05. the lost boy
Kirana nggak tahu kalau di kampus, Jeviar punya reputasi yang kayak gitu.
Kayak gitu maksudnya, tuh ... gimana jelasinnya, ya? Dia jadi bingung.
Kata Nindi—teman Kirana dari fakultas sebelah—sejak Jeviar jadi maba, cowok itu jadi lumayan tenar sebab tampangnya yang kinclong kayak oppa-oppa korea, ditambah testimoni teman satu kelompok ospek Jeviar dulu yang gencar mengumbar betapa act of service-nya manusia satu itu.
Dari sana, mulai banyak anak gadis yang kepincut sama Jeviar based on omongan sama tampilan luarnya yang kalau kata Jeno, sih, bullshit abis. Soalnya dia dari kecil udah bareng sama Jeviar, kan. Kalau masalah pencitraan di depan khalayak umum, kayaknya Jeviar udah bisa masuk ke nominator piala Oscar.
Balik lagi ke topik, setelah sekian semester terlewati, Jeviar yang kayak lebah nyari serbuk sari hinggap sana-sini tiba-tiba dikabarkan jadian sama Hani—teman sejurusannya Jeviar. Berita itu bikin kehebohan soalnya banyak yang stress melihat couple dadakan tersebut, tapi banyakkan yang lebih ke potek. Udahlah sama-sama cakep, terus kerjaannya nggak jauh-jauh dari public display of attention alias nempel mulu kayak teletubbies. Eh, terus belum ada sebulan, keduanya malah mengumumkan putus.
Makin heran aja itu netizen.
Setelahnya, mereka malah melihat sosok Jeviar yang kayak menunjukkan gejala gagal move on dari Hani di saat cewek itu sudah beberapa kali membawa gandengan baru, sementara Jeviar kelihatan masih betah sendiri dan malah nyemplung ke kegiatan ini-itu.
Jadi intinya, citra Jeviar di kampus itu kalau diibaratkan dalam tokoh-tokoh di drakor, dia ini sukses jadi memerankan cowok cakep nan setia, tapi sayangnya bukan pemeran utama. Bikin penonton pada kena second lead syndrome.
Kirana garuk-garuk kepala soalnya dia sudah tahu fakta sebenarnya di balik pamor Jeviar yang satu itu.
"Aku dengarnya kayak mlenyes gimana gitu, soalnya dulu juga aku susah move on sama mantan crush aku. Di posisi kayak gitu, tuh, beneran nggak enak banget tahu," curhat Nindi.
"Terus sekarang gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu udah move on sama mantan crush kamu?" tanya Kirana.
"Kayaknya udah, tapi pas lihat orangnya langsung masih rada kretek dikit, sih, hehe."
Mereka lagi ngadem di kantin. Sekalian nunggu kelas berikutnya, masih lama, sih, tapi kalau pulang tanggung amat. Makanya Kirana memilih buat melipir dulu ke sini buat jajan, eh, malah ketemu Nindi.
"Kamu sendiri gimana?" Nindi balik bertanya.
"Apanya?"
"Ada dekat sama cowok nggak?"
"Eum ... ada."
Mata Nindi membelalak. "Lah! Beneran? Anak mana? Di kampus ini?"
"Iya ... hehe."
"Idih sok malu-malu lagi!" Nindi ngetawain gelagat Kirana. "Namanya siapa? Siapa tahu aku kenal!"
"Bimo, sih."
"Sounds familiar. Anak mana, sih?"
"Anak sini hehe."
Sejenak, Nindi melihat Kirana dengan pandangan takjub. "Aku nggak nyangka kamu bakalan jawab segamblang ini! Pantas aja, ya, chat temenku nggak ada yang kamu balas! Ternyata udah suka sama orang toh!"
"Hehe."
"Aku nggak tahu yang namanya Bimo di sini siapa, tapi orangnya gimana, sih?" Nindi berkata di sela kunyahan ketoprak di mulutnya. Ia mengacungkan garpu ke arah Kirana lalu lanjut berkata, "I have to make sure he is good enough for you. Jangan sampai aja, nih, ya, kamu malah terperangkap dalam jebakan buaya dan kawan sebangsanya."
Kirana malah makin cengengesan. "Nanti juga ke sini, kok, anaknya. Terus tenang aja, dia bukan buaya. Hehe."
"Haha-hehe-haha-hehe, bikin penasaran aja!"
"Biasanya jam segini dia udah nongol, kok! Mungkin dia lagi keliling nyari—eh, eh, mpus! Bimo—meong, meong, sini sini aku kasih whiskas!" Kirana terus berdiri buat mengambil kucing tua gemuk belang yang datang dari balik kursi, kucing itu balas mengeong malas, tapi nggak menolak pas digendong Kirana.
Nindi cengo sesaat. "Bimo—"
"Hehe kenalin ini Bimo, kucing paling ganteng sefakultas teknik," kata Kirana sambil melambaikan salah satu kaki kucing di pelukannya ke arah Nindi.
Nindi tampak sulit buat kembali ke kenyataan. "Jadi dari tadi kamu, tuh, ngomongin kucing?"
"Iya, kan? Dia ganteng, kan?"
"Astaghfirullah!" Nindi jadi geregetan sendiri. "Tapi, maksudku itu manusia, Ki. Bukan hewan berkaki empat atau sejenisnya."
Kirana malah asik mainin Bimo yang udah merem-merem di dalam kekepannya.
"Aku kira kamu nggak punya sisi aneh, Ki. Tapi, ternyata ...." Nindi geleng-geleng.
Kirana cuma bereaksi nyolek-nyolek lengan Nindi pakai kaki Bimo.
"Tapi beneran, deh, kamu emang nggak ada suka sama siapa pun?"
Nindi ini sebetulnya lagi menjalankan misi. Salah satu temannya yang satu department dan juga satu komplek dengannya ngaku naksir Kirana. Nindi udah coba buat nyomblangin, sih, tapi cewek yang katanya lagi dekat sama kucing paling ganteng sefakultas teknik ini kayaknya nggak punya saraf peka. Tapi, temannya itu bukannya nyerah atau gimana katanya malah makin suka.
Nah, Nindi juga gemes sendiri ngelihat Kirana yang anteng dan kayak no life banget dalam menghadapi hidup. Makanya Nindi lagi ngorek-ngorek informasi apakah orang modelan Kirana ini bisa naksir manusia apa enggak.
"Eum gimana, ya."
"Gimana kenapa?"
"Sebenernya—"
"Sebenernya???"
"Sebetulnya dari dulu aku ada suka sama orang hehe."
"Manusia, kan??? Bukan spesies semacam mpus dan kawan-kawannya? Nindi jadi rada trust issue sama Kirana.
"Hehe."
"Spill, dong! Janji nggak bakal aku kasih tahu siapa-siapa!"
"Ih, kalau aku spill kamu juga nggak bakal tahu." Kirana mengelak.
"Maka dari itu! Karena aku nggak tahu orangnya yang mana harusnya aman, dong!" Nindi malah makin gencar.
Kirana tampak tergugu. "Iya juga."
"Haduh ceffffaaaat!"
"Yaudah, sini aku bisikkin."
Terus Kirana membisikkan satu kata ke Nindi yang bikin cewek itu mengernyit.
"Itu namanya?" tanya Nindi.
"Iya hehe."
"J—"
"Ish, nggak boleh disebut!"
"Owww okkkay, sorry." Nindi membuat gerakan menutup mulut dengan telunjuk. "Tapi, namanya kayak nggak asing."
Kirana malah tersipu. "Hehe."
Nindi berdecak terus lanjut makan gado-gado. Terus diam-diam mengirim beberapa pesan kepada seorang oknum.
***
Jeviar lagi ngadem di depan kos sambil ngelihatin buah-buah stroberi yang setengahnya masih berwarna hijau kemerahan di teras. Yang beli Kirana, katanya itu anak kepengen punya pohon stroberi, tapi nggak cukup berani buat memeliharanya sendiri soalnya takut nggak keurus terus layu.
Jeviar—walau benci setengah mati sama stroberi—gercep menawarkan ide buat meletakkan tanaman tersebut di kos. Seenggaknya di situ ada Ree yang lumayan suka berkebun, kan, apalagi Jeno yang hidupnya kebanyakan gabut sampai doyan banget bikin huru-hara. Tinggal babuin dua curut itu buat bantuin jaga itu tanaman. Lumayan buat menambah vitalitas lingkungan mereka tinggal, kan.
Hehe, aslinya, sih, biar Kirana rajin datang ke kosan mereka saja.
Terus tiba-tiba Jeno datang dari dalam dengan si Cantik di dalam dekapannya. Cowok itu nggak berkata apa-apa, cuma duduk di samping Jeviar tanpa suara. Jeviar meliriknya sekilas, terus geleng-geleng pelan. Karma, tuh, emang punya beribu jalan aneh buat datang ke manusia. Kemarin aja ini anak gencar banget ngeledekkin dia perkara cobul alias cowok bule yang secara tiba-tiba dan dengan nggak tahu dirinya nemplokin Kirana di bandara kemarin.
Eh, sekarang yang galau malah Jeno.
Jeviar tahu, sih, kenapa. Makanya dia nggak mengusik ini anak lebih lanjut. Jeno ini anaknya walau suka bikin emosi gara-gara akhlak minusnya dan kadang kayak nggak punya otak buat dipakai mikir, aslinya dia ini suka memendam masalah sendiri. Tipe yang nggak bakal cerita kalau nggak dipancing-pancing dulu.
Emang mirip dugong, sih, kelakuannya.
"Je."
"Ape?"
"Laper nggak, sih?"
Jeviar makin merapatkan diri ke kursi. "Enggak."
"Kayaknya nasi goreng sama capcay enak, deh."
"Enggak."
"Emang lo nggak kepengen?"
"Nggak."
"Tapi, gue yang kepengen."
"Bodo amat."
"Ingat sila keempat dalam Pancasila, Je."
"Elo, sih, jadi manusia nggak ada adabnya, jadi nggak usah kebanyakan mukadimah." Jeviar berkata.
"Masa—" Jeno batal meneruskan aksinya buat minta jatah makan ke Jeviar begitu melihat Ree datang dari dalam rumah dengan tergesa."—heh, mau ke mana lo?" tanyanya ke Ree.
Ree dengan kecepatan memakai jaketnya lalu merogoh saku jeans buat mengambil kunci motot. Dia menoleh buat menatap dua orang yang lagi mengkerut kayak kacang kelamaan direndam dalam air di kursi. "Si bule ngilang."
Jeno mengerutkan alisnya. "Maksud—"
"Lihat grup kober, lo pada punya hp buat apaan, sih? Kayaknya nggak guna amat selain buat streaming lk12?!" Ree malah menyemburkan omelan.
"Buset, santai napa." Jeviar berkomentar, tapi tak pelak buru-buru memeriksa ponselnya yang emang selalu dalam mode senyap.
Kober Ujian
Raki : Guys
Raki : sorry for disturbing your time, but I really need your help
Raki : Jake, he's gone
Raki : Itu anak pergi nggak bilang-bilang dan jam segini nggak ada balik
Raki : tell me please is it too much that I am going to call the police now???
Raki : He doesn't even know this area well for god sake!
Raki : He didn't answer my call arghhhh
Raki : What should I do nowwww
Raki : See what I am going to do once I find that brat jsakhaukhdukhdk
Raki : But help me firsttttt
Raki : But please don't tell this to Kiki she'll killing me
Dan banyak pop up chat lainnya yang bikin mata Jeviar sakit.
Kesimpulannya Jake hilang dan Raki lagi kebakaran jenggot.
"Jir, bener-bener ini bocah terlalu bebas apa gimana? Dikira ini sims city apa, ya, areanya bisa di zoom in zoom out sampai nekat ngilang gini?" Jeno berkata sehabis membaca pesan Raki.
"Terus gimana?" tanya Jeviar.
"Ya, kita cari? Masa masih nanya???" sahut Ree agak salty.
"Yaudah, bawa mobil aja sekalian."
"Lah??? Terus capcay nasi—"
"Tinggal beli, ribet lo jir." Ree kemudian menyeret dua orang lainnya sebelum beraksi jadi detektif dadakan.
***
Septa baru saja beranjak dari kursi tempat fotokopi samping kampus sehabis mengambil kembalian dari abang-abang yang jaga. Dia baru selesai kelas, niatnya langsung pengen ke perpus buat lanjut bikin tugas. Tugas kelompok, sih, tapi anggotanya mendadak jadi gaib setelah membeberkan beberapa alasan.
Septa malas debat. Dia iyain aja, tapi kalau besok juga masih pada nggak ada kontribusi sama sekali, yaudah ini tugas Septa jadiin tugas individu aja. Bodo amat, deh, ya.
Dari tempat fotokopi sampai gedung fakultas bisa ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit. Septa males mesti ke parkiran dan mengambil motornya yang pasti lagi terhimpit-himpit kayak ikan pindang bersama kendaraan mahasiswa yang lain, makanya dia memilih jalan kaki. Terus, tiba-tiba ada bihun—bis antar jemput kampus—lewat. dia otomatis memikirkan sesuatu.
Udah satu mingguan ini dia nggak naik bihun lagi gara-gara kepenyet tugas. Iya, kepenyet. Soalnya isi sticky note di layar laptop Septa deadline semua. Dia menghela napas capek, ada perasaan berat yang menggerogoti dadanya secara mendadak.
Gila banget, nggak, sih, tapi Septa kangen sama bihun.
Semua ini. Terlalu kentara buat dicerna otak encer Septa. Apalagi coba, kalau bukan gara-gara cewek kopiko itu.
"Asep?!"
Atensi Septa dibawa balik ke dunia nyata. Di depan sana, ada seorang cowok sepantaran dirinya dengan gen bule yang kentara. Cowok itu melambai heboh sambil nyengir lima jari. Septa melongo sejenak.
"IT'S A COINCIDENCE TO MEET YOU HERE—HEY, DON'T YOU KNOW ME?!" Cowok itu malah teriak-teriak bikin orang-orang pada menoleh.
" ... you're Jake?"
"YASHHH THAT'S MEEEH!" Jake menghampiri Septa terus menepuk pelan bahu cowok itu. "It's been years, Bro. Nice to meet you again!"
Septa terkejut, tapi pelan-pelan menetralkan emosinya. "Well, you're here? So suddenly?"
"I am on my vacation! It's hella hot here, but the food is really good!"
"Okay, what are you going now?" Septa menoleh ke samping Jake. "Don't tell me that you just come by yourself?"
"Yeah, I have to meet a friend, but have no one to go with. So, I am here with me!" Jake kemudian merogoh ponselnya. "I—oh, shit!"
Alis Septa mengerut. "What's goin' on?"
"I forgot to recharge my phone." Jake berkata. Terus dia menatap Septa dalam.
"What?" Septa jelas paham kalau ini anak lagi ada maunya.
"Did you remember?" tanya Jake.
"What?"
"The time when I helped you?"
" ... what do you want?"
"So clever! I already did this to Kiki when I want something from her, but till now, she can't understand! It still amaze me how can she enter this university with that brain capacity!" Terus Jake ketawa sendiri. "Okay, thanks in advance, but can you help me a few things?"
"What?"
Jake menatap Septa semringah.
Di tempat lain, mobil yang membawa Jeviar, Raki, Ree, beserta Jeno putar arah menuju kampus Kirana setelah mendapat sejumput kabar dari Skiza yang sempat melihat siluet bule di dekat fakultas sebelah.
"Serius itu Jake, kan? Kamu nggak salah lihat orang, kan?" tanya Raki ke Skiza di telepon.
"Serius, Bang! Gue lagi mau nyamper adek, lo, nih. Terus baru kemarin juga gue ketemu terus makan mie bareng sama itu bule, kan? Ya, kali gue lupa! Lo kira gue ikan koi yang tiap 3 detik hilang ingatan?!"
Raki terdiam sesaat. "Okay, thanks. Tapi, kalau boleh koreksi dikit, ikan yang hilang ingatan tiap tiga detik itu ikan mas, bukan koki."
" ... sama, aja. Emang lo ikan bisa tahu?"
"Eum, okay. Sorry. Gue tutup dulu, gue meluncur ke sana sekarang juga." Raki nggak tahu, deh, kalau anak zaman sekarang serem-serem banget. Untung Kirana nggak gitu. "Oh, ya, please don't tell Kiki—"
"Yah, telat, Bang. Sebelum nelepon lo, nih, ya. Gue udah koling-koling si Kiki duluan."
Nyawa Raki tampak menguap pelan-pelan. "Okay ...."
Skiza malah ngakak. "Pasrah amat hidup lo, Bang. Dah, ye, gue tutup dulu."
Jeviar berdecak dengan ponsel bergetar di tangannya. "Buset, dah. Ini si Kale kayak orang kesurupan nelponin gue cuma gara-gara hp si Kiza sibuk."
"Biasa. Bucinnya udah merebak sampai ke otak." Ree yang lagi nyetir berkata.
"Kayak situ enggak aja!" balas Jeno yang emang dari kemarin alergi sama yang uwu-uwu.
Ree cuma membalas dengan decakkan. Soalnya dia tahu Jeno lagi kurang waras—walau biasanya juga nggak waras, sih.
Untungnya, tempat mereka banting stir nggak jauh-jauh amat dari titik lokasi keberadaan Jake saat ini. Dari radius beberapa meter, mereka sudah bisa melihat siluet dua orang cowok, yang salah satunya memakai hoodie yang Raki sangat kenali.
"THAT BRAT—" Raki kontan menarik kaos Ree di sampingnya saat melihat orang lainnya. "ANJIR ADA KIKI!"
"MANAAA?!" Jeviar heboh.
"Ye, si gemblung!" sinis Jeno. "Ini situasinya lagi gawat, ya, bukan waktunya buat lovey-dovey!"
Raki kontan melotot ke belakang. "SIAPA YANG LO BILANG LOVEY-DOVEY?! INI CURUT? SAMA KIKI? NGUIMPI!"
"Soon to be true." Terus Jeviar gila sendiri.
Raki berdecak sinis. "Not even in your dream, dumb."
Ree berdecak. "Tolong kalian pada fokus dulu bisa, nggak? Udah gede, tapi kelakuan bocah lo pada!"
Jeno mencibir. "Si paling tua, pas kemarin nggak mau makan kalau nggak disuapin Asa."
"Diem."
Terus, pas mobil terparkir mereka turun semua, kan. Di sana Kirana kayak lagi nginterogasi Jake sambil mainin hp dengan muka kelewat serius. "—Where's my brother? Why didn't you come with him?"
Raki yang berjalan mendekat seketika meneguk ludah.
Terus teman Kirana yang cewek—yang dari tadi bengong mencerna keadaan antara melihat Septa dan Jake terus berhenti di Kirana. "Ki."
"Ini ... Jake?" tanya Nindi.
"Hooh," kata Kirana, dia kemudian melihat empat orang lainnya mendekat ke arah mereka. "Kalian—"
"KIKI, I CAN EXPLAIN THIS!" Raki menyela sebelum bibir Kirana manyun lima senti. Terus dia beralih menatap Jake yang memasang muka polos sambil say hi ke yang lain. "Hey, you—Jake, explain all of this to her!"
"Ki," Jeviar meyela dengan nggak tahu sikonnya. "Udah makan? Makan, yuk."
Terus dia ditoyor sama Jeno.
"Beneran yang itu, Ki?" Nindi kayak kesulitan berkata-kata.
Septa tatap-tatapan sama Nindi. " ... "
Kirana bingung mau nanggepin yang mana dulu. Tapi, dia mau ngomelin Raki dulu. Bisa-bisanya Abangnya ini biarin Jake pergi sendirian di tengah-tengah Jakarta tanpa rupiah dan berbekal hp lowbat? Kalau anak orang hilang gimana?
Tapi, sebelum Kirana ngomong, Nindi udah nyeletuk dulu.
"Jadi ini Jake yang lo taksir itu?"
Semua orang menoleh. Kecuali Jake.
Kirana bengong. "Hah?"
"Tadi lo bilang gitu di kantin, kan?"
" ... apa?" Jeviar pengen budek.
Terus Nindi sadar. "Eh," katanya.
Kini, giliran Raki yang memasang muka serius. "Kirana?"
to be continued.
2,5k words hehe.
02/08/23
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top