8
RAYNALDI
Hari ini, gue sengaja pulang lebih awal dari beberapa hari yang lalu. Ternyata sangat melelahkan menghabiskan waktu berdiam diri di kantor atau pindah dari satu coffee shop ke coffee shop, hanya untuk menghabiskan waktu sampai larut. Gue sadar itu, tapi tetap melakukannya karena gue tidak punya banyak pilihan. Karena, ada Flavia di rumah. Gue suka kehadirannya di rumah, terlalu menyukainya sampai takut melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman.
Bibir Flavia, ciuman kami—semua terbayang setiap hari. Butuh banyak usaha buat gue untuk mengabaikan dan mengeyahkan keinginan mengulang ciuman kami, terlebih lagi saat gue harus melewati kamar anak-anak pagi atau malam hari. Gue takut dengan menghabiskan banyak waktu di rumah, kewarasan gue tekikis.
Gue duduk tegak di sofa ruang tengah dan mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut rumah yang bisa gue jangkau. Telivisi, tangga ke lantai dua, kamar tamu, tembok pemisah ruang makan, jalan menuju kantor dan taman belakang.
Teranyata rasanya sesepi ini, ketika duduk di ruang tengah seorang diri. Apa anak-anak juga merasakan sepi ketika duduk di ruang ini? Setahu gue, mereka suka menghabiskan waktu menonton disney channel di ruangan ini, sambil menunggu Bi Mar selesai mengurus dapur.
Kemudian kalimat Flavia tentang seseorang yang gue bayar dan Bi Mar muncul, dia benar, gue tidak bisa terus-terusan mengandalkan keduanya. Tapi, masalahnya sudah empat tahun gue terkurung pada ketakutan yang sama dan tidak tahu cara untuk keluar. Gue bahkan takjub atas keputusan mencium bibir Flavia, bahkan jauh di dalam sana, gue punya sebuah harapan yang belum berani gue lambungkan. Tentang Flavia, jalan keluar, dan keluarga baru untuk anak-anak.
Gue menyandarkan diri pada sandaran sofa, mengadah, kemudian memejamkan mata. Hanya beberapa menit gue mendapatkan kesempatan menikmati kesunyian, tidak sampai sepuluh menit. Karena setelahnya, kesunyian menghilang berganti suara gaduh anak-anak berteriak kata Papa dengan antusias. Gue masih memejamkan mata dan sebuah senyum terbit mengetahui anak-anak sangat bahagia mengetahui gue pulang sebelum mereka tidur.
Gue membuka mata cepat, setelah suara anak-anak terdengar semakin jelas. Gue duduk tegak seperti sebelumnya, membuka dua kancing teratas kemeja, dan bersikap seolah baru saja tiba di rumah ini. Entah buat apa gue melakukan hal ini, mungkin untuk menarik perhatian Flavia.
Anak-anak berlari cepat dan tiba di depan gue dengan napas terengah. Kami bertiga berpelukan, Olin sangat dalam menenggelamkan kepalanya di tengah pundak dan leher. Tapi tidak dengan Okan, dia hanya bersedia dipeluk sebentar lalu melepaskan diri dan duduk di samping gue.
Gue menoleh ke arah ruang tamu dan menemukan dia tengah berjalan beriringan bersama Bi Mar. Kedua tangan mereka sibuk membawa kantung-kantung berisi belanjaan. Seharusnya gue berdiri dan membantu mereka kan? Jika gue melakukan itu, mungkin Flavia akan terkesan. Tapi... gue masih duduk sambil memeluk Olin, bersikap seolah tidak ada hal yang bisa dilakukan. Mata kami tak sengaja bertemu, lalu dia memanglingkan wajah dengan cepat, berpura-pura tidak ada gue di ruangan ini.
Okan menarik ujung lengan kemeja gue, meminta untuk diperhatikan. Gue menoleh dan dia memandang dengan tatapan penuh harap.
"Papa mau pergi lagi?" tanyanya.
Gue menggeleng, kemudian dengan cepat Olin menyudahi pelukan kami.
"Berarti malam ini kita bisa makan MCD?" Olin menatap seperti Okan.
Gue tersenyum. Sebenarnya tanpa mereka minta, gue sudah menyiapkan diri untuk mengajak mereka pergi ke luar malam ini. Karena pergi bersama kalau gue ada di rumah, menjadi semacam rutinitas buat mereka
"Memang kalian nggak capek seharian pergi sama Aunty Ia dan Bi Mar?" Gue bertanya dengan nada meremehkan. "Masih kuat lanjut pergi sama Papa?"
Keduanya menggeleng dan mengangguk secara bersamaan.
Tapi sayangnya, konsentrasi gue terpecah begitu Bi Mar dan dia berjalan melewati ruang tengah. Bi Mar menyapa, sementara dia pura-pura sibuk memeriksa isi katung yang dia bawa. Gue tidak bisa melepaskan pandangan dari dia, beruntung di ruang tengah ini ada sebuah kaca besar yang berhadapan dengan pintu ruang makan. Gue bisa melihat apa yang terjadi di sana, tanpa perlu menoleh.
"PAPA!" Olin dan Okan berteriak jengkel, karena gue tidak juga memberi kepastian mau pergi atau tidak. Padahal, mereka terus saja membahas masalah pergi secara bergantian. Gue mengakhiri keributan dengan menjawab, "oke." Keduanya berhenti bicara, lalu duduk manis di sofa. Mereka bersikap sangat tenang, seperti sebelumnya mereka tidak menciptakan kebisingan sedikit pun.
Gue berdiri dan berjalan menuju ruang makan. Begitu tiba, gue bisa melihat dia dengan sangat jelas tengah bersandar pada tepi meja makan, terlihat sibuk memperhatika kertas putih panjang yang bisa gue pastikan berisikan daftar belanja.
Gue berjalan melewati dia menuju kulkas dan mengambil sekaleng cola. Gue membuka tutup kaleng, lalu bersandar pada tepi meja seperti dirinya tapi pada sisi yang berjauhan dengannya. Kebetulan Bi Mar sedang fokus mengeluarkan belanjaan dari plastik, jadi gue bersikap seolah sedang mengamati Bi Mar. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena Bi Mar pergi tanpa suara, di saat gue tengah sibuk mengamati dia dengan serius.
Dan dia menyadarinya. Pandangannya teralih dari kertas ke arah gue, kami saling beradu pandangan, lalu kemudian dia maju beberapa langkah dan menyodorkan kertas putih komplit dengan kartu debit sebuah bank besar yang tadi gue bawakan sebagai pegangan dia.
"Ini rincian belanja bulanan yang tadi diambil Bi Mar. Saya juga sudah mencatat semua pengeluaran anak-anak selama pergi, tidak banyak kok.Mereka hanya membeli saldo isi ulang untuk arena bermain dan juga—" Dia berhenti bicara saat gue memundurkan tangannya.
"Pegang saja kartu itu. Uang di dalamnya memang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dapur ruamh ini dan anak, tapi Bi Mar selalu tidak mau kalau disuruh pegang. Katanya dia nggak mengerti cara pakainya dan takut hilang." Dia memandang gue dan kartu dalam genggamannya secara bergantian.
"Mas Ray nggak takut kalau saya pakai uangnya atau saya bawa kabur?"
Gue menatap kaleng cola, lalu melihat dia, dan mengedikkan bahu. "Saya yakin kamu tidak tega melakukan itu, kamu pasti memikirkan Dela. Apa efeknya pada Dela? Bagaimana bila kamu pergi dan anak-anak kehilangan?"
Dia melongo, memutar-mutar kartu di tangannya sebagi cara menghilangkan keterkejutannya..
"Kenapa bisa Mas Ray seyakin itu sama saya? Setiap manusia itu pasti punya sisi negatif, terutama tentang masalah uang. Siapa tahu, saya—"
"Nanti malam ikut saya makan malam dengan anak-anak!" sanggah gue sebelum dia mulai berbicara semakin melebar ke mana-mana.
Dan dia menyerah. "Bi Mar juga ikut?"
Gue melirik ke arah Bi Mar yang sedari tadi berusaha keras terlihat sibuk dengan belanjaan, padahal memasang lebar kedua telinga untuk mengetahui pembicaraan kami.
Dia memandangi Bi Mar dengan penuh harap kalau jawaban Bi Mar adalah iya.
Bi Mar berhenti melipat plastik. "Bibi izin nggak ikut, capek,"
Gue sedikit terkejut sekaligus bahagia mendengar jawaban Bi Mar, walaupun dia terlihat kecewa. Dia mengambil tas rasel hitam miliknya, lalu memasukkan kertas dan kartu ke dalam tas.
Dia mundur beberapa langkah. "Saya akan buat rincian uang keluar dari kartu ini dan setiap minggu saya berikan untuk Mas Ray lihat." Dia memakaikan tas ransel itu ke punggung. "Kalau nggak ada lagi yang ingin disampaikan oleh Mas Ray, saya pamit mau memandikan anak-anak. Kita mau pergi lagi kan? Sebaiknya berangkatnya jangan terlalu malam, karena anak-anak nggak tidur siang. Takutnya mereka justru tertidur di mobil sebelum menghabiskan waktu bersama Mas Ray."
Gue belum menjawab, tapi dia sudah berjalan sampai di samping tembok pembatas, dan dia berhenti tiba-tiba.
"Sebaiknya Mas Ray juga bersiap, jadi kita nggak tunggu-tungguan," katanya yang terdengar menyerupai sebuah perintah bagi gue. Setelah mengatakan itu, dia benar-benar keluar.
Bi Mar berdeham.
"Ada apa, Bi Mar?" tanya gue basa-basi.
Bi Mar melirik penuh arti. "Nggak ada apa-apa, Mas Ray."
"Oh, kalau gitu saya naik ke atas dulu ya."
Bi Mar mengangguk. "Sepertinya rumah ini mulai bernyawa ya, Mas."
Gue tidak menjawab kalimat Bi Mar hanya memberikan senyum singkat, lalu meninggalkan Bi Mar.
Satu jam berlalu dan kami siap secara bersamaan. Seperti sudah mempertimbangkan waktu dan segala urusan tentang anak-anak, dia meminta gue untuk membawa anak-anak ke restorant ayam siap saji yang terletak di dekat pintu masuk perumahan, dekat dengan bekas tempatnya bekerjanya sebelum di sini
Tidak ada hal menarik yang terjadi, dia lebih banyak diam anak-anak memanfaatkan waktu untuk berinteraksi dengan gue, walaupun tak jarang dia bertidak sebagai jembatan untuk gue dan anak-anak mengobrol. Dia mememberitahu anak-anak hebat dalam menangkap pelajaran mereka, dia juga mengatakan anak-anak sangat penurut ketika mereka jalan-jalan di Jakarta, dan saat anak-anak mulai menambahi apa saja kehebatan mereka. Dia akan undur diri dari obrolan, menciptakan sebuah ruangan khusus bagi gue dan anak-anak dengan dia bertugas sebagai penjaga ruang.
Acara makan malam kami tidak berlangsung lama, ketika semua makanan sudah habis dia memberi kode untuk kami segera pulang. Okan dan Olin pun sudah terlihat lesu, beberapa kali gue melihat keduanya menguap sampai matanya berair. Dan keduanya langsung tertidur begitu mobil baru saja berjalan keluar dari parkiran.
"Nah, benarkan dugaan saya... mereka pasti tidur lebih awal," katanya, sambil mengusap kepala Okan dan Olin secara bersamaan. Dia duduk di kursi belakang bagian tengah dan kedua pahanya sebagai pengganti bantal bagi anak-anak. Setelah itu, hampir sepanjang jalan menuju rumah kami habiskan dalam diam. Dia terus menundukkan kepala, mengamati anak-anak. Dan gue hanya mengamati dari spion tengah, tanpa berusaha untuk memulai obrolan. Gue rasa diam adalah pilihan terbaik, daripada kami berakhir dalam situasi canggung. Kami tiba di halaman parkir rumah, lagi-lagi dia tidak bersuara hanya memberi kode dengan mata untuk gue segera keluar dari mobil dan menggedong Olin. Tentu saja, gue melakukan itu tanpa bantahan. Setelah gue berhasil menggendong Olin. Dia menyusul turun dan menggedong Okan
"Saya rasa—"
"Lebih baik dilakukan secara bersamaan, lebih menghemat waktu. Lagi pula, saya kuat kok menggendong Okan." Dia menyela.
Satu-satunya hal yang bisa gue lakukan adalah berjalan memasuki rumah hingga mencapai kamar anak-anak dalam keheningan, dan dia pun melakukan hal yang sama.
Olin dan Okan berhasil mendarat di atas ranjang.
Dia menghela napas kelelahan lalu duduk di pinggir ranjang. Kedua tangannya mulai sibuk menyelimuti anak-anak, menutup setiap cela yang memungkinkan anak-anak kedinginan. Gue mengamati dia sebentar dan bertanya dalam hati apa yang dia rasakan sekarang, saat melihat anak-anak tertidur. Setelah merasa cukup lama mengamati Flavia, gue memutuskan untuk keluar tanpa berpamitan. Gue berusaha menggapai pintu tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gue takut kalau-kalau hal itu bisa mengganggu tidur anak-anak.
Gue menarik pintu hingga terbuka. Begitu pintu terbuka gue berbalik untuk memandang dia terakhir kalinya sebelum meninggalkan kamar ini, tapi yang terjadi keinginan gue meninggalkan kamar hilang begitu saja. Alih-alih keluar, gue kembali menutup pintu dan menyandarkan tubuh gue di sana.
Gue memperhatikan cara dia memandang anak-anak, penuh kasih sayang. Seolah anak-anak adalah separuh dari dirinya, begitu berharga. Kedua tangannya tidak berhenti merapikan selimut, sesekali satu tangannya membelai kelapa dan pipi anak-anak bergantian.
Lalu dia menangis.
Posisi tempat gue berdiri yang berbanding lurus dengan posisi dia duduk, membuat gue leluasa melihat apa saja yang terjadi. Entah apa yang dia pikirkan saat ini hingga dia menangis, tapi apapun itu, gue tidak suka.
Gue mendekat dan dia terkejut, cepat-cepat menghapus air mata lalu bersikap seolah dia terlalu mengantuk hingga meneteskan air mata.
"Mas Ray... saya kira sudah keluar..." Dia bergerak gelisah di tempatnya duduk. "Apa ada hal yang perlu kita bicarakan?"
Bicara? Mungkin waktu yang tempat untuk kami berbicara secara serius.
"Ya." Gue mengangguk. "Kita bicara di luar saja, saya takut membuat anak-anak terbangun."
Dia bangun dari ranjang tanpa bantahan, lalu kami berjalan beriringan keluar dari kamar. Dia sempat berhenti saat pintu kamar anak-anak sudah tertutup, mungkin dia pikir kami akan bicara di sini. Tapi ruang terbuka seperti ini bukan tempat nyaman untuk bicara. Gue terus berjalan menuju kamar tanpa melihat atau memberi dia perintah untuk mengikuti gue, tapi dia melakukannya.
Gue meraih gagang pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Gue berbalik menghadap dia.
"Ayo, kita bicara."
Dia menekuri kakinya.
Gue menarik napas, harap-harap cemas dia mau masuk atau tidak.
Mata kami bertemu. Dia melirik ke dalam dan keraguan serta ketakutan tercetak di wajahnya. Gue segera tahu apa yang dia takutkan dan khawatirkan. Dia takut ada sesuatu yang terjadi begitu kami masuk ke kamar, dia khawatir ciuman kami terulang atau mungkin lebih dari itu. Dan gue kecewa.
"Saya tidak akan melakukan apapun." Gue masuk lebih dulu. "Kecuali kamu yang menginginkan lebih dahulu."
Gue tidak tahu apa itu bisa membuat dia lebih tenang, tapi dia ikut masuk dan pintu tertup.
Dia berdiri di depan meja telivisi, sementara gue duduk di tepi ranjang berhadapan dengan dia. Seperti yang sudah-sudah, keheningan menyelimuti kami. Gue memutuskan untuk mulai lebih dulu.
"Kenapa kamu menangis?"
"Hah?"
"Tadi kamu menangis saat memandangi anak-anak."
"Saya nggak nangis, saya hanya mengantuk." Dia bersedekap. Dia sedang mencoba membangun tembok penghalang tak kasat mata, supaya gue tidak bisa melihat apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia selalu seperti itu.
Gue mengembuskan napas tenang. Tidak peduli dia akan suka, gue berdiri dan menghampiri dia. Ekspresinya jauh lebih gugup dari sebelumnya, matanya menghindari bertemu dengan mata gue.
Jarak berdiri kami semakin dekat, lalu dia berhenti menghindar. Matanya menantang, seolah bertanya; apa yang akan terjadi setelah ini? Setelah kami saling berhadapan dalam jarak yang dekat.
"Apapun alasan kamu menangis, saya nggak akan menyukainya."
Tatapan dia tidak berubah, tapi bibirnya bergerak, membentuk senyum yang hampir tidak kelihatan saking tipisnya dan tempo yang cepat. Seperti pintu rumah yang terbuka untuk umum, gue langsung tahu alasan dia menangis, itu bukan hal yang bisa gue benci
Gue maju lebih dekat lagi.
"Saya tertarik sama kamu." Sejak dulu. "Tapi saya nggak tahu harus mulai dari mana dan tolong, jangan tanyakan alasan kenapa saya tertarik sama kamu. Saya belum tahu." Sejak pertama kali melihat kamu, tiba-tiba saja itu terjadi, seperti terkena mantra sihir.
Dia perlahan-lahan menurunkan tatapannya ke lantai, dan gue terpaksa mengerahkan semua kekuatan pengendalian diri gue untuk tetap berdiri di sini bukan menarik tangan dan memeluknya.
"Saya suka melihat interaksi kamu dan anak-anak, mengetahui seberapa besar sayang kamu untuk mereka." Gue mengembuskan napas pelan sambil menyugar rambut, lalu mencengkram tengkuk. "Saya senang rumah ini menjadi lebih baik sejak kamu datang, lebih tertata. Tapi saya masih belum yakin, apa saya mau menjalin sesuatu yang penting dengan kamu? Saya hanya..."
"Mas Ray hanya apa?" Dia mengangkat wajah, pandangannya mendesak untuk gue meyelesaikan perkataan secepatnya.
"Saya hanya mau melakukan hal besar dengan kamu, tapi belum yakin siap melangkah bersama kamu." Atau mungkin, kita sama-sama belum siap. Mungkin kita saling tertarik tanpa memikirkan hal-hal penting.
DOUBLE UP PERTAMA UNTUK NASKAH INI...
JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YANG BANYAK...
LOVE FLA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top