12

FLAVIA

Aku dan Rissa akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mall Ciwalk, Diego dan si kembar kompak meminta untuk makan siang di salah satu restoran Jepang ternama di mall itu. Selama di mobil, aku selalu berhasil mengalihkan pembicaraan dengan membahas banyak hal seputar Dela dan Nora. Aku juga memaksa Rissa mendengar pengalamanku mengajar si kembar, tapi sepertinya aku sudah tidak tahu harus berbuat apalagi. Karena Rissa masih sabar menunggu aku menjelaskan tentang apa yang terjadi antara aku dan Ray, mungkin dia akan sabar mendengarkanku bicara tidak jelas juntrungan, sampai aku kelelahan sendiri dan menyerah padanya.

Dia selalu begitu. Dia tidak akan berisik seperti Nora, merorong pertanyaan A ke pertanyaan B. Dia akan membiarkan kita—targetnya kelelahan bersembunyi lalu menyerah dengan sendirinya.

"Bisa kita bicara sekarang?" tanya Rissa tanpa basa basi saat kami berhasil duduk dan makanan sudah di depan kami.

Sepertinya dia tahu, aku sudah kelelahan bersembunyi.

Tapi aku masih bertahan tidak menjawab, menyibukkan diri dengan memotong chicken katsu pada piring si kembar menjadi potongan kecil.

"Via... jangan pura-pura nggak dengar, kalau nggak bisa dengar beneran gawat loh." Dia mengucapkan itu dengan suara tenang, masih dengan senyum, tapi penuh ancaman.

Aku memandang dia. "Apa sih, Ris?" Aku balik bertanya kepada Rissa, berlagak tidak tahu apa mau dia. Aku tidak berani menatapnya lama-lama, aku mengalihkan pandangan pada si kembar. "Anak pintar," pujiku.

"Flavia Chandra Netta."

"Ada apa Naava Amarissa?" tanyaku lagi tanpa memandangnya.

"Jadi?"

Aku mengedikkan bahu sekaligus mengaduk-aduk ramen pilihanku, aku tidak berniat untuk memandang Rissa. Tatapan Rissa berbahaya, dia sedang berperan sebagai 'Ibu' untukku.

"Lebih dari sekedar atasan dan bawahan?"

"Mungkin." Ada keraguan menyempil dalam jawabanku.

"Kamu sudah tahu semua kisah Ray?" Dia saja belum tahu kisahku. Kamu pun belum tahu, Ris. Tidak ada yang tahu kisahku sesungguhnya.

Aku melihat Rissa dari balik bulu mataku, aku menggigit sendok makan keras-keras lalu menggeleng dengan sangat berat hati.

Rissa menghela napas, dia melihat ke arah si kembar. Seakan menimbang apa efek jika dia membuka suara soal kehidupan Ray sebelumnya, karena kehidupan masa lalu Ray berkaitan erat dengan sosok yang hilang dari si kembar sejak mereka masih bayi.

"Aku nggak punya hak untuk menceritakan detail tentang apa yang terjadi, kalau memang Ray menganggap kamu bagian penting dalam hidupnya setelah si kembar, dia pasti akan menceritakan kisahnya sama kamu." Rissa meminum teh ocha sedikit untuk melegakan tenggorokannya. "Tapi yang aku tahu pasti sejak kami SMA, dia selalu dikelilingi banyak wanita. Aku nggak tahu mereka menjalin hubungan atau nggak, tapi yang pasti itu berlangsung sampai Ray kuliah. Dan tiba-tiba dia menikah, jarak berapa bulan si kembar lahir."

Aku menahan napas, sambil menggigit bibir bagian dalamku sangat kencang.

"Ris..."

"Ray dan pria brengsek yang meninggalkan aku adalah sahabat baik, mereka selalu bersama, bahkan membuat kesalahan yang sama." Aku semakin kesulitan bernapas. "Via, belajar dari aku... dari Dela. Kami meletakkan hati di tempat yang salah dan rasanya itu setengah mati." Aku tahu, aku juga pernah salah meletakkan hati, mungkin lebih parah dari kalian.

Aku tertegun, sembari memperhatikan si kembar dan aktivitas makan mereka.

"Ris, aku itu..."

"Percayalah, Via. Salah menjatuhkan hati lebih parah daripada salah masuk rumah, kamu akan susah menarik keluar hatimu." Rissa meraih tanganku, dan menggenggamnya. "Kalau kamu mau melangkah maju bersama Ray, pastikan dulu kalau dia memang sudah melepaskan masa lalunya dan matanya hanya tertuju pada masa depan."

"Rissa..."

"Pastikan dulu, kalau dia memang yakin sama kamu, bukan hanya mencari jalan pintas untuk mengisi tempat yang telah lama kosong." Aku bisa mengerti kenapa Rissa begitu khawatir padaku, dia tidak ingin aku terluka atas pilihanku. Tapi aku belum memilih apa pun.

Setelah kami semua selesai makan, kami memutuskan untuk membawa Diego dan si kembar ke arena permainan. Tidak ada lagi pembahasan soal hubunganku dan Ray. Kami lebih banyak membicarakan soal mengurus anak-anak, makanan yang baik apa, aktivitas seru apa yang bisa kugunakan untuk mengajari si kembar. Lalu aku juga menanyakan hubungan Rissa dan suaminya—yah—kami lebih banyak membicarakan hal yang tidak penting dan ringan.

Kami menghabiskan waktu di arena bermain sampai jam lima, waktu yang dijanjikan oleh Ray untuk datang ke mal ini. Sebelum aku sempat memikirkan kenapa dia lama sekali, sosoknya sudah terlihat memasuki arena bermain. Tentu saja kehadiran Ray di sambut baik oleh si kembar, bahkan Olin langsung merajuk minta digendong. Terlihat sangat jelas anak itu kelelahan karena melakukan banyak aktivitas dalam satu hari ini, berenang, bercanda dengan Diego, bermain di sini. Ditambah mereka belum tidur siang, pasti Olin ataupun Okan mengantuk.

Tidak seperti Olin, Okan memilih untuk duduk bersama Diego sambil memperhatikan kami para orang dewasa saling berbicara.

"Karena Ray sudah datang, aku langsung pamit pulang ya, Vi. Si kakak udah ngantuk." Rissa langsung memeluku dengan sangat erat. "Jaga diri, sering-sering main ke Bandung ya..."

"Kayaknya Jakarta—Bandung dekat, deh... kenapa bukan kamu saja yang main ke Jakarta? Kamu nggak kangen sama Jakarta?" Aku melepaskan pelukan Rissa, sebenarnya ini bukan pertama kali aku bertanya seperti itu. Selama enam tahun, sudah tak terhitung aku bertanya dan meminta Rissa datang ke jakarta.

Dan seperti yang sudah-sudah, Rissa hanya mengulum senyum tanpa menyahut.

Kami berpelukan sekali lagi, kemudian Rissa beralih kepada Ray.

"Nice to meet you again, Ray." Rissa menjulurkan tangan kanannya dan disambut oleh Ray dengan cepat. "By the way, aku mau bicara sama kamu berdua aja. Nggak lama kok, aku cuman minta waktu sepuluh menit." Tanpa mau menunggu jawaban Ray. Rissa langsung menarik tangan Ray, menciptakan jarak cukup lebar antara aku dan mereka.

Aku memicingkan mata, berusaha membaca gerak bibir Rissa tapi gagal. Suara berisik di arena permainan ini sangat mengganggu konsentrasiku, tapi aku bisa menduga, pasti tentang aku dan Ray.

Sepanjang Rissa berbicara, Ray memperhatikan dengan serius sesekali mengangguk sebagai tanda dia memperhatikan apa yang Rissa sampaikan. Tidak ada kesan pembicaraan mereka berat, orang yang lalu lalang pasti menduga yang mereka lakukan hanya obrolan ringan antar kenalan. Rissa tersenyum, tapi sorot matanya tajam mengitimidasi. Dari dua hl itu saja aku sudah bisa menebak, apa yang disampaikan Rissa bukan sesuatu yang ringan.

Sepuluh menit yang diminta oleh Rissa berlalu, mereka kembali ke tempatku berdiri secara bersamaan. Tidak ada lagi obrolan yang dilakukan untuk memperpanjang pertemuan kami ini. Rissa menggandeng Diego dan berlalu. Setelah Rissa tak lagi terlihat, Ray memberi perintah untuk segera berjalan menuju tempar parkir.

Kami diam selama perjalanan menuju parkiran.

Kami kembali diam selama perjalanan dari mal menuju apartemen.

Aku memandanginya selama keheningan menyelimuti kami. Apa yang dia pikirkan saat ini? Apa dia kesal dinasihati oleh Rissa tentang kami? Apa dia menyesali rasa tertariknya padaku?

Sesekali mata kami bertemu, tapi tetap saja mengunci rapat bibir masing-masing menjadi pilihan utama, seolah diam yang sedang kami lakukan adalah mencegah liburan singkat bersama anak-anak ini menjadi kacau.

Aksi diam kami berlanjut sampai di apartemen. Aku dan anak-anak masuk ke dalam kamar. Ray pun memasuki kamar dan mengunci rapat pintunya.

Aku tidur miring memunggungi anak-anak, menatap gorden salem yang menghiasi kamar ini, sambil terus berpikir. Kami benar-benat tidak berkata apa pun sejak tadi. Kami tidak melakukan sentuhan, senggolan, atau kegiatan tak sengaja yang biasa sering terjadi. Ray bahkan tak memandang lebih dari sepuluh detik, dia selalu mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Dia menoleh ke mobil-mobil.

Dia menyapa satpam apartemen yang kami jumpai.

Dia tersenyum pada sesama penghuni apartemen.

Tapi dia tidak menoleh, menyapa, dan tersenyum padaku.

Lalu rasa khawatirku tentang Ray pergi setelah tahu masa laluku berganti menjadi, khawatir dia pergi sebelum kami sempat melakukan obrolan pribadi seperti yang direncanakan sebelumnya.

Aku mendapati diriku sedih karena sikapnya.

Aku memejamkan dan mencoba untuk tidur, tapi sia-sia. Aku mengembuskan napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. Aku memutuskan untuk keluar, mencari sesuatu yang bisa aku makan. Mungkin setelah memakan sesuatu, aku bisa tidur dengan tenang.

Aku keluar, berjalan menuju ke kulkas. Tanganku sudah siap meraih pegangan pintu kulkas, tapi terpaan angin dingin menyentuh kulit kakiku. Aku terkejut, melihat ke asal angin dan menemukan kaca menuju balkon sedikit terbuka sehingga gorden tipis bergoyang-goyang tertiup angin.

Aku melupakan tentang makanan, kemudian berjalan menuju pintu. Jari-jari kakiku menyentuh garis pembatas dan aroma asap rokok menusuk hidungku. Aku menjulurkan kepala untuk melihat apa yang terjadi dan aku menemukan dia sedang duduk di kursi balkon dengan tangan memegang sebatang rokok menyala.

Dia merokok? Aku terkejut.

Dia seorang perokok? Aku bahkan baru mengetahui tentang ini, dia tidak pernah merokok di rumah. Aku tidak pernah menemukan kotak rokok di rumah ataupun korek.

"Dia nggak pernah ada dalam hati saya." Aku melongo. Dia memiringkan kepalanya ke arahku dengan gerakan lambat, lalu menatapku lamat-lamat. "Bukan tentang siapa yang membuat saya nggak pernah bergerak, tapi tentang apa yang telah terjadi. Semua hal terlalu membekas dalam hati saya."


TUH DOUBLE TUH...

Semoga kalian tidur nyenyak... hahaha...

jangan lupa taburan bintang dan comment yang banyak...

Love, Fla

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top