. Kalau ditanya gimana perasaan Kirana habis dengar hal itu, dia nggak bisa jawab apa-apa. Kirana agak sedih, sih, soalnya dulu mereka pernah gimana gitu, ya, kan. Cuma, ya, Kirana bisa paham kalau Jeviar tiba-tiba punya pacar. Nggak mungkin juga itu cowok nungguin dia yang—bahkan baru sadar setelah sekian bulan—dan berencana nggak balik lagi ke Jakarta. Rasanya egois banget buat Kirana merasa kecewa di saat mereka bahkan nggak ada apa-apa.

Even there's no properly goodbye between both of them.

Makanya pas melihat cowok itu berdiri di koridor fakultas, Kirana cuma bisa membeku. Empat tahun jelas sudah cukup banyak merubah penampilan Jeviar. Rambutnya jadi lebih panjang dari yang terakhir kali Kirana ingat, terus apa, yah, ada aura yang membuat cowok itu terkesan dewasa. Oh, perawakannya jadi makin mirip Om Jeff, tapi kalau dilihat dari samping gini, fitur mukanya mirip Tante Rose. Duh, Kirana jadi panas-dingin gini.

Awalnya Kirana mau langsung jalan aja buat beli pulpen ke kantin yang katanya deket situ sama seorang mahasiswa, tapi batal waktu mendapati Jeviar malah meraba-raba dinding kayak mau oleng. Kirana otomatis jalan mendekat, dan baru sadar kalau muka cowok itu pucat pasi sewaktu jarak mereka sudah beberapa langkah.

"Hng, Kak?"

Jeviar masih menunduk kala Kirana hendak membantu cowok itu berdiri. Dia memekik kaget sewaktu Jeviar makin merosot terjongkok di sisi dinding. "Kakak nggak apa-apa—eh, eh, Kak?!"

Kirana, panik banget sampai bingung mesti gimana. Mana itu koridor sepi banget, nggak ada hilal orang lewat. "Kak—haduh jangan pingsan dulu, please." Dia menepuk-nepuk pipi Jeviar yang sudah merem-melek.

"Lo—"

"Bentar, bentar—" Kirana berteriak waktu melihat orang di ujung koridor. "Kak! Kak! Tolong ini ada orang pingsan—"

Sebelum Kirana menuntaskan kalimatnya, dia sudah menjerit sebab tertimpa badan Jeviar yang jelas banget lebih gede daripada dirinya. Kirana sudah meringis sebab kegencet badan Jeviar, tapi masih bisa menahan kepala cowok itu biar nggak menghantam lantai. Syukur banget, ada orang yang bantu dia bangunin Jeviar setelahnya.

Sewaktu Kirana mau bangun, terus ambil sepatunya yang copot habis ditimpa Jeviar, dia nggak bisa buat nggak kaget sewaktu orang yang sekarang lagi membopong Jeviar tiba-tiba berteriak.

"LOH, LO—" Jeno mengucek matanya pakai satu tangan. "Gue nggak ngelindur, gimana bisa gue halu siang-siang begini?!"

Kirana betulan nggak tahu mesti apa selain senyum kaku. "Hng, halo Kak Jeno."

Jeno melongo sebentar, sebelum menganga lebar-lebar. "YA AMPUN, INI BENERAN LO, KI?!"

"Iya," ringis Kirana.

"KOK, LO BISA ADA DI SINI, SIE?!"

"Ceritanya panjang, Kak ...."

"DIRINGKAS AJA NGGAK, SIE?!"

"Hng."

"Oke, lo masih punya banyak waktu buat ngeringkas, tapi ini bekantan keburu semaput duluan kalau kelamaan." Jeno menunjuk tas Jeviar sama ponsel itu cowok di lantai. "Bisa tolong bawain, nggak?"

Yha.

***

"Lo, tuh, yaaaaaaa. Malu-maluin banget pakai nangis segala!"

"Ya, kan, kepala gue pusing, Jen." Jeviar manyun di jok penumpang.

"Bukan karena si Kiki, tuh?!"

Eh, anaknya malah mewek lagi. Jeviar menyenderkan kepalanya ke kaca jendela mobil. "Kiki sekarang rambutnya panjang, Jen."

" ... "

"Tapi, pipinya masih chubby kayak dulu."

" ... "

"Cakep banget, sampai rasanya pengen gue—"

"Pengen lo apain?"

"Pengen gue kantongin, Jen."

Jeno cuma bisa melihat Jeviar yang uring-uringan nggak jelas dengan tatapan pasrah. Dia pengen banget ngegaplok ini bocah, tapi sadar banget dia lagi nyetir. Ini, tuh, ya, tinggal dikasih hujan terus setel soundtrack lagunya Noah, udah mirip kali sama video klip.

"Kok, dia main pergi gitu aja, sih?"

" ... "

"Padahal gue, kan, lagi sakit gini." Bibir Jeviar maju lima senti.

"Apa gue bilang? Pasti itu anak udah kecantol bule Kanada."

"Gue nggak kalah cakep dari bule Kanada."

"Iya kalau perbandingannya sama kambing bule."

"Lo kambingnya?"

Jeno ketawa. "Tapi serius, lo belum move on dari si Kiki? Bukan apa-apa, cuma ini, tuh, udah empat tahun."

Bahu Jeviar makin mengekerut ke sandaran kursi. "Tadi pas mau pingsan, gue samar-samar ngelihat dia, Jen. Begitu gue bangun, gue kira itu cuma halusinasi orang yang mau kobam. Apa artinya coba kalau jujur, gue agak sedih dan kecewa waktu berasumsi kalau gue cuma ngayal doang? Terus pas dia tiba-tiba nongol—damn, jantung gue kayak mau meledak. Gue nggak bego, ya, kalau masih nggak tahu itu artinya apa."

"Terus si Hani gimana?"

"Gimana apanya?"

"Kayaknya belum bisa move on, tuh. Nanya-nanyain lo mulu ke Lizi."

Jeviar menghela napas capek. "Gue rasa semuanya udah kelar. Gue udah jelasin baik-baik ke dia kalau gue nggak bisa, dan kayaknya dia juga udah mulai bisa terima. Lo, kan, tahu sendiri gue sama dia awalnya gimana, Jen."

"Bagus, deh. Kalau gitu."

Jeviar terdiam sejenak sebelum ragu berkata. "Jen."

"Hoh?"

"Gue masih punya kesempatan nggak, sih?"

" ... "

"Gue ... masih bisa suka sama Kirana nggak, sih?"

Jeno melirik Jeviar yang terpaku menatap ke depan. "Go on, just do whatever that makes you happier."

"Huf."

"Emang lo udah siap?"

"Siap apa?"

"Diospek Omnya Kirana?"


note

kangen banget nulis ini huhu, tapi udah tamat.

heran deh, baca dari awal kok karakternya jeno absurd banget, ya? gpp, jen. gue sama absurdnya kok.

dah, night semua. masih ada satu extra chap lagi, soal first impression kiki ke jeje tuh sebetulnya gimana wkwkwk STRESS TUGAS W NUMPUK

bye semua, stay safe and keep healthy yak.

oh, ya. ntar aku up preview ceritanya ree. emosian gitu, ree juga bisa naksir orang kali.

10/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top